Minggu, 14 Juni 2009

Perbandingan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental




A. Perjanjian Dalam Hukum Islam

Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-’aqd yang berarti perikatan, perjanjian, permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan :

”Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”

Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.

Sedangkan pencatuman kalimat ”berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya terjadi perpindahan pemilikan/hak dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang melakukan qabul).[1]
Rukun Akad

Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad adalah[2] :

- pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-’aqd),

- pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain)

- Objek akad (al-ma’qud ’alaih)
Syarat-syarat Akad

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad:[3]

- Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), tidak sah orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya.

- Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

- Akad diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.

- Akad itu bukan akad yang dilarang syara’.

- Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila seseorang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.

- Ijab dan kabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijabnya tersebut menjadi batal.
Kemerdekaan mengemukakan syarat dalam akad[4]

Para ulama fiqh menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak yang berakad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat al-Maidah, 5:1.


” Wahai orang-orang yang beriman penuhi akad itu...”


Ulama Hanafiah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad. Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan malikiyah, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalan suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Berakhirnya akad[5]

Para ulama menyatakan suatu akad dapat berakhir apabila;

- Berakhirnya masa berlaku akad tersebut, apabila akad tersebut memiliki tenggang waktu.

- Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.

- Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dianggap berakhir jika :

§ jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan, salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi.

§ Berlakunya Khiyar

§ Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak

§ Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna

- Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia untuk akad-akad tertentu misalnya: sewa-menyewa, ar-rahn, al-wakalah, al-kafalah.


B. Perjanjian Dalam Hukum Eropa Kontinental

Perikatan Dalam sistem hukum eropa kontinental bahwa perikatan dilahirkan dari:[6]

- perjanjian; dan

- Undang-undang

Pengertian perikatan menurut hukum eropa kontinental adalah:[7]

”Suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi”

Prestasi yang dimaksud dalam buku III BW dapat berupa :[8]

- Menyerahkan suatu barang;

- Melakukan suatu perbuatan;

- Tidak melakukan suatu perbuatan.

1. Unsur-unsur perjanjian (rukun)[9]

- Adanya dua pihak atau lebih

- Adanya kata sepakat diantara para pihak

- Adanya akibat hukum yang ditimbulkan berupa hak dan kewajiban atau melakukan suatu perbuatan.

2. Syarat-syarat objek perikatan/prestasi

Objek perikatan atau prestasi harus memenuhi syarat-syarat:

- Harus tertentu dan dan dapat ditentukan

- Objeknya diperkenankan

- Prestasinya dimungkinkan

Syarat sahnya suatu perjanjian

Untuk syarat sahnya suatu perikakatan/perjanjian ditetapkan pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah ;

i. Orang-orang yang belum dewasa;

ii. Dibawah pengampuan;

iii. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan UU, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu.

c. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;

d. Suatu sebab yang halal (menurut UU)

3. Kemerdekaan/kebebasan membuat perjanjian

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada ketentuan dalam UU maupun yang belum ada ketentuannya, asalkan tidak melanggar UU, ketertiban umum dan kesusilaan.

Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap, artinya pasal-pasal dalam buku III KUH Perdata dapat dikesampingkan berlakunya manakala para pihak membuat ketentuan sendiri.

4. Berakhirnya perjanjian

- Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak

- UU menentukan batas berlakunya perjanjian

- Para pihak atau UU dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus

- Pernyataan penghentian perjanjian

- Perjanjian hapus karena putusan hakim

- Tujuan perjanjian telah tercapai

- Dengan perjanjian para pihak.

C. Persamaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

Secara umum terlihat banyak kesamaan tentang hukum perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut (seperti pada uraian diatas).

Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digumnakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.


D. Perbedaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

Secara garis besar perbedaan yang sangat relevan dan signifikan tentang perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut adalah :

§ Perjanjian menurut hukum Islam sah bila tidak bertentangan dengan syariat sedangkan menurut hukum eropa kontinental perjanjian sah bila tidak bertentangan dengan UU.

§ Subjek perjanjian menurut hukum Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum eropa kontinental selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963).

§ Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak boleh mengandung riba, ghoror dan maisyir. Dalam hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.


E. Analisa banding Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

Secara umum hukum perjanjian dalam kedua sistem hukum tersebut memiliki banyak kesamaan Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digunakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.

Hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sedangkan hukum eropa kontinental bersumber dari Statue Law (hukum tertulis) yang sangat dipengaruhi pandangan hidup manusia pembuatnya yang sangat subjektif.

Walaupun ciri khas hukum eropa kontinental produk-produk hukumnya terkodifikasi dalam suatu hukum tertulis (UU) tapi khusus untuk perjanjian UU hanya sebagai pelengkap dari perjanjian, atau berlaku agium Lex specialis derogate lex generalis dimana lex spesialis adalah isi perjanjian tersebut dan lex generalis UU. Berlaku pula asas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian berlaku laksana UU bagi mereka yang membuat. Hal ini serupa dengan sifat kebebasan menentukan syarat dalam akad pada hukum Islam, bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalam suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Kemaslahatan yang ingin dicapai hukum eropa kontinental adalah melindungi kesusilaan dan kepentingan umum sedang hukum Islam juga berusaha mewujudkan hal tersebut yang dikenal dalam Maqasidul Syariah (melindungi agama, jiwa, akal, kehormatam dan harta), karena aspek melindungi agama ini menurut hemat penulis hukum Islam berbeda dengan hukum lainnya termasuk juga dalam hukum perjanjian, makanya dalam perikatan Islam tidak boleh mengandung riba, maisyir dan ghoror yang dilarang dalam syariat.





Daftar Pustaka :

[1] Nasrun Harun, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h 97

[2] Ibid, h 99

[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h 50

[4] Nasrun Harun, Op. cit h 105-105

[5] Nasrun Harun, Op. cit h 108-109

[6] Hasanuddin rahmat, Contract drafting : Seri Keteramoilan merancang kontrak Bisnis, (Bandung: PT. Cipta Aditya bakti,2003), h 2

[7] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abadin, 1999), h 2

[8] R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), h 123

[9] Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: PP UT, 2003), h 2.3

Tidak ada komentar: