Beberapa waktu lalu ada seorang datang ke kantor PPAT hendak menjual sebidang tanah yang dimilikinya. Setelah diperiksa ternyata Sertifikat tanah tersebut tercantum atas nama suami penjual yang telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.
Syarat-syarat apa sajakah yang harus dilengkapi oleh penjual tersebut sehingga dapat terjadi transaksi penjualan ?
Pertama sekali tentunya harus ada kesepakatan antara Penjual dan calon pembeli mengenai harga dari bidang tanah dimaksud.
Selanjutnya Penjual harus melengkapi dokumen-dokumen yang akan menjadi dasar bagi PPAT untuk membuatkan Akta Jual Belinya (AJB). Pada artikel sebelumnya telah disebutkan bahwa antara lain adalah :
-Sertifikat asli
-Fotocopy Kartu Keluarga Penjual
-Fotocopy Kartu Tanda Penduduk masing-masing Penjual dan Calon Pembeli
-Fotocopy Buku Nikah Penjual
-Fotocopy Surat Kematian suami dari Penjual
-Fotocopy Surat Keterangan Waris dari Kelurahan/Camat setempat.
Berdasarkan fotocopy dari dokumen-dokumen yang ada tersebut ternyata salah seorang ahli waris adalah anak yang masih di bawah umur. Dengan adanya anak di bawah umur ini maka selain kelengkapan dokumen tersebut diatas, harus pula dilengkapi dengan Surat Penetapan dari Pengadilan Negeri.
Menurut ketentuan pasal 309 juncto 393 dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata, pengalihan hak milik dari anak yang masih di bawah umur harus berdasarkan pada Penetapan dari Pengadilan Negeri.
Di beberapa daerah tertentu Penetapan Pengadilan ini tidak terlalu menjadi suatu keharusan mengingat para pihak tersebut dapat dianggap tidak menundukan diri kepada Hukum Perdata Barat tetapi tunduk pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dimana ketentuan pasal tidak mengharuskan pengalihak hak milik dari seorang anak yang masih di bawah umur harus melalui Penetapan Pengadilan Negeri.
Namun dalam praktek, pada umumnya Kantor Pertanahan mewajibkan adanya Penetapan Pengadilan Negeri tersebut. Dengan demikian Kantor Pertanahan mendasari kebijakan syarat tersebut pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Hal ini mungkin disebabkan kekuatan hukum ketentuan pasal tersebut secara psikologis lebih kuat dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/74 yang memang tidak secara jelas mengatur hal tersebut sekaligus untuk melindungi kepentingan dari anak di bawah umur yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar