Minggu, 14 Juni 2009

Mencermati Putusan MK tentang Pasal 27 ayat (3) UU ITE


I. Pendahuluan
Permohonanan Pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Amrie Hakim, Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, PBHI, AJI Indonesia, dan LBH Pers dalam Perkara No 2/PUU-VII/2009 bersama-sama dengan Narliswandi Piliang dalam Perkara No 50/PUU-VI/2008 kandas sudah.

Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.

Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda, Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.


II. Kemerdekaan Berekspresi dan Hak Atas Reputasi
Kemerdekaan Berekspresi dalam hukum Internasional diatur dalam Pasal 19 baik itu dalam Deklarasi Universal HAM dan juga Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Sementara dalam UUD 1945, perlindungan terhadap kemerdekaan berekspresi secara khusus diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F.

Dalam konsteks hukum internasional, pelaksanaan terhadap Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dapat dirujuk pada Pendapat Umum No 10 Kemerdekaan Berekspresi (Pasal 19): 29/06/83 dimana berdasarkan Pendapat Umum No 10 (4) tentang Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada pokoknya menegaskan bahwa pelaksanaan hak atas kemerdekaan berekspresi mengandung tugas-tugas dan tanggung jawab khusus, dan oleh karenanya pembatasan-pembatasan pembatasan tertentu terhadap hak ini diperbolehkan sepanjang berkaitan dengan kepentingan orang – orang lain atau kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Namun ada yang lebih dari sekedar pembatasan, karena Komentar Umum 10 (4) juga menegaskan bahwa penerapan pembatasan kebebasan kemerdekaan berekspresi tidak boleh membahayakan esensi hak itu sendiri.

Hak atas reputasi sebagaimana juga hak atas kemerdekaan berekspresi mendapatkan perlindungan dari hukum internasional terutama dalam Pasal 12 Deklarasi Universal HAM dan juga Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Konstitusi Indonesia juga menjamin perlindungan hak atas reputasi ini mendasarkan pada Pasal 28 G. Namun yang menjadi pertanyaan pokok, tepatkah bila asumsi dasar yang digunakan bahwa hanya hukum pidana yang dipandang sebagai satu-satunya cara dari bentuk perlindungan dari negara terhadap hak atas reputasi?

Jika melihat dari beragam putusan dari pengadilan-pengadilan hak asasi manusia berusaha melakukan penyeimbangan terhadap kedua hak tersebut. Beberapa pendapat juga menarik untuk diikuti yaitu pendapat dari Pengadilan HAM Eropa dalam kasus Lingens vs. Austria yang menyatakan bahwa hukuman pidana dalam delik reputasi dapat berakibat tekanan terhadap kemerdekaan berekspresi. Selain itu Inter-American Commission on Human Rights juga mencatat dalam kesimpulan dalam “Report on the Compatibility of “Desacato” Laws With the American Convention on Human Rights” yang pada pokoknya menyatakan bahwa “akan terjadi efek yang menakutkan (hukuman pidana) dalam kemerdekaan bereskpresi”. Selain itu jika melihat pendapat Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1964 menyatakan bahwa “ Even in Livingston’s day [circa 1830s], however, preference for the civil remedy, which enabled the frustrated victim to trade chivalrous satisfaction for damages, had substantially eroded the breach of the peace justification for criminal libel laws.” lebih lanjut Mahkamah Agung Amerika Serikat juga menyatakan bahwa “. . . under modern conditions, when the rule of law is generally accepted as a substitute for private physical measures, it can hardly be urged that the maintenance of peace requires a criminal prosecution for private defamation” (Toby D. Mendel: 2004).

Selain itu Komisi HAM PBB, dalam resolusinya tentang kemerdekaan berekspresi, setiap tahun selalu menyerukan keprihatinannya terhadap berlangsungnya apa yang Komisi HAM PBB namakan “abuse of legal provisions on defamation and criminal libel”. Tiga komisi internasional yang dibentuk dengan mandat untuk mempromosikan kemerdekaan berekspresi yatu UN Special Rapporteur, OSCE Representative on Freedom of the Media dan OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression pada December 2002 juga mengeluarkan pernyataan bahwa “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.”

Berdasarkan data dari Article 19 bahwa beberapa negara seperti Timor Leste (2000), Ghana (2001), Ukraine (2001) and Sri Lanka (2002), telah menghapus delik reputasi dalam KUHPnya masing – masing. Dan negara – negara ini tidak mengalami kenaikan yang signifikan, kuantitaf dan kualitatif, tentang pernyataan yang bersifat menyerang kehormatan sejak mereka menghapus delik reputasi dalam KUHPnya.

Oleh karena itu penulis sependapat dengan Toby Mendel bahwa (1) penggunan hukum pidana dalam delik reputasi adalah cara yang tidak proporsional dalam menangani masalah serangan terhadap kehormatan dan sebagai hasilnya masih munculnya delik reputasi dalam hukum pidana telah menimbulkan efek yang menakutkan dalam kemerdekaan berekspresi dan (2) penggunaan hukum perdata dalam menangani pelanggaran hak atas reputasi adalah proporsional untuk mengembalikan kehormatan dan nama baik


III. Problematika Delik Reputasi
Sejarah delik reputasi sendiri, berdasarkan pendapat Nono Anwar Makarim (2008), dapat ditelusuri hingga ke 1275 saat Statute of Westminster memperkenalkan apa yang dinamakan Scandalum Magnatum yang menyebutkan “ . . . . sejak sekarang tidak boleh lagi orang secara lancang mengutarakan atau menerbitkan berita dan cerita bohong yang dapat menumbuhkan konflik atau kemungkinan konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau orang-orang besar didalam negeri ini”

Scandalum Magnatum sendiri bertujuan menciptakan proses perdamaian dari keadaan yang dapat mengancam ketertiban umum ketimbang untuk melindungi reputasi serta pemulihan nama baik. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Dendam bahkan mengambil posisi lebih penting ketimbang perlindungan reputasi semata. Jaman itu informasi jarang bisa diperoleh dan sulit dikonfirmasi. Desas-desus gampang sekali mengakibatkan adu anggar dan pistol didepan umum. Kadangkala kegaduhan bahkan sedemikian meluas sampai menyerupai pemberontakan. Menurut Mahkamah Agung Kanada tujuan undang-undang tersebut adalah untuk mencegah beredarnya rumor palsu. Dalam masyarakat yang didominasi tuan-tuan tanah yang kekuasaannya begitu besar amarah sipembesar lokal bahkan bisa mengancam keamanan negara.

Delik reputasi di Indonesia, delik genusnya dapat ditemukan dalam Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Ada tiga persoalan pokok dalam memandang delik reputasi dalam KUHP yaitu :

(1) Niat kesengajaan untuk menghina
Meski pada umumnya delik reputasi dalam KUHP mensyaratkan adanya unsur “niat kesengajaan untuk menghina”, namun tampaknya Mahkamah Agung sejak Putusannya No 37 K/Kr/1957 tertanggal 21 Desember 1957 secara konsisten menyatakan bahwa “tidak diperlukan adanya animus injuriandi (niat kesengajaan untuk menghina)” Hal yang menarik dari unsur niat kesengajaan untuk menghina ini dapat ditafsirkan tindakan mengirimkan surat kepada instansi remsi yang menyerang nama baik dan kehormatan orang lain sudah diterima sebagai bukti adanya unsur kesengajaan untuk menghina

(2) Pemisahan opini dan fakta
Delik reputasi dalam KUHP jelas tidak memisahkan secara tegas antara opini dan fakta, tidak adanya pemisahan yang tegas ini dapat mengakibatkan pembuat opini dapat dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini dapat dilihat kasus Bersihar Lubis (2007) yang dipidana bersalah berdasarkan Pasal 207 KUHP

(3) Kebenaran pernyataan
Delik reputasi, terutamanya Pasal 310 KUHP, menurut Juswito Satrio (2005), tidak memerlukan kebenaran suatu pernyataan yang dianggap menghina, dalam bahasa yang sederhana seorang pelacur berhak merasa terhina apabila diteriaki sebagai pelacur. Sementara apabila pelaku delik reputasi diberikan kesempatan oleh Hakim untuk mebuktikan kebenaran tuduhannya namun ia tidak membuktikannya maka terhadap pelaku tersebut dijatuhi dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 KUHP. Oleh karena itu terdapat keterkaitan erat antara Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP

Dari tiga persoalan pokok delik reputasi dalam KUHP tersebut, maka Penulis berpendapat sudah waktunya Indonesia untuk menghapuskan tindak pidana yang terkait dengan reputasi ini dalam hukum pidana Indonesia

IV. Pengabaian Fakta Hukum
Putusan MK No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 terkait dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara jelas telah mengabaikan fakta – fakta yang terungkap di persidangan sebagai berikut

(1) Ketidakjelasan kategorisasi delik
Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas tidak menjelaskan apakah delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik Biasa. Jika merujuk pada pendapat Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dalam sidang pleno pada 19 Maret 2009 yang pada pokoknya menerangkan bahwa kategorisasi delik reputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat tergantung pada delik reputasi dalam KUHP yang di-insert kedalamnya. Dengan kata lain apabila delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik biasa maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik biasa namun jika delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik aduan maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. Dalam pertimbangannya, MK langsung menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE masuk dalam kategori delik aduan, tanpa ada penjelasan teoritis bagaimana MK menemukan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan

(2) Delik reputasi dalam KUHP masih mampu menjangkau ranah internet
Untuk memperkuat permohonannya, bahwa delik reputasi dalam KUHP masih mampu menjangkau ranah internet, para pemohon mengajukan bukti surat dakwaan atas nama Terdakwa Teguh Santosa yang didakwa dengan Pasal 156 a KUHP karena telah memasang gambar kartun “Nabi Muhammad” (yang telah moderasi – Pen) di situs berita Rakyat Merdeka Online. Selain itu Para Pemohon juga membantah pernyataan Saksi Pemerintah, Jaksa Arief Mulyawan, SH, MH yang menyatakan bahwa Pasal 310 KUHP tidak bisa digunakan dalam ranah internet dengan mengajukan contoh kasus Jurnalis Ahmad Taufik yang didakwa mencemarkan nama baik, saat tulisannya tentang kronologis penyerangan kantor Majalah Tempo dimuat di milis dan situs berita detik.com. Dengan kata lain bantahan Para Pemohon tersebut tidak pernah dijawab, baik oleh Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH maupun oleh saksi pemerintah, Jaksa Arief Mulyawan, SH, MH.

Selain itu jika mendasarkan Makalah dari Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dengan judul “Melihat Politik Kodifikasi Dalam Rancangan KUHP” yang dipresentasikan pada 28 September 2006 di Hotel Ibis Tamarin, dimana tulisan tersebut juga diajukan sebagai bukti dalam permohonan tersebut, secara jelas Dr. Mudzakkir, SH, MH menyatakan bahwa “pengaturan di luar KUHP dimungkinkan apabila tidak ada delik genus dalam KUHP yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut benar-benar kejahatan baru yang tidak ada padanannya dalam KUHP, jika ada ketentuan genus-nya dalam KUHP maka cukup dilakukan dengan cara mengamandemen KUHP”. Lebih lanjut dalam tulisan yang sama beliau menyatakan “perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari KUHP karena telah mengatur substansi hukum yang secara diam-diam membentuk sistem hukum pidana sendiri yang berbeda dengan dan tidak terkontrol atau tidak terkendali oleh asas-asas umum hukum pidana buku satu KUHP, padahal sesuai dengan prinsip kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan umum hukum pidana nasional yang semestinya menjadi dasar dan landasan dalam mengembangkan hukum pidana dalam pengaturan perundang-undangan di luar KUHP. Delik-delik atau perbuatan pidana yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP sebagian besar mengambil rumusan delik dari KUHP. Kebijakan yang demikian ini menimbulkan adanya duplikasi dan juga triplikasi yang menyulitkan dalam penegakan hukum pidana, terutama problem pilihan hukum mana yang tepat untuk diterapkan dalam menghadapi perbuatan yang sama. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas”

Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa secara harfiah bahwa unsur di muka umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya. Selain itu dalam pertimbangan hukumnya MK juga menyatakan bahwa Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di dunia maya. Pernyataan MK bahwa Pasal 310 ayat (2) tidak dapat diterapkan dalam ranah dunia maya, dalam pandangan penulis, tidak dapat dilakukan oleh MK karena penafsiran terhadap hukum yang berlaku atau penerapan norma adalah masuk dalam kewenangan MA. Dalam banyak kasus, tidak ada satupun putusan MA terkait dengan penerapan delik reputasi dalam KUHP di dunia maya yang menjelaskan bahwa delik reputasi dalam KUHP tidak bisa menjangkau dunia maya, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa delik reputasi dalam KUHP tidak dapat menjangkau dunia maya

(3) Tidak ada negara hukum modern yang memiliki delik reputasi yang diatur secara khusus untuk penggunaan di ranah internet.
Untuk memperkuat permohonannya, para pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis dari beberapa ahli sebagai berikut

Prof Willem Khortals Altes, Wakil Ketua PN Amsterdam – Belanda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Dutch law has no provision specifically criminalizing defamation if committed through the Internet. There is no doubt, however, that the above mentioned provisions also cover the Internet insofar as they criminalize written statements.”. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa “In 1993, the Law on Computer Criminality was adopted and inserted in the Dutch Wetboek van Strarecht. The 1993 law deals with hacking in various forms (Articles 138a, 161 sexies, 161 septies, 350a and 350b), the use of forged credit and debit cards (Article 232), child pornography (Article 240b), the use of stolen computer data belonging to businesses (Article 273), extortion (Article 317), blackmail (Article 318), the use of telecommunications facilities without pay (Article 326c), and the unlawful use of confidential radio and internet messages (Article 441). In addition, the so-called Cyber Crime Treaty of Budapest of Nov 23, 2001 was implemented in Dutch law, giving rise to further amendments to some of the provisions mentioned in this paragraph. None of these provisions deals with any type of defamation.”

George Bonaventur Hwang Chor Chee, Advokat pada Mahkamah Agung Singapura, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “It has not been Singapore’s legislative policy to create a new category of defamation for the internet, be it civil or criminal. This is evident from the law itself. Tthe government had ample opportunities to do so, especially, when: (1)introducing the Electronic Transactions Act in 1998 and its amendment in 2004; and (2) amending the Penal Code (Cap 224) with the Penal Code Amendment Act 2007 had it been necessary. The fact that it did not is proof that the government considers the law of defamation flexible enough to accommodate the new medium. Most of importantly, when the Ministry of Home Affairs released its “Consultation Paper on the Proposed Penal Code Amendments” on 8 Nov 2006, it made clear that it was going to expand the scope of s499, the section dealing with criminal defamation”. Lebih lanjut beliau menyatakan “The paper expressly mentioned that the Bill seeks to expand the scope of s499, the provision on defamation. This is done through the introduction of “Explanation 5”. This ensures that “the Penal Code keeps abreast of changes, especially technological changes”. The bill could have introduced a new offence for defamation on the internet, which it did not.”

James William Nolan, Advokat Australia, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “the Australian legal framework with respect to civil and criminal defamation and regulation of the internet demonstrates that nothing in Australian law creates a criminal offence of the kind now created in the law of Indonesia. Whereas the publication of ‘defamatory’ materials -whether electronically or by other means – may attract the sanction of the civil law and an aggrieved party may sue for civil damages, there is no crime so potentially far reaching or open to abuse as the crime of publishing ‘insulting’ materials (electronically or otherwise) in the Australian legal system. As pointed out above, the civil law of defamation provides robust defences for publishers/media outlets and these have been significantly enhanced with the recent harmonised law”

MK dalam pertimbangan hukumnya malah mengabaikan fakta-fakta dari tiga pendapat ahli yang disampaikan secara tertulis tersebut dan malah melakukan simplifikasi melalui pernyataan bahwa perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan pencemaran nama baik dengan bantuan internet adalah dapat dituntut atau dihukum. Penulis sama sekali tidak menemukan penjelasan kenapa MK mengabaikan kenyataan bahwa tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan melalui sarana internet di tiga negara ini dapat dilakukan melalui KUHP asal ahli tersebut

(4) Kekaburan Definisi
Dalam permohonannya Para Pemohon dengan baik menunjukkan beragam definisi tentang perbuatan mentransmisikan dan mendistribusikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan juga Black Law Dictionary yang secara diametral sangat berbeda definisinya dalam lapangan praktik. Selain itu pengertian akses sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE jelas berlawanan dengan pengertian akses dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dimana akses menurut Pasal 1 angka 15 dilakukan terhadap sistem elektronik dan bukan terhadap informasi dan/atau dokumen elektonik.

Dalam pertimbangannya MK malah hanya mengambil alih definisi mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya sebagaimana dijelaskan oleh Ahli Pemohon Andika Triwidada. Penulis sama sekali tidak bisa menemukan bagaimana MK dapat mengabaikan definisi resmi yang terdapat KBBI dan juga Black Law Dictionary. Persoalan lain yang sangat mungkin muncul adalah definisi manakah yang akan diambil oleh peradilan umum, mengingat besar kemungkinan pertimbangan dalam putusan MK tidak akan dijadikan rujukan oleh peradilan umum.

Terlihat jelas, bahwa Putusan No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan No 2/PUU-VII/2009 telah mengabaikan beragam fakta hukum yang tampil di persidangan sebagaimana telah penulis sebutkan diatas

V. Bukan Konstitusional Bersyarat
Salah satu yang dapat dianggap kemenangan kecil adalah masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam delik aduan, namun yang harus catatan penting dan harus dicermati dengan baik adalah pernyataan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya ada dalam pertimbangan hukum MK dan bukan masuk kedalam amar putusan atau dalam kesimpulan dari Putusan MK tersebut. Sehingga dalam pandangan penulis, sangat mungkin terjadi apabila aparat penegak hukum malah mengabaikan pertimbangan hukum dari MK tersebut dan mengikuti pandangan dari Dr. Mudzakkir, SH, MH, Ahli pemerintah, yang menyatakan bahwa kategorisasi delik reputasi dalam Pasal 27 ayat (3) mengikuti jenis delik reputasi dalam KUHP yang akan didakwakan.

Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis):

“Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”

Sementara dalam Putusan Perkara No 2/PUU-VII/2009, MK malah menyatakan (garis tebal oleh penulis):

“Bahwa unsur sengaja berarti pelaku menghendaki dan mengetahui perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumentasi elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Unsur tanpa hak dimaksudkan untuk menghindarkan orang yang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik berdasarkan hukum dapat dipidana”

VI. Kesimpulan

Dengan melihat dan mempelajari Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 jo Putusan No 50/PUU-VI/2008 maka dapat diambil kesimpulan bahwa MK telah mengambil garis yang konservatif dalam memandang eksistensi dan penerapan delik reputasi dalam KUHP dalam ranah Internet. Kedua putusan tersebut, dalam pandangan penulis, hanya sekedar memberikan legitimasi keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan cara mengabaikan beragam fakta hukum yang timbul dan muncul dalam persidangan. Dengan pandangan seperti ini, penulis sangat kuatir akan munculnya banyak delik reputasi yang diatur dalam beragam UU.

Sampai saat ini dalam catatan Penulis, delik reputasi telah diatur dalam KUHP, UU Penyiaran, dan juga UU ITE. Dimasa depan, dalam pandangan penulis, akan sangat mungkin muncul delik reputasi dalam RUU Konvergensi Media, RUU Cyber Crime, dan RUU Anti Cyber Crime serta RUU lainnya dengan menggunakan cara berpikir yang dianut oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan meminjam bait terkenal dari sastrawan Widji Thukul maka penulis ingin menyatakan “Hanya Ada Satu Kata, Lawan!”


sumber : Anggara
[The Author is an Advocate and Attorney at Law] [Tulisan ini disadur dari: http://anggara.org/2009/05/25/mencermati-putusan-mk-tentang-pasal-27-ayat-3-uu-ite/]

Tidak ada komentar: