Minggu, 28 Juni 2009

Sistematika KUH Perdata Dan Pembagian Hukum Perikatan


A. PENDAHULUAN

Basis Hukum Nasional sebagaimana kita ketahui masih bersumber dari hukum yang telah diletakkan oleh kolonial –dalam hal ini Belanda. Begitu pula dengan hukum perikatan sebagai bagian dari lingkup hukum perdata masih bertumpu dengan yang telah digariskan Belanda. Ketentuan tentang perikatan ini diatur dalam BW pada Buku III. Secara sistematis diatur ketentuan-ketentuan secara umum atau khusus emngenai perikatan. Untuk jelasnya dalam tulisan ini akan dijelaskan sitematika dan ulasan singkat KUH Perdata Buku III dan beberapa penjelasan Macam Hukum Perikatan yang dilihat dari seumber perikatan terjadi.

B. PEMBAHASAN

a. Sistematika KUHPerdata Tentang Perikatan[1]

Buku III BW mengatur mengenai hukum perikatan. Bagian umum terdiri dari empat, dan bagian khusus terdiri dari lima belas bab. Bagian umum bab pertama mengatur ketentuan-ketentuan untuk semua perikatan, baik yang timbul dari persetujuan maupun undang-undang,. Bertentangan dengan judulnya yang berbunyi: “Tentang perikatan-perikatan pada umumnya”, Bab I mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi persetujuan saja. Sebagian besar dari bab ini ditujukan kepada pembagian perikatan-perikatan. Hal ini mengoper secara hurufiah Code Perancis, sedangkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Code diperuntukkan bagi perikatan yang timbul dari persetujuan.

Dalam Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan.

Dalam Bab III yang berjudul: “Perikatan-perikatan yang timbul dari undang-undang” hanya terdapat dua ketentuan umum, yaitu pasal 1352 dan pasal 1353 dan selanjutnya mengatur tiga perikatan-perikatan khusus yang terjadi karena undang-undang, yaitu perwakilan sukarela, pembayaran yang tidak terutang dan perbuatan melawan hukum. Menurut Pitlo[2] tiga perikatan khusus tersebut seharusnya ditempatkan dalam persetujuan-persetujuan tertentu.

Bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara hapusnya perikatan-perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena persetujuan atau undang-undang.

Bab V sapai dengan Bab XVIII dan Bab VII A mengatur mengenai persetujuan-persetuan bernama (tertentu). Dalam bab ini terdapat persetujuan-persetujuan yang seringkali dibuat dalam masyarakat misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, pemberian kuasa dan sebagainya. Selain itu terdapat juga persetujuan-perserujuan yang tidak begitu penting artinya bagi masyarakat.: tukar-menukar, pinjam pakai, bunga tetap, dan bunga abadi. Beberpa persetujuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang: perseroan, asuransi, komisioner, makelar dan pengangkutan.

Bagian umum mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum perikatan, sedangkan bagian khusus membahas lebih lanjut ketentuan-ketentuan pokok tersebut untuk hal-hal khusus. Dalam ketentuan-ketentuan khusus adakalanya terdapat ketentuan-ketentuan yang hanya mengulangi apa yang telah diatur dalam bagian umum. Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan yang merupakan pengecualian dai ketentuan-ketentuan pokok.

Seringkali dari ketentuan-ketentuan khusus dapat ditarik suatu ketentuan pokok yang dapat dipergunakan bagi semua perikatan yang terjadi dari hubungan-hubungan yang sejenis.

Bagian V lama Bab VI, yang berdasarkan S.1879-256 dinyatakan berlaku bagi golongan pribumi dan yang dismakan diganti dengan Bab VII A berdasarkan S.1926-335 jis 458, 565 dan S.1927-108. akan tetapi menurut pasal VI ketentuan-ketentuan penutup) dari S.1926-335, bagian V lama masih dinyatakan berlaku bagi golongan Pribumi, Tionghoa, dan Timur Asing lainnya.

Walaupun banyak persetujuan yang belum diatur dalam UU, akan tetapi karena azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU, maka tidak tertutup kemungkinan bagi para pihak untuk membuat persetuan-persetujuan tersebut.

Peraturan per-UU-an mengenai hukum persetujuan bersifat menambah (aavullend recht), yang artinya pihak-pihak dalam membuat persetujuan bebas untuk menyimpang dari ketentuan yang tersebut dalam BW.

Mengenai kebebasan pihak-pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan diadakan beberapa pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan.

Untuk lebih jelasnya secara sistematis Buku III KUH Perdata Indonesia berisi:[3]

Bab I Perikatan Pada Umumnya

Bab II Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan

Bab III Periaktan yang Lahir karena Undang-Undang

Bab IV Hapusnya Perikatan

Bab V Jual Beli

Bab VI Tukar Menukar

Bab VII Sewa Menyewa

Bab VIIA Perjanjian Kerja

Bab VIII Perseroan Perdata

Bab IX Badan Hukum

Bab X Penghibahan

Bab XI Penitipan Barang

Bab XII Pinjam Pakai

Bab XIII Pinjam Pakai Habis

Bab XIV Bunga Tetap dan Bunga Abadi

Bab XV Persetujuan Untung-untungan

Bab XVI Pemberian Kuasa

Bab XVII Penanggungan Utang

Bab XVIII Perdamaian

b. Jenis-Jenis Hukum Perikatan

i. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overenkomst (Belanda) atau contact (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian, yakni tori lama dan teori baru. Pasal 1313 KHU Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Definisi perjanjian dalam pasal ini adalah: 1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2. tidak tampak asas konsensualisme, dan 3. bersifat dualisme. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan didalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.[4]

Teori baru dikemukakan oleh Vn Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah:

“suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Teori tersebut tidak hanya melihat persetujuan semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalm mmebuat perjanjian, yaitu:

1. tahap pracontractual, yaitu penawaran dan penerimaan,

2. tahap contarctual, yaitu persetujuan pernyataan kehendak antara para pihak,

3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

1. Syarat-syarat Perjanjian

Mengenai hal syarat-syarat perjanjian didalam hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KHU Perdata menentukan empat syarat sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan terjadinya persesuaian pernyataan, ada empat teori, yakni:

1. Teori Ucapan (ultingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

2. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram.

3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

4. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditor dan debitor. adakalnya tidak ada persesuaian. Mengenai ketidaksesuaian ini ada tiga teori yang menjawab, yaitu:

1. Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.

2. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jiak terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

3. Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkabn perjanjian.

Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga toeri diatas sebgai berikut:

1. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak yang menganggap perjanjian terjadi jika tidak terjadi persesuaian, pemecahannya: pihak lawan mendapat ganti rugi, karena pihak lawan mengharpkannya.

2. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak, hanya pelaksnaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.

3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract), yaitu suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum didalamnya. Biasanya dalam bentuk formulir.[5]

b. Kecakapan bertindak

Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh UU yaitu orang yang sudah dewasa dengan ukuran umur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berumur meliputi: anak dibawah umur, orang dibawah pengampuan, dan isteri (pasal 1330 KHU Perdata), tetapi isteri dapat melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 31 UU No. 1 tahun 1974 jo. SEMA no. Tahun 1963.

c. Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalh apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor.[6] Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata)

d. Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)

Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Dalam pasal 1337 KHU Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.

1. Bentuk-bentuk Perjanjian

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga jenis perjanjian tertulis:

1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja.

2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

Perjanjian ynag dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hdapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.

1. Interpretasi dalam Perjanjian

Penafsiran tentang perjanjian diatur dalam pasal 1342 s.d 1351 KUH Perdata. Pada dasarnya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dimengeti dan dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak. Dengan demikian, maka isi perjanjian ada yang kata-katanya jelas dan tidak jelas sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Untuk melakukan penafsiran haruslah dilihat beberapa aspek, yaitu:

1. jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran, maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (pasal 1343)

2. jika suatu janji dalam memberikan berbagai penafsiran, maka harus diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksnakan (pasal 1344)

3. jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dnegan sifat perjanjian (pasal 1345)

4. apabila terjadi keraguan-keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang mengikatkan dirnya untuk itu (pasal 1349)

1. Fungsi Perjanjian

Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yurudis dan fungsi ekonomis. Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.

1. Biaya dalam Pembuatan Perjanjian

1. Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang mana yang diinginkan dan biaya penentuan bernegosiasi,

2. Biaya negosiasi, meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak, dan biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci,

3. Biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang objek,

4. Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan arbitrase,

5. Biaya kekliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.

ii. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang

Perikatan yang lahir karena UU diatur dalam pasal 1352 s.d 1380 KUH Perdata. Perikatan yang lahir dari UU adalah suatu perikatan yang timbul/lahir/adanya karena telah ditentukan dalam UU itu sendiri.

Perikatan yang lahir dari UU dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Perikatan yang lahir dari UU saja, adalah perikatan yang timbul karena adanya hubungan keluargaan. Contohnya alimentasi atau nafkah anak untuk orang tua yang tidak mampu.

2. Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia. Perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi: perbuatan yang dibolehkan dan melanggar hukum (pasal 1365). Yang termasuk yang dibolehkan adalah pembayaran tak terutang (pasal1359 KUH Perdata, 1395 s.d 1400 NBW) dan zaakwaarneming (pasal 1354 KUH Perdata, 1390 s.d 1394 NBW)

Unsur-unsur pembayaran tak terutang meliputi: pembayaran dengan perkiraan ada suatu utang, dan pembayaran itu dapat dituntut kembali. Unsur-unsur zaakwaarneming meliputi: secara sukarela mengurus kepentingan pihak lain tanpa dibebani kewajiban hukum, perbuatan yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak yang diurusnya karena secara diam-diam pihak yang mengurus telah mengikatkan dirinya untuk melanjutkan penyelesaian perbuatannya, dan kedudukan pihak yang mengurus dapat beralih menjadi penerima kuasa.

iii. Hukum Perikatan yang Bersumber dari Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan sebagai sumber hukum perikatan tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, namun putusan pengadilan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam hukum periaktan karena putusan pengadilan dapat melengkapi kelemahan-kelemahan dan stagnasi (hambatan) dalam penegakan hukum.

Didalam Seminar Hukum Nasional keenam tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional dalam PJPT II yang diselenggarakan pada tanggal 25-29 Juli 1994 telah diambil kesimpulan sebagi berikut:

1. Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk mendampingi berbgai peraturan per-UU-an dalam penerapan hukum, dalam upaya mewujudkan standar pengaturan hukum.

2. Tanpa Yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman bisa mengalami kemandulan dan stagnasi.

3. Yurisprudensi bertujuan agar UU tetap aktual dan efektif.

4. Peranan yurisprudensi dalam pembaharuan hukum nasional cukup strategis.

5. Diperlukan langkah-langkah sitematis untuk menjadikan yurisprudensi tetap sebagai sember hukum nasional.

6. Asas kebebasan hakim tidak menghalangi usah untuk menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum nasional.[7]

Dari seminar ini tampaklah putusan pengadilan menjadi sumber hukum nasional, khususnya perikatan. Diantara putusan pengadilan yang penting dalam hukum perikatan adalah putusan H.R 1919 tentang panafsiran perbuatan melawan hukum. Didalam putusan itu bahwa yang dikatakan perbuatan melawan hukum tidak hanya melawan hukum UU saja, tetapi juga melanggar hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dengan adanya putusan tersebut, maka setiap hakim dapat berpedoman pada rumusan itu dalam memutuskan tentang perbuatan melawan hukum.

C. PENUTUP

Ketentuan tentang perikatan ini diatur dalam BW pada Buku III, yang didalamnya termaktub juga sumber Hukum Perikatan yang terdiri dari dua macam, perjanjian dan Undang-Undang. Sedangkan Salim HS menambahkan satu lagi yakni Yurisprudensi sebagai pelengkap dari ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam BW.

DAFTAR PUSTAKA

R. Setiawan,SH, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet. IV, 1987.

Salim HS,SH,MS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika, Cet. II, 2003.

Soedharyo Soimin, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sianr Grafika, cet. III, 2001.

[1] Lihat: R. Setiawan,SH, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet. IV, 1987, h. 9-11.

[2] A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar Hederlands Burgerlijk Wetboek, H.D. Tjeenk & Zoon, NV Harlem 1952 hal. 25, seperti yang dikutip oleh R. Setiawan,SH, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet. IV, 1987, h. 10.

[3] Soedharyo Soimin, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sianr Grafika, cet. III, 2001, h. viii-ix

[4] Salim HS,SH,MS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika, Cet. II, 2003, h. 160

[5] Mertokusumo, 1987:20

[6] Yahya Harahap, 1986:10; Mertokusumo, 1987:36.

[7] BPHN, 1994: 178.

Sumber : http://aafandia.wordpress.com

Tidak ada komentar: