Penyelenggaraan Otonomi Pertanahan BPN Muara Enim
1. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah sudah memasuki implementasi tahun kedua, walau banyak kelemahan dan kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah, namun kita tidak bisa mundur dan kembali ke belakang. Otonomi daerah mesti kita sikapi dengan bijaksana dan hati-hati agar implementasi dari undang-undang dimaksud dapat berjalan dengan semestinya. Dari sekian banyak persoalan yang harus dibenahi oleh pemerintah pusat dalam pelaksanan otonomi daerah adalah persoalan yang menyangkut masalah kewenangan pertanahan. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah/Kabupaten antara lain bidang pertanahan.
Tugas bidang pertanahan menurut undang undang tersebut dilaksanakan oleh dinas daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing, sedangkan menurut PP. 25/2000, Propinsi sebagai derah otonomi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pertanahan, sehingga pelimpahan dibidang pertanahan di tingkat propinsi sebagai daerah administrasi sangat bergantung pada Pemerintahan Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan pusat kepada gubernur selaku kepala pemerintahan di tingkat propinsi, maka itu masih dalam kerangka dekonsentrasi.
Sampai saat ini masih terdapat selisih pendapat mengenai pelaksanaan otonomi pertanahan. Hal ini terlihat dari adanya daerah yang membentuk dinas daerah yang melaksanakan tugas-tugas pertanahan dan ada juga yang masih menunggu petunjuk tennis dari pemerintah pusat, bahkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, telah melantik pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pertanahan dan beberapa kabupaten/kota lain. Perbedaan pendapat dan duplikasi organisasi pertanahan di daerah tentu saja menimbulkan in-efisiensi dan membingungkan masyarakat.
Berdasarkan rapat dengan Tim Keppres tanggal 22 Desember 2000 bahwa ketua tim yang membawahi Badan Pertanahan Nasional mengatakan bahwa BPN tetap melaksanakan tugas-tugas berdasarkan Keppres No. 195/2000, namun demikian dianjurkan untuk meninjau kembali Keppres tersebut untuk disesuaikan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999.
Tulisan ini dimaksud untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggaraan otonomi bidang pertanahan.
2. Tujuan Pengelolaan Pertanahan dan Otonomi Pertanahan
Pada dasarnya tujuan pengelolaan pertanahan dan otonomi pertanahan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Catur tertib pertanahan tersebut merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib pertanahan tersebut diatas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut Adminstrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk tercapainya tertib administrasi pertanahan.
Ada beberapa indikator untuk melihat tingkat keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan antara lain :
a. diketahuinya siapa yang memiliki/menguasai sesuatu bidang tanah jenis penggunaan tanahnya.
b. bagaimana hubungan hukum antara bidang tanah dengan yang menguasai bidang tanah.
c. berapa luas suatu bidang tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum.
d. dimana letak tanah tersebut yang dapat dipetakan berdasarkan suatu sistem proyeksi peta yang dipilih, sehingga dapat dihindari tumpang tindih sertipikat.
e. informasi yang disebutkan pada huruf a, b, c dan d diatas dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang memadai.
f. penyimpanan dokumen yang tertib, teratur, dan terjamin keamanannya.
g. terdapat prosedur tetap yang sederhana, cepat namun akurasinya terjamin.
Salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan Administrasi pertanahan adalah dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah sistematik. Namun demikian hambatan yang dihadapi pemerintah sekarang dalam pelaksanaan kegiatan ini menyangkut pendanaan. Oleh pemerintah pusat, untuk mengatasi hambatan tersebut pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP Tahap I) melalui pinjaman dana yang berasal dari Bank Dunia dan dana pendamping APBN. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1994 dan berakhir tahun 2000.
Melihat betapa urgensinya kegiatan pendaftaran tanah sistematik dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia, pemerintah maupun pihak Bank Dunia tengah mengevaluasi kegiatan PAP tahap I. Ada indikasi bahwa pelaksanaan PAP tahap I cukup berhasil walau ada beberapa hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaannya. Diharapkan pada tahap kedua pelaksanaan proyek administrasi pertanahan ini, makin dapat mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia.
Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong "good governance" BPN sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparasi, sederhana, murah dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik. Penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada daerah dalam rangka Otonomi Daerah dimaksudkan agar dapat meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan meringankan beban masyarakat dalam pengurusan pertanahan, yang menurut sebagian orang masih tetap dipusatkan di BPN Pusat.
3. Pelaksanaan Pengelolaan Pertanahan
Kebijakan pengelolaan pertanahan diatur dalam beberapa undang-undang antara lain; Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Penataan Ruang. UUPA merupakan hukum publik dan hukum perdata, sebagai hukum publik memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan politik pertanahan, dan sebagai hukum perdata antara lain mengatur kewenangan pemegang hak atas tanah dalam menggunakan hak keperdataannya antara lain seperti memanfaatkan tanah, menjual tanah, memberikan hak tanggungan.
Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugasnya berdasarkan UUPA secara umum mengatur beberapa hal mengenai:
a. kebijaksanaan pengaturan penguasaan dan hak-hak atas tanah (land tenure dan land rights).
b. kebijaksanaan rencana penggunaan tanah (land use planning).
c. kebijaksanaan pendaftaran tanah (land registration).
Pengaturan ketiga jenis kebijaksanaan pertanahan yang merupakan kewenangan negara tersebut dijabarkan lagi dalam peraturan perundangan berupa Undang-undang sampai tingkat peraturan menteri. Dalam UUPA ditegaskan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah, hak-hak atas tanah, dan pendaftaran tanah dipegang oleh Pemerintah Pusat dan pelaksanaannya sebagian besar dilaksanakan di propinsi dan di kota/kabupaten, bahkan kewenangan pendaftaran hak atas tanah untuk segala jenis hak maupun penggunaannya dilaksanakan di kota/kabupaten dalam rangka dekonsentrasi. Sedangkan rencana penataan ruang (termasuk penggunaan tanah daerah) menurut pasal 14 ayat (2) UUPA dan pasal 27 dan pasal 28 Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang kepada daerah diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah, ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya yang relatif tinggi, sehingga percepatan kegiatan tersebut Pemerintah mendapat pinjaman dari Bank Dunia.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini melalui 2 (dua) pendekatan:
Pertama melalui pendekatan sistematik : Proyek uji coba pendekatan sistematik dilaksanakan tahun 1995 di Kota Depok, yang biayanya mendapat bantuan Bank Dunia. Biaya yang dipungut masyarakat untuk tanah hak lama antara Rp. 3.000 - Rp. 4.500, sedangkan untuk tanah-tanah yang berasal dari tanah negara berkisar antara lain Rp. 10.500 - Rp. 18.000. dengan diberlakukannya PMNA No. 4 tahun 1998 yang antara lain menghapuskan biaya administrasi dan PMNA/KBPN No. 7 tahun 1999 yang antara lain membebaskan biaya pendaftaran tanah, untuk tanah-tanah hak lama masyarakat hanya dipungut biaya blanko sertipikat. Sedangkan untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas hanya dipungut biaya blanko sertipikat dan untuk tanah-tanah yang nilainya diatas Rp. 30 juta dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB). Berdasarkan pengalaman dalam Proyek Administrasi Pertanahan, pendaftaran tanah sistematik sangat diharapkan oleh masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.
Kedua melalui pendekatan sporadik : sebagian besar penyelenggaraan pendaftaran tanah sekarang ini melalui pendekatan sporadik yang berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini disebabkan kemampuan pemerintah untuk menyelenggaraan pendekatan sistematik terbatas. Biaya yang dipungut dari masyarakat dalam pendekatan sporadik adalah untuk pengukuran dan biaya panitia A, sedangkan untuk pendaftaran hak atas tanah tidak dipungut biaya. Untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas tanah dipungut BPHTB (nilai tanah diatas Rp. 30 juta) dan uang pemasukan ke Kas Negara yang besarnya tergantung dari jenis hak atas tanah dan luas tanahnya dan untuk luas tanahnya tidak lebih dari 200 meter persegi tidak dikenakan uang pemasukan.
Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah berfungsi sebagai peradilan pertanahan, sehingga dalam tahapan pekerjaan terdapat proses ajudikasi yaitu suatu proses yang menetapkan bagaimana status hukum bidang tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukumnya. Oleh karena itulah di sebagian besar negara Eropa, pelaksanaan pendaftaraan tanah diselenggarakan oleh siapapun. Begitu juga di Indonesia sampai tahun 1947 penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah dilakukan oleh pegawai balik nama yang berada di pengadilan dan dalam pertengahan tahun 1950 an kewenangan pendaftaran hak atas tanah menjadi tanggung jawab Jawatan Pendaftaran Tanah yang berada di lingkungan Kementerian Kehakiman.
Realitas lain, dalam pelayanan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional menyangkut masalah pelayanan yang lintas batas dan berwawasan nasional. Pelayanan pertanahan yang lintas kabupaten/kota maupun propinsi, antara lain; Pembebanan tanggungan yang dapat di bebankan pada beberapa bidang tanah yang letaknya di beberapa propinsi dimana bisa saja pembuatan akte tanggungannya dibuat oleh PPAT dalam satu akta, pemasangan Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang melintasi batas propinsi, pembagian lembar peta dasar pendaftaran yang melintasi batas propinsi. Sehingga melihat realitas pelayanan seperti diatas, maka kewenangan yang berskala nasional pelaksanaannya akan lebih efesien kalau di selenggarakan secara nasional, oleh karena itu menurut PP No. 25 tahun 2000 tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
Kondisi saat ini kegiatan pelayanan pertanahan untuk kepentingan masyarakat sebagian besar dilaksanakan di kota/kabupaten dan propinsi, sedangkan yang dilaksanakan di pusat hanya sebagian kecil yaitu :
a. Pemberiah hak pengelolaan atas tanah negara kepada pemerintah daerah, instansi pemerintah, BUMN dan BUMD.
b. Pemberian hak guna usaha atas negara yang luasnya lebih dari 200 Ha.
c. Pemberiah hak milik non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi.
d. Pemberian hak guna bangunan tanah non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 15 Ha.
e. Pemberian hak pakai tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 15 Ha.
f. Menetapkan pemberian hak atas tanah secara umum.
g. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya.
h. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan Kepala BPN yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya maupun untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
i. Penegasan obyek landreform.
j. Pengukuran batas tanah yang luasnya lebish dari 1.000 Ha.
k. Pengukuran kerangka dasar kadastral nasional orde 1 dan orde 2.
l. Pembuatan peta dasar pendaftaran nasional.
m. Penetapan lokasi pendaftaran tanah sistematik.
n. Pemberian hak atas tanah berdasarkan UU No. 3 1960 (P3MB/Prk 5).
1. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah sudah memasuki implementasi tahun kedua, walau banyak kelemahan dan kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah, namun kita tidak bisa mundur dan kembali ke belakang. Otonomi daerah mesti kita sikapi dengan bijaksana dan hati-hati agar implementasi dari undang-undang dimaksud dapat berjalan dengan semestinya. Dari sekian banyak persoalan yang harus dibenahi oleh pemerintah pusat dalam pelaksanan otonomi daerah adalah persoalan yang menyangkut masalah kewenangan pertanahan. Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah/Kabupaten antara lain bidang pertanahan.
Tugas bidang pertanahan menurut undang undang tersebut dilaksanakan oleh dinas daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing, sedangkan menurut PP. 25/2000, Propinsi sebagai derah otonomi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pertanahan, sehingga pelimpahan dibidang pertanahan di tingkat propinsi sebagai daerah administrasi sangat bergantung pada Pemerintahan Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan pusat kepada gubernur selaku kepala pemerintahan di tingkat propinsi, maka itu masih dalam kerangka dekonsentrasi.
Sampai saat ini masih terdapat selisih pendapat mengenai pelaksanaan otonomi pertanahan. Hal ini terlihat dari adanya daerah yang membentuk dinas daerah yang melaksanakan tugas-tugas pertanahan dan ada juga yang masih menunggu petunjuk tennis dari pemerintah pusat, bahkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, telah melantik pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pertanahan dan beberapa kabupaten/kota lain. Perbedaan pendapat dan duplikasi organisasi pertanahan di daerah tentu saja menimbulkan in-efisiensi dan membingungkan masyarakat.
Berdasarkan rapat dengan Tim Keppres tanggal 22 Desember 2000 bahwa ketua tim yang membawahi Badan Pertanahan Nasional mengatakan bahwa BPN tetap melaksanakan tugas-tugas berdasarkan Keppres No. 195/2000, namun demikian dianjurkan untuk meninjau kembali Keppres tersebut untuk disesuaikan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999.
Tulisan ini dimaksud untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggaraan otonomi bidang pertanahan.
2. Tujuan Pengelolaan Pertanahan dan Otonomi Pertanahan
Pada dasarnya tujuan pengelolaan pertanahan dan otonomi pertanahan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Catur tertib pertanahan tersebut merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib pertanahan tersebut diatas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut Adminstrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk tercapainya tertib administrasi pertanahan.
Ada beberapa indikator untuk melihat tingkat keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan antara lain :
a. diketahuinya siapa yang memiliki/menguasai sesuatu bidang tanah jenis penggunaan tanahnya.
b. bagaimana hubungan hukum antara bidang tanah dengan yang menguasai bidang tanah.
c. berapa luas suatu bidang tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum.
d. dimana letak tanah tersebut yang dapat dipetakan berdasarkan suatu sistem proyeksi peta yang dipilih, sehingga dapat dihindari tumpang tindih sertipikat.
e. informasi yang disebutkan pada huruf a, b, c dan d diatas dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang memadai.
f. penyimpanan dokumen yang tertib, teratur, dan terjamin keamanannya.
g. terdapat prosedur tetap yang sederhana, cepat namun akurasinya terjamin.
Salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan Administrasi pertanahan adalah dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah sistematik. Namun demikian hambatan yang dihadapi pemerintah sekarang dalam pelaksanaan kegiatan ini menyangkut pendanaan. Oleh pemerintah pusat, untuk mengatasi hambatan tersebut pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP Tahap I) melalui pinjaman dana yang berasal dari Bank Dunia dan dana pendamping APBN. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1994 dan berakhir tahun 2000.
Melihat betapa urgensinya kegiatan pendaftaran tanah sistematik dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia, pemerintah maupun pihak Bank Dunia tengah mengevaluasi kegiatan PAP tahap I. Ada indikasi bahwa pelaksanaan PAP tahap I cukup berhasil walau ada beberapa hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaannya. Diharapkan pada tahap kedua pelaksanaan proyek administrasi pertanahan ini, makin dapat mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia.
Selain untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, maka Badan Pertanahan Nasional sebagai organisasi publik mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi publik dan mendorong "good governance" BPN sudah semestinya menciptakan pelayanan yang lebih transparasi, sederhana, murah dan akuntabilitasnya dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik. Penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada daerah dalam rangka Otonomi Daerah dimaksudkan agar dapat meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan meringankan beban masyarakat dalam pengurusan pertanahan, yang menurut sebagian orang masih tetap dipusatkan di BPN Pusat.
3. Pelaksanaan Pengelolaan Pertanahan
Kebijakan pengelolaan pertanahan diatur dalam beberapa undang-undang antara lain; Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Penataan Ruang. UUPA merupakan hukum publik dan hukum perdata, sebagai hukum publik memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan politik pertanahan, dan sebagai hukum perdata antara lain mengatur kewenangan pemegang hak atas tanah dalam menggunakan hak keperdataannya antara lain seperti memanfaatkan tanah, menjual tanah, memberikan hak tanggungan.
Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugasnya berdasarkan UUPA secara umum mengatur beberapa hal mengenai:
a. kebijaksanaan pengaturan penguasaan dan hak-hak atas tanah (land tenure dan land rights).
b. kebijaksanaan rencana penggunaan tanah (land use planning).
c. kebijaksanaan pendaftaran tanah (land registration).
Pengaturan ketiga jenis kebijaksanaan pertanahan yang merupakan kewenangan negara tersebut dijabarkan lagi dalam peraturan perundangan berupa Undang-undang sampai tingkat peraturan menteri. Dalam UUPA ditegaskan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan tanah, hak-hak atas tanah, dan pendaftaran tanah dipegang oleh Pemerintah Pusat dan pelaksanaannya sebagian besar dilaksanakan di propinsi dan di kota/kabupaten, bahkan kewenangan pendaftaran hak atas tanah untuk segala jenis hak maupun penggunaannya dilaksanakan di kota/kabupaten dalam rangka dekonsentrasi. Sedangkan rencana penataan ruang (termasuk penggunaan tanah daerah) menurut pasal 14 ayat (2) UUPA dan pasal 27 dan pasal 28 Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang kepada daerah diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah, ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya yang relatif tinggi, sehingga percepatan kegiatan tersebut Pemerintah mendapat pinjaman dari Bank Dunia.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini melalui 2 (dua) pendekatan:
Pertama melalui pendekatan sistematik : Proyek uji coba pendekatan sistematik dilaksanakan tahun 1995 di Kota Depok, yang biayanya mendapat bantuan Bank Dunia. Biaya yang dipungut masyarakat untuk tanah hak lama antara Rp. 3.000 - Rp. 4.500, sedangkan untuk tanah-tanah yang berasal dari tanah negara berkisar antara lain Rp. 10.500 - Rp. 18.000. dengan diberlakukannya PMNA No. 4 tahun 1998 yang antara lain menghapuskan biaya administrasi dan PMNA/KBPN No. 7 tahun 1999 yang antara lain membebaskan biaya pendaftaran tanah, untuk tanah-tanah hak lama masyarakat hanya dipungut biaya blanko sertipikat. Sedangkan untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas hanya dipungut biaya blanko sertipikat dan untuk tanah-tanah yang nilainya diatas Rp. 30 juta dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB). Berdasarkan pengalaman dalam Proyek Administrasi Pertanahan, pendaftaran tanah sistematik sangat diharapkan oleh masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.
Kedua melalui pendekatan sporadik : sebagian besar penyelenggaraan pendaftaran tanah sekarang ini melalui pendekatan sporadik yang berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini disebabkan kemampuan pemerintah untuk menyelenggaraan pendekatan sistematik terbatas. Biaya yang dipungut dari masyarakat dalam pendekatan sporadik adalah untuk pengukuran dan biaya panitia A, sedangkan untuk pendaftaran hak atas tanah tidak dipungut biaya. Untuk tanah negara yang diberikan kepada masyarakat dengan sesuatu hak atas tanah dipungut BPHTB (nilai tanah diatas Rp. 30 juta) dan uang pemasukan ke Kas Negara yang besarnya tergantung dari jenis hak atas tanah dan luas tanahnya dan untuk luas tanahnya tidak lebih dari 200 meter persegi tidak dikenakan uang pemasukan.
Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah berfungsi sebagai peradilan pertanahan, sehingga dalam tahapan pekerjaan terdapat proses ajudikasi yaitu suatu proses yang menetapkan bagaimana status hukum bidang tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukumnya. Oleh karena itulah di sebagian besar negara Eropa, pelaksanaan pendaftaraan tanah diselenggarakan oleh siapapun. Begitu juga di Indonesia sampai tahun 1947 penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah dilakukan oleh pegawai balik nama yang berada di pengadilan dan dalam pertengahan tahun 1950 an kewenangan pendaftaran hak atas tanah menjadi tanggung jawab Jawatan Pendaftaran Tanah yang berada di lingkungan Kementerian Kehakiman.
Realitas lain, dalam pelayanan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional menyangkut masalah pelayanan yang lintas batas dan berwawasan nasional. Pelayanan pertanahan yang lintas kabupaten/kota maupun propinsi, antara lain; Pembebanan tanggungan yang dapat di bebankan pada beberapa bidang tanah yang letaknya di beberapa propinsi dimana bisa saja pembuatan akte tanggungannya dibuat oleh PPAT dalam satu akta, pemasangan Jaringan Kerangka Dasar Kadastral Nasional yang melintasi batas propinsi, pembagian lembar peta dasar pendaftaran yang melintasi batas propinsi. Sehingga melihat realitas pelayanan seperti diatas, maka kewenangan yang berskala nasional pelaksanaannya akan lebih efesien kalau di selenggarakan secara nasional, oleh karena itu menurut PP No. 25 tahun 2000 tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
Kondisi saat ini kegiatan pelayanan pertanahan untuk kepentingan masyarakat sebagian besar dilaksanakan di kota/kabupaten dan propinsi, sedangkan yang dilaksanakan di pusat hanya sebagian kecil yaitu :
a. Pemberiah hak pengelolaan atas tanah negara kepada pemerintah daerah, instansi pemerintah, BUMN dan BUMD.
b. Pemberian hak guna usaha atas negara yang luasnya lebih dari 200 Ha.
c. Pemberiah hak milik non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 5.000 meter persegi.
d. Pemberian hak guna bangunan tanah non pertanian atas tanah negara yang luasnya lebih dari 15 Ha.
e. Pemberian hak pakai tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 15 Ha.
f. Menetapkan pemberian hak atas tanah secara umum.
g. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya.
h. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan Kepala BPN yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya maupun untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
i. Penegasan obyek landreform.
j. Pengukuran batas tanah yang luasnya lebish dari 1.000 Ha.
k. Pengukuran kerangka dasar kadastral nasional orde 1 dan orde 2.
l. Pembuatan peta dasar pendaftaran nasional.
m. Penetapan lokasi pendaftaran tanah sistematik.
n. Pemberian hak atas tanah berdasarkan UU No. 3 1960 (P3MB/Prk 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar