Minggu, 14 Juni 2009

HUKUM MATERIIL DAN HUKUM FORMIL PERADILAN AGAMA



Dalam dunia hukum peradilan, termasuk juga dalam Peradilan Agama (PA), secara garis besar terdapat dua klasifikasi sumber hukum yang digunakan sebagai rujukkan, pertama, Sumber Hukum Materiil; kedua, Sumber Hukum Formil (hukum Acara).

A. Hukum Materiil Peradilan Agama

Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.[1]

Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:

ü Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.

ü Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.

Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain[2];

1. Al-Bajuri;

2. Fatkhul Mu’in;

3. Syarqawi ‘Alat Tahrir;

4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;

5. Fatkhul wahbah;

6. Tuhfah;

7. Targhib al-Mustaq;

8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;

9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;

10. Syamsuri li Fara’id;

11. Bughyat al-Musytarsyidin;

12. al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah;

13. Mughni al-Muhjaj.

Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya bukan merupakan hukum tertulis sebagaimana perundang-undangan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Bagi yang berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang tertulis, hukum-hukum menjadi pedoman PA masih dianggap sebagai hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. hal ini di legalisasi dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

ü Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UU ini menandai fase baru penerapan hukum Islam di Indonesia. Fase ini menurut Dr. H. Aminiur Nuruddin, MA adalah pintu gerbang fase taqnin (fase pengundangan) hukum Islam. Banyak sekali ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan ditransformasikan kedalam UU ini kendati dengan modifikasi disana-sini[3].

ü PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974

ü PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

ü UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006

ü Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Inpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, buku III tentang Hukum Perwakafan sebagai pedoman Hakim Agama memutus suatu perkara.

ü UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

ü UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

ü Rancangan Undang-undang terkait hukum materiil PA yang masih dalam proses legislasi :

-RUU Terapan Peradilan Agama

-RUU Perbankan Syariah

-RUU SBSN (Surat Berharga Syariah Nasional)[4]

-Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

B. Hukum Formil Peradilan Agama

Hukum Formil/Hukum Prosedural/Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.[5]

Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut [6]:

ü Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)

Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.

ü Inlandsh Reglement (IR)

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.

ü Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

ü Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW)

BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.

ü Wetboek van Koophandel (WvK)

WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.

ü Peraturan Perundang-undangan

1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.

2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.

3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung .

4) Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.

5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan tersebut.

6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.

7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.

ü Yurisprudensi

Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.

Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.

ü Surat Edaran Mahkamah Agung RI

Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim.

Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.

ü Dokrin atau Ilmu Pengetahuan

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum.

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dokrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh sebagai berikut:

1. Al-Bajuri;

2. Fatkhul Mu’in;

3. Syarqawi ‘At-Tahrir’;

4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;

5. Fatkhul wahbahdan syarahnya;

6. Tuhfah;

7. Targhib al-Mustaq;

8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;

9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;

10. Syamsuri li Fara’id;

11. Bughyat al-Musytarsyidin;

12. al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah;

13. Mughni al-Muhjaj.

Dengan merujuk kepada 13 kitab fiqh sebagaimana diatas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil dan menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Agama.

Daftar Pustaka

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1998

Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006

Kompas, Kamis, 17 Januari 2008

Nasution, Hotnidah, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007

Nuruddin, Amiur dan A. Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: kencana, 2004

[1] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 147

[2] Hotnidah Nasution, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007), hal. 189

[3] Amiur Nuruddin dan Azhari A. Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2004), hal. 26

[4]Kompas, Kamis, 17 Januari 2008

[5] Basiq djalil, Op. cit. hal. 152-153

[6] Hotnidah Nasution, Op. cit, hal 196-201

Tidak ada komentar: