Minggu, 14 Juni 2009

Sejarah Hukum Agraria Berhubungan dengan Sengketa Tanah di Indonesia

1. Pengantar

Sebagaimana diketahui banyak sekali terjadi sengketa tanah di Indonesia. Dalam pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah/perusahaan itu sebagian besar sengketa tanah yang terjadi antara rakyat dan pemerintah/perusahaan berawal mula. Menurut KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), jumlah sengketa tanah yang berakhir tanpa penyelesaian sampai tahun 2001 adalah 787 kasus[1]. Menurut pendapat saya sengketa tanah harus diteliti dari sudut sosial, ekonomi dan politik, namun yang terlebih dahulu harus diteliti adalah dari sudut hukum karena semua pelaksanaan pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya berdasarkan hukum. Meskipun pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan oleh perusahaan swasta, kalau tanah itu dipandang masih dipakai rakyat dan dialihkan pemakaiannya tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya, pelaksanaan pengosongannya seharusnya dijalankan berdasarkan hukum. Selain itu sengketa tanah terikat pada sejarah Indonesia. Karangan riset kecil ini adalah penyusunan peraturan-peraturan berhubungan dengan sengketa tanah sejak zaman penjajahan.

2. Masalah Okupasi Ilegal

2.1. Peraturan-peraturan Pemerintah Hindia Belanda

Seperti yang akan diuraikan selanjutnya, pemakaian tanah-tanah perkebunan tanpa izin yang dilakukan secara luas oleh rakyat dipicu oleh adanya pendudukan Jepang. Akan tetapi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat tanpa izin sebenarnya sudah terjadi sebelum selesainya perang dunia ke-II. Hal itu dapat kita ketahui dari peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Beland yaitu, Staatsblad 1937 no.560 “Nadere regeling van de rechtsvordering tot ontruiming van onrechmatig door Indonesiers in gebruik genomen erfpachts percelen”[2]. Menurut Boedi Harsono (2005: 112), dalam peraturan ini dimuat ketentuan-ketuntuan yang mewajibkan para pemegang hak erfpacht untuk mengajukan tuntutan pengusiran pada Pengadilan Perdata terhadap rakyat yang menduduki tanah perkebunannya tanpa izin. Sesudah selesainya perang dunia ke-II, Staatsblad 1948 no.110 (Ord v. 8 Juni 1948) “Ordonnantie onrechtmatige occupatie van gronden”[3] dikeluarkan. Peraturan ini melarang pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak dengan memberi ancaman hukuman pidana[4].

Akan tetapi menurut Rondschrift v.d. Secr.v. Staat voor Binnenl. Zaken v. 4 Dec. 1948 No.A.Z.30/10/37 (Bb.15242) “Occupatie van erfpachts-percelen en landbouwconcessie-terreinen door de bovolking”[5], Pemerintah Hindia Belanda membolehkan rakyat memakai tanah-tanah perkebunan dengan tanpa izin hanya untuk sementara waktu. Menurut pendapat Kano (1985: 111-112) luas tanah yang dipakai oleh rakyat tanpa izin terlalu luas dan karena Pemerintah Hindia Belanda ingin membuat rakyat berpihak mereka dalam perang kemerdekaan, oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda tidak bisa melarang pemakaian tanah tanpa izin oleh rakyat.

2.2. Peraturan-peraturan Pemerintah Indonesia

Peraturan pertama yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatasi soal pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat tanpa izin adalah UU Dar. No.8/1954[6]. Latar belakang sejarah dan kemasyarakatan dapat kita ketahui dari Penjelasan Umum Undang-undang Darurat ini. Menurut Penjelasan Umumnya, sejak pendudukan Jepang dan masa pergolakan berikutnya, banyak sekali rakyat yang memakai tanah-tanah yang menjadi hak Negara ataupun pihak lain, terutama yang berbentuk tanah perkebunan. Sebagian besar dari mereka bertindak demikian karena adanya persetujuan atau atas anjuran, bahkan ada yang atas perintah Pemerintah Jepang dengan dasar, antara lain, untuk menambah hasil bahan makanan. Lain dari pada itu, sebagai akibat dari perjuangan kemerdekaan, karena adanya blokade oleh musuh yang menimbulkan keadaan darurat dalam soal persediaan bahan makanan, terpaksa banyak perusahaan kebun dibongkar tanaman pokoknya untuk kemudian ditanami dengan bahan makanan. Meskipun demikian, masih banyak juga rakyat yang menderita kekurangan gizi. Pemerintah Indonesia menyadari situasi rakyat yang memakai tanah tanpa izin, dan menunjukan gelagat akan memberikan mereka kesempatan untuk mendapat hak yang sah. Meskipun demikian, UU Dar. No.8/1954 melarang pemakaian tanah perkebunan tanpa izin sesudah mulai berlakunya Undang-undang Darurat ini dengan memberi ancaman hukuman pidana dengan dasar pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat tanpa izin membahayakan cadangan produksi yang penting sekali bagi perekonomian Negara. Mereka, yang menurut keputusan hakim telah melakukan pelanggaran, harus mengosongkan tanah yang bersangkutan. Pengosongan tanah itu, kalau perlu, dilaksanakan dengan bantuan polisi.

UU Darurat tersebut tidak cukup kuat untuk menyelesaikan soal tersebut di atas oleh karna itu kemudian diubah dan ditambah dengan UU Dar. No.1/1956[7]. Ancaman hukuman diperberat terhadap rakyat yang memakai tanah perkebunan tanpa izin sejak berlaknya UU Dar. No.8/1954. Sesudah berlaknya UU Dar.No.1/1956, orang yang mengajak, membujuk atau menganjurkan memakai tanah perkebunan tanpa izin juga akan dihukum, dan perintah pengosongan berdasarkan keputusan hakim dapat dijalankan lebih dahulu di dalam hal keputusan itu dimintakan banding, kasasi atau grasi. Ada kemungkinan organisasi petani membantu rakyat untuk memakai tanah perkebunan dan mengajukan gugatan. Pemerintah makin lama makin lebih mengutamakan kepentingan perkebunan daripada kepentingan rakyat yang memakai tanah perkebunan tanpa izin. Kecenderungan seperti itu juga kita temui dalam Penjelasan Umum UU No.28/1956[8]. Menurut Penjelasan Umumnya, sejak menjelang dan sesudah dibatalkannya hubungan Indonesia-Nederland berdasarkan perjanjian K.M.B, terjadi banyak pemindahan hak atas tanah perkebunan. Sepanjang pemindahan hak itu terjadi dari tangan bangsa asing ketangan warga Negara Indonesia, maka hal itu adalah sejalan dengan usaha Pemerintah ke arah Indonesianisasi cabang-cabang perekonomian, dan oleh karenanya patut disambut dengan gembira. Dalam pada itu, perlu diingat pula bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan itu merupakan suatu cabang produksi yang penting bagi perekonomian Negara. Sehubungan dengan itu maka perlu diadakan tindakan-tindakan berupa pengawasan preventif, supaya pengusahaan kebun-kebun itu dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya. Edaran Departemen Agraria tentang ganti rugi dan peruntukan bekas tanah-tanah Partikelir[9] juga mengutamakan kepentingan perkebunan. Edaran ini berbunyi bahwa ganti rugi yang akan dibayarkan kepada bekas pemilik tanah Partikelir, yang berupa uang tunai itu, karena didasarkan kepada hasil tiap-tiap tahun antara tahun 1937-1941 tidak akan seberapa besar jumlahnya, maka kami minta supaya oleh Panitia Kerja Likwidasi Tanah-tanah Partikelir kepada semua bekas pemilik tanah-tanah itu disarankan, agar mereka, untuk kepentingannya sendiri, sedapat mungkin meminta ganti rugi dalam bentuk hak tanah dengan mengingat kebutuhan perusahaan kebunnya yang telah berjalan atau yang akan didirikannya.

Akhirnya, dengan mulai berlaknya UU No.51/Prp/1960[10], maka UU Dar. No.8/1954 jo UU Dar. No.1/1956 dicabut. UU No.51/Prp/1960 berlaku baik terhadap tanah-tanah perkebunan, maupupn bukan perkebunan. Kalau rakyat memakai tanah yang langsung dikuasai oleh Negara atau tanah yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan hukum tanpa izin, mereka dapat diperintahkan untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan.

3. Masalah Pengadaan Tanah

3.1. Peraturan-peraturan Pemerintah Hindia Belanda

Pada zaman penjajahan masalah pencabutan hak diatur dalam Staatsblad 1920 no. 574 “Onteigeningsordonnantie”[11] yang kemudian ditambah dan diubah, terakhir dengan Staatsblad 1947 No.47[12]. Menurut Onteigeningsordonnantie pencabutan hak untuk kepentingan umum dapat dilakukan untuk negara dan daerah-daerah otonomi dan juga untuk kepentingan swasta, perkumpulan-perkumpulan dan yayasan-yayasan[13]. Untuk mengadakan pencabutan hak harus dilalui jalan yang panjang dan mengikut-sertakan tiga instansi yaitu Legislatif, Eksekutif dan Pengadilan[14].

3.2. Peraturan-peraturan Pemerintah Indonesia

Menurut pasal 18 UUPA[15] maka untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. UU No.20/1961[16] berdasarkan pasal 18 UUPA itu. Menurut Penjelasan Umum UU No.20/1961, pencabutan hak melalui Staatsblad 1920 no. 574 “Onteigeningsordonnantie” memerlukan waktu lama sekali karena Onteigeningsordonnantie memberi perlindungan yang berlebihan atas hak eigendom - yaitu hak perseorangan yang tertinggi menurut hukum barat - yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat. Hukum Agraria baru yang bersumber pada UUPA tidak lagi didasarkan atas hak eigendom, melainkan didasarkan atas pengertian bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang antara lain berarti, bahwa kepentingan bersamalah yang harus didahulukan. Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum harus dilaksanakan dengan cepat dalam rangka menyelesaikan Revolsi Nasional. Menurut UU No.20/1961 ini, penyelenggaraan pencabutan hak diputuskan oleh Presiden. Presidenlah yang memutuskan dilakukannya pencabutan hak itu dan menetapan besarnya ganti-kerugian yang harus dibayar kepada yang berhak setelah mendengar pertimbangan dari instansi-instansi daerah dan para Menteri yang bersangkutan. Apabila yang empunya tidak bersedia menerima ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden karena dianggapnya jumlahnya kurang layak, mereka dapat minta kepada Pengadilan Tinggi agar pengadilan itulah yang menetapkan ganti kerugian tersebut. Menurut Penjelasan Umum UU No.20/1961, pencabutan hak juga dapat dilakukan untuk pelaksanaan usaha swasta asalkan usaha tersebut benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya tanah.

Perincian tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam pelaksanaan UU No.20/1961 diberikan oleh ayat (1) dan (2) pasal 1 Inpres No.9/1973[17]. Akan tetapi karena ayat (3) pasal 1 Inpres ini memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menentukan bentuk kegiatan pembangunan sebagai suatu kepentingan umum, maka pengertian kepentingan umum menjadi kabur[18]. Dalam pelaksanakan pencabutan hak, masalah yang bersifat tehnis juga terjadi di tempat tanah-tanah masih belum terdaftar[19].

Selain peraturan-peraturan untuk mencabut hak atas tanah tersebut di atas, ada juga peraturan-peraturan untuk membebaskan tanah, yaitu PMDN No.15/1975[20] jo PMDN No.2/1976[21]. Menurut Abdurrahman (1983: 4), pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi atas dasar musyawarah dengan pihak yang bersangkutan, di lain pihak pencabutan hak ialah pengambilan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi suatu kewajiban hukum. Oleh karna it pelaksanaan PMDN No.15/1975 jo PMDN No.2/1976 seharusnya berdasarkan persetujuan pemegang hak/penguasa atas tanah melalui musyawarah. Pembebasan tanah ini bukan hanya dilakukan untuk kepentingan umum semata, akan tetapi juga dapat dilakukan untuk kepentingan swasta. Menurut Abdurrahman (1983: 8), dalam praktek penggunaan dari pada UU No.20/1961 (pencabutan hak) jarang sekali dilaksanakan disebabkan adanya kemungkinan proses untuk mendapatkan tanah memerlukan waktu yang lama, di lain pihak PMDN No.15/1975 jo PMDN No.2/1976 (pembebasab tanah) banyak dipergunakan. Tetapi terjadinya banyak sengketa tanah berarti bahwa tidak ada persetujuan antara pemegang hak/penguasa atas tanah dan pihak yang perlu tanah itu dalam pengadaan tanah itu. Menurut pendapat saya, dalam prakteknya pasti akan ada banyak kesalahan yang timbul dalam pelaksanaan pembebasan tanah. Peraturan-peraturan tentang pembebasan tanah itu tidak jelas tentang bagaimana andaikata pemegang hak/penguasa atas tanah tidak menyetujui besarnya ganti kerugian untuk tingkat terakhir, yang ditaksir oleh Panitia Pembebasan Tanah. Tidak ada juga pasal yang berbunyi hubungan dengan UU No.20/1961 (pencabutan hak).

Dengan berlakunya Keppres No.55/1993[22], PMDN No.15/1975 jo PMDN No.2/1976 tidak berlaku lagi. Menurut Keppres ini, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara musyawarah dengan perantaraan Panitia Pengadaan Tanah. Apabila pemegang hak/penguasa atas tanah tidak dapat menerima ganti rugi karena jumlahnya dianggap kurang layak untuk tingkat terakhir, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UU No.20/1961. Mengenai apa yang dimaksud kepentingan umum dalam Keppres ini, menurut pasal 5 kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

Karena Pemerintah mengalami kemacetan dalam pembangunan untuk kepentingan umum, Perpres No.36/2005[23] dikeluarkan. Akan tetapi terjadi banyak protes dalam masyarakat terhadap Perpres ini karena antara lain hilangnya ketentuan yang ada dalam Keppres itu, yaitu bahwa kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan[24].

4. Penutup

Menurut pendapat saya, sesudah mendapat pengetahuan dasar aspek hukum sepanjang tentang sejarah sengketa tanah, karena saya sudah belajar peraturan-peratuna tersebut di lampiran di bawah, selanjutnya saya ingin belajar aspek sosial sengketa tanah.

Daftar Pustaka

Abdurrahaman (1983) Masalah Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung; Alumni.

Boedi Harsono (2006) Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah: Edisi 2006, Jakarta; Penerbit Djambatan

Boedi Harsono (2005) Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agrarian, Isi dan Pelaksanaannya: Jilid1: Hukum Tanah Nasional, Jakarta; Djambatan.

Boedi Harsono (1988) Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Jakarta; Penerbit Djambatan

Eggi Sudjana (2006) Peraturan Pertanahan 2003-2005, Jakarta; Durat Bahagia.

Engelbrecht, W. A. (ed.) (1960) Kitab-kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan serta Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia: De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesie, Leiden; A.W. Sijthoff

Kano, Hiroyoshi (1985) ‘Hishokuminchikatei ni okeru Kokka to Nomin: Indonesia Nochihosei no Tenkai 1945-56’, Tsutomu Takigawa (ed) Tonan Ajia no Nogyohenka to Nominsoshiki, Tokyo; Ajia Keizai Kenkyusho. (Dalam bahasa Jepang)

R. Soedargo (1962) Perundang-undang Agraria Dijilid I, Bandung; Eresco.

[1] Kompas 25 Juni 2004

[2] Engelbrecht (1960) p.2082.

[3] Engelbrecht (1960) p.2057.

[4] Boedi Harsono (2005) p.112.

[5] Englbrecht (1960) pp.2097-2101.

[6] R. Soedargo (1962) pp.272-284. Undang-undang Darurat No.8 tahun 1954, tentang Penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat. (LN 1954 no.65, TLN no.594).

[7] Soedargo(62) pp.285-288. Undang-undang Darurat No.1 tahun 1956, tentang Perubahan dan tambahan Undang-undang Darurat No.8 tahun 1954, tentang Penyelsaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat. (LN 1956 no.45, TLN no.1060).

[8] R. Soedargo (1962) pp.510-515. Undang-undang No.28 tahun 1956, tentang Pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan. (LN 1956 no.73, TLN no.1125).

[9] R. Soedargo (1962) pp501-502. Edaran Departemen Agraria No. Ka30/1/31 tanggal 24 Januari 1959, tentang Ganti rugi dan peruntukan bekas tanah-tanah Partikelir.

[10] Boedi Harsono (2006) pp.211-220. Undang-undang No.51 Prp. tahun 1960, tentang Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. (LN 1960 no.158, TLN 2106).

[11] Engelbrecht (1960) pp.2808-2834.

[12] Abdurrahaman (1983) p.6.

[13] Abdurrahaman (1983) p.42.

[14] Abdurrahaman (1983) p.44.

[15] Boedi Harsono (2006) pp.3-49. Undang-undang No.5 tahun 1960, tentang Peraturan dasar pokok-pokok agraria. (LN 1960 no.104, TLN no.2043)

[16] Boedi Harsono (2006) pp.438-450. Undang-undang No.20 tahun 1961, tentang Pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. (LN 1961 no.288, TLN no. 2324)

[17] Boedi Harsono (2006) pp.457-461. Instruksi Presiden No.9 tahun 1973, tentang Pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

[18] Abdurrahman (1983) pp.40-41

[19] Abdurrahman (1983) p.48.

[20] Boedi Harsono (1988) pp.615-622. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 tahun 1975, tentang Ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

[21] Boedi Harsono (1988) pp.623-625. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 tahun 1976, tentang Penggunaan acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta

[22] Boedi Harsono (2006) pp.407-416. Keputusan Presiden No.55 tahun 1993, tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

[23] Eggi Sudjana (2006) pp.28-40.Peraturan Presiden No.36 tahun 2005, tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

[24] Perpres No.36/2005 ini diubah dengan Peraturan Presiden No.65 tahun 2006, tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.36 tahun 2005, tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Undang-undang No.5 tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (LN 1967 no.8, TLN no.2832).Tgl.24 Mei 1967

Peraturan Pemerintah No.21 tahun 1970, tentang Hak penguasahaan Hutan dan hak pemungutan hasil hutan (LN 1970 no.31, TLN no.2935). Tgl.23 Mei 1970

Instruksi Presiden No.1 tahun 1976, tentang Sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dengan bidang tugas kehutanan, pertambangan, transimigrasi dan pekerjaan umum. Tgl.13 Januari 1976: (Effendi(84) p.123)

Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1985, tentang Perlindungan hutan (LN 1985 no.39, TLN no.3294). Tgl.7 Juni 1985: (Salim (2003) p.260)

Undang-undang No.5 tahun 1990, tentang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (LN 1990 no.49, TLN no.3419). Tgl.10 Agustus 1990

Undang-undang No.23 tahun 1997, tentang Pengelolaan lingkungan hidup (LN 1997 no.68, TLN no.3699). Tgl. 19 September 1997

Undang-undang No.41 tahun 1999, tentang Kehutanan (LN 1999 no.167, TLN no.3587). Tgl.30 September 1999

Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2004, tentang Perlindungan hutan (LN 2004 no.147, TLN no.4453). Tgl.18 Oktober 2004

Tidak ada komentar: