Kamis, 20 Januari 2011

Pengawasan Terhadap Notaris




1. Pengertian Pengawasan

Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik diawasi oleh MPN yang dibentuk oleh Menteri. Ketentuan mengenai pengawasan terhadap notaris diatur dalam UUJN Bab IX tentang Pengawasan. Secara umum, pengertian dari pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas dalam melihat, memperhatikan, mengamati, mengontrol, menilik dan menjaga serta memberi pengarahan yang bijak. Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi, Tata Cara Kerja dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris Pasal 1 angka 5 menjelaskan mengenai pengertian dari pengawasan yang berbunyi sebagai berikut:

“Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.”

Para sarjana hukum memberikan pengertian mengenai pengawasan, menurut Sigian pengawasan adalah suatu proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
 
Pengawasan menurut Julitriarsa, adalah tindakan atau proses kegiatan untuk memenuhi hasil pelaksanaan, kesalahan, kegagalan untuk kemudian dilakukan perbaikan  dan mencegah terulangnya kembali kesalahan-kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang ditetapkan, namun sebaliknya sebaik apapun rencana yang ditetapkan tetap memerlukan pengawasan.

Wewenang pengawasan atas notaris ada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam praktek, Menteri melimpahkan wewenang itu kepada MPN yang dia bentuk. UUJN menegasan bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap notaris dan kewenangan Menteri untuk melakukan pengawasan ini oleh UUJN diberikan dalam bentuk pendelegasian delegatif kepada Menteri untuk membentuk MPN, bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi MPN yang telah ditetapkan secara eksplisit menjadi kewenangan MPN.


Pengawas tersebut termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap notaris seperti menurut penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUJN. Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan
oleh Majelis Pengawas terhadap notaris. Dengan demikian ada 3
(tiga) tugas yang dilakukan oleh MPN, yaitu;
a. Pengawasan Preventif;
b. Pengawasan Kuratif;
c. Pembinaan.
Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap notaris adalah supaya notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap notaris tersebut. Tujuan dari pengawasan itupun tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk tujuan yang lebih luas, yaitu agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayani.


Sigian menyatakan bahwa sasaran lain yang perlu dicapai melalui pengawasan selain untuk tujuan efisiensi adalah:

a.       Pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditentukan berjalan sungguh-sungguh sesuai dengan pola yang direncanakan;
b.      Struktur serta hierarki organisasi sesuai dengan pola yang ditentukan dalam rencana;
c.       Sistem dan prosedur kerja tidak menyimpang dari garis kebijakan yang telah tercermin dalam rencana;
d.      Tidak terdapat penyimpangan dan/atau penyelewengan dalam penggunaan kekuasaan, kedudukan, terutama keuntungan.

Pengawasan terhadap notaris dilakukan berdasarkan kode etik dan UUJN. Pengawasan dalam kode etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan, dan pengawasan dalam UUJN dilakukan oleh MPN. Sebelum menguraikan pengawasan menurut kode etik, lebih dulu diuraikan tentang pengertian dari kode etik. Menurut Bertens kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.

Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasar penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik merupakan bagian dari hukum positif tertulis tetapi tidak mempunyai sanksi yang keras, berlakunya kode etik semata-mata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi.

Menurut Sumaryono
kode etik perlu dirumuskan secara tertulis, yaitu:

a.       Sebagai sarana kontrol sosial;
b.      Sebagai pencegah campur tangan pihak lain;
c.       Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.

Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesionalisme anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian pemerintah atau mayarakat tidak perlu ikut campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Kode etik notaris meliputi: etika kepribadian notaris, etika melakukan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap klien, etika hubungan sesama rekan notaris, dan etika pengawasan terhadap notaris.

Pengawasan menurut kode etik menurut kode etik Pasal 1 angka (1) Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk:

a.       Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
b.       Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
c.       c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis    Pengawas     atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris. 

Posisi Dewan Kehormatan sangat strategis karena dipundaknya tersemat amanat untuk memastikan para notaris memahami dan melaksanakan kode etik secara konsisten baik dan benar. Dewan Kehormatan juga ikut memberikan kontribusi kepada eksistensi, kehormatan dan keluhuran profesi Jabatan notaris di tengah masyarakat.

Pengawasan atas pelaksanaan kode etik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.       Pada tingkat pertama dilakukan oleh pengurus daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;
b.      Pada tingkat banding dilakukan oleh pengurus wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;
c.       Pada tingkat akhir dilakukan oleh pengurus pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat. 


Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri dan dalam operasionalnya Menteri akan membentuk MPN. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUJN, Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.

Keanggotaan Majelis Pengawas  notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (3) UUJN berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari:
a. Unsur pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Unsur organisasi notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
c. Unsur ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.

Keterlibatan unsur notaris dalam MPN, yang berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa notaris, dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang bersifat internal. Hal ini dapat diartikan bahwa unsur notaris tersebut dapat memahami dunia notaris baik yang bersifat ke luar maupun ke dalam. Sedangkan unsur lainnya, akademisi dan pemerintah dipandang sebagai unsur eksternal. Perpaduan keanggotaan MPN sebagaimana tertuang dalam UUJN diharapkan dapat memberikan sinergitas pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi baik secara internal maupun eksternal.

Berdasarkan Pasal 68 UUJN, MPN terdiri dari:
a. MPD yang dibentuk di tingkat Kabupaten/Kota;
b. MPW yang dibentuk di tingkat Propinsi; dan
c. MPP yang dibentuk di Ibukota.

Tiap-tiap jenjang Majelis Pengawas mempunyai wewenang masing-masing dalam melakukan pengawasan dan untuk menjatuhkan sanksi.

Syarat untuk diangkat menjadi anggota MPN diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu:
a.       Warga negara Indonesia;
b.      Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.       Pendidikan paling rendah Sarjana Hukum;
d.      Tidak pernah dihukum karena melakukan perbuatan pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e.       Tidak dalam keadaan pailit;
f.        Sehat jasmani dan rohani;
g.       Berpengalaman dalam dibidangnya paling rendah 3 (tiga) tahun

Rabu, 19 Januari 2011

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA


FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA 1

Oleh : HUDA LUKONI, S.H.I., S.H.2


A.     LATAR BELAKANG SEKALIGUS SEBAGAI PENDAHULUAN

Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat,  filsafat hukum mempunyai fungsi  yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia.
Sekedar menyinggung konsep dalam  Islam,  bahwa  Islam menilai  hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan dengan Allah SWT,3   maka manusia disamping ia mengadopsi hukum-hukum yang langsung  (baca ; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, 4   manusia  akan melihat dari kenyataan empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki.
Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan  (gerechtigkeit)  disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) 5
Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat mendasar yang merupakan
                                                
_____________________________
1.        Makalah ini pernah didiskusikan sekaligus dikoreksi oleh Prof. Dr. H. Muchsin, S.H seorang hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, yang dilaksanakan  pada Program Pascasarjana Universitas  17 Agustus 1945 Surabaya Prodi Magister Ilmu Hukum, Tahun Akademik 2007-2008 M 

2.        Al-Faqir ila Allah,   Calon Hakim Peradilan Agama Angkatan III yang juga peminat filsafat hukum, dan kini sebagai pelayan masyarakat di Pengadilan Agama Jombang

3.        Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006, hal.24

4.        Dalam kapasitas seorang yuris dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang  Kekuasaan Kehakiman pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup daam masyarakat.

5.        Darji Darmodiharjo, dan ShidartaPokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum  Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006, hal. 154

anugerah  alamiah langsung  dari Allah, SWT, yaitu hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku, bangsa, agama,   berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang  notabene  adalah negara yang sangat heterogen  tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya  homogen,  sangatlah penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum  secara lebih  komprehensif  yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia, penulis tertarik dengan argumen Bismar Siregar bahwa  ia pernah mengatakan “bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan tujuan akhirnya adalah keadilan”,  lalui  bagaimana sebenarnya membentuk hukum yang mencerminkan keadilan yang didambakan, untuk itulah penulis tertarik untuk mencoba mendudukkan filsafat hukum sebagai Starting Point pembentukan hukum yang akan kita bahas berikutnya, dalam hal ini penulis  juga sangat tertarik dengan buku seorang hakim agung jebolan Unair yang juga pakar filsafat hukum Prof. Dr. H.Muchsin, S.H., dimana  dalam  bukunya  yang berjudul  Ikhtisar Filsafat Hukum  telah memaparkan dengan jelas berkenaan dengan bahasan penulis diatas, dan penulisan yang sederhana ini sedikit banyak terinspirasi dari buku beliau tersebut.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum ?
2.      Bagaimana peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia ?
 
C.     PEMBAHASAN
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan  serta Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia  berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat    (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif  (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.6
 
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah  Filsafat hukum,    yaitu  ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum.  Filsafat hukum  ini  berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai hukum in abstracto.7


1.  Pengertian Filsafat, dan Filsafat  Hukum 
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah  1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya,   2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Pakar Filsafat kenamaan Plato (427  -  347 SM)   mendefinisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli, Kemudian Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu ; metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah  Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1)  rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2)  tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi.  Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah                                        
_______________________________
6.        Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003 
7.        Slide  Muchsin,  yang di sampaikan pada mahasiswa Pascasarjana  Program Magister Hukum  Untag (Universitas 17 Agustus) Surabaya angkatan ke 18 tanggal 11 November 2007.



kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.8
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari  hukum yang benar. Sedangkan menurut  Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum,  Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan  Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian   Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.9 
Secara sederhana, dapat dikatakan  bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. 10
Purnadi Purbacaraka &  Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan  arti hukum, yaitu : 1) Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2) Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. 3) Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan. 4) Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. 5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) 6) Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi 7) Proses Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan 8) Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian


 _________________________                                             
8.  Ibid 
9.  Ibid 
10. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit,  hal. 11 

9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.11
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis 12  artinya filsafat  hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai hukum ;
  • Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum.
  • Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.13
Lebih jauh Prof. Dr. H. Muchsin, SH.  dalam bukunya  Ikhtisar Filsafat Hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi  filsafat dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu itu14   kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa perintah dan larangan yang keberadaanya ditegakkan dengan sanksi yang tegas dan nyata dari pihak yang berwenang di sebuah negara.15
Penulis  tidak mempermasalahkan definisi mana yang paling benar atau paling tepat, dalam hal ini penulis mengetengahkan beberapa pendapat para ahli agar  dalam makalah ini lebih kaya khazanah, serta terdapat perbandingan bagi pembaca, secara kritis                                           
_______________________
11.     Ibid hal. 12
12.     Dalam hal berfilsafat hukum secara spekulatif dan kritis ini nampaknya telah dipraktekkan oleh kalangan Kristiani pada era lampau, dalam kajian sejarah berfilsafat hukum memunculkan  interpretasi, termasuk interpretasi pada teks hukum maupun pada kitab suci, diantaranya menggunakan metode hermeneutika, yang lebih lanjut memunculkan problem teks kitab  suci pada abad-abad pertama Masehi, dimana terhadap teks-teks kitab suci itu, kalangan Kristiani mencoba memberikan dua macam penafsiran, yaitu  penafsiran simbolis  dan  penafsiran harfiah.  Kedua macam interpretasi teks ini tampil dalam kontroversi antara Mazhab Antiokhia dan Mazhab Aleksandria, yaitu dua pusat agama Kristen pada awal perkembangannnya. Mazhab Antiokhia menafsirkan kitab suci secara harfiah, sedangkan Mazhab Aleksandria secara alegoris atau simbolis. Kemudian pada generasi selanjutnya agama Kristen terpecah karena perbedaan prinsip-prinsip  hermeneutika. Disatu sisi golongan Protestan memegang prinsip  sola scriptura (hanya kitab suci), pada sisi yang lain Gereja Katolik memegang prinsip tradisi, dimana kitab suci ditafsirkan dalam terang tradisi. 
13      Slide Muchsin, Op. Cit.
14      Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum,, Ibid, Hal 13
15      Ibid, Hal . 24

penulis  mendudukkan filsafat hukum sebagai perwujudan pembentukan hukum yang dilakukan oleh pembentuk hukum di negara kita.

2.  Bagan Filsafat Hukum Hingga  Pada  Pemunculan Kaidah Hukum  (Hukum In Concreto).
Dalam bagian ini penulis mengutip bagan filsafat hukum dari  Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. yang mana beliau menjelaskan definisi dari tiap hubungan bagan sebagai berikut :  Filsafat  adalah ilmu pengetahuan alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya, Filsafat Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum  secara filosofis, Teori merupakan  pendapat yang dikemukakan oleh seseorang mengenai suatu asas umum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan, kemudian hukum adalah  semua aturan-aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang dibuat maupun diakui oleh negara sebagai pedoman tingkah laku masyarakat yang memiliki sanksi yang tegas dan nyata bagi yang melanggarnya, jadi Teori Hukum adalah teori yang terdiri atas seperangkat prinsip-prinsip hukum yang menjadi pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum tersebut dapat dilaksanakan di dalam praktek kehidupan masyarakat, Asas Hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam  peraturan hukum dasar-dasar umumtersebut mengandung nilai-nilai etis,  Politik Hukum adalah perwujudan kehendak dari pemerintah Penyelenggaraan Negara mengenai hukum yang belaku di wilayahnya dan kearah mana kukum itu dikembangkkan, Kaedah Hukum  adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang sehingga berlakunya dapat dipertahankan,  Praktik Hukum  adalah pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit.16




 _________________________
                                                 
16.   Ibid, Hal 29

Bagan yang dimaksud adalah sebagaimana tergambar dibawah ini :






Penulis melihat bagan ini adalah sebagai suatu rangkaian yang tak terpisahkan antara filsafat hukum, serta pembentukan hukum di Indonesia, di Indonesia hukum dibuat sebenarnya adalah sebagai pemenuhan asas legalitas, serta untuk menciptakan masyarakat yang tertib serta kemakmuran yang menyeluruh,  karena Indonesia menganut Civil Law Sistem, dimana dalam sistem tersebut peraturan perundang-undangan adalah merupakan pijakan dalam penerapan hukum oleh seorang hakim, melihat bagan diatas sudah sangat ideal bagaimana membentuk sebuah hukum, tetapi bagaimana sebenarnya pembentukan hukum di Indonesia, apakah tidak ada kepentingan yang masuk didalamnya.

3.  Hukum dan Fungsinya Menurut Para Pakar Hukum
Fungsi Hukum secara garis besar adalah sebagaimana termaktub dibawah ini : 
·        Sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control).
·        Sebagai alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering). 
·        Sebagai alat ketertiban dan pengaturan masyarakat.
·        Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
·        Sebagai sarana penggerak pembangunan.
·        Sebagai fungsi kritis dalam hukum.
·        Sebagai fungsi pengayoman.
·        Sebaga alat politik. 17

Sedangkan  konsep  Hukum  yang dipaparkan oleh Prof.  Soetandyo Wignjosoebroto, M.PA   adalah : 1) Hukum sebagai asas moral atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inherent sistem hukum alam, 2) Hukum sebagai kaidah-kaidah positif, dan 3) Hukum sebagai institusi sosial.18
  
Fungsi Hukum  (The Funcions of Law) Menurut Sjachran Basah hukum terutama dalam masyarakat Indonesia mempunyai panca fungsi, yaitu: 1) Direktif 2)  Integratif 3) Stabilitatif 4). Perfektif  5). Korektif. Dalam Implementasinya Hukum Dapat Berwujud:
1). Preventif  2). Represif  dan  3). Rehabilitatif.  Tujuan Hukum Menurut Teori Etis (Aristoteles) Hukum  hanya semata-mata bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan, sedangkan keadilan dibedakan menjadi  dua yaitu :  1).Keadilan komutatif, yang menyamakan prestasi   dan kontra prestasi, dan  yang ke 2).  Keadilan Distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau penghargaan. 
Lain halnya  Utiliteis (Jeremy Bentham)  menganggap hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja, sedangkan  ajaran  yuridis dogmatic                                               

____________________________
17.  Slide Muchsin, op.cit.
18.  Materi Kuliah Program Pascasarjana Universitas  17 Agustus 1945 Surabaya Prodi Magister Ilmu Hukum, Tahun Akademik 2007-2008 M

(John   Austin, Hans Kelsen) bertujuan untuk menjamin terwujudnya kepastian hukum. 19 
Kita tahu bahwa Hukum di Indonesia ini merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat, sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).  Juga  hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi  hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
4.  Hukum  di Indonesia          
Salah satu tuntutan aspirasi  masyarakat  yang  berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju  terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi  sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang  efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas  sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara  harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.
            Dalam upaya pembaruan hukum tersebut,  penataan kembali susunan hirarkis
peraturan perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat, Di samping itu, era Orde  Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan  UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan  perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun  susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih  banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku, Sebagai contoh, produk hukum yang dikeluarkan Bank Indonesia yang dimaksud                                                  
_______________________
19.  Ibid
untuk memberikan aturan terhadap dunia perbankan menggunakan istilah Surat Edaran yang tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa kementerian mengeluarkan peraturan di bidangnya dengan menggunakan  sebutan Keputusan Menteri, dan beberapa lainnya menggunakan istilah Peraturan  Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan Keputusan Presiden  yang bersifat penetapan administratif biasa tidak dibedakan, kecuali dalam kode  nomernya saja, sehingga tidak jelas kedudukan masing-masing sebagai salah satu  bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur.
            Sementara itu, setelah  lebih dari 50  tahun Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang  banyak pihak menilai ada pasal yang  tidak relevan lagi dengan  perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi  perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh dan  berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau  malah sebaliknya dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebihdari 50 tahun terakhir. 
Didalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia, hal ini dirasa sesuai mengingat  falsafah Pancasila  adalah merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras, suku, agama, golongan, dan lain sebagainya, mengingat masyarakat Indonesia sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera dimungkinkan dapat tercapai.  Dilihat dari materinya Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri.20

_______________________                                                
20  Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, Op. Cit  hal.229



Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh  UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita. 21

Dengan demikian penulis sepakat jika filsafat hukum Indonesia, adalah di mulai dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945.

5.  PERAN FILSAFAT HUKUM DI INDONESIA
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan  (rechstaat)  yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum  adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer).
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia,  Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (baca ; Al-Qur’an)  sering dijadikan
__________________________                                                
21  Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, Loc. Cit,, hal.230
dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang  Perkawinan,  apalagi didalamnya terdapat pasal  tentang  bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain  tidak sedikit pula  yang mempertahankan pasal serta isi dari  Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974,   dan sampai sekarang masih berlaku  tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an  adalah  mutlak untuk diikuti dalam hukum. 

Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara Indonesia, contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.

Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila.

D. KESIMPULAN
  Dari paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis menyimpulkan sebagai
jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas :
1.      Untuk menjawab apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum ? Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum,   yang sering juga diistilahkan lain dengan  Jurisprudence,  adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.  
Filsafat hukum dalam menyikapi masalah, kita diajak untuk berfikir kritis dan radikal, atau dalam artian kita diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik, jika demikian adanya ketika ia menjadi  seorang pengadil (hakim)  misalnya, ia hanya menjadi ”corong undang-undang”  belaka.  Terkait itu penulis sepakat bahwa suatu masalah atau problem pasti dapat dicari apa sebenarnya analisis filsafat hukumnya yang tepat untuk diterapkan, dengan kita menganalisis secara rasional dan kemudian kita mempertanyakan jawaban secara terus menerus, yang jawaban itu  tidak  hanya dari masalah yang tampak, tetapi sudah pada tataran nilai dari gejala-gejala itu sendiri, maka analisis filsafati  seperti inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah yang konkrit. 
Kiranya dalam kesimpulan ini pula dapat kita tampilkan  review  hakikat  filsafat hukum  yang diungkapkan Prof. Dr.  H.  Muchsin, S.H,22   bahwa  filsafat hukum mengajak kita untuk berpikir  spekulatif, dalam artian  spekulatif    yang tidak hanya untung-untungan belaka, akan tetapi diimbangi dengan sikap  kritis, serta rasional, yang dengan iti  berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.  Secara spekulatif  filsafat hukum  dapat dicapai dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum, kemudian secara kritis, dengan berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya. 
Filsafat hukum ini sebenarnya adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang  timbul dalam hukum, contoh kasus  jika ada masalah-masalah yang melampaui kemampuan berpikir manusia, maka filsafat hukum akan merupakan kegiatan
                                            
_________________________
22 . Lihat kembali pendapat Muchsin, dalam Slide Pascasarjana  Untag.


yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi.23

Kemudian untuk waktu yang lama, dalam sejarah filsafat hukum, orang berpendapat
bahwa landasan hukum itu adalah hukum kodrat (filsafat hukum kodrat) yaitu yang berpandangan terdapat suatu kodrat ideal yang abadi, yang takkan berubah sepanjang masa, namun hal ini memunculkan pertanyaan tentang keterikatan dengan tempat dan waktu, orang akan memegang suatu prinsip hukum pada suatu waktu, akan tetapi dilain waktu (masa yang akan datang) apakah hukum akan tetap stagnan dan tetap, maka orang banyak bersepakat bahwa hukum akan selalu dinamis seiring dengan perubahan waktu dan tempat, dengan cara berfilsafat hukum melalui realitas-realitas yang terjadi dalam masyarakat luas.

2.   Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan,  Indonesia memang menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum  sangat berperan dalam perubahan hukum kearah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki, filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, dimulai dari berlakunya  tata urutan Peraturan Perundang-undangan  yang didasari  TAP XX/MPRS tahun 1966, kemudian    tata urutan Peraturan Perundang-undangan  yang didasari TAP III/MPR/2000, sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan  yang didasari Pasal 7 UU Nomor 10 Th 2004 yang hingga kini berlaku di Indonesia, pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum lewat 


                                                
_______________________
23 Lebih jelasnya lihat karya Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief sidharta, SH, Citra Aditya Bakti, Cet II, 1999, Hal. 178 

filsafat hukum  di Indonesia ada pada teori hukumnya 24, hal ini telah sesuai dengan bunyi kalimat kunci  dalam Penjelasan UUD 1945 : Undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka perubahan hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya).

Kita harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum  yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk,  yang mana hukum yang diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan yang terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.







____________________
24 Memakai Filsafat Pancasila sebagai Grundnorm,  kemudian  Filsafat Hukum, diteruskan lewat Teori Hukum serta  Asas Hukum yang didalamnya mengandung nilai-nilai etis perubahan hukum, kemudian dipadu dengan  Politik Hukum  yang merupakan perwujudan kehendak dari pemerintah Penyelenggaraan Negara mengenai hukum yang belaku dan kearah mana kukum itu dikembangkkan, akhirnya muncul Kaedah Hukum (in Abstacto) yang merupakan aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara yang mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenangdan berlakunya dapat dipertahankan, maka akan lahir Praktik Hukum yaitu pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit .


E. SARAN-SARAN
1.      Hendaknya bagi pemegang kekuasaan di Indonesia terutama (legislatif, Eksekutif, dan yudikatif),  agar  selalu belajar dan mengkaji lebih jauh tentang  filsafat hukum, serta pemahaman terhadap Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia (Pancasila),  agar  pembaharuan  atau  hukum yang diciptakan  adalah  benar-benar merupakan rules for the game of life bagi masyarakat luas.
2.      Hendaknya  sering dilakukan  diskusi  (pembahasan ulang)  oleh pakar filsafat hukum terhadap  perundang-undangan yang masih  belum  memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas,  dan tentunya peran  diskusi ilmiah antar pakar filsafat  hukum di indonesia sangatlah urgen  untuk dilakukan  dalam  mengubah hukum yang hanya mengedepankan legalitas belaka, tanpa melihat  living law  yang terjadi dalam masyarakat,  serta mengingat  sekian lama  Indonesia  di doktrin oleh Belanda untuk  mengikat setiap orang dan berlakunya dapat                                                                                                                                    dipaksakan oleh aparat negara yang berwenangdan berlakunya dapat dipertahankan, maka akan lahir Praktik Hukum yaitu pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit . ”dipaksa”,  memakai sistem  Civil law  yang bermuara pada legalitas belaka,  yang terkadang sering tidak bermuara pada keadilan yang seutuhnya.
3.      Terkhusus bagi mahasiswa-i pemerhati hukum pada Perguruan Tinggi, haruslah terus belajar terhadap hakikat filsafat hukum, yang nantinya  pasti  akan berguna bagi perbaikan sistem hukum di Indonesia yang masih dirasa carut marut.

F. Rekomendasi

Kepada yang terhormat badan Legislatif (DPR) Indonesia,  tetaplah Pancasila dipertahankan sebagai  sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, karena Pancasila adalah ruh perjuangan para pahlawan, serta produk hukum yang asli tercipta oleh karya para pejuang / pahlawan Indonesia. 
 
Kepada yang terhormat badan Yudikatif (para hakim khususnya) dengan memahami
fisafat hukum agar mengadili perkara dengan adil, tidak hanya melihat hukum sebagai ”teks” belaka, tetapi juga milahat secara konteks / keadilan masyarakat, sesuai dengan firman Allah, SWT, yang artintya : ”...dan  jika  kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil” AQ.S. Al-Maidah : 42 ;
 
Yang terhormat para ilmuwan filsafat hukum, jangan jemu-jemu dalam membimbing generasi muda sebagai cikal bakal penerus perjuanganmu, yang bakal mengubah Indonesia menjadi negara yang makmur sebagaimana cuta-cita para pejuang yang berbunyi ”menuju ke baldatun thoyyibatun warobbun ghofuur  

R E F E R E N S I

·        Muchsin,  Ikhtisar Filsafat Hukum,  cetakan kedua  , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006 
·        Darmodiharjo,  dan Shidarta,  Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan keenam, Mei 2006 
·        Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta cetakan keenam belas, 2003 



Rabu, 12 Januari 2011

PEMBORONGAN KERJA/PEKERJAAN

Bagian enam
PEMBORONGAN KERJA/PEKERJAAN


Sumber aturannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab ke-6 (ps. 1601b dan ps. 1604 s/d 1617).

Definisi/pengertian:
Pemborongan kerja yang dalam bahasa Belanda disebut "aanneming van werk" ialah persetujuan/perjanjian (overeenkomst), dengan. mana pihak yang satu -pemborong (aannemer)- mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain -yang memborongkan (aanbesteder)- dengan menerima suatu harga (prijs) yang ditentukan.
Macam borongan dan pertanggungan jawab pihak-pihak ybs.:
Dalam kontrak pemborongan itu para pihak (yang memborongkan dan pemborong) dapat menjanjikan:
        bahwa pemborong hanya akan melakukan pekerjaan (arbeid) saja, atau
        bahwa pemborong selain dari melakukan pekerjaan akan menyediakan bahannya (stof) juga.

Hal tersebut inembawa akibat .dalam. pertanggung jawaban, yaitu mengenai hal yang pertama, jika hasil pekerjaan ybs. musnah (vergaat), maka pemborong hanya bertanggung jawab untuk/ karena kesalahannya saja, sedangkan mengenai hal yang kedua, jika hasil pekerjaan ybs. dengan cara bagaimanapun juga musnah sebelum pekerjaan itu diserahkan kepada yang memborongkan, maka pemborong bertanggung jawab atas segala kerugian, kecuali bila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima pekerjaan itu.

Para ahli bangunan (bouwmeesters) dan para pemborong ybs. bertanggung jawab untuk selama 10 tahun, jika suatu gedung yang telah diborongkan dengan. harga  tertentu, sebagian atau seleuruhnya musnah dikarenakan. suatu cacat, baik dalam penyusunan (gebrek in de samenstelling) konstruksinya atau karena tak patut/tak baiknya (ongeschiktheid) tanah ybs atau kualitas bahan yang digunakan.
Pihak pemborong bertanggung-jawab terhadap perbuatan dari para pekerja yang ia suruh untuk melakukan pekerjaan borongan ybs.

Borongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya pemborong ybs., tanpa mengurangi kewajiban pihak yang memborongkan untuk membayar kepada ahliwaris pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan dan atau harga bahan yang telah disediakan oleh pemborong, dengan mana pihak yang memborongkan memperoleh suatu manfaat.


Bagian tujuh
PERSEROAN/PERSEKUTUAN PERDATA
(MAATSCHAP)
Sumber aturannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab ke-8 (ps. 1618 s/d 1652).
Definisi/pengertian:
Perseroan yang dalam bahasa Belanda disebut "maatschap" adalah suatu persetujuan/perjanjian (overeenkomst) dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam suatu gabungan (gemeenschap), dengan maksud untuk membagi di antara mereka (para peseronya) keuntungan yang terjadi/diperoleh dari kerja sama itu.

Sifat:
Perseroan ini mencari/mengejar keuntungan yang bersifat kebendaan (stoffelijk voordeel) dan yang hanya dapat diadakan/ didirikan oleh 2 orang atau lebih; jadi tak bisa hanya oleh seorang saja (logis).

Perseroan yang terdapat dalam BW ini merupakan dasar hukum pula dari/bagi perseroan-perseroan lain yang terdapat dalam kitab Undang-undang lain seperti (terutama) Wvk, yaitu perseroan di bawah firma, perseroan komanditer, perseroan terbatas, perseroan perkapalan (rederij) d1l. sebagainya, yang sering kita jumpai sehari-hari dalam dunia usaha (business).

Hal ini akan disinggung lebih lanjut dalam BAB XI tentang Hukum Dagang.

Bagian delapan
HIBAH

Sumber ataurannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III. Bab ke-10 (ps. 1666 s/d 1693).


Definisi/pengertian:
Hibah/penghibahan (schenking) adalah suatu persetujuan/ perjanjian (overeenkomst), dengan/dalam mana pihak yang menghibahkan (schenker), pada waktu ia masih hidup, secara Cuma-cuma (om niet) dan tak dapat ditarik kembali, menyerahkan/ melepaskan sesuatu benda kepada/demi keperluan penerima hibah (begiftidge) yang menerima penyerahan/penghibahan itu.

Beberapa ketentuan:
Yang perlu diperhatikan tentang hibah ini antara lain s.b.b.:
        Yang dapat dihibahkan hanya benda yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada itu.
        Antara suami-isteri penghibahan dilarang, kecuali mengenai hadiah atau pemberian benda bergerak yang bertubuh (roerende en lichamelijke voorwerpen) dan harganya tidak Beberapa, dengan men gingat/memperhatik an kemampuan penghibah. Yang dapat diberikan antara suami-isteri itu hanya benda bergerak yang bertubuh, tidak termasuk penghibahan mengenai kertas-kertas berharga (geldswaardige papieren).
        Penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau keagamaan (openbare of godsdienstige gestichten) hanya sah setelah oleh Presiden atau pejabat/penguasa yang ditunjuk olehnya kepada pengurus lembaga-lembaga tersebut diberi kekuasaan untuk menerima hibahan itu.
Baik Notaris maupun saksi-saksi dari sesuatu akta hibah tidak boleh menikmati suatu dari pada akta yang dibuat di hadapan/disaksikan oleh mereka sendiri.
        Akta hibahan itu harus dibuat secara otentik (notarieel) demikian pula halnya dengan akta penerimaan hibahan ybs., bila akta pemberian dan penerimaannya dibuat secara terpisah.

Catatan:
Mahkamah Agung R.I. dalam surat edarannya No. 3/1963 menganggap bahwa ps. 1682 BW yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta-notaris, tidak berlaku lagi.

Mengenai hibahan tanah harus selalu dilakukan dengan akta yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Ketentuan ini tidak berlaku untuk pemberian benda yang bertubuh atau surat penagihan utang kepada penunjuk (aan toonder), yang bahkan dapat dilakukan tanpa suatu akta.

Jika sesuatu akta hibah karena adanya cacad (gebrek) dalam bentuk (vorm), maka hibahan itu batal (nietig) demi hukum, dan cacadnya itu tidak dapat diperbaiki dengan suatu akta penegasan (bevestiging), melainkan harus dibuat akta hibah yang baru.

Pasal 1684 jo bab kelima Buku Kesatu BW (ps. 103 dst.) tentang hak dan kewajiban suami dan isteri, mengatur tentang hibahan kepada wanita bersuami, sedangkan pasal 1685 mengenai hibahan kepada anak-anak di bawah umur (belum dewasa), baik yang berada di bawah kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) ataupun yang berada di bawah perwalian (voogdij).

Suatu hibah hanya dapat ditarik kembali atau dihapuskan (te niet gedaan) :
a.       jika syarat-syarat yang tercantum dalam akta ybs. tidak dipenuhi;
b.      jika penerima hibah bersalah melakukan atau turut melakukan kejahatan yang bertujuan untuk membunuh penghibah atau kejahatan lain terhadap penghibah;
c.       jika penerima hibah menolak untuk memberikan tunjangan (levensonderhoud) kepada penghibah, setelah penghibah jatuh miskin.

Menurut ps. 1693 ketentuan-ketentuan dalam bab ke-10 Buku ke-III ini (ps. 1666 dst.) tidak mengurangi/tak merubah berlakunya apa yang ditetapkan dalam bab ke-7 Buku Kesatu BW (ps. 139 dst.) tentang pemberian (giften) pada perjanjian kawin (huwelijksvoorwaarden).

Yurisprudensi:
Yurisprudensi mengenai hibah/hibahan a.l. hal-hal s.b.b.:
1. — Apabila suatu hibah dilakukan dengan disaksikan dua orang saksi, sekalipun hibah itu tidak dilakukan di Muka kepada desa, maka hibah itu adalah sah.
Dalam Hukum Adat Jawa-Barat tidak ada suatu ketentuan bahwa suatu hibah atau wasiat harus dilakukan dalam suatu bentuk yang tertentu, misalnya dengan membuat suatu akta di hadapan pemerintah desa.
(M.A. tanggal 31-5-1972 No. 249 K/Sip/1972).

2. Hibah, walaupun untuk keuntungan anaknya sendiri, yang menyebabkan hilangnya hak waris anak (anak) lainnya, adalah tidak sah dan karena itu batal menurut hukum.
(Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 20-11-1972 No.75/1972/Perd/PTB).

3. Sekalipun tanah-tanah gono-gini dihibahkan oleh seorang isteri tanpa sepengetahuan dan/atau seizin suaminya yang sama-sama berhak atas tanah gono-gini itu, akan tetapi apabila suami tersebut sekian lamanya (kira-kira 9 tahun) membiarkan tanah itu dalam keadaan tersebut, maka sikap suami itu harus dianggap membenarkan keadaan tersebut.
(M.A. tanggal 21-1-1974 No. 695 K/Sip/1973).

4. Hibah daripada sebidang tanah yang sedang dalam sengketa Pengadilan dan dalam keadaan sita lebih dahulu (conservatoir beslag), adalah batal menurut hukum (van rechtswege nietig), sehingga orang yang menerima hibah ini tidak menjadi pemilik yang sah dari tanah yang bersangkutan.
(M.A. tanggal 16-10-1971 No. 601 K/Sip/1971).

5. Apabila tidak dapat dibuktikan bahwa barang yang dihibahkan adalah milik pemberi hibah, demikian pula tidak jelas bagian mana dari sebidang tanah yang dihibahkan serta berapa luasnya, maka tidak terbukti pula, bahwa telah terjadi suatu penghibahan tanah.
(M.A. tanggal 11-12-1971 No. 703 K/Sip/1971).

 6. Apabila seseorang dengan kemungkinan akan meninggal dunia menetapkan mengenai kekayaannya untuk kepentingan isteri dan anak atau anak saudara lain yang terdekat, maka ketetapan itu disebut penghibah-an..
— Meskipun suatu penghibahan merupakan hibah mutlak, namun apabila kedua belah pihak sama-sama setuju, tiada halangan dalam hukum apabila tanah dan Bawah selama hidup pemberi hibah masih dikuasai olehnya
(M.A. tanggal 5-2-1972 No. 855 K/Sip/1971).

7. Penghibahan diperkenankan asal saja tidak merupakan pencabutan hak waris ahliwaris lainnya (onterving). (M.A. tanggal 30-10-1971 No. 637 K/Sip/1971).

8. Seseorang tidak dapat menghibahkan suatu barang yang belum ia miliki.
(Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 23-7-1970 No. 243/1969/Perd/PTB).

9. Suatu hibah hanya dapat dibatalkan, apabila dapat dibuktikan adanya unsur paksaan, kekhilafan atau penipuan pada waktu surat hibah dibuat.
(M.A. tanggal 1-3-1972 No. 827 K/Sip/1971).


Bagian sembilan
PENITIPAN BARANG Sumber aturannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab ke-11 (ps. 1694 s/d 1739).

Definisi/pengertian:
Pengertian mengenai penitipan barang (bewaargeving) ini dapat kita ketahui a.l. dari bunyi ps. 1694, yang menyatakan bahwa penitipan itu terjadi, apabila seseorang menerima sesuatu barang dari seseorang lain dengan syarat bahwa ia menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya (in natura).
BW mengenal dua macam penitipan barang, yaitu:
-           penitipan yang sejati (de eigenlijk gezegde bewaargeving) dan
-           sekestrasi (sequestratie).

Penitipan sejati:
Penitipan barang yang sejati hanya dapat terjadi mengenai barang gerak (roerende goederen) dan jika tidak dijanjikan sebaiknya dianggap dibuat tanpa pembayaran (cuma-cuma), dengan ketentuan bahwa barang ybs. harus sungguh-sungguh diserahkan atau secara dugaan/disangkakan (voorondersteld).

Penitipan barang itu terjadi:
dengan sukarela, yaitu bila terdapat kata sepakat (wederkerige toestemming) antara yang menitipkan dan yang dititipi, atau
        karena terpaksa, yaitu bila/dalam hal tejadinya sesuatu malapetaka, seperti kebakaran, runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir dan peristiwa lain yang tak disangka-sangka.

Yang menerima titipan barang berkewajiban untuk merawat barang ybs. dan memeliharanya itu harus seperti ia memelihara barang milik pribadinya sendiri serta mengembalikan. barang itu dalam ujudnya tatkala ia menerima barang itu. Oleh karena itu apabila yang dititipkan,itu berupa uang (geldsom), maka yang harus dikembalikan itu mata uang yang sama. seperti yang dititipkan. Nark atau turunnya nilai uang itu ataukemunduran harga dari sesuatu barang yang dititpkan merupan tanggungan pihak yang menitipkan (logis).

Penerima barang titipan berhak -bila beralasan yang sah-untuk mengembalikan kepada pihak yang menitipkan barang ybs. sebelum habisnya waktu penitipan menurut perjanjian, atau jika pihak yang menitipkan menolaknya dapat diminta izin Hakim untuk menitipkan .barang itu di suatu tempat lain.

Sekestrasi:
Pengertian tentang sekestrasi (sequestratie) dapat kita baca dalam ps. 1730, hal mana terjadi atas barang sengketa/perselisihan (geschil). Barang ybs. berada di tangan seorang ketiga (een derde), yang mengikatkan diri untuk mengembalikan barang itu serta hasilnya (vruchten) kepada pihak yang dinyatakan berhak, hal mana dapat terjadi karena perjanjian atau atas perintah Hakim.

Sekestrasi tunduk pada aturan yang berlaku untuk penitipan sejati, akan tetapi dengan perbedaan/pengecualian sebagaimana tercantum dalam ps. 1734 dst., antara lain:
        bahwa sekestrasi dapat mengenai baik benda (ber) gerak maupun benda tak-gerak, dan
— bahwa orang yang dititpi barang secara sekestrasi tidak dapat dibebaskan dari tugasnya sebelum selesai/berakhirnya sengketa ybs., kecuali jika semua pihak yang ber-kepentingan menyetujuinya atau apabla terdapat suatu alasan lain yang sah.

Yurisprudensi, a.l.:
Untuk uang titipan tidak dapat diperhitungkan bunga. (M.A. tanggal 13-8-1973 No. Reg. 372 K/Sip/1973).



Bagian sepuluh
PINJAM — PAKAI
Sumber aturannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab ke-12 (ps. 1740 s/d 1753).

Definisi/pengertian:
Pinjam-pakai yang dalam bahasa Belanda disebut "bruiklening" itu adalah suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan-, mana pihak yang satu membeikan (geeft) suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai secara cuma-cuma (om niet), dengan syarat bahwa yang menerima barang itu setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya.

Beberapa ketentuan:
Perikatan (verbintenissen) yang terbit dari perjanjian pinjam-pakai beralih/berpindah baik kepada ahliwaris yang meminjamkan atau kepada ahliwaris yang meminjam, kecuali apabila peminjaman itu telah diberikan kepada seseorang secara pribadi (khusus), maka ahliwaris peminjam tak dapat terus/tetap menikmati barang pinjaman itu.

Kewajiban-kewajiban peminjam barang antara lain, bahwa ia —peminjam— berkewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang pinjaman ybs. sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, yaitu sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik (als een goed huis vader). Ia hanya boleh memakai barang pinjaman itu sesuai dengan sifat dari barang ybs.

Ada kalanya. barang yang merupakan obyek perjanjian itu berkurang harganya. Jika terjadi demikian, maka peminjam tidak bertanggung-jawab mengenai kemunduran harga/nilai barang itu, asalkan berkurangnya itu di luar salahnya pemakai/peminjam dan oleh karena pemakaian semata-mata.

Kewajiban-kewajiban yang meminjamkan barang antara lain, bahwa ia hanya boleh meminta kembali barang ybs. setelah lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian, atau sesudah dipergunakannya barang itu untuk keperluan yang dimaksudkan, apabila kedua pihak tidak menjanjikan jangka waktu tertentu, kecuali apabila Hakim memutuskan lain dengan mengingat alasan yang mendesak yang diajukan oleh yang meminjamkan.


Bagian sebelas
PINJAM — MENGGANTI/MEMINJAM Sumber aturannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab ke-13 (ps. 1754 s/d 1769).

Definisi/pengertian:
Pinjam-mengganti atau pinjam-ganti atau pinjam-meminjam yang dalam bahasa Belanda disebut "verbruiklening", yaitu persetujuan/perjanjian (overeenkomst) dengan mana pihak yang satu, yaitu yang meminjamkan/kreditur memberikan (afgeeft) kepada pihak yang lain, yaitu yang meminjam/debitur suatu jumlah tertentu dari benda (zaken) yang dapat habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang meminjam mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

Beberapa ketentuan:
Perbedaan yang sangat penting/menonjol antara pinjam-pakai dan pinjam-ganti di antaranya ialah, bahwa dalam pinjam pakai (bruiklening) pihak yang meminjamkan tetap merupakan pemilik barang.. yang dipinjamkan, sedangkan pada pinjam-mengganti (verbruik-lening) peminjam menjadi pemilik benda ybs. dengan akibat (dalam pinjam-ganti) jika barang itu musnah secara bagaimanapun, maka kemusnahan itu merupakan tanggungan pihak peminjam, yang lain halnya dengan musnahnya barang pada perjanjian pinjam-pakai (Baca lagi ps. 1745).

Di kalangan masyarakat mengenai pinjam-ganti ini paling sering terjadi ialah pinjaman uang/pengakuan utang (perjanjian kredit), baik antara orang-orang pribadi maupun antara orang dengan berbagai bank (Pemerintah dan Swasta). Demi kepentingan para pihak seyogyanya dan biasanya pembuat kontrak (termasuk para Notaris) hati-hati dalam pembuatan akta perjanjian pengakuan utang atau perjanjian kredit ini.

Dalam Bab ke-13 tersebut pasal-pasal yang menyebut-nyebut khsuus tentang atau bertalian erat dengan pinjaman uang itu ialah ps. 1756, 1757, 1761, 1765, 1766, 1767, 1768 dan 1769, sedangkan pasal-pasal lainnya pada umumnya merupakan aturan baik yang berlaku untuk peminjaman uang maupun barang/benda lain yang dapat habis setelah dipakai (verbruikbare zaken) atau barang/benda yang dapat diganti (vervangbare zaken).

Undang-undang memperbolehkan kepada para pihak, yaitu kreditur .dan debitur untuk menjanjikan bunga (interest/rente) dalam perjanjian pinjam-meminjam uang atau barang lain yang dapat habis karena pemakaian. Sebaiknya besarnya bunga itu ditetapkan/ditentukan oleh pihak-pihak ybs, oleh karena apabila besarnya itu tidak ditentukan, maka debitur hanya berkewajiban membayar bunga menurut undang-undnag, yaitu sebesar 6% per tahun (Stb. 1848 — 22). Tentang "anatocismus" (bunga atas bunga) telah disinggung dalam Bab terdahulu.

Yurisprudensi:
Beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai utang-piutang a.l. adalah s.b.b.:
1. Suku bunga yang ditetapkan oleh pihak-pihak ybs. sendiri dalam transaksi kreditnya, menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang dapat diminta oleh pihak yang dirugikan. (M.A. tanggal 3-6-1972 No. 244 K/Sip/1972).

2. Karena pokok piutang tidak dapat diperniagakan, maka ganti rugi sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah piutang adalah layak (M.A. tanggal 23-8-1972 No. 112 K/ Sip/1972).

3. Dalam hal seseorang mengakui, bahwa ia pernah menyanggupi membayar sejumlah uang, maka hal ini harus dianggap sebagai jaminan dari perjanjian kembalinya uang pinjaman, sekalipun bukan ia sendiri yang menerima pinjaman tersebut (M.A. tanggal 13-8-1973 No. 382 K/ Sip/1973).

4. Untuk uang titipan tidak dapat dikenakan bunga. (M.A. tanggal 13-8-1973 No. 382 K/Sip/1973).

5. Apabila bunga tidak diperjanjikan, maka Pengadilan dapat menetapkan bunga berdasarkan undang-undang. Berdasarkan pasal 1766 BW:
1) Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian, boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam hal-hal penentuan bunga yang lebih tinggi itu tidak dilakukan oleh undang-undang.
2) Besarnya bunga yang diperjanjikan harus ditetapkan secara tertulis.
(M.A. tanggal 24-9-1973 No. 224 K/Sip/1972).

6. Apabila seseorang memberikan jaminan (borg staan) kepada suatu perseroan terbatas terhadap utang yang diadakan oleh perseroan terbatas lainnya, maka jaminan oleh orang tersebut merupakan jaminan pribadi, sehingga pemberi jaminan ini hanya bertanggung-jawab sampai apa yang ia telah jaminkan;
dan pelaksanaan j hanya tanggungawab itu hya terbatas pada dan sampai pada harga penjualan daripada barang jaminan yang telah ia berikan itu.
(M.A. tanggal 3-10-1973 No. 436 K/Sip/1973).

7. Pengembalian uang atau ganti kerugian setelah adanya perubahan nilai uang didasarkan pada perbedaan nilai harga emas pada waktu terjadi/timbulnya utang ybs. dan keadaan pada waktu pengembalian utang tersebut dengan membagi rata (dua) risiko atas perubahan harga emas di antara kedua belah pihak.
(M.A. tanggal 14-6-1969 No. 74 K/Sip/1969 dan M.A. tanggal 18-12-1971 No. 398 K/Sip/1971).

8. Suku bunga yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam surat perjanjian resmi (akta Notaris) tetap berlaku, sekalipun menurut ketentuan Bank-bank Negara dan Hukum yang berlaku suku bunga terhadap uang yang didepositokan jauh lebih rendah (ps. 1767 BW). (M.A. tanggal 19-12-1970 No. 728 K/Sip/1970).
9. Menurut yurisprudensi tetap, jika ganti rugi/bunga tidak dapat ditentukan/dibuktikan maka selayaknya diberikan bunga 6% setahun menurut undang-undang.
(M.A. tanggal 5-2-1972 No. 779 K/Sip/1971).
10. Bunga di dalam perjanjian hutang piutang uang antara 2 orang Indonesia (asli) berdasarkan Yurisprudensi tetap, dihitung sebanyak 6% setahun, walaupun antara kedua belah pihak diadakan perjanjian lain (dalam hal ini sebanyak 10 % sebulan).
(M.A. tanggal 5-2-1972 No. 779 K/Sip/1971).

11. Menurut peraturan (Woeker ordonantie S. 1938-524), apabila Pengadilan menganggap bunga atas suatu pinjaman uang terlampau besar, Pengadilan karena jabatan dapat meringankan bunga tersebut.
(M.A. tanggal 30-6-1970 No. 755 K/Sip/1970).

12. Bunga 10% atas uang simpanan sudah merupakan ganti kerugian.
 (M.A. tanggal 22-3-1972 No. 1322 K/Sip/1971).
Bagian duabelas
BUNGA TETAP/ABADI Sumber aturannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab ke-14 (ps. 1770 s/d 1773).

Definisi/pengertian:
Bunga abadi yang dalam bahasa Belanda disebut "gevestigde/ altijddurende renten" merupakan suatu perjanjian (overeenkomst) dengan mana pihak yang memberi pinjaman uang (uitlener/ kreditur) mensyaratkan (dijanjikan oleh kedua belah pihak) adanya bunga atas pembayaran sejumlah uang pokok (hoofdsom) yang tidak akan dimintanya kembali (dari debitur).

Perbedaannya dengan pinjaman uang dengan bunga biasa, ialah dalam altijddurende rente — sebagaimana diterangkan di atas — uang/pinjaman pokok ybs. tidak boleh diminta kembali kecuali bila (salah satu dari) ketiga hal tersebut di bawah ini terjadi.

Hak dan kewajiban kreditur dan debitur:
Bunga yang dijanjikan oleh para pihak itu pada dasarnya dapat dibayar/diangsur (aflosbaar), meskipun para pihak itu dapat saling berjanji, bahwa hal ini selama tenggang waktu/masa untuk —hal mana tidak boleh lebih dari 10 tahun — tidak akan terjadi. (Baca ps. 1771 BW).

Debitur dapat dipaksa untuk mengembalikan uang pokok pinjaman, apabila:
(1) debitur samasekali tidak membayar bunga selama 2 tahun berturut-turut, kecuali jika ia dalam waktu 20 hari terhitung mulai adanya peringatan dengan perantaraan Hakim (gerechtelijke aanmaning) membayar angsuran-angsuran yang sudah harus dibayarnya;
(2) debitur lalai memberikan jaminan yang telah dijanjikan kepada kreditur, kecuali jika ia dalam waktu 20 hari terhitung mulai adanya peringatan seperti tersebut di atas memberikan jaminan yang telah dijanjikan/ditentukan; dan
(3) debitur telah dinyatakan pailit (baca pula a.l. pasal 127 F.V.).
Praktek:

Pada dewasa ini sangat jarang orang membuat perjanjian (kontrak) ini, sehingga boleh dikatakan (kita pandang) hal ini merupakan suatu peristiwa sejarah ("historisch") saja.

Bagian tigabelas
PERJANJIAN UNTUNG-UNTUNGAN Sumber aturannya:
Hal ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab ke-15 (ps. 1774 s/d 1791).
Definisi/pengertian:

Perjanjian untung-untungan yang dalam bahasa Belanda disebut "kansovereenkomst" merupakan suatu perbuatan yang hasilnya — bertahan dengan untung-ruginya — baik bagi semua maupun bagi salah satu pihak, bergantung pada "suatu kejadian yang belum tentu", tergantung dari "pelaksanaan kewajiban dari suatu pihak".
Contoh:
(1) perjanjian pertanggungan (de overeenkomst van verze- kering) (Baca juga a.l. ps. 246 dst WvK);
(2) bunga cagak hidup atau bunga untuk selama hidup seseorang (lijfrente), dan
(3) perjudian dan pertaruhan (spel en weddingschap).
Bunga cagak hidup:
"Perjanjian"/"persetujuan" ini yang menurut pendapat ahli-ahli hukum hendaknya tidak dipandang sebagai suatu persetujuan, melainkan suatu perhubungan hukum tertentu, dapat terjadi karena/dengan:
(1) persetujuan atas beban (bij ene bezwarende titel), atau
(2) suatu akta hibah (schenking), atau
(3) suatu surat/akta wasiat, atau
(4) suatu putusan Hakim (Yurisprudensi di Negeri Belanda tahun 1929).
Perjanjian ini dapat diadakan:
        atas diri (lijf) orang yang memberikan pinjaman (geldschieter), atau
        atas diri (lijf) orang yang memperoleh kenikmatan dari bunga tersebut, atau
        atas diri seorang ketiga (een derde), walaupun orang ini tidak menikmatinya;
        atas diri satu orang atau lebih;
        dengan bunga yang besarnya sesuai dengan ketetapan para pihak sendiri.
Bunga cagak hidup tidak dapat diadakan atas diri seorang yang telah meninggal pada hari dibuatnya perjanjian/persetujuan itu; dengan sanksi "tak berdaya" ("krachteloos")/batal.


Pemungut bunga (renteheffer) hanya dapat menagih bunga dengan mengatakan bahwa orang yang atas dirinya diadakan lijfrente itu masih hidup.
Perjudian dan pertaruhan:
Mengenai hal ini undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum (rechtsvordering) untuk utang yang terjadi karena itu, terkecuali mengenai permainan yang berlaku (geschikt) untuk olahraga. Hal tersebut tidak dapat dihindari dengan dalih "pembaruan utang" ("novatie"/"schuldvernieuwing").
Seseorang yang telah membayar secara sukarela suatu perjudian sama sekali tidak berhak untuk menuntut kembali pembayaran itu terhadap/dari pemenang ybs., kecuali jika kemenangan itu terjadi karena kecurangan atau penipuan dari "pemenang" tersebut.