Minggu, 17 Juni 2012

MoU (Memorandum of Understanding)

memorandum of understanding

Sebuah nota kesepahaman memorandum of understanding atau MoU adalah sebuah dokumen legal yang menjelaskan persetujuan antara dua belah pihak. MoU tidak seformal sebuah kontrak.

MoU adalah nota kesepahaman, tingkatannya di bawah perjanjian, dan dokumen ini hanya merupakan sebuah Nota Kesepahaman dan tidak memiliki ikatan hukum bagi para pihak. Hal ini disebabkan MoU ini lebih sebagai good will para pihak yang berencana membuat perjanjian, sebelum perjanjian definitif dibuat. Selanjutnya, batas waktu MoU ini relatif pendek (misalnya paling lama 1 tahun), setelah waktu yang disepakati lewat dan belum dibuatkan perjanjian detil definitif, MoU ini akan ditinjau ulang oleh para pihak dalam MoU, dan dapat direvisi atau diperpanjang secara bersama-sama dengan perjanjian definitif tertulis. Dalam melakukan revisi, masing-masing pihak harus memberikan pertimbangan penuh terhadap usul amandemen yang disusun oleh pihak lain. Amandemen tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari MoU ini.


Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Ketentuan umum mengenai kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Syarat kontrak

Untuk dapat dianggap sah secara hukum, ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia:
  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan para pihak
  3. Mengenai hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas
  4. Sebab/causa yang diperbolehkan secara hukum.


Tahapan urutan pembuatan kontrak :

1. Pendahuluan
  Berisi judul dan Pembukaan.

2.Akibat dari tidak dipenuhinya syarat kontrak

Tidak dipenuhinya syarat No. 1 dan 2 di atas memberi dasar kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memohon kepada pengadilan yang berwenang untuk membatalkan kontrak tersebut. Sementara itu, pelanggaran atas syarat No. 3 dan 4 mengakibatkan kontrak yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

perbedaan Memorandum of Understanding (Mou)  dengan Kontrak.

Perlu Anda ketahui, bahwa pengertian secara garis besar antaranya keduanya itu sama saja yakni suatu ‘kesepakatan’ yang harus ditunaikan oleh dua pihak yang saling mengikatkan diri. namun antara keduanya itu mempunyai perbedaan yang sangat penting.

Memorandum of Understanding (MoU) dalam bahasa Indonesia berarti Nota Kesepahaman. Di dalam MoU ini dituangkan bahwa kedua pihak secara prinsip sudah memahami dan akan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu sesuai isi dari MoU tersebut. Sanksi dari tidak dipenuhinya/pengingkaran dari sebuah MoU sifatnya moral, bukan denda atau hukuman. Sedangkan Perjanjian (Kontrak), sebuah perbuatan hukum yang dibuat antar pihak yang minimbulkan hak dan kewajiban dn berakibat pada sanksi bagi pihak yang mengingkari atau lalai dalam melaksanakan perjanjian tersebut. (Baca Bab Konsultasi Hukum terdahulu di tabloid ini berjudul: Perjanjian dan Wanprestasi).

Di bawah ini akan coba saya jelaskan mengenai pengertian tentang MoU dan Kontrak dalam pengertian yang khusus.

Berikut ini adalah beberapa hal mendasar mengenai Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU):

Pertama, nota kesepahaman yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk melakukan kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan untuk jangka waktunya tertentu.
Kedua, MuO menjadi dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan dengan memuat hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun secara lisan.

Ketiga, MoU merupakan ‘kesepakatan’ awal/ pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam sebuah perjanjian  yang pengaturannya lebih rinci (detail), karena itu, MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.

Keempat, MoU menjadi dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi MoU harus dimasukkan ke dalam perjanjian, sehingga mempunyai kekuatan mengikat dan ditambah pasal tentang sanksi serta pilihan hukum pengadilan mana yang akan memeriksa bila terjadi wanprestasi.

Bagaimana tentang Perjanjian atau sering disebut Kontrak? Pengertiannya dapat ditemukan dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu: “Suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Pendapat lain tentang kontrak dapat ditemukan dalam Black’s Law Dictionary, bahwa kontrak adalah: “Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus”.

Pengertian tersebut menegaskan tentang subjek dan objek yang dipakai antara keduanya itu sangat berbeda pemberlakuannya. MoU subjeknya dapat digolongkan kepada dua subjek yaitu pihak atau subjek yang berlaku secara nasional maupun internasional. Subjek nasional adalah antar badan hukum privat Indonesia, badan hukum privat dengan pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota, juga antar badan hukum publik di Indonesia, antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara asing,  antara badan hukum privat Indonesia dengan badan hukum privat negara asing.  Objek dari MoU adalah kerjasama dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, perhutanan, kehutanan dan lain-lain.

Sedangkan subjek kontrak digolongkan kepada dua jenis, yaitu kreditur, yaitu pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain dan  Debitur, yaitu pihak yang berkewajiban memenuhi sesuatu kepada kreditur.  Sementara objek dari kontrak yakni, menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu  dan tidak melakukan sesuatu.

Disini dapat dijelaskan,  bahwa antara MoU dengan kontrak itu adalah dua istilah yang berbeda. Perbedaan tersebut juga terlihat dari sumber hukum yang dipakai antara keduanya.

Baik MoU maupun Kontrak, memiliki sumber hukum yang sama antara lain, Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, Undang-Undang No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, doktrin dan kebiasaan. Selain itu, mengenai kontrak, juga dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

Perbedaan substansial dari MoU dan kontrak adalah, MoU tidak memiliki akibat/sanksi hukum yang tegas karena hanya merupakan ikatan moral, sedangkan kontrak mempunyai akibat/sanksi hukum bagi para pihak.

Dilihat dari materi, MoU hanya memuat hal-hal yang pokok saja, sedangkan dalam kontrak sebagian materi yang digunakan memuat ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan secara terperinci .

Meskipun begitu, persetujuan yang disepakati para pihak baik dalam suatu MoU maupun dalam perjanjian harus dijalankan dengan itikad baik dan tanpa paksaan dari salah satu pihak. Dalam perjanjian, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar oleh salah satu pihak, maka perikatan perjanjian menjadi batal demi hukum.

Dalam perjanjian juga dikenal istilah Wanprestasi, halmana salah satu pihak yang terikat dalam suatu perjanjian lalai atau tidak melakukan kewajibannya, maka pihak lainnya berhak atas ganti rugi (prestasi)  yang ditimbulkan sesuai ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut. Baik karena kesengajaan mau pun kealpaan (kelalaian) yang dilakukan salah satu pihak.

Dalam MuO tidak dikenal istilah wanprestasi. Kelalaian para pihak dalam menunaikan kewajiban masing-masing, hanyalah akan memperoleh sanksi moral, misalnya dikucilkan dalam pergaulan dan dianggap sebagai “pihak yang tidak dapat dipercaya” saja.

Demikian penjelasan kami, semoga penjelasan ini bermanfaat bagi Anda dan seluruh masyarakat lainnya.

MOU POLRI DENGAN IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (IPPAT)






NOTA KESEPAHAMAN
ANTARA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
DENGAN
IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

No. Pol. : B/1055/V/2006
Nomor : 05/PP-IPPAT/V/2006
TENTANG
PEMBINAAN DAN PENINGKATAN
PROFESIONALISME DI BIDANG PENEGAKAN HUKUM
Pada hari ini Selasa tanggal sembilan bulan Mei, tahun dua ribu enam, yang bertanda tangan di bawah ini:
1.          JENDERAL POLISI Drs. SUTANTO, selaku KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (selanjutnya disingkat Polri), berkedudukan di Jakarta dan berkantor - di 31. Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.
2.          ARRY SUPRATNO, S.H. dan SRI RACHMA CHANDRAWATI, S.H., masing-masing selaku KETUA UMUM dan SEKRETARIS UMUM, dalam hal ini keduanya secara bersama-sama bertindak untuk dan atas nama IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (selanjutnya disingkat IPPAT), berkedudukan di Jakarta dan berkantor pusat di J1. Raya Fatmawati No. 11 Jakarta Selatan, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.
Menimbang:
1.      Bahwa PIHAK PERTAMA selaku alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum, dan PIHAK KEDUA mewakili perkumpular. IPPAT selaku Pejabat Umum, sama-sama mempunyai fungsi dan tugas melayani kepentingan masyarakat dalam bidang hukum, sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing pihak.

2.      Bahwa dalam menjalankan jabatan sesuai dengan tugas pokok dan wewenang masing-masing, terdapat keterkaitan antara PIHAK PERTAMA selaku penyelidik/penyidik di dalam upaya penegakan hukum untuk mencari dan menemukan alat bukti dalam perkara pidana dan PIHAK KEDUA selaku Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna di bidang hukum keperdataan.

3.                Bahwa PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersama-sama sebagai abdi hukum, terpanggil melaksanakan amanat rakyat yang senantiasa mendambakan adanya perlindungan, ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, sehingga hukum benar-benar mampu menjadi pengayom masyarakat dan memberi rasa aman, untuk mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan, menuju masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4.                Bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas, maka perlu adanya kesepahaman antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA secara bersama-sama berusaha untuk meningkatkan profesionalisme, saling mengisi dan meningkatkan komunikasi sebagai kebutuhan bersama dalam melaksanakan tugas masing-masing.
Memperhatikan:
1.      Pelaksanaan penegakan hukum dalam kaitannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan tugas dan guna meningkatkan kemitraan Polri dengan IPPAT.
2.      Usul, pendapat, dan tanggapan Polri maupun Pengurus IPPAT.
Mengingat:
1.      Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
2.      Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
4.      Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Satuan Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037);
5.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632);
6.      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
7.      Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746);
9.      Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisan Negara Republik Indonesia;
Maka PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah sepaham membuat Nota Kesepahaman untuk melakukan pembinaan dan meningkatkan profesionalisme, serta saling membantu di bidang upaya penegakan hukum, yang dilandasi profesi, jabatan, dan kewenangan masing-masing sesuai ketentuan perundang-undangan, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Para Pihak senantiasa menghormati dan menjaga kemandirian masing-masing pihak dalam melaksanakan tugas, jabatan, dan profesinya, dengan selalu menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Para Pihak setuju menyelenggarakan pertemuan berkala, menurut tingkat dan jenjang struktur organisasi masing-masing, guna lebih meningkatkan hubungan kerjasama di bidang profesionalisme dan penegakan hukum.
3.      Para Pihak secara bersama-sama dapat melaksanakan penerangan dan penyuluhan hukum untuk lebih meningkatkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat.
4.      Para Pihak senantiasa Baling rr,arlbantu dalam meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, ilmu pengetahuan, menambah pengalaman, memperluas wawasan, kualitas pribadi, dan kualitas profesionalisme.
5.      Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam penafsiran terhadap pelaksanaan tugas serta wewenang PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA, maka penyelesaiannya ditempuh melalui jalur konsultasi secara institusional dan berjenjang.
6.      Hal-hal yang menyangkut masalah teknis sebagai pelaksanaan dan Nota Kesepahaman ini, dijabarkan lebih lanjut oleh Para Pihak dalam bentuk Lampiran yang menjadl bagian yang tidak terpisahkan dari Nota Kesepahaman.
7.      Para Pihak berkewajiban mensosialisasikan Nota Kesepahaman ini dan Lampirannya kepada seluruh jajarannya.

Nota Kesepahaman ini mulai berlaku sejak tanggal ditandatangani, dan dibuat dalam 2 (dua) rangkap masing-masing bermaterai cukup yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.

MOU POLRI DENGAN IKATAN NOTARIS INDONESIA (INI)



NOTA KESEPAHAMAN
ANTARA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DENGAN
IKATAN NOTARIS INDONESIA
No. Pol.           B/1056/ V/2006
Nomor             01/MOU/ PP-INI/V/2006
TENTANG
PEMBINAAN DAN PENINGKATAN
PROFESIONALISME DI BIDANG PENEGAKAN HUKUM
Pada hari ini Selasa, tanggal Sembilan, bulan Mei, tahun dua ribu enam, yang bertandatangan di bawah ini :
1.         JENDERAL POLISI Drs. SUTANTO, selaku KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA dalam hal Ini bertindak untuk dan atas nama KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (selanjutnya disingkat Polri), berkedudukan di Jakarta dan berkantor di JI. Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.
2.            TIEN NORMAN LUBIS, S.H. dan ADRIAN DJUAINI, S.H., selaku KEDUA UMUM dan SEKRETARIS UMUM, dalam hal ini secara bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama IKATAN NOTARIS INDONESIA (selanjutnya disingkat INI), berkedudukan di Jakarta dan berkantor pusat di JI. H. Hasyim Ashari Roxy Mas Blok El No. 31 Jakarta Pusat, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.
Menimbang :
1.      Bahwa Pihak Pertama selaku Alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, Berta menegakkan hukum, dan PIHAK KEDUA mewakili perkumpulan INI selaku Pejabat Umum, sama-sama mempunyai fungsi dan tugas melayani kepentingan masyarakat dalam bidang hukum, sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-­undangan yang berlaku bagi masing-masing pihak.
2.      Bahwa dalam menjalankan jabatan sesuai dengan tugas pokok dan wewenang masing­-masing, terdapat keterkaitan antara PIHAK PERTAMA selaku penyelidik/penyidik di dalam upaya penegakan hukum untuk mencari dan menemukan alat bukti dalam perkara pidana dan PIHAK KEDUA selaku Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna di bidang hukum keperdataan.
3.      Bahwa PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersama-sama sebagai abdi hukum, terpanggil melaksanakan amanat rakyat yang senantiasa mendambakan adanya perlindungan, ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, sehingga hukum benar-benar mampu menjadi pengayom masyarakat dan memberi rasa aman, untuk mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan, menuju masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila clan UUD 1945.
4.      Bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas, maka perlu adanya kesepahaman antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA secara bersama-sama berusaha untuk meningkatkan profesionalisme, Baling mengisi dan meningkatkan komunikasi sebagai kebutuhan bersama dalam melaksanakan tugas masing-masing.
Memperhatikan :
1.       Pelaksanaan penegakan hukum dalam kaitannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan tugas dan guna meningkatkan kemitraan Polri dengan INI.
2.       Usul, pendapat, dan tanggapan Polri maupun Pengurus INI.
Mengingat :
1.           Pancasila sebagai dasar Negara clan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
2.           Pasal 1 ayat (3) clan Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
3.           Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
4.           Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
5.           Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432);
6.           Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
7.           Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Maka PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah sepaham membuat Nota Kesepahaman untuk melakukan pembinaan dan meningkatkan profesionalisme, serta saling membantu di bidang upaya penegakan hukum yang dilandasi profesi, jabatan, dan kewenangan masing­-masing sesuai ketentuan perundang-undangan, dengan ketentuan sebagai berikut
1.            Para Pihak senantiasa saling menghorrnati dan menjaga kemandirian masing-masing pihak dalam melaksanakan tugas, jabatan, dan profesinya, dengan selalu menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.            Para Pihak setuju menyelenggarakan pertemuan berkala, menurut tingkat dan jenjang struktur organisasi masing-masing, guna lebih meningkatkan hubungan kerja sama di bidang profesionalisme dan penegakan hukum.
3.            Para Pihak secara bersama-sama dapat melaksanakan penerangan dan penyuluhan hukum untuk lebih meningkatkan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat.-
4.            Para Pihak senantiasa saling membantu dalam meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, ilmu pengetahuan, menambah pengalaman, memperluas wawasan, kualitas pribadi, dan kualitas profesionalisme.
5.            Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam penafsiran terhadap pelaksanaan tugas serta wewenang PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA, maka penyelesaiannya ditempuh melalui jalur konsultasi secara institusional dan berjenjang.
6.            Hal-hal yang rnenyangkut masalah teknis sebagai pelaksanaan dari Nota Kesepahaman ini, dijabarkan Iebih lanjut oleh Para Pihak dalam bentuk Lampiran yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Nota Kesepahaman.
7.            Para Pihak berkewajiban untuk mensosialisasikan Nota Kesepahaman ini dan Lampirannya kepada seluruh jajarannya.
Nota Kesepahaman ini mulai bertaku sejak ditandatangani, dan dibuat dalam 2 (dua) rangkap masing-masing bermaterai cukup yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.


KODE ETIK NOTARIS



KODE ETIK NOTARIS

KEPUTUSAN KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA
BANDUNG, 27 JANUARI 2005

KODE ETIK

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Kode Etik ini yang dimaksud dengan :
1.        Ikatan Notaris Indonesia disingkat I.N.I adalah Perkumpulan/organisasi bagi para Notaris, berdiri semenjak tanggal 1 Juli 1908, diakui  sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) berdasarkan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang  yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2-1022.HT.01.06.Tahun 1995, dan telah diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 April 1995 No.28 Tambahan Nomor 1/P-1995, oleh karena itu sebagai dan merupakan organisasi Notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan dalam Lembaran Negara Repulblik Indonesia tahun 2004 Nomor 117.
2.        Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.
3.        Disiplin Organisasi adalah kepatuhan anggota Perkumpulan dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban terutama kewajiban administrasi  dan kewajiban finansial yang telah diatur oleh Perkumpulan.
4.        Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
5.        Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan, pada tingkat nasional yang mempunyai tugas, kewajiban serta kewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama Perkumpulan, baik di luar maupun di muka Pengadilan.
6.        Pengurus Wilayah adalah Pengurus Perkumpulan pada tingkat Propinsi atau yang setingkat dengan itu.
7.        Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan pada tingkat Kota atau Kabupaten.
8.  a. Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk:
§               melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
§               memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
§               memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris.
b. Dewan Kehormatan Pusat adalah Dewan Kehormatan pada tingkat nasional dan yang  bertugas untuk :
§               melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
§               memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, pada tingkat akhir dan bersifat final;
§               memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
c. Dewan Kehormatan Wilayah adalah Dewan Kehormatan tingkat Wilayah yaitu pada tingkat Propinsi atau yang setingkat dengan itu,  yang bertugas untuk :
§              melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota   dalam menjunjung tinggi kode etik;
§              memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau  disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung pada tingkat banding, dan dalam keadaan tertentu pada tingkat pertama;
§              memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas Wilayah dan/atau Majelis Pengawas Daerah atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
d.  Dewan Kehormatan Daerah yaitu Dewan Kehormatan tingkat Daerah, yaitu  pada tingkat Kota atau Kabupaten yang bertugas untuk :
§                melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota   dalam menjunjung tinggi kode etik;
§                memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik Kode Etik dan/atau  disiplin organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung, pada tingkat pertama ;
§                memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas Daerah  atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
9.      Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang melanggar ketentuan Kode Etik dan/atau disiplin organisasi.
10. Kewajiban adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam rangka menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga notariat dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris.
11. Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan apapun yang tidak boleh dilakukan oleh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, yang  dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga notariat ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris.
12. Sanksi adalah suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam menegakkan Kode Etik dan disiplin organisasi.
13. Eksekusi adalah pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan oleh dan berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang telah mempunyai kekuatan tetap dan pasti untuk dijalankan.
14. Klien adalah setiap orang atau badan yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama datang kepada Notaris untuk membuat akta, berkonsultasi dalam rangka pembuatan akta serta minta jasa Notaris lainnya.

BAB II
RUANG LINGKUP KODE ETIK

Pasal 2
Kode Etik ini berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari. 

BAB III
KEWAJIBAN, LARANGAN DAN PENGECUALIAN

Kewajiban

Pasal 3
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib:
1.         Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2.         Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notari.
3.         Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4.         Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
5.         Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6.         Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
7.         Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8.         Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9.         Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm , yang memuat :
a.         Nama lengkap dan gelar yang sah;
b.         Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris;
c.          Tempat kedudukan;
d.         Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10.      Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang  diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan  setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.
11.      Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12.      Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.
13.      Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan.
14.     Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan  dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.
15.     Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.
16.     Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
17.     Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
a.  UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b.  Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c.  Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d.  Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.

Larangan

Pasal 4
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang :
1.      Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
2.      Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor.
3.      Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :
a.      Iklan;
b.      Ucapan selamat;
c.      Ucapan belasungkawa;
d.      Ucapan terima kasih;
e.      Kegiatan pemasaran;
f.        Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga.
4.      Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
5.      Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain.
6.      Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
7.      Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain. 
8.      Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
9.      Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris. 
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a.     Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b.     Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c.     Isi sumpah jabatan Notaris;
d.     Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota. 

Pengecualian

Pasal 5
Hal-hal yang tersebut di bawah ini merupakan pengecualian oleh karena itu tidak termasuk pelanggaran, yaitu :
1.      Memberikan ucapan selamat, ucapan berdukacita dengan mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja.
2.      Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/atau instansi-instandan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya.
3.      Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi  20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa mencantumkan  nama Notaris  serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari kantor Notaris.

BAB IV
S A N K S I

Pasal 6
1.      Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa :
  1. Teguran;
  2. Peringatan;
  3. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
  4. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
  5. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.


BAB V
TATA CARA PENEGAKKAN KODE ETIK

Bagian Pertama
Pengawasan

Pasal 7
Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a.    Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;
b.     Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;
c.     Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian Kedua
Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi

1.       Alat Perlengkapan

Pasal 8
Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan Perkumpulan yang berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.

2. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Pertama

Pasal 9
1.   Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu tujuh (7) hari kerja  Dewan Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.
2.      Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka dalam waktu tujuh (7) hari kerja  setelah tanggal sidang tersebut, Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi, untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
3.      Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila terbukti), setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan perkecualian sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan ayat (7) pasal ini.
4.      Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) diatas dapat dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah,  baik dalam sidang itu maupun dalam sidang lainnya, sepanjang penentuan keputusan melanggar atau tidak melanggar tersebut, dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 15 (limabelas) hari kerja, setelah tanggal  sidang Dewan Kehormatan Daerah dimana Notaris tersebut telah didengar keterangan dan/atau pembelaannya.
5.      Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik, maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya.
6.      Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu tujuh (7) hari kerja setelah dipanggil, maka Dewan Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu tujuh (7) hari kerja,  untuk setiap panggilan.
7.      Dalam waktu tujuh (7) hari kerja, setelah panggilan ke tiga (3) ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar dengan alasan  apapun, maka Dewan Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan menentukan putusannya, selanjutnya secara mutatis mutandis  berlaku ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) diatas serta    ayat (9).
8.      Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya.
9.      Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh (7) hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan Kehormatan Daerah.
10. Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar Kode Etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya.

3. Pemeriksaan Dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Banding

Pasal 10
1.      Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan/ dimohonkan banding kepada Dewan Kehormatan Wilayah.
2.      Permohonan untuk naik banding wajib dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh (30) hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Daerah.
3.      Permohonan naik banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Wilayah dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah.
4.      Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu tujuh (7) hari setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto opy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat.
5.      Setelah menerima permohonan banding, Dewan Kehormatan Wilayah wajib memanggil anggota yang naik banding, selambat-lambatnya dalam waktu tujuh (7) hari kerja,  setelah menerima permohonan tersebut. Anggota yang mengajukan banding dipanggil untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Wilayah.
6.      Dewan Kehormatan Wilayah wajib memberi putusan dalam tingkat banding melalui sidangnya, dalam waktu tiga puluh (30) hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
7.      Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat, maka sidang Dewan Kehormatan Wilayah, tetap akan memberi putusan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
8.      Dewan Kehormatan Wilayah wajib mengirim putusannya kepada anggota yang minta banding dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat  Ikatan Notaris Indonesia Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh (7) hari kerja setelah sidang Dewan Kehormatan Wilayah menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut.
9.      Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah, berhubung pada tingkat kepengurusan Daerah yang bersangkutan belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan keputusan tingkat banding.

4. Pemeriksaan Dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Terakhir

Pasal 11
1.      Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah dapat diajukan/dimohonkan pemeriksaan pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2.      Permohonan untuk pemeriksaan tingkat terakhir wajib dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh (30) hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Wilayah.
3.      Permohonan pemeriksaan tingkat terakhir dikirim dengan surat tercatat atau melalui ekspedisi atau oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah.
4.      Dewan Kehormatan Wilayah dalam waktu tujuh (7) hari kerja,  setelah menerima surat tembusan permohonan pemeriksaan tingkat terakhir, wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat.
5.      Setelah menerima permohonan pemeriksaan tingkat terakhir, Dewan Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota yang meminta pemeriksaan tersebut, selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh (30) hari kerja, setelah menerima permohonan itu. Anggota yang mengajukan permohonan pemeriksaan tersebut, dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Pusat.
6.      Dewan Kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam pemeriksaan tingkat terakhir melalui sidangnya, dalam waktu tiga puluh (30) hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan dipanggil,  didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
7.      Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat, maka sidang Dewan Kehormatan Pusat tetap akan memberi putusan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
8.      Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirim putusannya kepada anggota yang minta pemeriksaan tingkat terakhir dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Cabang, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat, semuanya dalam waktu tujuh (7) hari kerja, setelah sidang Dewan Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusan atas pemeriksaan tingkat terakhir tersebut.

Bagian Ketiga
Eksekusi Atas Sanksi-Sanksi Dalam Pelanggaran Kode Etik

Pasal 12
1.      Putusan yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus Daerah.
2.      Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota Perkumpulan yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan Kehormatan Pusat mengenai kasus Kode Etik berikut nama anggota yang bersangkutan.
Selanjutnya nama Notaris tersebut, kasus dan keputusan Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan Kehormatan Pusat diumumkan dalam Media Notariat yang terbit setelah pencatatan dalam buku anggota Perkumpulan tersebut.

BAB VI
PEMECATAN SEMENTARA

Pasal 13
Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi secara bertingkat, maka terhadap seorang anggota Perkumpulan yang telah melanggar Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan yang bersangkutan dinyatakan bersalah, serta dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, Pengurus Pusat wajib memecat sementara sebagai anggota Perkumpulan disertai usul kepada Kongres agar anggota Perkumpulan tersebut dipecat dari anggota Perkumpulan.

BAB VII
KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT

Pasal 14
Pengenaan sanksi pemecatan sementara (schorsing) demikian juga sanksi (onzetting) maupun pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota Perkumpulan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 di atas wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas Daerah dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15
1.      Semua anggota Perkumpulan wajib menyesuaikan praktek maupun perilaku dalam menjalankan jabatannya dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan dan/atau Kode Etik ini.
2.      Hanya Pengurus Pusat dan/atau alat perlengkapan yang lain dari Perkumpulan atau anggota yang ditunjuk olehnya dengan cara yang dipandang baik oleh kedua lembaga tersebut berhak dan berwenang untuk memberikan penerangan seperlunya kepada masyarakat tentang Kode Etik Notaris dan Dewan Kehormatan.


Ditetapkan di : Bandung
pada tanggal : 28 Januari 2005

PENGURUS PUSAT
IKATAN NOTARIS INDONESIA

ttd                                                                   ttd

   Tien Norman Lubis, SH                         Rakhmat Syamsul Rizal, SH, MH
            Ketua Umum                                               Sekretaris Umum