A.Permasalahan
Sangat dimungkinkan terjadi sengketa antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Contoh: ketentuan pasal 40 KHI. Yang melarang perkawinan beda agama. Tetapi putusan Mahkamah Agung nomor: 1400/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 membolehkan perkawinan beda agama, dan memerintahkan kepada pegawai pencatatan pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Voni Ghani (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen).
Meskipun KHI bukan bertaraf Undang-undang, tetapi dari segi teknis dan formil dia dapat digolongan Statue Law, karena secara teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No.1 Tahun 1991.
Contoh lain mengenai jual beli tanah. Sebelum berlaku UUPA dan PP No. 10 tahun 1961, yurisprudensi membenarkan keabsahan jual-beli tanah didasarkan atas kesepakatan harga dan tanah yang menjadi objek jual-beli meskipun jual-beli dilakukan dibawah tangan, terutama hal ini dulu berlaku atas tanah yang berstatus hukum adat. Sekarang timbul masalah. Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA jo. Pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 pemindahan hak baik dalam bentuk jual-beli dilakukan didepan PPAT, dan oleh karena itu dibuat akta PPAT.
Dengan demikian telah terjadi saling bertentangan antara yurispredensi dengan ketentuan hukum perundang-undangan. Bagaimana pandangan mengenai hal tersebut akan dibahas berikut ini.
B. Dalam Kaidah Umum (pada sistem hukum Indonesia), Undang-Undang Dimenangkan
Sikap atau tindakan yang utama menghadapi pertentangan antara yurisprudensi dengan undang-undang sedapat mungkin berpegang kepada prinsip:
“ Yurisprudensi menundukkan diri kepada undang-undang yang berlaku”
Jadi, undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi atau “Statue Law Prevail”. Alasannya adalah pada negara yang menganut Statue Law System seperti Indonesia, pada dasarnya hanya peraturan perundang-undangan saja yang memiliki legitimasi formil berdasarkan ketatanegaraan. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataan praktik, diketahui peran dan kewenangan badan-badan peradilan untuk bertindak sebagai “Judge Make Law” yang menciptakan lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, namun kedudukan formilnya tetap berada dibawah hukum perundang-undangan. Pengakuan yurisprudensi sebagai sumber hukum, memang dilihat dari sudut teori ilmu hukum secara hierarkis tetap ditempatkan dibawah hukum perundang-undangan. Jadi jelas bahwa baik dari sudut ketatanegaraan maupun doktrin ilmu hukum, kedudukkan formil undang-undang lebih unggul dari yurispridensi.
C. Kaidah Dalam Kasus Dimenangkan Yurisprudensi
Tidak selamanya asas Statue Law Prevail ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasustik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi.
Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan.
1) Didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum.
Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yurisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai hukum dan keadilannya dari peraturan pasal undang-undang, mesti didasarkan atas ”kepatutan” dan ”perlindungan kepentinggan umum”. Hakim harus mengguji dan mengganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam yuriprudensi yang bersangkutan jauh lebih pontensial bobot kepatutannya dan perlindungannya terhadap kepentingan umum dibanding dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini agar dapat dilakukan komparasi analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa modal tersebut sangat sulit seorang hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undang-undang.
2) Cara mengunggulkan Yurisprudensi melalui ”Contra Legem”
Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komparatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih pontensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentingan umum, dibandingkan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.
Berbarengan dengan itu hakim langsung melakukan tindakan ”contra legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan.
Disebabkan nilai bobot yurisprudensi lebih pontensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum, undang-undang yang disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurusprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar dan rujukan hukum penyelesaian perkara.
3) Yurisprudensi dipertahankan dengan melenturkan peraturan perundang-undangan.
Cara penerapan lain dalam masalah terjadinya peertentangan antara yurisprudensi dengan ketentuan perundang-undangan :
§ Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi; dan
§ Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal perundang-undangan yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperatif menjadi fakultatif (Paulus, Yurisprudensi dalam Perspektif Pembangunan hukum administrasi negara, 1995)
Memang ada kemiripan cara ini dengan tindakan contra legem, tetapi ada perbedaan. Penerapan contra legem pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh. Keberadaan pasal itu didalam perundang-undangan sama sekali tidak ada. Lain halnya dengan tindakkan mempertahankan yurisprudensi yang dibarenggi dengan tindakan memperlunak pasal perundang-undangan. Dalam hal ini yurisprudensi tidak secara penuh melemparkan nilai yang tekandung dalam pasal, tetapi hanya diperlunak dari sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar