Rabu, 10 Februari 2010

Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT

Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT

CULPA IN CONTRAHENDO / PARS PRO TOTO
(TANGGUNG JAWAB HUKUM PRAKONTRAKTUAL)
DALAM PRINSIP HUKUM UNIDROIT

Oleh : Jusuf Patrianto Tjahjono, SH

Dipostingkan guna dan untuk melengkapi artikel sebelumnya "KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING."

Menarik sekali mengamati penggunaan istilah oleh rekan saya Bpk. Miftachul Machsun pada pertemuan berkala yang diselenggarakan oleh Pengurus INI dan IPPAT Daerah Surabaya beberapa waktu yang lalu dengan tema Ikatan Jual Beli.
Dalam makalahnya beliau menyebutkan bahwa : “Ikatan Jual Beli merupakan Perjanjian Pendahuluan ( Pactum de Contrahendo ) untuk melakukan jual beli, yaitu untuk mempersiapkan hubungan hukum Jual Beli yang merupakan tujuan pokok diadakannya perjanjian pendahuluan ini.”

Terlepas dari setuju atau tidak setuju atas pemakaian istilah tersebut, pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai tindakan prakontraktual yang menimbulkan hak gugat yang di Jerman disebut dengan istilah “culpa in contrahendo” atau secara international lebih dikenal sebagai “Tanggung Jawab Hukum Prakontraktual” dalam praktek.

Dalam KUHPerdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ( pasal 1313 KUHPdt). Definisi ini oleh J Satrio dan Purwahid Patrik dianggap mempunyai banyak kelemahan antara lain oleh karena :

- hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
- kata perbuatan terlalu luas karena dapat merupakan perbuatan tanpa kesepakatan, perbuatan melawan hukum dan perbuatan bukan perbuatan hokum

Dan jika kita amati lebih lanjut maka dapatlah kita simpulkan bahwa KUHPdt sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi ( bisa memakan waktu dan biaya yang bervariasi ).

KUHPdt hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).

Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” ( MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.

Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak.

Dalam hal ini timbul banyak masalah hukum yang harus kita renungkan lebih dalam lagi bagi perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia yaitu kapan terjadinya situasi yang disebut kondisi ”negosiasi prakontraktual”, tolok ukur penghentian negosiasi yang disebut memenuhi unsur itikad buruk sehiggga menimbulkan unsur tanggung jawab, dan lain-lain.

Sebagai pedoman marilah kita melihat prinsip-prinsip yang digunakan dalam Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT ( mohon maaf dalam tulisan ini saya tidak menguraikan sejarah, latar belakang dan perkembangannya, silahkan dilihat sendiri UPICCs 1994 ).

Ada 12 prinsip hukum kontrak yang dipakai dalam UNIDROIT yaitu :

1.      Prinsip Kebebasan Berkontrak ( bebas menentukan isi dan bentuk kontrak, mengikat sebagai Undang-undang, aturan memaksa sebagai pengecualian, sifat international dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak );
2.      Prinsip itikad baik ( good faith) dan transaksi wajar/jujur ( fair dealing ) ( prinsip dasar yang melandasi seluruh proses kontrak yaitu mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai berakhirnya kontrak (purna kontrak), ditekankan dalam praktik perdagangan international dan bersifat memaksa );
3.      Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat;
4.      Prinsip Kesepakatan melalui Penawaran (Offer) dan Penerimaan ( Acceptance) atau Melalui Perilaku ( Conduct);
5.      Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk;
6.      Prinsip Kewajiban Menjaga Kerahasiaan atas Informasi yang diperoleh pada saat Negosiasi;
7.      Prinsip Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku;
8.      Prinsip Syarat Sahnya Kontrak;
9.      Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar ( gross disparity);
10.  Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku;
11.  Prinsip menghormati Kontrak ketika terjadi Kesulitan ( hardship);
12.  Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa ( force majeur).

Dari 12 prinsip hukum kontrak ini yang relevan dalam pembahasan artikel ini adalah prinsip nomor 5 yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk.
Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International Commercial Contracts) mengatur larangan tersebut sebagai berikut :

1.      A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement.
However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for losses to the other party.
2.      It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party.

Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :

   1. Kebebasan negosiasi;
   2. Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
   3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

Dalam prinsip ini kita dapat ketahui bahwa para pihak tidak hanya bebas untuk memutuskan kapan dan dengan siapa melakukan negosiasi, namun juga bebas menentukan kapan, bagaimana dan untuk berapa lama proses negosiasi dilakukan; jelas prinsip ini sesuai dengan Prinsip nomor 1 ( Pasal 1.1 ) dan tidak boleh bertentangan dengan Prinsip nomor 2 yaitu prinsip good faith dan fair dealing yang diatur dalam pasal 1.7 yang menyatakan :
"each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade;
the parties may not exclude or limit this duty."
Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing;

Contohnya :

·         seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan bisnisnya;
·         suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;
·         apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak, baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.

Pertanyaannya seberapa tanggung jawab pihak yang beritikad buruk tersebut ?
Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian yang diakibatkannya terhadap pihak lain.

Pertanyaan selanjutnya apakah pihak yang dirugikan dapat menuntut selain biaya yang dia keluarkan juga ganti rugi dan bunga seperti yang diatur dalam pasal 1243 s/d pasal 1252 KUHPdt?

Menurut penulis pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut berdasarkan yang tertulis dalam KUHPdt, oleh karena Bab I bagian 4 Buku III KUHPdt hanya mengatur tentang Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan; jelas disini yang ada baru negosiasi prakontrak, belum ada perikatannya.

Penuntutan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa Pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang batal diadakan itu.

Kesimpulannya :
Proses negosasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak / hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum; yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggung jawaban secara hukum.