Pertanyaan:
Sejauhmana tanggungjawab perusahaan induk terhadap anak perusahaannya terutama terhadap hutang si anak perusahaan kepada pihak ketiga? Bagaimana jika si anak perusahaan wanprestasi? Apakah anak perusahaan itu pailit? Bagaimana penyelesaiannya?
Jawaban:
Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT) menyiratkan bahwa terhadap pelaku bisnis telah dibuat rambu-rambu yang jelas agar tidak dilanggar serta berdampak pada pihak luar (pihak ketiga) dalam mengantisipasi dampak dari ekses negatif jalannya perusahaan (Badan Hukum) tersebut, terutama akibat perbuatan Badan Hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Pada prinsipnya, tanggung jawab suatu perusahaan yang jatuh pailit, klaim-klaim dari kreditur hanya dapat ditujukan terhadap perusahaan dalam statusnya sebagai badan hukum.
Berdasarkan pasal 1 UU Kepailitan NO. 4 tahun 1998, debitur dapat dinyatakan pailit, apabila memenuhi syarat:
1. adanya utang
Maksud pasal 1 ayat (1) beserta penjelasannya, bahwa debitur dinyatakan pailit, bila mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pengertian utang yang tidak dibayar oleh debitur adalah "utang pokok" dan "bunganya". Dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum hutang piutang adalah hubungan hukum yang didasarkan pada konstruksi hukum pinjam-memijam uang.
2. utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih
3. Kreditur minimal 2
Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 menyatakan "Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi".
Menurut penjelasan dari pasal 117 ayat (1) huruf c UU PT, bahwa kepailitan tidak dengan sendirinya mengakibatkan suatu perseroan bubar.
Pernyataan pailitnya perusahaan haruslah dinyatakan dengan keputusan Pengadilan (pasal 4 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998).
Mengenai sejauhmana tanggung jawab induk perusahaan terhadap anak perusahaannya terutama terhadap hutang anak perusahaan kepada pihak ketiga, pada prinsipnya setiap konsekuensi yuridis atas tindakan perseroan baik/buruk akan dipikul oleh perseroan tersebut. Namun demikian, UU mengenal beberapa pengecualian. Sungguhpun itu tindakan perseroan, dibuka kemungkinan bukannya perusahaan yang bertanggung jawab, tetapi pihak lainnya. Misalnya, direktur secara pribadi ataupun secara bersama-sama (renteng).
Dalam UU PT, jika anak perusahaan melakukan perbuatan yang mengharuskan bertanggung jawab secara hukum, induk perusahaan akan ikut bertanggung jawab sejauh tidak menyimpang dari tugas yang seharusnya dilakukan oleh perusahaannya. Kecuali misalnya direksi pada anak perusahaannya telah bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya. Seberapa jauh kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan. Biasanya dalam bagian "Kepengurusan" dan bagian "Tugas dan Wewenang Direksi". Apabila direktur bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadanya tersebut, maka direktur tersebut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan jatuh pailit, maka beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka direksipun ikut bertanggung jawab secara renteng.
Jika anak perusahaan itu ada beberapa direktur, salah seorang dari direktur itu menyebabkan kerugian yang mengakibatkan kepailitan pada perusahaan, sejauh itu dilakukan tidak melanggar anggaran dasar, atau melanggar tugasnya kemungkinan adanya sistem pembuktian terbalik. Artinya kepada anggota direktur diberi kemungkinan untuk mengelak dari tanggung jawab renteng jika ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah (pasal 90 ayat (3) UU PT. Dalam hal ini induk perusahaan tidak ikut bertanggung jawab.
Contoh kasus Bank Summa di tahun 1992. Kasus ini ternyata tidak 1 orangpun yang dicoba mintakan tanggung jawab secara hukum. Jadi, PT Bank Summa yang melulu bertanggung jawab. Kalaupun perusahaan yang lain dalam group yang sama, atau pemiliknya kemudian dikejar-kejar, itu lebih dikarenakan alasan-alasan yang bersifat kontraktual. Misalnya, karena ada kontrak kredit dengan perusahaan lain satu group, atau karena ada gadai saham atau personal guarantee oleh pemiliknya. Hal ini bukan berarti direktur diperusahaan yang lain lagi bisa lepas bebas dari tanggung jawab. Banyak alasan-alasan yuridis dan keadilan yang menyebabkan direktur mesti bertanggung jawab.
Suatu perusahaan dapat dikatakan melakukan wanprestasi apabila tidak menepati janji untuk membayar kembali hutangnya yang telah jatuh tempo, sehingga menurut hukum, debitur tersebut "ingkar janji" (Wanprestasi).
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi "tidak ditentukan", perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Untuk dapat menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan bersalah sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
(1) debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
(2) debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
(3) debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Apabila suatu perusahaan itu wanprestasi, maka akibat hukumnya:
(1) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUHPerdata)
(2) Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUHPerdata).
(3) Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan dimuka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
(1) Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.
(2) Karena keadaan memaksa (overmach), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Dalam UU Kepailitan, memberikan jalan kepada debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar hutang-hutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapt ditagih, untuk lebih dahulu mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren (pasal 212).
Pernyataan pailitnya perusahaan haruslah dinyatakan dengan keputusan Pengadilan (pasal 4 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998)
Referensi:
1. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
2. Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
3. Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Robintan Sulaiman, SH, MH, MA, MM, DRS. Joko Prabowo,SH
4. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek (Buku Ketiga), Munir Fuady, SH, MH, LLM
5. Hukum Perdata Indonesia, AbdulKadir Muhammad, SH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar