a. Kasus :
Plagiatisme di Perguruan Tinggi sudah jadi budaya
GEMA- Penjiplakan yang semestinya dihindari di dunia akademik justru semakin merebak di perguruan tinggi. Pelakunya bukan hanya mahasiswa, tetapi juga dosen, guru besar dan calon guru besar dengan berbagai modus. Plagiatisme atau penjiplakan hasil karya orang lain masih menjadi persoalan serius di perguruan tinggi (PT), karena tidak mudah untuk mengetahui apakah suatu jarya plagiatisme atau bukan.
“Plagiatisme di Perguruan Tinggi saat ini sudah menjadi bagian dari budaya yang menjadi penyakit sosial atau patologi sosial,”kata Sentot Prihandayani Sugiti Komarudin, narasumber dialog terbuka yang diadakan oleh mahasisiwa ekstrakampus UIN Maliki di gedung pertemuan perpustakaan lantai 2(27/3).
Menurut dia, plagiatisme selama ini susah dideteksi, sebab hanya diketahui oleh penulis yang bersangkutan atau saksi korban plagiatisme. Namun hal itu bisa diketahui seandainya saksi korban melaporkan karya tersebut.
Ia mengatakan, kasus plagiatisme secara sederhana ditemui dalam kehidupan mahasiswa, yakni saat mengerjakan tugas. Mereka biasanya langsung mencomot artikel dari buku atau internet tanpa menyebutkan sumbernya.
“Hal itu juga termasuk plagiatisme, meskipun plagiatisme terbagi menjadi beberapa tingkatan, misalnya plagiatisme mutlak yang menjiplak seluruh karya orang lain atau mengambil beberapa bagian saja,”katanya.
Akan tetapi, kata dia, pihaknya tetap optimis bahwa plagiatisme dapat dicegah dan diantisipasi, salah satunya dengan melakukan pengetatan pemeriksaan hasil karya tulis yang diajukan.
“para dosen harus melakukan kembali cara tradisional, yakni membaca dan meneliti secara seksama hasil karya tulis mahasiswa secara keseluruhan, tidak hanya discan lalu selesai,”katanya.
Meskipun sudah dilakukan pengetatan, kata dia, plagiatisme masih dimungkinkan lolos, sehingga sikap disiplin, sadar diri dan bangga terhadap hasil karya sendiri harus diterapkan pada seluruh pihak.
“negara-negara maju, seperti Belanda, telah mengadobsi software khusus untuk mendeteksi plagiatisme, dan plagiatisme ditoleransi maksimal 10 persen, lebih dari itu otomatis karya akan tertolak,”katanya.
Penerapan sanksi, tambah dia, sebenarnya sudah cukup ampuh untuk mencegah plagiatisme, misalnya sanksi yang diberikan kepada dosen atau pengajar yang melakukan plagiatisme, tentunya tergantung kadar plagiatisme yang dilakukan.
“sanksi bagi plagiator sebenarnya sudah ada dalam undang-undang, namun pelaksanaannya masih lemah sekali, kalau tidak ada pengaduan tidak akan diurus,”terangnya serius. (aj/rie)
(GEMA EDISI : 46 , Maret-April 2010)
b. Alur/kronologi kasus
Peraturan keperdataan yang berkaitan dengan kasus :
KUHPer :
Pasal 529 KUHPer
Pasal 548 KUHPer
Pasal 557 KUHPer
Pasal 570 KUHPer
Pasal 572 KUHPer
Pasal 584 KUHPer
Pasal 612 KUHPer
UU nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta :
Pasal 2 ayat (1)
Pasal 3 ayat (1),(2)
Pasal 12
Pasal 15
Pasal 26 ayat (1)
c. Konsep hukum perdata
Dalam hidup, manusia banyak dipengaruhi oleh hukum. Meski dalam masyarakat beredar suatu pendapat bahwa hidup dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu hukum dan ekonomi. Kenyataannya, ekonomi juga diatur oleh hukum sehingga muncul hukum-hukum ekonomi dari teori-teori ekonomi yang ada saat ini.
Hukum ada untuk mengatur manusia, sehingga tercipta kondisi masyarakat yang tertib dan teratur. Hal ini merupakan tujuan keberadaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum yang dituang dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun norma-norma masyarakat, bertujuan untuk menertibkan dan melindungi hak-hak dalam masyarakat.
Van Doorn, sosiolog hukum Belanda, mengutarakan bahwa hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk perilakunya.1)
Kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi menyangkut pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan social yang lebih luas.2)
Dalam dunia pendidikan, penulisan karya ilmiah adalah suatu hal yang mutlak ada sebagai bukti keilmuan seseorang. Dunia pendidikan memperkenalkan dunia riset, yang berunsurkan analisa dan data. Dalam melakukan riset, tidak hanya mengamati dan mendata, tetapi terdapat pula usaha pengembangan data. Pengembangan inilah yang menjadi suatu inovasi dan memunculkan hal baru, baik berupa gagasan maupun teori.
Tetapi dalam penulisan karya ilmiah, tak jarang terjadi suatu tindakan dimana ide-ide yang dituang dalam karya ilmiah bukan merupakan hasil riset yang telah dilaksanakan. Pembuatan karya tulis ilmiah dalam dunia akademik merupakan suatu bukti kompetensi seorang akademika. Sehingga mengutip karya tulis atau ide orang lain menjadi salah satu jalan pintas peletakan ide, konsep maupun analisa dalam karya tulis ilmiah. Disinilah sering terjadi suatu permasalahan manakala kutipan yang diambil dari suatu karya tertentu tidak memberikan penjelasan asal ide tersebut. Hal ini yang kemudian dikenal dengan sebutan tindakan plagiat.
Dan yang terjadi adalah sebuah pengakuan terhadap karya “curian” tersebut sebagai milik akademika yang telah menelurkan karya tersebut. Dan disini sering timbul suatu permasalahan tentang kepemilikan sebenarnya secara yuridis terhadap karya tulis ilmiah yang telah disiarkan kepada khalayak. Sehingga terjadi suatu tindakan saling klaim terhadap suatu karya tulis ilmiah.
Dari uraian diatas dapat kita ambil suatu kasus keperdataan terhadap kepemilikan suatu karya tulis ilmiah yang menggunakan kutipan yang tidak dengan menyertakan sumber saduran atau kutipannya.
Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini tertera dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2). Pasal ini menunjukkan suatu penekanan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Tentang tindakan plagiat yang kini marak di dunia akademis, pemerintah Indonesia telah mengatur suatu mekanisme hukum untuk melindungi pemilik ciptaan yang dituang dalam undang-undang hak cipta dan undang-undang tentang hak kekayaan intelektual lainnya.
Tetapi sejauh ini, tindak penegakan hukum belum benar-benar dilakukan. Sehingga tindak plagiat ini kian menjamur, mendarah daging dan membudaya di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam penulisan karya tulis ilmiah. Ndraha mengelompokkan budaya menjadi budaya kuat, budaya sedang dan budaya lemah.3)
Maka bila tidak dilakukan tindakan hukum yang tegas terhadap tindak plagiat ini, maka budaya plagiat akan menjadi kuat dengan cara semakin banyak masyarakat yang melakukan tindakan tersebut. Dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah budaya hukum dalam masyarakat, tepatnya budaya sadar hukum.4)
Pada KUHPer ditentukan macam-macam hak kebendaan 5) adalah :
1. Hak menguasai (bezit),
2. Hak milik,
3. Hak waris,
4. Hak pakai hasil,
5. Hak pengabdian tanah atau hak pengabdian pekarangan
6. Hak gadai
7. Hipotek,
8. Hak numpang karang,
9. Hak usaha,
10. Bunga tanah, dan
11. Hak pakai dan hak mendiami.
Dalam pasal 3 ayat (1) UU nomoor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, hak cipta dinyatakan sebagai benda bergerak.
Mengenai hak milik, pada pasal 570 KUHPer, hak milik dibatasi penggunaannya pada tiga hal,yaitu 1. tidak bertentangan dengan UU, 2. ketertiban umum, dan 3. hak-hak orang lain. Sedang pembatasan hak milik pada UU nomor 5 tahun 1960 hanya terkait dengan fungsi social.
Maka dapat disimpulkan bahwa menggunakan hak milik harus memperhatikan empat hal berikut ini :
1) Ketentuan hukum yang berlaku,
2) Ketertiban umum,
3) Hak-hak orang lain, dan
4) Fungsi social.6)
Suatu hak milik, memiliki ciri-ciri :
1. Merupakan hak pokok terhadap hak-hak lain yang sifatnya terbatas,
2. Merupakan hak yang paling sempurna,
3. Bersifat tetap, dan
4. Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain.7)
Selain ciri-ciri tersebut diatas, hak milik juga memiliki sifat elastic, artinya bila diberi tekanan (dibebani dengan hak kebendaan yang lain) menjadi lekuk, sedang bila tekanan ditiadakan menjadi penuh kembali.8)
Pada pasal 584 KUHPer, ditentukan lima cara memperoleh hak milik, yaitu sebagai berikut :
1. Pendakuan (toeeigening),
2. Pelekatan (natrekking),
3. Kedaluarsa (verjaring),
4. Pewarisan,dan
5. Penyerahan (lavering).9)
Hak milik dapat dihapus karena :
1) orang lain memperoleh hak milik dengan salah satu cara memperoleh hak milik,
2) musnahnya benda,
3) pemilik melepaskan benda tersebut, dan
4) benda tersebut menjadi liar.10)
e. Analisis kasus
Bila diusut ulang maka hak milik benda tersebut bermula dari kepemilikan buku dan bukan kepemilikan karya. Hal inilah yang dalam pasal 542 KUHPer disebut dengan bezit atau penguasaan benda. Dan dari penguasaan benda tersebut, pada pasal 548 menyatakan bahwa dengan itikad baik, bezit memberi hak pada pemegang barang yang berupa :
1. untuk dianggap sebagai pemilik barang untuk sementara, sampai saat barang itu dituntut kembali di muka Hakim;
2. untuk dapat memperoleh hak milik atas barang itu karena lewat waktu;
3. untuk menikmati segala hasilnya sampai saat barang itu dituntut kembali di muka hakim;
4. untuk mempertahankan besitnya bila ia digangu dalam memegangnya, atau dipulihkan kembali besitnya bila ía kehilangan besitnya itu.
Dalam kasus ini bezit atau penguasaan benda diberikan kepada pembeli atas benda yang dibelinya, yang dalam hal ini berupa buku. Tetapi tidak dengan isi buku tersebut yang merupakan hak milik pengarang atau disebut juga dengan hak cipta.
Berkaitan dengan penguasaan benda tersebut, pada pasal 557 KUHPer disebutkan “Tuntutan untuk mempertahankan besit dapat diajukan terhadap orang-orang yang mengganggu pemegang besit dalam memegang besit itu, bahkan terhadap pemilik barang itu, tetapi tanpa mengurangi hak pemilik itu untuk mengajukan tuntutan berdasarkan hak miliknya.
Bila besit itu diperoleh dari pinjam pakai, dengan pencurian atau kekerasan, maka pemegang besit tidak bisa mengajukan tuntutan untuk dipertahankan dalam besitnya terhadap orang dari siapa besit itu diperolehnya atau dari orang dari siapa besit itu diambil.”
Pada pembahasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa karya atau ide yang tertulis pada buku tersebut secara otomatis penguasaannya mengikuti penguasaan terhadap bendanya. Tetapi kepemilikannya tidak mengikuti penguasaan tersebut.
Pada pasal 570 dikemukakan tentang definisi hak milik dan batasan-batasannya. Yang mana hak milik adalah “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.”
Pada pasal 572 KUHPer dinyatakan bahwa hak milik harus dianggap bebas. Sehingga pemilik dapat menggunakannya dengan bebas dan dengan kekuasaan seluas-luasnya dengan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dan batasan-batasannya.
Maka, barang siapa menyatakan mempunyai hak kepemilikan atas barang orang lain, harus membuktikan hak itu.
Kepemilikan atas duplikat ide tersebut yang berupa buku atau sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang lain dengan berupa benda, merupakan kepemilikan pembeli yang menjadi pemilik sah buku yang diperolehnya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. Maka ia dapat menggunakan buku tersebut secara maksimal, sesuai dengan ketentuan hukum. Tetapi kepemilikan isi buku tersebut adalah milik pengarang yang mana ia melahirkan atau memunculkan idenya yang berupa tulisan tersebut.
Mengenai penduplikatan isi buku atau ide tersebut, dengan berdasarkan pada perjanjian antara penulis dengan pihak penerbit buku, maka hak publikasi atau membuat salinan isi buku tersebut menjadi hak milik perusahaan penerbit. Maka bila ada pihak lain yang bermaksud menggandakan isi buku tersebut harus mendapatkan ijin dari pihak pemegang lisensi penggandaan buku atau suatu karya tersebut.
Cara-cara bagaimana perolehan hak milik, diatur dalam pasal 548 KUHPer ini. Dalam pasal 3 ayat (1) UU nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, hak cipta dinyatakan sebagai benda bergerak. Maka hak cipta dapat dimiliki dan dialihkan sebagaimana hak milik. Pada dasarnya tulisan merupakan benda yang tak bertubuh maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik. Hal ini terdapat dalam pasal 612 KUHPer. Yang dengan jelas bahwa penyerahan tulisan tersebut kepada orang lain atau ditulis ulang dalam bentuk lain harus mencantumkan nama pemilik tulisan, yang dengan kata lain harus mencantumkan nama penulis atau pengarang karya tulis tersebut.
Pada pasal 2 ayat (1) UUHC, diterangkan tentang definisi hak cipta secara khusus yang isinya bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang mana pengalihan hak cipta, dalam hal penggandaan suatu karya tulis atau kekayaan intelektual lainnya, dapat dilakukan dengan pemberian lisensi atau perijinan kepada suatu pihak tertentu yang hal ini diatur dalam suatu kesepakatan antara pihak pemegang hak milik dengan pihak lain yang akan menerima pengalihan hak cipta tersebut.
Maka jelaslah bahwa penggandaan atau duplikasi menjadi wewenang pihak penerima hak cipta. Dan barang siapa yang hendak menggandakan seluruh atau sebagian dari karya yang hak ciptanya dalam penguasaan suatu pihak tertentu, maka harus mendapatkan izin dari pihak pemegang lisensi hak cipta tersebut.
Pada pasal 3 ayat (2) UUHC, dijelaskan mengenai macam-macam cara pengalihan hak cipta. Dan salah satunya sudah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, yaitu dengan suatu perikatan atau perjanjian.
Pada pasal 12 dijabarkan tentang macam-macam hak cipta yang dilindungi oleh hokum dan ketentuan-ketentuannya. Dan isi pasal tersebut adalah :
1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
- buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
- ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
- alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
- drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
- seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
- arsitektur;
- peta;
- seni batik;
- fotografi;
- sinematografi;
- terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Dengan berdasarkan pada pasal 612 KUHPer, maka penggandaan barang tanpa mencantumkan nama pemilik adalah suatu tindak pelanggaran terhadap hak cipta.
Tetapi dalam UUHC pasal 15, pemerintah Indonesia membuat suatu pengecualian terhadap tindakan ini. Dan isi dari pasal tersebut adalah :
“Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.”
Maka sudah jelas bahwa tindak pengutipan suatu karya tulis tanpa mencantumkan nama pemilik hak cipta atas karya tersebut adalah suatu pelanggaran atas hak cipta. Dan mengenai kepemilikan karya tersebut adalah menjadi hak milik pemegang hak cipta. Dan karya turunan yang merupakan hasil jiplakan tanpa identitas sumber idenya, akan kembali kepada pemilik hak cipta sebatas bagian yang merupakan kutipan tersebut. Dan apabila merugikan pihak pemegang hak cipta, maka pihak tersebut dapat melakukan wanprestasi atas tindakan pengkutipan tersebut.
f. Kesimpulan
Kepemilikan karya tulis yang mengkutip karya orang lain tanpa mencantumkan nama pemiliknya dapat diperkarakan oleh pemilik karya tulis apabila hal tersebut merugikan dan termasuk perkara wanprestasi. Dan pengutipan tanpa mencantumkan nama pemilik atau penulis atau sumber pengambilan data (source of data) adalah suatu tidakan yang melanggar ketentuan pasal 612 KUHPer dan pasal 15 UUHC.
Pada dasarnya kepemilikan suatu karya tulis yang berupa tulisan tersebut tidak secara otomatis berpindah dengan berpindahnya kepemilikan buku. Tetapi penguasaannya mengikuti berpindahnya penguasaan bendanya. Adapun ciri-ciri hak milik adalah ;
1. Merupakan hak pokok terhadap hak-hak lain yang sifatnya terbatas,
2. Merupakan hak yang paling sempurna,
3. Bersifat tetap, dan
4. Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain.
Selain ciri-ciri tersebut diatas, hak milik juga memiliki sifat elastic, artinya bila diberi tekanan (dibebani dengan hak kebendaan yang lain) menjadi lekuk, sedang bila tekanan ditiadakan menjadi penuh kembali. Adapun batasan-batasan terhadap hak milik dapat ditemukan dalam pasal 570 KUHPer yang ditambah dengan ketentuan pada UU nomer 5 tahun 1960, yaitu sebagai berikut :
a. Ketentuan hukum yang berlaku,
b. Ketertiban umum,
c. Hak-hak orang lain, dan
d. Fungsi social
Mengenai ketentuan pemindahan hak milik, diatur dalam pasal 548 KUHPer. Dan ketentuan pemindahan atau pengalihan hak cipta diatur dalam pasal 3 ayat (2) UU no 19 tahun 2002 tentang hak cipta.
Daftar pustaka
1) Mulyadi, Kartini, Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Harta Kekayaan : Kebendaan Pada Umumnya. Jakarta : Kencana
2) Ndraha, Taliziduhu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta
3) Rahardjo,Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas
4) Riswandi, Budi Agus, M, Syamsudin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo
5) Salim H.S. 2006. Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Cet.4. Jakarta : Sinar Grafika.
6) Tutik, Titik Triwulan. 2008. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar