Minggu, 28 Juni 2009

PERBEDAAN STATUS KEPEMILIKAN DALAM PERSEROAN TERBATAS DENGAN PERSEROAN KOMANDITER (CV)



Suatu jenis usaha yang dijalankan seseroang akan lebih aman dan terjamin secara hukum apabila dimasukan kedalam suatu wadah badan hukum. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah suatu perseroan terbatas.


Namun dalam prakteknya kadangkala seseorang yang dalam perintisan usaha tertentu masih merasa bingung, bagaimanakah sebaiknya bentuk wadah usaha mereka tersebut ? apakah akan berbentuk suatu perseroan terbatas atau bentuknya perseroan komanditer atau yang dikenal dengan nama CV.


Untuk menentukan pilihan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan serta sifat dari bentuk kedua perseroan tersebut sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana akibat hukumnya nanti.


Perseroan terbatas, dilihat dari istilah namanya yang “terbatas” memang demikian, yakni tanggung jawab para pemegang saham yang ada di dalamnya hanya terbatas pada jumlah saham-saham yang dimilikinya dalam perseroan tersebut.


Artinya apabila terjadi kesalahan manajemen yang terjadi dengan perseroan/perusahaan tersebut yang mengakibatkan kerugian pada perseroan/perusahaan maka tanggung jawab pemegang saham tersebut hanyalah sebatas jumlah saham yang dimilikinya. Namun demikian di dalam prakteknya nanti dimungkinkan adanya tanggung jawab pribadi dari organ pengurus perseroan apabila nyata-nyata dapat dibuktikan bahwa para pengurus/direksi perseroan melakukan suatu tindakan yang sengaja merugikan perseroan serta untuk kepentingan pribadi pengurus yang bersangkutan.


Perseroan terbatas juga dikategorikan sebagai suatu badan hukum. Oleh karenanya diperlukan pengesahan dengan suatu surat keputusan pengesahan yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Secara rinci mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas ini diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.


Perseroan Komanditer atau biasa disebut CV sifatnya lebih sederhana bila dibandingkan dengan Perseroan Terbatas. Sederhana dalam proses pendiriannya maupun sederhana dalam hal kepemilikan sahamnya. Dalam CV ini pada akta pendiriannya biasanya tidak disebutkan berapa modalnya dan berapa jumlah saham yang dimiliki oleh masing-masing pemegang saham.


Sifat CV ini lebih agak personal, artinya tanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan atas nama CV menjadi tanggung jawab secara tanggung renteng bagi para pemiliknya. CV ini bukan merupakan suatu bentuk badan hukum.


Pengesahannya hanya cukup sampai pada Pengadilan Negeri. Jadi apabila sudah ada suatu akta pendirian CV yang dibuat dihadapan seorang Notaris, maka selanjutnya cukup didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat.


Baik PT maupun CV memiliki organ pengurus atau direksi dan Dewan Komisaris. yang berfungsi sebagai pengawas jalannya perusahaan.



Syarat Penetapan Pengadilan bagi Pengalihan hak dengan adanya anak di bawah umur


Beberapa waktu lalu ada seorang datang ke kantor PPAT hendak menjual sebidang tanah yang dimilikinya. Setelah diperiksa ternyata Sertifikat tanah tersebut tercantum atas nama suami penjual yang telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.


Syarat-syarat apa sajakah yang harus dilengkapi oleh penjual tersebut sehingga dapat terjadi transaksi penjualan ?


Pertama sekali tentunya harus ada kesepakatan antara Penjual dan calon pembeli mengenai harga dari bidang tanah dimaksud.


Selanjutnya Penjual harus melengkapi dokumen-dokumen yang akan menjadi dasar bagi PPAT untuk membuatkan Akta Jual Belinya (AJB). Pada artikel sebelumnya telah disebutkan bahwa antara lain adalah :

-Sertifikat asli

-Fotocopy Kartu Keluarga Penjual

-Fotocopy Kartu Tanda Penduduk masing-masing Penjual dan Calon Pembeli

-Fotocopy Buku Nikah Penjual

-Fotocopy Surat Kematian suami dari Penjual

-Fotocopy Surat Keterangan Waris dari Kelurahan/Camat setempat.


Berdasarkan fotocopy dari dokumen-dokumen yang ada tersebut ternyata salah seorang ahli waris adalah anak yang masih di bawah umur. Dengan adanya anak di bawah umur ini maka selain kelengkapan dokumen tersebut diatas, harus pula dilengkapi dengan Surat Penetapan dari Pengadilan Negeri.


Menurut ketentuan pasal 309 juncto 393 dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata, pengalihan hak milik dari anak yang masih di bawah umur harus berdasarkan pada Penetapan dari Pengadilan Negeri.


Di beberapa daerah tertentu Penetapan Pengadilan ini tidak terlalu menjadi suatu keharusan mengingat para pihak tersebut dapat dianggap tidak menundukan diri kepada Hukum Perdata Barat tetapi tunduk pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dimana ketentuan pasal tidak mengharuskan pengalihak hak milik dari seorang anak yang masih di bawah umur harus melalui Penetapan Pengadilan Negeri.


Namun dalam praktek, pada umumnya Kantor Pertanahan mewajibkan adanya Penetapan Pengadilan Negeri tersebut. Dengan demikian Kantor Pertanahan mendasari kebijakan syarat tersebut pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata.


Hal ini mungkin disebabkan kekuatan hukum ketentuan pasal tersebut secara psikologis lebih kuat dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/74 yang memang tidak secara jelas mengatur hal tersebut sekaligus untuk melindungi kepentingan dari anak di bawah umur yang bersangkutan.



Perjanjian tersendiri di luar Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT)

Beberapa orang kenalan penulis belum lama ini secara bersama-sama bermaksud untuk membuat suatu perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT). Dari beberapa orang tersebut satu orang diantaranya karena satu dan lain hal, tidak ingin namanya dimasukkan ke dalam akta pendirian perseroan sebagai salah seorang pemegang saham. Namun di luar itu ia berkeinginan untuk menuangkan ke dalam suatu perjanjian khusus yang menyatakan bahwa ia sebenarnya adalah salah satu pemilik dari perseroan yang akan didirikan tersebut dan memiliki sejumlah modal di dalam perseroan.


Secara umum kelihatannya keinginan orang tersebut dapat diterima mengingat para calon pemegang saham lainnya setuju untuk membuat perjanjian khusus diantara mereka. Sebagaimana diketahui bahwa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan antara para pihak, cakap dalam bertindak hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Kesemua syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi oleh mereka. Dengan demikian perjanjian itu sebenarnya dapat dibuat.


Namun perlu kiranya diingat, bahwa pendirian suatu perseroan terbatas, walaupun di dasari oleh suatu persetujuan atau kesepakatan para pihak yang membuatnya sebagaimana disyaratkan di dalam suatu perjanjian, ia terikat dengan suatu batasan hukum lainnya yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dimana perseroan terbatas tersebut memerlukan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM RI untuk menjadikannya sebagai suatu Badan Hukum.


Setelah melalui proses pengajuan dan setelah mendapat pengesahan (dengan Surat Keputusan/SK) dari Departemen Hukum dan HAM RI, maka semua data-data kepemilikan saham dan data pengurus yang ada pada akta pendirian suatu perseroan terbatas telah masuk dan terdata pada Departemen Hukum dan HAM RI tersebut.


Dengan demikian ini berarti bahwa data-data yang tercatat pada database Departemen Hukum dan HAM RI adalah data-data yang ada pada akta pendirian. Jadi bagaimana halnya dengan salah seorang kenalan dari penulis sebagaimana diceritakan diatas tadi ? sedangkan orang tersebut tidak ada namanya dalam akta pendirian, tapi hanya tercantum dalam perjanjian antara mereka saja.


Bagaimana halnya jika suatu saat nanti jika dia ingin meminta kembali kepemilikan sahamnya sedangkan diantara mereka sudah timbul ketidak cocokan dan perselisihan ? bahkan jeleknya lagi diantara mereka yang lain itu tidak mengakui bahwa dia adalah salah satu dari pemegang saham perseroan tersebut ?


Masalah seperti tersebut diatas dalam prakteknya seringkali terjadi, memang pada awalnya hubungan sesama pendiri tersebut aman-aman saja, namun tidak menutup kemungkinan bagi adanya perselisihan dikemudian hari.


Oleh karenanya, demi keamanan dan kepastian hukum serta perlindungan bagi para pihak, sebaiknya Perjanjian antara para pemegang saham perseroan terbatas/pendiri yang dibuat di luar akta pendirian perseroan tidak dilakukan. Bagaimanapun peraturan perundangan hanya membaca orang-orang yang tercantum dalam akta pendirian suatu perusahaan.


Sebagai dasar pertimbangan untuk tidak dilakukan perjanjian semacam di atas adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang perusahaan PMA.


Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 ayat (1) menyatakan bahwa :


‘Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanam Modal Asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain’.


Ayat (2) nya menyatakan :

‘Dalam hal Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanam Modal Asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan semacam itu dinyatakan batal demi hukum’


Dari pasal-pasal tersebut sangat jelas dinyatakan bahwa baik Penanam Modal Dalam Negeri maupun Penanam Modal Asing tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikian saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.



KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA AUTENTIK/NOTARIS DAN AKTA DI BAWAH TANGAN



Walapun istilah akta autentik sudah diketahui artinya secara umum, namun di masyarakat istilah ini masih belum jelas sekali makna dan pengertiannya khususnya dalam kaitannya sebagai alat bukti. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk membuatnya menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang berisikan perjanjian atau kemauan dari para pihak.


Autentik artinya dapat dipercaya karena dibuat dihadapan seorang Pejabat umum yang ditunjuk untuk itu yang dalam hal ini biasanya adalah seorang Notaris. Sehingga akta yang buat dihadapan Notaris tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti di depan Pengadilan.


Sedangkan istilah surat di bawah tangan adalah istilah yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada akta autentik di atas. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut. Sedangkan kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut.


Lain halnya dengan akta autentik, akta autentik atau biasa disebut juga akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat dijadikan bukti di Pengadilan tanpa terlepas dari ada pihak-pihak yang tidak mengakui adanya perjanjian yang telah dibuat dan berlaku bagi pihak ketiga. Dalam akta notaris/autentik dapat dijamin kepastian tanggalnya.


Misalnya suatu akta mengenai pinjam meminjam dimana A meminjamkan kepada B sejumlah uang, maka akta itu membuktikan bahwa benar A ada meminjamkan uang kepada B dengan jumlah tersebut pada tanggal tertentu (pasti), dengan syarat-syarat tertentu yang dibuktikan dengan adanya akta tersebut. Sehingga apabila terjadi masalah antara A dan B akta tersebut dapat dijadikan sebagai bukti di muka Pengadilan dan hakim tidak perlu lagi untuk meminta tanda bukti lainnya.



SURAT KETERANGAN WARIS



Mengenai Surat Keterangan waris sampai saat ini tidak ada peraturan yang mengatur secara spesifik. Dalam prakteknya dibedakan dengan dua istilah yang hampir sama tetapi berbeda dari Instansi yang mengeluarkan Surat Keterangan Waris tersebut.


Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Surat Keterangan Hak Waris tersebut sebagai awal bagi kelanjutan dibuatnya Akta pembagian Harta Peninggalan. Berdasarkan Surat Keterangan Hak Waris tersebut nantinya akan dibuat suatu akta yang berisikan rincian pembagian harta peninggalan dari Pewaris misalnya rumah, tanah dll (akta Pembagian Pemisahan Harta Peninggalan). Dalam akta tersebut akan disebutkan nama-nama ahli waris berikut harta peninggalan yang menjadi bagiannya.


Namun dalam praktek sehari-harinya lebih banyak ditemui berupa Surat Keterangan Waris. Surat Keterangan Waris ini secara umum hanya berisikan keterangan dan pernyataan dari para ahli waris bahwa mereka adalah benar-benar merupakan ahli waris yang sah dari Pewaris yang telah meninggal dunia. Dibuat di bawah tangan yang dikuatkan dan/atau dikeluarkan oleh Kelurahan dan diketahui/dikuatkan oleh Camat, untuk keperluan-keperluan tertentu Surat Keterangan tersebut dapat pula di waarmerking oleh Notaris setelah adanya keterangan dari Kelurahan setempat.


Kegunaan Surat Keterangan Waris jenis ini biasanya untuk membuktikan bahwa benar ahli waris yang disebutkan dalam Surat Keterangan tersebut adalah ahli waris yang sah dari Pewaris.


Biasanya diperlukan untuk pencairan uang tabungan/deposito Pewaris di Bank, untuk transaksi Jual Beli tanah yang sertifikatnya masih atas nama Pewaris, dll. Untuk pembuatannya tentunya diperlukan dokumen-dokumen pelengkap seperti Surat Kematian, Kartu Tanda Penduduk para ahli waris dan Kartu Keluarga.



LEGALISASI DOKUMEN UNTUK DIGUNAKAN DI LUAR NEGERI



Dalam dunia bisnis yang semakin berkembang secara global sekarang ini hubungan perdagangan dengan negara-negara lain di luar Indonesia semakin meningkat. Apakah itu dalam kaitannya dengan Penanaman Modal Asing ataupun hanya bentuk kerja sama secara operasional. Oleh karena itu lalul lintas dokumen yang akan dipergunakan di luar negeri pun semakin meningkat.


Namun agar dapat dipergunakannya dokumen tersebut di luar negeri harus dilegalisasi terlebih dahulu. Misalnya saja satu salinan akta notaris yang akan dipakai di luar negeri. Untuk tahap pertama legalisasi ini dilakukan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Legalisasi ini sebenarnya legalisasi terhadap tanda-tangan Notaris yang bersangkutan. Karena Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pasti menyimpan contoh tanda-tangan para Notaris mengingat sebelum seorang Notaris berpraktek, ia harus mengirimkan contoh tanda-tangannya ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.


Tahap selanjutnya adalah mengirimkan salinan akta tersebut ke Departemen Luar Negeri dan terakhir di legalisasi di Kedutaan Besar negara tempat dimana akta tersebut akan dipergunakan. Hal ini juga berlaku bagi dokumen lainnya setelah diwaarmerking oleh Notaris.



LEGALISASI, WAARMERKING DAN PENCOCOKAN FOTOCOPY


Suatu hari seseorang datang ke Kantor Notaris dan menyatakan dia ingin me legalisasi atau me ‘legalisir’ dokumen yang dimilikinya. Dokumen itu berisikan perjanjian yang telah dibuat di bawah tangan dengan tanda-tangan para pihak di atas meterai.


Ternyata yang dimaksudkan orang tersebut dalam istilah kenotariatan adalah bukan legalisasi melainkan Waarmerking. Memang dalam pengertian yang diketahui secara umum hal yang ingin dilakukan orang tersebut adalah legalisasi, tapi yang sebenarnya adalah bukan legalisasi sebagaimana pengertian hukum yang sebenarnya. Tapi Waarmerking. Kenapa Waarmerking ? karena dokumen perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak sendiri dan telah ditanda tangani para pihak sebelumnya pada suatu saat tertentu. Sehingga apabila di bawa ke Kantor Notaris maka hanya bisa didaftarkan pada buku daftar Surat di Bawah Tangan yang ada pada Kantor Notaris tersebut.


Legalisasi dalam pengertian sebenarnya adalah membuktikan bahwa dokumen yang dibuat oleh para pihak itu memang benar-benar di tanda tangani oleh para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu diperlukan kesaksian seorang Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk itu yang dalam hal ini adalah Notaris untuk menyaksikan penanda tanganan tersebut pada tanggal yang sama dengan waktu penanda tanganan itu. Dengan demikian Legalisasi itu adalah me-legalize dokumen yang dimaksud dihadapan Notaris dengan membuktikan kebenaran tandan tangan penada tangan dan tanggalnya.


Selain Waarmerking dan Legalisasi sebagaimana tersebut diatas, biasanya para pihak juga melakukan pencocokan fotocopy yang kadangkala diistilahkan dengan istilah yang sama yaitu “legalisir”.


Dalam prakteknya hal yang dilakukan untuk istilah “legalisir” ini adalah mencocokan fotocopy suatu dokumen dengan aslinya dengan judul Pencocokan Fotocopy. Pada fotocopy tersebut akan di-stempel/cap disetiap halaman yang di fotocopi dengan paraf Notaris dan halaman terakhir dari Pencocokan Fotocopy tersebut akan dicantumkan keterangan bahwa fotocopy tersebut sama dengan aslinya.


ADOPSI ANAK OLEH WNA BOLEHKAH?


Beberapa waktu yang lalu ada seorang teman penulis yang menanyakan bagaimana kemungkinannya apabila ia diadopsi oleh seorang Warga Negara Asing. Kebetulan teman penulis tersebut selama ini mempunyai hubungan yang sangat baik dengan satu keluarga Asing yang sudah cukup lama menetap di Indonesia. Hubungan diantara mereka sudah sedemikian baiknya sehingga Warga asing tersebut menginginkan dirinya untuk diangkat sebagai anak.


Dalam peraturan yang mengatur tentang pengangkatan anak di Indonesia (adopsi) telah ditentukan beberapa syarat untuk dapat melakukan adopsi tersebut.


Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang Warga Negara Asing ingin mengangkat anak yang berstatus Warga Negara Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak antara lain disyaratkan :

1. Calon orang tua angkat berstatus kawin dan minimal berumur 25 tahun – maksimal 45 tahun. Pada saat mengajukan permohonan tersebut minimal mereka sudah menikah selama 5 tahun, tidak memungkinkan untuk memiliki anak sendiri yang harus dibuktikan dengan dokumen tertulis seperti keterangan dokter ahli, tidak memiliki anak atau hanya memiliki satu orang anak kandung, atau hanya mempunyai seorang anak angkat tetapi tidak memiliki anak kandung.


2. Kondisi keuangan dan sosial dalam keadaan yang mapan yang harus dibuktikan dengan adanya surat keterangan dari negara asal pemohon;


3. Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah negara asal pemohon;

4. Surat Keterangan kelakuan baik dari Kepolisian RI;


5. Keterangan dokter yang menyatakan sehat jasmani dan rohani.


6. Telah menetap di Indonesia sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari pejabat yang berwenang yaitu Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II setempat;

7. Telah merawat dan memelihara anak yang akan diangkat tersebut sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan untuk anak yang dibawah umur 3 (tiga) tahun dan selama 1 (satu) tahun unutk anak yang berumur 3 – 5 tahun.


8. Surat pernyataan secara tertulis yang menyatakan bahwa pengangkatan tersebut memang semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan anak ybs.


Selanjutnya akan diadakan pemeriksaan lebih lanjut terhadap dokumen-dokumen lainnya yang menyangkut calon orang tua angkat yang antara lain : Surat Nikah, Akte Kelahiran dan Keterangan kesehatan, Keterangan mengenai penghasilan, Persetujuan dari instansi yang berwenang mengenai pengangkatan anak/bayi Indonesia, dan Surat penelitian/keterangan dari instansi/lembaga sosial yang berwenang di negara asal calon orang tua angkat.


Sedangkan persyaratan untuk calon anak yang dapat diangkat/diadopsi adalah anak yang berumur kurang dari 5 (lima) tahun, berada dalam asuhan organisasi sosial dan memperoleh persetujuan dari orang tua/wali apabila orang tua anak tersebut diketahui masih ada. Dengan demikian pertanyaan teman penulis dan harapan akan adanya pengangkatan oleh keluarga asing tersebut tidak dapat terpenuhi mengingat batasan umur untuk pengangkatan anak adalah maksimum 5 (lima) tahun.


Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984

PROSES BALIK NAMA SERTIFIKAT DENGAN ADANYA PEWARISAN


Pada artikel sebelumnya sudah disinggung mengenai istilah Balik Nama dalam hubungannya dengan transaksi Jual Beli tanah. Dalah hal jual beli tersebut hanya menyangkut Jual Beli dari pihak penjual kepada pihak pembeli dengan kondisi si penjual masih hidup, maka proses yang terjadi cukup dalam satu tahapan saja, yaitu proses balik nama dari penjual dan ke pembeli.


Bagaimana halnya apabila nama pemilik yang tertera di dalam sertifikat tersebut sudah meninggal dunia ?


Untuk hal ini memerlukan suatu tahapan lagi sebelum dilakukannya balik nama. Dengan meninggalnya si pemilik sedangkan tanah tersebut hendak di jual oleh para ahli warisnya, maka harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Waris. Surat Keterangan Waris ini bisa kita urus di Kelurahan/Kecamatan setempat dengan melampirkan surat kematian dari almarhum.


Selanjutnya dilakukan proses Balik Nama Waris oleh Kantor Pertanahan setempat, yaitu balik nama yang dilakukan dari nama almarhum kepada nama para ahli waris yang ada yaitu isteri beserta anak-anaknya. Sehingga nantinya akan tercantum nama para ahli waris tersebut di dalam sertifikat. Setelah adanya Balik Nama ke para ahli waris tersebut barulah di proses balik namanya kepada Pembeli. Pada akhirnya nama Pembeli akan dicantumkan pada sertifikat dengan mencoret nama para ahli waris yang ada sebelumnya.


Ada kewajiban tambahan bagi Pihak Penjual (selain pembayaran Pajak Penghasilan) dalam hal ini yaitu pembayaran Pajak Waris. Hal ini diatur dalam PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2000 TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT .


Pasal 2 dari Peraturan Pemerintah ini menyatakan :

‘Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.’


Jadi sebelum semuanya diproses lebih lanjut maka Penjual juga diwajibkan untuk membayar Pajak berdasarkan perolehan hak yang diperolehnya karena kewarisan.



TANAH DENGAN STATUS GIRIK DAN SERTIFIKAT


Sebelum seseorang membeli tanah, hendaknya ditanyakan kepada penjual dan diperiksa terlebih dahulu mengenai status tanah. Sebagian tanah-tanah yang ada di Jakarta dan sekitarnya, masih ada yang berstatus girik.


Girik sebagaimana dimaksud diatas tadi, sebenarnya bukanlah merupakan bukti hak kepemilikan hak atas tanah. Tapi sebagian masyarakat kita masih mengartikan bahwa dengan adanya girik tersebut berarti status tanah ybs sudah berstatus hak milik. Tanah dengan status girik adalah tanah bekas hak milik adat yang belum di daftarkan pada Badan Pertanahan Nasional. Jadi girik bukanlah merupakan bukti kepemilikan hak, tetapi hanya merupakan bukti penguasaan atas tanah dan pembayaran pajak atas tanah tersebut.


Keberadaan girik itu sendiripun harus ditelusuri asal muasalnya. Jadi apabila akan mengadakan transaksi jual beli dengan status tanah girik, maka harus pula dipastikan bahwa nama yang tertera di dalam girik tersebut harus sama dengan nama yang tertera dalam akta jual beli milik si penjual.(karena transaksi jual beli sebelumnya seharusnyalah dengan akta jual beli ataupun peristiwa hukum lainnya yang dapat dibuktikan dengan dokumen pendukung yang dapat diterima yang merupakan sejarah kepemilikan tanah sebelumnya).


Selanjutnya girik dan akta jual beli yang dibuat kemudian antara penjual dan pembeli tersebut harus segera di daftarkan ke Kantor Pertanahan setempat. Girik dapat dijadikan dasar bagi permohonan hak atas tanah, karena secara prinsip Hukum Pertanahan kita berdasarkan pada Hukum tanah adat. (pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara....dst”


Secara garis besarnya yang akan dilakukan oleh Kantor Pertanahan selanjutnya adalah Pengukuran sebagai dasar bagi pembuatan Gambar Situasi, Penelitian dan pembahasan oleh Panitia A, pengumuman atas permohonan yang diajukan oleh pembeli atau kuasanya, penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak dan terakhir adalah penerbitan Sertifikat atas nama pembeli. Proses awal sampai akhir akan memakan waktu kurang lebih 90 (sembilan puluh) hari kerja.


Jadi, setelah adanya Sertifikat, maka barulah dapat dikatakan bahwa nama yang tertera di dalam sertifikat tersebut adalah benar-benar merupakan orang yang memiliki hak penuh atas tanah tersebut dan telah memiliki bukti kepemilikan yang kuat.

Prinsip sifat mengikatnya suatu Perjanjian/Kontrak

Prinsip sifat mengikatnya suatu Perjanjian/Kontrak

dalam hal terjadi Perubahan Keadaan

menurutKlausula Rebus sic stantibus (Hukum Kanoniek), Klausula

Kepatutan (KUHPdt)dan Klausula Hardship (UNIDROIT)



Tidaklah afdol jika kita membahas Hukum Kontrak apabila tidak dimulai dari pembahasan mengenai asas kebebasan berkontrak ( contracs vrijheid atau party autonomie ); yang merupakan tiang pokok bangunan Hukum Perdata dibidang Hukum Perikatan.


Dan asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPdt yang jika kita analisa terdiri dari 3 asas utama yaitu Asas konsensualisme ( terjadinya perjanjian cukup dengan adanya persetujuan kehendak para pihak), Asas kekuatan mengikat dari perjanjian ( perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ) dan Asas kebebasan berkontrak ( para pihak bebas menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian.


Dalam perjalanan waktu terhadap asas kebebasan berkontrak ini dipandang perlu untuk diadakan pembatasan terhadap batas-batas kebebasannya; oleh karena manusia disamping sebagai mahluk individu, dia merupakan mahluk sosial dan keberadaan hukum tidak hanya untuk melindungi kepentingan individu namun juga kepentingan masyarakat.


Dalam artikel ini penulis akan mengulas mengenai sifat mengikat suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi suatu perubahan keadaan. Suatu perubahan keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam kesulitan untuk memenuhi prestasi yang diwajibkan dalam perjanjian yang dibuatnya, dan hal tersebut bukanlah suatu keadaan memaksa ( overmacht/force majeure ).


Agar lebih memudahkan pembahasan selanjutnya, maka terlebih dahulu penulis memberikan sedikit gambaran perbedaan antara Keadaan Memaksa ( Force majeure ) dan Perubahan Keadaan.


Pada Keadaan Memaksa keadaan yang berubah itu membuat tidak mungkinnya atau terhalangnya pemenuhan prestasi; sedangkan pada Perubahan Keadaan, berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, karena apabila itu dipenuhi, maka salah satu pihak akan menderita kerugian.


Dan apabila dianalisa lebih lanjut maka pada Keadaan Memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, sebaliknya pada Perubahan Keadaan, pemenuhan prestasi dari debitur adalah sangat berat dilaksanakan.


Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dam keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi; sedangkan dalam prubahan keadaan titik beratnya terletak pada posisi kreditur apakah pihak kreditur berdasarkan itikad baik dan kepatutan dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.


Semenjak abad petengahan pihak dalam perjanjian tidak mau dirugikan oleh terjadinya suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, sehingga pihak tersebut berlindung pada janji gugur secara diam-diam yang disebut sebagai klausula Rebus sic stantibus.


Klausula ini menyatakan bahwa perjanjian dianggap berlaku secara tetap selama keadaan tidak berubah dan kalau keadaan berubah maka perjanjian menjadi gugur.


Jadi dalam klausula ini tidak dibedakan apakah ketidak-dapatan pemenuhan prestasi diakibatkan oleh keadaan memaksa atau sekedar perubahan keadaan; sehingga di masa itu pihak debitur begitu mengalami suatu perubahan keadaan dapat berlindung pada janji gugur; ini berarti perjanjian menjadi batal demi hukum dengan adanya perubahan keadaan.


Dalam perkembangannya Klausula Rebus sic Stantibus mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai membedakan antara keadaan memaksa dan perubahan keadaan, sehingga dalam pasal 1245 KUHPdt sebagai suatu alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond) bagi Debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya/prestasinya, dengan alasan bahwa akan bertentangan dengan kepatutan jika debitur dalam keadaan seperti itu tetap diwajibkan memenuhi prestasinya yang sebenarnya tidak dapat ia laksanakan.


Namun sejak tahun 1915 keputusan-keputusan Hakim sudah mulai meninggalkan force majuere / overmacht untuk menyelesaikan hal-hal mengenai perubahan keadaan dan telah mempergunakan pasal 1338 ayat 3 KUHPdt sebagai pedoman.


Hal ini dipelopori oleh Levebach dengan teorinya “economies synallagma” yang artinya harus adanya keseimbangan antara kedua belah pihak dalam pengertian ekonominya, jadi antara prestasi dan kontra prestasi secara timbal balik adalah seimbang nilainya dan apabila terjadi ketegangan yang secara obyektif merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, hal ini merupakan resiko yang harus dipikulnya. Sehingga dengan demikian dalam hal terjadi perubahan keadaan perlulah diperhatikan pembagian resiko antara para pihak terhadap suatu

kerugian.


Perkembangan di Indonesia terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 April 1955 mengenai Sengketa Kebon Kopi, yang singkatnya berbunyi : Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separo dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu.


Jadi menurut Yurisprudensi di Indonesia resiko atas perubahan keadaan sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan ( kepatutan) adalah dibagi dua.


Selanjutnya perkembangan dunia komersial pada abad 21 ini membawa perubahan pula terhadap aturan-aturan mnegnai sifat mengikatnya suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi perubahan keadaan telah diatur secara tersendiri diluar ketentuan tentang Keadaan Memaksa (Force Majeure) sebagaimana terlihat dalam Prinsip-prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.


Dalam Bab Pelaksanaan Kontrak pasal 6.2.1 Unidroit diatur bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak ( becomes more onerous for one of the parties), pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya (that party is nevertheless bound to perform its obligations) dengan tunduk pada ketentuan tentang kesulitan.


Ketentuan pasal ini adalah untuk menghormati ketentuan pasal 1.3 mengenai prinsip umum sifat mengikat suatu kontrak ( A contract validity entered into is binding upon the parties…), namun ketentuan sifat mengikatnya suatu kontrak dalam UNIDROIT juga tidak bersifat mutlak, yaitu apabila ada perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan dan merupakan prinsip-prinsip yang diatur dalam Klausula Hardship ( Klausula Kesulitan).


Definisi Kesulitan (Hardship) adalah peristiwa yang secara fundamental telah mengubah kesimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu :

1. peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan konrak;

2. peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;

3. peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan;

4. resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.


Menurut prinsip hukum modern adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak ( lihat Pasal 6.2.1 UNIDROIT ). Oleh karena itu adanya kesulitan (hardship) tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.


Catatan penulis : kategori suatu perubahan disebut perubahan biasa atau sebagai suatu perubahan fundamental; harus ditafsirkan secara kasus per kasus, oleh karena UNIDROIT sendiri hanya mengatur indikator suatu perubahan yang bersifat fundamental yaitu adanya kenaikan ongkos pelaksanaan kontrak dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak.


Akibat hukum apabila terjadi Kesulitan (Hardship), maka sesuai pasal 6.2.3 :

1. Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus segera diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya.

2. Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak.

3. Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke Pengadilan.

4. Apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan ( hardship) maka pengadilan dapat memutuskan untuk :

- mengakhiri kontrak pada tanggal dan atas syarat-syarat yang ditetapkan secara

pasti ( terminate a contract at a date and on terms to be fixed);

- mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.


Kesimpulan :

Sesuai perkembangan jaman maka isi formil dari perjanjian sering harus menyisih demi kepantasan dan kepatutan.

Perubahan Keadaan tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian, kecuali terjadi perubahan itu bersifat fundamental dan oleh karena itu telah masuk ke dalam ranah Keadaan Memaksa ( Force Majeure).

Saran :

Para notaris harus memulai memikirkan perbedaan-perbedaan perubahan keadaan dalam pelaksanaan suatu perjanjian; sudah waktunya untuk menuangkan klausula Kesulitan ( Hardship Clause ) disamping klausula Force Majeure dalam setiap akta mengenai perbuatan hukum kontrak yang dibuatnya ( maksudnya suatu perjanjian yang pelaksanaannya mempunyai jangka waktu tertentu/ perjanjian berjangka waktu, misalnya : Perjanjian Kerja Sama,

Perjanjian Pemborongan, Perjanjian Pembangunan, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian/ Kontrak Suplai, dll ).

Contoh kasus yang sederhana misalnya perlu dibedakan perubahan harga oleh karena terjadinya fluktuasi kurs antara mata uang Rupiah dengan mata uang asing, dalam kasus ini bukan termasuk klausula Keadaan Memaksa ( Force Majeure) namun masih dalam taraf Klausula Hardship, sehingga Debitur tetap wajib melaksanakan kewajibannya. Keadaan seperti ini dapat kita tegaskan dalam akta mengenai tolok ukur / kriteria kapan fluktuasi kurs dapat

dikategorikan sebagai Keadaan Kesulitan atau kapan sebagai Keadaan Memaksa, misalnya dengan menentukan para pihak wajib menyesuaikan harga apabila fluktuasi kurs telah mencapai lebih dari 50 % dari kurs semula sejak di tanda tanganinya akta, dengan kewajiban masing-masing pihak menanggung sebagian sama besarnya terhadap selisih kurs tersebut, ....dst dst.

Sudah waktunya untuk memperhatikan unsur kepantasan dan kepatutan dalam Akta Otentik yang dibuat dihadapan Notaris; yang oleh karena itu Pihak Notaris sebagai pihak yang mengkonstatir kehendak para pihak ke dalam akta sudah selayaknya memberikan masukan dan pertimbangan kepada para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian dalam hal terjadi perubahan keadaan sebagaimana diuraikan di atas.


Sby060409

Salam sejahtera

Jusuf Patrick

Sistematika KUH Perdata Dan Pembagian Hukum Perikatan


A. PENDAHULUAN

Basis Hukum Nasional sebagaimana kita ketahui masih bersumber dari hukum yang telah diletakkan oleh kolonial –dalam hal ini Belanda. Begitu pula dengan hukum perikatan sebagai bagian dari lingkup hukum perdata masih bertumpu dengan yang telah digariskan Belanda. Ketentuan tentang perikatan ini diatur dalam BW pada Buku III. Secara sistematis diatur ketentuan-ketentuan secara umum atau khusus emngenai perikatan. Untuk jelasnya dalam tulisan ini akan dijelaskan sitematika dan ulasan singkat KUH Perdata Buku III dan beberapa penjelasan Macam Hukum Perikatan yang dilihat dari seumber perikatan terjadi.

B. PEMBAHASAN

a. Sistematika KUHPerdata Tentang Perikatan[1]

Buku III BW mengatur mengenai hukum perikatan. Bagian umum terdiri dari empat, dan bagian khusus terdiri dari lima belas bab. Bagian umum bab pertama mengatur ketentuan-ketentuan untuk semua perikatan, baik yang timbul dari persetujuan maupun undang-undang,. Bertentangan dengan judulnya yang berbunyi: “Tentang perikatan-perikatan pada umumnya”, Bab I mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi persetujuan saja. Sebagian besar dari bab ini ditujukan kepada pembagian perikatan-perikatan. Hal ini mengoper secara hurufiah Code Perancis, sedangkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Code diperuntukkan bagi perikatan yang timbul dari persetujuan.

Dalam Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan.

Dalam Bab III yang berjudul: “Perikatan-perikatan yang timbul dari undang-undang” hanya terdapat dua ketentuan umum, yaitu pasal 1352 dan pasal 1353 dan selanjutnya mengatur tiga perikatan-perikatan khusus yang terjadi karena undang-undang, yaitu perwakilan sukarela, pembayaran yang tidak terutang dan perbuatan melawan hukum. Menurut Pitlo[2] tiga perikatan khusus tersebut seharusnya ditempatkan dalam persetujuan-persetujuan tertentu.

Bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara hapusnya perikatan-perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena persetujuan atau undang-undang.

Bab V sapai dengan Bab XVIII dan Bab VII A mengatur mengenai persetujuan-persetuan bernama (tertentu). Dalam bab ini terdapat persetujuan-persetujuan yang seringkali dibuat dalam masyarakat misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, pemberian kuasa dan sebagainya. Selain itu terdapat juga persetujuan-perserujuan yang tidak begitu penting artinya bagi masyarakat.: tukar-menukar, pinjam pakai, bunga tetap, dan bunga abadi. Beberpa persetujuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang: perseroan, asuransi, komisioner, makelar dan pengangkutan.

Bagian umum mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum perikatan, sedangkan bagian khusus membahas lebih lanjut ketentuan-ketentuan pokok tersebut untuk hal-hal khusus. Dalam ketentuan-ketentuan khusus adakalanya terdapat ketentuan-ketentuan yang hanya mengulangi apa yang telah diatur dalam bagian umum. Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan yang merupakan pengecualian dai ketentuan-ketentuan pokok.

Seringkali dari ketentuan-ketentuan khusus dapat ditarik suatu ketentuan pokok yang dapat dipergunakan bagi semua perikatan yang terjadi dari hubungan-hubungan yang sejenis.

Bagian V lama Bab VI, yang berdasarkan S.1879-256 dinyatakan berlaku bagi golongan pribumi dan yang dismakan diganti dengan Bab VII A berdasarkan S.1926-335 jis 458, 565 dan S.1927-108. akan tetapi menurut pasal VI ketentuan-ketentuan penutup) dari S.1926-335, bagian V lama masih dinyatakan berlaku bagi golongan Pribumi, Tionghoa, dan Timur Asing lainnya.

Walaupun banyak persetujuan yang belum diatur dalam UU, akan tetapi karena azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU, maka tidak tertutup kemungkinan bagi para pihak untuk membuat persetuan-persetujuan tersebut.

Peraturan per-UU-an mengenai hukum persetujuan bersifat menambah (aavullend recht), yang artinya pihak-pihak dalam membuat persetujuan bebas untuk menyimpang dari ketentuan yang tersebut dalam BW.

Mengenai kebebasan pihak-pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan diadakan beberapa pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan.

Untuk lebih jelasnya secara sistematis Buku III KUH Perdata Indonesia berisi:[3]

Bab I Perikatan Pada Umumnya

Bab II Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan

Bab III Periaktan yang Lahir karena Undang-Undang

Bab IV Hapusnya Perikatan

Bab V Jual Beli

Bab VI Tukar Menukar

Bab VII Sewa Menyewa

Bab VIIA Perjanjian Kerja

Bab VIII Perseroan Perdata

Bab IX Badan Hukum

Bab X Penghibahan

Bab XI Penitipan Barang

Bab XII Pinjam Pakai

Bab XIII Pinjam Pakai Habis

Bab XIV Bunga Tetap dan Bunga Abadi

Bab XV Persetujuan Untung-untungan

Bab XVI Pemberian Kuasa

Bab XVII Penanggungan Utang

Bab XVIII Perdamaian

b. Jenis-Jenis Hukum Perikatan

i. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overenkomst (Belanda) atau contact (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian, yakni tori lama dan teori baru. Pasal 1313 KHU Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Definisi perjanjian dalam pasal ini adalah: 1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2. tidak tampak asas konsensualisme, dan 3. bersifat dualisme. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan didalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.[4]

Teori baru dikemukakan oleh Vn Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah:

“suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Teori tersebut tidak hanya melihat persetujuan semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalm mmebuat perjanjian, yaitu:

1. tahap pracontractual, yaitu penawaran dan penerimaan,

2. tahap contarctual, yaitu persetujuan pernyataan kehendak antara para pihak,

3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

1. Syarat-syarat Perjanjian

Mengenai hal syarat-syarat perjanjian didalam hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KHU Perdata menentukan empat syarat sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan terjadinya persesuaian pernyataan, ada empat teori, yakni:

1. Teori Ucapan (ultingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

2. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram.

3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

4. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditor dan debitor. adakalnya tidak ada persesuaian. Mengenai ketidaksesuaian ini ada tiga teori yang menjawab, yaitu:

1. Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.

2. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jiak terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

3. Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkabn perjanjian.

Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga toeri diatas sebgai berikut:

1. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak yang menganggap perjanjian terjadi jika tidak terjadi persesuaian, pemecahannya: pihak lawan mendapat ganti rugi, karena pihak lawan mengharpkannya.

2. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak, hanya pelaksnaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.

3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract), yaitu suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum didalamnya. Biasanya dalam bentuk formulir.[5]

b. Kecakapan bertindak

Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh UU yaitu orang yang sudah dewasa dengan ukuran umur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berumur meliputi: anak dibawah umur, orang dibawah pengampuan, dan isteri (pasal 1330 KHU Perdata), tetapi isteri dapat melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 31 UU No. 1 tahun 1974 jo. SEMA no. Tahun 1963.

c. Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalh apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor.[6] Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata)

d. Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)

Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Dalam pasal 1337 KHU Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.

1. Bentuk-bentuk Perjanjian

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga jenis perjanjian tertulis:

1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja.

2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

Perjanjian ynag dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hdapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.

1. Interpretasi dalam Perjanjian

Penafsiran tentang perjanjian diatur dalam pasal 1342 s.d 1351 KUH Perdata. Pada dasarnya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dimengeti dan dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak. Dengan demikian, maka isi perjanjian ada yang kata-katanya jelas dan tidak jelas sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Untuk melakukan penafsiran haruslah dilihat beberapa aspek, yaitu:

1. jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran, maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (pasal 1343)

2. jika suatu janji dalam memberikan berbagai penafsiran, maka harus diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksnakan (pasal 1344)

3. jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dnegan sifat perjanjian (pasal 1345)

4. apabila terjadi keraguan-keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang mengikatkan dirnya untuk itu (pasal 1349)

1. Fungsi Perjanjian

Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yurudis dan fungsi ekonomis. Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.

1. Biaya dalam Pembuatan Perjanjian

1. Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang mana yang diinginkan dan biaya penentuan bernegosiasi,

2. Biaya negosiasi, meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak, dan biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci,

3. Biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang objek,

4. Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan arbitrase,

5. Biaya kekliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.

ii. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang

Perikatan yang lahir karena UU diatur dalam pasal 1352 s.d 1380 KUH Perdata. Perikatan yang lahir dari UU adalah suatu perikatan yang timbul/lahir/adanya karena telah ditentukan dalam UU itu sendiri.

Perikatan yang lahir dari UU dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Perikatan yang lahir dari UU saja, adalah perikatan yang timbul karena adanya hubungan keluargaan. Contohnya alimentasi atau nafkah anak untuk orang tua yang tidak mampu.

2. Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia. Perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi: perbuatan yang dibolehkan dan melanggar hukum (pasal 1365). Yang termasuk yang dibolehkan adalah pembayaran tak terutang (pasal1359 KUH Perdata, 1395 s.d 1400 NBW) dan zaakwaarneming (pasal 1354 KUH Perdata, 1390 s.d 1394 NBW)

Unsur-unsur pembayaran tak terutang meliputi: pembayaran dengan perkiraan ada suatu utang, dan pembayaran itu dapat dituntut kembali. Unsur-unsur zaakwaarneming meliputi: secara sukarela mengurus kepentingan pihak lain tanpa dibebani kewajiban hukum, perbuatan yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak yang diurusnya karena secara diam-diam pihak yang mengurus telah mengikatkan dirinya untuk melanjutkan penyelesaian perbuatannya, dan kedudukan pihak yang mengurus dapat beralih menjadi penerima kuasa.

iii. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan sebagai sumber hukum perikatan tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, namun putusan pengadilan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam hukum periaktan karena putusan pengadilan dapat melengkapi kelemahan-kelemahan dan stagnasi (hambatan) dalam penegakan hukum.

Didalam Seminar Hukum Nasional keenam tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional dalam PJPT II yang diselenggarakan pada tanggal 25-29 Juli 1994 telah diambil kesimpulan sebagi berikut:

1. Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk mendampingi berbgai peraturan per-UU-an dalam penerapan hukum, dalam upaya mewujudkan standar pengaturan hukum.

2. Tanpa Yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman bisa mengalami kemandulan dan stagnasi.

3. Yurisprudensi bertujuan agar UU tetap aktual dan efektif.

4. Peranan yurisprudensi dalam pembaharuan hukum nasional cukup strategis.

5. Diperlukan langkah-langkah sitematis untuk menjadikan yurisprudensi tetap sebagai sember hukum nasional.

6. Asas kebebasan hakim tidak menghalangi usah untuk menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum nasional.[7]

Dari seminar ini tampaklah putusan pengadilan menjadi sumber hukum nasional, khususnya perikatan. Diantara putusan pengadilan yang penting dalam hukum perikatan adalah putusan H.R 1919 tentang panafsiran perbuatan melawan hukum. Didalam putusan itu bahwa yang dikatakan perbuatan melawan hukum tidak hanya melawan hukum UU saja, tetapi juga melanggar hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dengan adanya putusan tersebut, maka setiap hakim dapat berpedoman pada rumusan itu dalam memutuskan tentang perbuatan melawan hukum.

C. PENUTUP

Ketentuan tentang perikatan ini diatur dalam BW pada Buku III, yang didalamnya termaktub juga sumber Hukum Perikatan yang terdiri dari dua macam, perjanjian dan Undang-Undang. Sedangkan Salim HS menambahkan satu lagi yakni Yurisprudensi sebagai pelengkap dari ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam BW.

DAFTAR PUSTAKA

R. Setiawan,SH, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet. IV, 1987.

Salim HS,SH,MS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika, Cet. II, 2003.

Soedharyo Soimin, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sianr Grafika, cet. III, 2001.

[1] Lihat: R. Setiawan,SH, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet. IV, 1987, h. 9-11.

[2] A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar Hederlands Burgerlijk Wetboek, H.D. Tjeenk & Zoon, NV Harlem 1952 hal. 25, seperti yang dikutip oleh R. Setiawan,SH, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet. IV, 1987, h. 10.

[3] Soedharyo Soimin, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sianr Grafika, cet. III, 2001, h. viii-ix

[4] Salim HS,SH,MS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika, Cet. II, 2003, h. 160

[5] Mertokusumo, 1987:20

[6] Yahya Harahap, 1986:10; Mertokusumo, 1987:36.

[7] BPHN, 1994: 178.

Sumber : http://aafandia.wordpress.com