Ketika Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) No. 40 tahun 2007 digulirkan ada pasal yang menjadi pembicaraan. Pasal 74 yang berisikan pewajiban ”tanggungjawab sosial dan lingkungan”. Muncul tanggapan positif dan negatif terhadap pasal itu. Berbagai kalangan menilai adanya pasal 74 itu idealnya harus ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya. Namun sampai akhir tahun 2008 tidak kunjung keluar. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) sempat meminta judicial review terhadap pasal itu kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai kini belum jelas, apakah pengejawantahan pasal 74 itu jadi dikeluarkan, tergantung dari keputusan MK.
Pro dan kontra pasal 74 dipicu adanya pewajiban CSR yang tidak jelas menentukan siapa kelompok sasarannya, hanya menyatakan “masyarakat setempat” Lantas dalam UUPT perusahaan sudah dibebani sejumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
Bila dicermati ada benarnya. Ambil contoh di Amerika Serikat, perusahaan yang melakukan CSR akan mendapat pemotongan pajak (tax deduction). Pengaturan-pengaturan seperti itu belum ada di Indonesia sehingga sangat wajar jika diikuti dengan PP yang jelas dan tegas tidak tumpang tindih satu dengan yang lainnya.
Terlepas dari polemik panjang, pewajiban pasal itu merupakan awal dari munculnya Corporate Social Responsibility (CSR) yang kini sudah bergaung pada perusahaan-perusahan di Indonesia.
CSR bukan barang baru untuk perusahaan-perusahaan yang ada di berbagai belahan dunia; Eropa, Inggeris, Prancis, Amerika Serikat dan lainnya. Namun konsep CSR-nya tidak sama untuk setiap negara. Berbeda-beda sesuai dengan pendekatan masyarakatnya masing-masing.
Perusahaan-perusahaan di belahan dunia yang telah melaksanakannya menilai CSR mampu meningkatkan daya saing perusahaan, karena dengan melaksanakan CSR maka dukungan dari masyarakat bisa diperoleh. Dukungan dari masyarakat sangat penting untuk meningkatkan citra perusahaan. Bila citra perusahaan meningkat maka harga di pasar saham meningkat, perusahaan akan lebih mudah memeroleh tambahan modal apabila diperlukan. Perusahaan juga mudah memeroleh sumber daya manusia yang berkualitas karena citra perusahaan sangat baik di mata publik.
Data yang ada menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di berbagai belahan dunia yang sukses melaksanakan CSR bukan semata-mata karena jumlah dana (sumberdaya finansial) yang disalurkan dalam jumlah besar. Keberhasilan CSR pada perusahaan umumnya melekatkan CSR itu pada strategi berbisnis, strategi bersaing, strategi kemajuan perusahaan. Artinya melekat dengan aktivitas bisnis perusahaan itu sendiri. Misalnya General Electrics menjadi sangat kuat posisinya dalam pasar mesin pesawat terbang karena berhasil membuat mesin pesawat jauh lebih hemat dalam konsumsi bahan bakar. Inovasi itu merupakan hasil perkawinan antara komitmen untuk membuat berbagai produk yang lebih ramah lingkungan dan bersaing sehat dengan kompetitornya. (Herz, S, Vina, and Sohn, J.2007. Development withhout Conflict. The Business Case for Community Consent. World Resource Institute. Washington D.C)
Contoh sederhana bila ada aktivitas perusahaan di satu daerah maka daerah itu akan berkembang seiring dengan munculnya perusahaan. Ada perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) misalnya, maka masyarakat sekitar (memiliki lahan pertanian) akan menjadi petani kepala sawit yang tangguh. Masyarakat sekitar (memiliki modal) akan menjadi pengusaha angkutan CPO, menjadi pengusaha rumah makan. Masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) akan bekerja sesuai dengan keahliannya.
Kata kunci dari CSR yang telah dilaksanakan perusahaan-perusahaan di berbagai belahan dunia ini mengedepankan kejujuran dengan aktivitas perusahaan. Terbuka, transparan sehingga mendapat dukungan dari masyarakat. Artinya CSR dilakukan bukan membuat masyarakat sekitar diam, bukan dana untuk tutup mulut atas semua aktivitas perusahaan yang merugikan lingkungan, bukan untuk ganti rugi akibat dari aktivitas perusahaan. CSR bukan untuk memperdaya masyarakat tetapi untuk memberdayakan masyarakat ikutserta dalam bisnis perusahaan.
Peran Pemerintah
Kembali kepada UUPT pasal 74 yang menjadi awal dari bergaungnya CSR dimana ada yang kurang jelas dan seakan tumpang tindih dengan kewajiban perusahaan kepada pemerintah dalam bentuk pajak. Pada satu sisi pemerintah menginginkan perusahaan melaksanakan CSR. Namun pada sisi lain keinginan pemerintah perusahaan melaksanakan CSR itu dengan adanya regulasi. Lantas regulasi itu dikatakan berfungsi untuk mendorong kinerja CSR.
Pada perinsipnya pemerintah dapat mendorong terlaksananya CSR pada perusahaan tanpa harus adanya regulasi. Pemerintah dapat melakukan banyak aktivitas nonregulatori mendorong CSR seperti koordinasi kebijakan mengenai CSR antardepartemen, meningkatkan profil CSR, membiayai penelitian-penelitian tentang CSR, memberikan insentif buat perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR. Artinya pemerintah memotivasi perusahaan-perusahaan agar melaksanakan CSR yang nantinya untuk kebaikan dari perusahaan itu sendiri, sesuai dengan prinsip dari CSR untuk meningkatkan citra perusahaan.
Sudah terbukti di negara Eropa pemerintahnya mendorong perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan CSR yang tidak dimulai dari regulasi (atau tidak membuat regulasi) atas CSR, tetapi mendorong perusahaan-perusahaan dengan nonregulasi. Hal itu tepat karena regulasi berpotensi untuk memindahkah apa yang menjadi beban pemerintah kepada perusahaan-perusahaan (swasta). Artinya pemerintah tidak boleh meminta perusahaan menyisihkan dana untuk pendidikan, karena pemerintah mempunyai kewajiban konstitusi untuk menyediakan dana pendidikan dari APBN dan APBD. Dapat dibayangkan bila yang demikian dilakukan maka ketika projek selesai pemerintah (oknum) dapat mengklaim projek itu dibiayai APBD atau APBN. Kondisi ini berpeluang besar untuk korupsi.
Hakekat dari CSR itu menjadi kabur dan hilang karena CSR merupakan bagian dari perusahaan untuk tubuh, berkembang bersama masyarakat sekitar, pencitraan diri perusahaan dalam aktivitasnya secara total. Citra perusahaan adalah ”pintu gerbang” untuk kesuksesan perusahaan pada semua sektor. CSR meningkatkan citra perusahaan maka peran serta pemerintah harus jelas dan tegas.
Sumber : Fadmin Prihatin Malau [Penulis adalah sarjana pertanian, pemerhati masalah sosial, ekonomi, budaya dan kini praktisi CSR pada satu perusahaan besar di Sumatera utara]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar