Minggu, 28 Juni 2009

Quo Vadis Arah Badan Hukum Pendidikan Tinggi (Negeri/Swasta)


Oleh : Komisi Hukum Nasional

Membangun bangsa yang cerdas merupakan semangat, cita-cita dan tujuan bernegara (staatsidee) yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Pasal 31 UUD 1945 hasil perubahan Keempat, mempertegas semangat tersebut dengan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara berkewajiban untuk memprioritaskan alokasi anggaran minimal 20% dari APBN dan APBD. Atas dasar itu, telah disahkan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mendelegasikan pengaturan tentang Badan Hukum Pendidikan melalui Undang-undang.

Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator.

UU No. 20/2003, Pasal 43. ayat (3) menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan berprinsip nirlaba. Di sisi lain, pendidikan berbasis masyarakat juga mempersyaratkan adanya jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang transparan, partisipatif dan akuntabel oleh penyelenggaraan pendidikan. Bila tidak, maka peluang terjadinya penyimpangan oleh para pelaku pendidikan akan terjadi.

Pendidikan berbasis masyarakat bukan berarti tanggungjawab negara untuk menjamin hak warga negara atas pendidikan menjadi tereliminasi. Negara tetap bertanggungjawab menyediakan anggaran, sarana dan prasarana agar seluruh warga negara dapat menikmati kesempatan atas pendidikan secara merata dan tanpa diskriminasi sesuai dengan konsideran huruf (c) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Konsep Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) untuk pertama kali dipersiapkan bersamaan dengan RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).

Dalam konsep RUU tersebut diatur tentang badan hukum pendidikan dasar, menengah dan tinggi - baik swasta maupun negeri, namun khusus mengenai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diatur lebih lanjut dalam RUU PT BHMN.

Terdapat 2 (dua) opsi untuk PTN yang diatur dalam pasal peralihan RUU BHP; pertama, dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang kekayaannya tidak dipisahkan dari negara, kedua, dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kekayaannya dipisahkan dari negara.

Dalam perkembangannya, konsep RUU tersebut telah banyak mengalami perubahan, ke arah yang lebih rigid dan lengkap mengatur tentang konsep pengelolaan institusi pendidikan berbentuk badan hukum. Meskipun banyak juga hal yang harus tetap dikritisi.

Dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk badan hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan. Oleh karenanya, jika RUU BHP disahkan - maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi.

Perubahan yang terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1 ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) (Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM)”.

Dalam versi perubahan, ketentuan tersebut lebih luwes, misalnya; “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk BHPT”, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk Badan Hukum Dasar Menengah (BHDM)”. “Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka (a) yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan PT yang telah ada berubah menjadi BHPT, atau (b) yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang telah ada merupakan organ BHPT”.

Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan? Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Apakah RUU BHP memberikan jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global?

Tidak ada komentar: