Senin, 13 September 2010

WADHI’AH DALAM PERBANKAN SYARIAH

PENGERTIAN WADI’AH
 
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga1. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.2
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh3, yaitu :

  1. Ulama madzhab hanafi mendefinisikan :
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab iya atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.

  1. Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

menurut HASBI-ASHIDIQIE al-wadi’ah ialah :
akad yang inrinya minta pertolongan pada seseorang dalam memelihara harta penitip.”
menurut SYAIKH SYIHAB al-DIN al-QALYUBI wa SYAIKH Umairah al-wadi’ah ialah :
benda yang diletakan pda orang lain untuk dipeliharanya
menurut IBRAHIM al-BAJURI berpendapat bahwa yang dimaksud al-wadi’ah ialah
akad yang dilakukan untuk penjagaan”
menurut ADDRIS AHMAD bahwa titipan adalah barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Tokoh – tokoh ekonomi perbankan berpendapat bahwa wadhi’ah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.4

1 Fadly. Bab wadhi’ah ( titipan ). ( online ). (http://alislamu.com/index.php?Itemid=22&id=283&option=com_content&task=view diakses pada 07 10 2009)
2 Administrator. Prinsip Al-Wadiah pada Perbankan Syariah ( online ). (http://www.vibiznews.com/articles_financial_last.php?id=24&sub=article&month=OKTOBER&tahun=2007&awal=0&page=syariah diakses pada 07 10 2009 )
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. ( Beirut : Darul Kitab Al Aroby, 1987 ) hal. 3
3 Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah ). ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 245
4 Triandaru, Sigit, Budisantoso, Totok. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. ( Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2006) hal. 161

WADHI’AH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Dalam perbankan Syariah terdapat beberapa prinsip yang diadobsi dalam pengelolaanya, yang ditujukan untuk menggalang dana untuk membiayai operasinya. Sumber dana dalam perbankan secara umum ada 3, yaitu dari bank sendiri, yang berupa modal setoran dari pemegang saham, dari masyarakat, yang berupa simpanan dalam bank tersebut. Dana dari masyarakat ini adalah sumber dana terpenting bagi bank, dan merupakan keberhasilan bagi bank apabila dapat membiayai operasinya dari sumber dana ini.Dan berikutnya adalah dana dari lembaga lain, yang berupa kredit dari BI, pinjaman dari bank lain dan lain sebagainya.
Secara umum, kegiatan penghimpunan dana perbankan dari masyarakat terbagi dalam 3 jenis, yaitu simpanan giro ( demand deposit ), simpanan tabungan ( saving deposit ), simpanan deposito ( time deposit).


  • Pengertian simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau yang dapat dipersamakan dengan itu.
  • Rekening giro menurut Undang Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.


  • Pengertian tabungan menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya banya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  • Deposito menurut UU Perbankan nomor 10 tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.
Secara umum, masyarakat mengenal simpanan dengan sebutan tabungan. Padahal secara operasionalnya konsep yang berjalan antara simpanan atau wadhi’ah dengan tabungan. Tabungan adalah sebagian pendapatan masyarakat yang tidak dibelanjakan disimpan sebagai cadangan guna berjaga-jaga dalam jangka pendek.
Faktor-faktor tingkat Tabungan :
  1. Tinggi rendahnya pendapatan masyarakat
  2. Tinggi rendahnya suku bunga bank
  3. Adanya tingkat kepercayaan terhadap bank
Dalam tabungan sudah pasti nasabah berlomba – lomba untuk mencapai tingkatan tertentu guna meraih keuntungan sebesar – besarnya yang ditawarkan oleh bank yang berupa bunga. Dalam wadhi’ah tidak terdapat bunga yang ditawarkan atau diakadkan di muka, sehingga ia murni penitipan dan bukan penginventarisan.
Istilah bank syariah atau bank bagi hasil dapat diterjemahkan menjadi lebih dari satu pengertian, terutama bila dikaitkan dengan kegiatan operasionalnya. Agar lebih terarah maka bank Indonesia memberi pedoman dan prinsip – prinsip yang harus dijalankan oleh bank syariah di Indonesia yang dituang dalam UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, UU nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992, dan SK Dir BI nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang berdasarkan bank berdasarkan prinsip syariah.
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah adalah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi :
    1. Giro
    2. Tabungan
    3. Deposito
    4. Dan bentuk lainnya.
Adapun ketentuan umum dari prinsip ini adalah:
      1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau tanggungan bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
      2. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card.
      3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
      4. Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Paparan diatas adalah ketentuan – ketentuan yang umumnya ada dalam produk bank syariah yang menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan untuk tiap produk memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang sedikit berbeda tapi umumnya sama.
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.
Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking policy dalam upaya merangsang minat masyarakat terhadap bank, sekaligus sebagai indicator bank terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Rasulullah SAW bersabda : “ berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik – baiknya kamu adalah yang terbaik ketika membayar. “( HR. Muslim ).
Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut digunakan untuk aktivitas perbankan lainnya dengan ketentuan bank memberikan jaminan atas simpanan tersebut dan mengembalikan pada nasabah bila dikehendaki.
Dewasa ini banyak bank islam di luar negeri yang mengembangkan konsep wadhi’ah yang dipadukan dengan konsep mudhorobah. Iran giro dijalankan dengan prinsip qard al hasan dan di malaysia dioperasikan dengan prinsip mudharabah. Dalam hal ini dewan direksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan prosentase dari keuntungan yang diterima dari dana wadhi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.


HUKUM SYAR’I WADI’AH

Apabila seseorang menitipkan barang kepada saudaranya, maka ia wajib menerima titipan tersebut, bila ia merasa mampu menjaganya, hal ini termasuk dalam rangka tolong menolong dalam ketakwaan dan kebajikan. Dan disini penerima titipan wajib mengembalikan titipan tersebut kapanpun penitip tersebut mengambil kembali titipannya. Adapun landasannya adalah :

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS An-Nisaa’: 58).

jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah: 283).


Dan sabda Rasulullah saw:

“Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 240, Tirmidzi II: 368 no: 1282 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 450 no: 3518).


ادالأمانة الى من ائتمنك و لا تخن من خانك (رواه ابو داود و الترمذى و الحاكم )


“ serahkanlah amanat kepada orang yang dipercayai anda dan janganlah menghianati orang yang menghianati anda “ ( HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).

Ibnu umar berkata bahwasanya rasulullah SAW bersabda “ tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada sholat bagi yang tidak bersuci. ( HR. Thabrani ).


wadhi'ah

Rukun Wadhi’ah

Menurut imam Hanafi, rukunnya hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul.

Tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa rukunnya ada tiga, yaitu orang yang berakad, barang titipan dan shighah ijab dan kabul.


Syarat – syarat wadhi’ah

Adapun syarat bagi orang yang berakad adalah ;

Menurut Hanafi : mumayyis atau berakal dan diijinkan oleh walinya. Dalam hal ini mereka tidak menyaratkan baligh.

Menurut jumhur ulama : baligh, berakal dan cerdas.

Dalam benda atau obyek wadhi’ah, disyaratkan barang tersebut jelas dan dapat dipegang.

Dalam akadnya terdapat sifat yang mengikat kedua belah pihak dan bersifat amanat. Tidak ada ganti rugi atau dhamaan bila terjadi kerusakan kecuali bila disengaja. Dan dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

ليس على المستودع غير المغل ضمان ( رواه البيهقى و الدر قطنى )

“ orang yang dititipi barang apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi “ (HR. Baihaqy dan daru Quthny).

“ tidak ada terhadap orang yang dipercaya yang memegang amanat.” ( HR. Daru Quthny ).

Maka bila diisyaratkan ganti rugi dalam wadhi’ah maka akad tersebut tidak sah.

Tetapi ulama fiqh berpendapat bahwa sifat amanat pada wadhi’ah dapat menjadi dhamaan apabila terjadi kemungkinan – kemungkinan seperti di bawah ini :

1.      Barang tersebut tidak dapat dipelihara oleh yang dititipi.

2.      Barang tersebut dititipkan lagi kepada seseorang yang bukan di dalam tanggungjawabnya.

3.      Barang tersebut dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.

4.      Orang yang dititipi mengingkari adanya titipan padanya.

5.      Orang yang dititipi mencampur barang tersebut dengan barang pribadinya.

6.      Orang yang dititipi tidak menepati persyaratan yang ditentukan penitip.


HUKUM MENERIMA BENDA TITIPAN

Benda-benda titipan ada dua macam yaitu :

Sunnat,wajib,haram,dan makruh secara lengkap dijelaskan sebagai berikut :

1.      Sunat, disunatkan menitipkan pada orang yang terpercaya kepada dirinya bahwa ia sanggup menerima benda-benda yang ditiutipkan kepadanya.

2.      Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipkan pada seseorang yang terpercaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut sementara oarng lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercay untuk memelihara benda-benda tersebut

3.      Makruh, bagi orang yang dipercay kepada dirinya sendiri bahwa ia mwmpu menjaga benda-bena titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda titipan atau menghilangkannya.

4.      haram,apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan.


Macam – macam wadhi’ah

Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:

1.      Wadhi’ah Yad Dhamanah - wadiah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya. Merupakan akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan yang mana pihak tersebut dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dan bertanggung jawab atas titipan tersebut bila terjadi kerusakan atau kelalaian dalam menjaganya dan keuntungan dari pemanfaatan barang tersebut menjadi hak penerima titipan yang memanfaatkan barang tersebut.


2.      Wadhi’ah Yad Amanah - wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. Akad dimana pihak penerima tidak diperkenankan untuk memanfaatkan barang titipan tersebut dan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan ataupun kelalaian yang bukan disebabkan oleh penerima titipan.Dalam hal ini biaya perawatan barang dibebankan pada pemilik barang tersebut.


PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SERTIFIKAT
WADIAH BANK INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal I angka 3
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk kantor cabang dan atau
kantor cabang pembantu dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah,
atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar
negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah;
3. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti
penitipan dana wadiah;
4. Penitipan Dana Wadiah adalah penitipan dana berjangka pendek dengan
menggunakan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi Bank
Syariah atau UUS;
5. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.

Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat menerima Penitipan Dana Wadiah dari Bank Syariah
atau UUS.
(2) Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia.

Pasal 3
(1) Jumlah dana yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
sekurang-kurangnya Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah);
(2) Jumlah penitipan dana di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)
hanya dapat dilakukan dalam kelipatan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
Rupiah).
Pasal 4
(1) Penitipan Dana Wadiah dapat berjangka waktu 7 (tujuh) hari, 14 (empat belas)
hari, dan 28 (dua puluh delapan) hari.
(2) Bank Indonesia akan mengumumkan jangka waktu Penitipan Dana Wadiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari Penitipan Dana Wadiah.

Pasal 5
(1) Penitipan Dana Wadiah tidak dapat diambil kembali oleh Bank syariah atau
UUS sebelum berakhirnya jangka waktu Penitipan Dana Wadiah.
(2) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat mengakhiri Penitipan Dana
Wadiah sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1).

BAB II
KARAKTERISTIK
Pasal 6
(1) SWBI diterbitkan dan ditatausahakan tanpa warkat (scripless).
(2) SWBI tidak dapat diperjualbelikan (non negotiable).

BAB III
PENYELESAIAN PENITIPAN DANA WADIAH
Pasal 7
(1) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah dilakukan pada tanggal yang sama dengan
tanggal permohonan.
(2) Bank Syariah atau UUS wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro
Rupiah Bank Syariah atau UUS di Bank Indonesia pada waktu penyelesaian
Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank Syariah atau UUS
di Bank Indonesia sebesar nominal Penitipan Dana Wadiah.
(4) Dalam hal saldo rekening giro Rupiah Bank Syariah a tau UUS tidak mencukupi
untuk penyelesaian Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) maka permohonan Penitipan Dana Wadiah dibatalkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 8
(1) Penyelesaian Penitipan Dana Wadiah pada tanggal jatuh waktu dilakukan
dengan cara mengkredit rekening giro Rupiah Bank Syariah atau UUS di Bank
Indonesia sebesar nominal Penitipan Dana Wadiah.
(2) Dalam hal tanggal jatuh waktu Penitipan Dana Wadiah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah hari libur maka penyelesaian Penitipan Dana Wadiah
dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

BAB IV
PEMBERIAN BONUS
Pasal 9
Bank Indonesia dapat memberikan bonus atas Penitipan Dana Wadiah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 ayat (1).

BAB V
SANKSI
Pasal 10
(1) Untuk setiap pembatalan transaksi Penitipan Dana Wadiah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (4), Bank Syariah atau UUS dikenakan sanksi
berupa:
a. surat peringatan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 1
0
/00 (satu perseribu) dari Penitipan Dana
Wadiah yang dibatalkan atau sebanyak-banyaknya Rp1.000.000.000,00
(satu miliar Rupiah).
(2) Dalam hal Bank Syariah atau UUS mendapat sanksi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
pembatalan pertama maka Bank Syariah atau UUS dimaksud tidak
diperbolehkan mengajukan permohonan Penitipan Dana Wadiah selama 7
(tujuh) hari sejak tanggal dikeluarkannya surat peringatan ketiga.

BAB VI
PENUTUP
Pasal 11
SWBI yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan,
tetap tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/9/PBI/2000
tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia sampai dengan
SWBI tersebut jatuh waktu.

Pasal 12
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13 …

- 7 -
Pasal 13
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004

BAI' AL MUROBAHAH


Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah. Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil.

Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah , bahkan Ibnu Hubairoh menyampaikan ijma' dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani.) Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu.

Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari'at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda, diantaranya adalah :

1.      Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).

2.      Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.

3.      Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.

4.      Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Kalau "Bai' Al Amanah" (jual beli secara amanah) tidak ada perselisihan diantara para Ulama tentang bolehnya. Dan dinamakan jual beli amanah karena orang yang menjual wajib baginya untuk secara amanah menyebutkan harga kepada pembeli, dan hal tersebut ada tiga macam :

a.       Bai' al-Murobahah. (jual beli yang memberi keuntungan) Gambarannya: Saya membeli alat rekam (misalnya) dengan harga 1000, kemudian saya menjualnya kepada orang lain dengan keuntungan 200, maka ini adalah murobahah (keuntungan). Akan tetapi bukan seperti itu Bai' al-Murobahah yang praktekkan oleh Bank-bank Islam.

b.      Bai' al-Wadhi'ah. (menurunkan harga)
Gambarannya: Saya membeli suatu barang dengan harga 1000 dan saya menjualnya
ketika saya butuh, dengan harga 800.

c.       Bai' at-Tauliyyah (kembali modal).
Gambarannya: Saya membeli satu barang dengan harga 1000 dan kemudian saya menjualnya dengan harga 1000.

Permasalahan jual beli murabahah ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka: Imam As-Syafi'i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: 'Belilah untukku barang tersebut'. Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau 'barang' jenis apa saja yang kamu sukai dan saya akan memberika keuntungan kepadamu', semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertamam diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:

1. Berjual beli sebelum penjual memilikinya.

2. Berada dalam spekulasi (Mukhathorah).

Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-'Inah adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas.

Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma' al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada'ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa'adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya.

Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual.

Hukum Bai' Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-Mulzaam)

Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

1.      Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya.
  

2.      Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-'Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid.

Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat

Untuk mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.

Langkah proses Murabahah bentuk ini
Mu'amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:

1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.

a.       Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b.      Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.

2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.

3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.

a.       Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b.      Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c.       Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d.      Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.

5. Lembaga keuangian mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama)

6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.

  1. Penentuan harga barang.
  2. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
  3. Penentuan nisbat keuntungan (profit) d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
  4. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-'Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari'at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai' Murabahah sebagai berikut:


Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah bentuk ini.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:

1.      Ada tiga pihak yang terkait yaitu:

a.       Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b.      Penjual barang kepada lembaga keuangan.

c.       Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.


2.      Ada dua akad transaksi yaitu:

a.       Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.

b.      Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).


3.      Ada tiga janji yaitu:

a.       Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.

b.      Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.

c.       Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah ini adalah jenis akad berganda (al-'Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya. Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian. Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu'amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.

Hukumnya

Yang rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:

a.       Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

b.      Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.

c.       Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa' al-Gholil 5/149) Al-Muwaa'adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli.

Ketentuan diperbolehkannya

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa'adah diperbolehkan dengan tiga hal:

1.      Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.

2.      Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.

3.      Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.

AL MUZARAAH


Pengertian muzara’ah

Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam Syafi’i mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen.

Ada perbedaan antara al-muzara’ah dengan al-mukhabarah, di mana pada muzara’ah bibit disediakan dari pemilik lahan, sedangkan pada mukhabarah bibit berasal dari pengolah lahan.


Hukum muzara’ah

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama akan hukum muzara’ah.

Ulama Malikiyah, Hanabilah , az-Zhahiriyah, Abu Yusuf dan Muhammad membolehkan akad al-muzara’ah. Pendapat mereka ini didukung landasan hukum dari beberapa hadits dan ijma, antara lain:

Hadits Ibnu Umar bahwa Rosulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman

Diriwayatkan oleh Bukhori dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil sepertiga, dua pertiga, seperempat, tiga perempat, setengah. Maka Rasulullah Saw. bersabda:

”Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa yang tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”

Al-Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja’far, “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil sepertiga dan seperempat. Hal ini dilakukan oleh Sayidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”. Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama yang dianggap lebih benar.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar bin Huzail dari ulama Hanafiyah, akad muzara’ah tidak boleh.3 Mereka berdalil dari hadits riwayat Rafi’ bin Khudaij:

Artinya : “Rasulullah melarang melakukan al-muzara’ah”. (HR. Muslim).

Obyek akad dalam al-muzara’ah dinilai memiliki dimensi spekulatif belum dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil panen yang belum ada (ma’dum) dan tidak jelas (jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagikan tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya, sehingga akad ini berpotensi untuk terjadinya kerugian, kedzaliman yang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.

Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan akad al-muzara’ah dari para ulama Malikiyah dengan mengatakan bahwa perbuatan Rasulullah Saw dengan penduduk Khaibar, bukanlah al-muzara’ah, melainkan al-kharraj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus dibayarkan kepada Rasulullah Saw setiap kali panen dalam prosentase tertentu.

Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah sah apabila muzara’ah mengikut kepada akad musaqah. Misalnya, apabila terjadi akad musaqah (pengelolaan perkebunan) dengan pengairan, kemudian ada tanah kosong diantara pepohonan yang tidak mungkin tidak akan terkena pengairan dari musaqah atau tanah kosong di salah satu sudut area tanah itu, maka tanah itu boleh dimanfaatkan untuk muzara’ah, artinya akad al-muzara’ah ini tidak berdiri sendiri tetapi mengikut pada akad musaqah, bila tidak demikian maka akad al-muzara’ah tidak boleh.

Dari ketiga pendapat di atas, madzhab pertama yaitu Jumhur Ulama adalah yang lebih mendekati kebenaran. Adapun bantahan Imam Abu Hanifah dan Zufar bin Huzail pada hadits Khaibar dianggap tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hukum bolehnya al-muzara’ah yang banyak ditopang oleh dalil-dalil lainnya yang lebih kuat. Adapun hadits yang dijadikan dalil mereka yang menentangnya, yaitu hadits riwayat Rafi’ bin Khudaij adalah hadits Mudhtarib, yang tidak kuat untuk dijadikan sandaran hukum. Dengan demikian kita dapati bahwa pendapat Jumhur Ulama (Malikiyah, Hanabilah dan Zhahiriyah) adalah pendapat yang lebih benar, yaitu hukum bolehnya akad al-muzara’ah ini. Hal itu karena akad al-muzara’ah ini sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah dan maqashidnya. Akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani yang tidak memiliki lahan olahan dengan para pemilik lahan yang tidak mampu mengolah lahannya, dengan ketentuan hasilnya mereka bagi dengan sesuai dengan kesepakatan bersama. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam al-Qur’an:

Artinya : “Bertolong-tolonganlah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan dan jangan bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan”. (Al-Maidah: ayat 2).

Rukun Al-Muzara’ah

Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:

1.      Pemilik tanah ;
2.      Petani/Penggarap;
3.      Obyek al- muzara’ah (mahalul ‘aqdi)
4.      Ijab dan qabul, keduanya secara lisan, bagi ulama Hanabilah, qabul tidak harus berupa lisan, namun dapat juga berupa tindakan langsung dari si penggarap.


Syarat-Syarat Al-Muzara’ah

Syarat-Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad (pemilik dan petani).

      1) Berakal;
      2) Baligh.

Sebagian ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik ) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap mauquf, tidak punya efek hukum hingga ia masuk Islam. tetapi jumhur ulama sepakat bahwa aqad al-muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslim dan non Muslim termasuk didalamnya orang murtad.

Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan ditanam-sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:

1.      Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, maka al muzara’ah dianggap tidak sah;

2.      Batas-batas tanah itu jelas;

3.      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila pada waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad al-muzara’ah ini dianggap tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :

1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;

2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar;

3) Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihan nantinya.

Disyaratkan juga dalam jangka waktu pada al-muzaraah harus jelas, karena al-muzara’ah mengandung unsur al-ijarah (sewa menyewa) dengan imbalan sebagian hasil panen. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan setempat.

Obyek akad (mahalul aqdi), disyaratkan juga harus jelas, baik berupa pemanfaatan jasa penggarap di mana benih berasal dari penggarap atau pemanfaatan tanah dimana benih berasal dari pemilik tanah.

Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani mengatakan bahwa bila ditinjau dari sudut sah tidaknya akad al-muzaraa’ah, maka ada empat bentuk muzaraa’ah yaitu:

1.      Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi objek adalah jasa petani, maka akad al- muzaraa’ah dianggap sah;

2.      Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzaraa’ah adalah manfa’at tanah, maka akad al-muzaraa’ah dianggap sah.

3.      Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka akad al-muzaraa’ah juga sah;

4.      Apabila tanah dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit, serta kerja dari petani, maka akad ini tidak sah. Karena menurut Abu Yusuf dan Muhammad al Hasan, menentukan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Karena manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah untuk menghasilkan tumbuhan, sedangkan manfaat alat adalah untuk hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian bagi mereka harus mengikuti petani penggarap bukan kepada pemilik tanah.


Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah

Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai, yaitu:

1.      Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama;

2.      Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah memandangnya tidak batal

3.      Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.


Ketentuan dalam hukum muzara’ah :

·        Masanya harus ditentukan.
·        Bagian yang disepakati harus diketahui.
·        Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah, jika dari penggarap namanya mukhabarah dan ini dilarang, sesuai hadits dari Jabir berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam melarang mukhabarah.” (HR Ahmad dengan sanad shahih).
·        Jika pemilik mengambil bibit dari hasil panen dan penggarap mendapat sisanya sesuai kesepakatan berdua, maka akadnya batal.
·        Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih baik daripada muzara’ah. Rafi bin Khadij berkata, “Adapun emas dengan emas, atau perak dengan perak, maka Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya.”
·        Orang yang mempunyai tanah lebih disunnahkan memberikan kepada saudara seagama tanpa kompensasi. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah lebih, hendaklah ia menanamnya atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari). “Jika salah seorang dari kalian memberikan kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia menetapkan pajak dalam jumlh tertentu kepadanya.” (HR Bukhari).
·        Jumhur ulama melarang sewa tanah dengan makanan, karena itu adalah jual beli makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda. Hadits yang dibawakan Imam Ahmad ditafsirkan kepada muzara’ah, bukan sewa tanah.

KONSEP EKONOMI ISLAM


Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut;

Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.

Allah berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.

Konsen Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan

Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil” .

Menetapkan Harga yang Kompetitif

Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak mungkin dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya produksi yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.

Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang menimbunnya akan mendapat laknat” dalam hadits lain Rasul bersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia” .

Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktik makelar (simsar), dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad , yakni transaksi yang menggunakan jasa makelar.

Imam Bukhari memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang hanya akan memberatkan konsumen. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melakukan jual beli talaqqi rukban ” yakni, janganlah kalian menjemput produsen yang sedang berjalan ke pasar di pinggiran kota, kalian membeli barang mereka dan menjualnya kembali di pasaran dengan harga yang lebih tinggi.

Meninggalkan Intervensi yang Dilarang

Islam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi qadla’ dan qadar Allah (segala ketentuan dan takdir). Apa yang telah Allah tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan bagian hamba lain, dan rizki seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan dengan orang lain lebih penting daripada sekedar nilai materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya” .

Menghindari Eksploitasi

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: “Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya…, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti” .

Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat) , Allah berfirman: “dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangan” (QS. Al A’raf:85).

Memberikan Kelenturan dan Toleransi

Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.

Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ke-tidak-butuh-annya terhadap obyek transaksi (inferior product).

Jujur dan Amanah

Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.

Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi khusus bagi orang yang jujur, “Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan disertakan bersama para Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada” .

Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan (ghisy). Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidak dihalalkan bagi pribadi muslim menjual barang yang diketahui terdapat cacatnya, tanpa ia memberikan informasinya” .

Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik.

Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya” .