Minggu, 14 Juni 2009

Sekali Lagi “Menyoal Kualitas UU BHP”


 UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) diundangkan dalam lembaran negara pada tanggal 16 januari 2009. namun kontroversi UU ini terus bergulir di masyarakat, setidaknya hal ini termanifest dalam diskusi interaktif di Universitas Andalas yang diselenggarakan Lembaga Advokasi Mahasiswa Dan Pengkajian Kemasyarakatan Fakultas Hukum Universitas Andalas (LAM & PK FHUA). Aura penolakan UU BHP kental terasa dalam dialog interaktif tersebut, baik itu oleh mahasiswa, masyarakat dan juga para dosen.

Melihat fenomena diatas, sungguh relevan mengulas kembali UU BHP sebagai produk kebijakan yang berpengaruh besar bagi pendidikan bangsa, terutama bagi perguruan tinggi di sumatera barat. Maka tulisan ini sekali lagi mencoba membahas UU BHP dari sekian banyak tulisan-tulisan yang ada untuk mengingat kembali ancaman yang muncul dari UU tersebut.

Roh UU BHP.
DR. Mestika Zed dengan gamblang menyebutkan UU BHP sebagai regulasi pendukung privatisasi pendidikan terutama bagi perguruan tinggi. Argumentasinya merujuk pada norma-norma UU ini yang memposisikan perguruan tinggi sebagai lembaga bisnis sehingga peristilahan university coorporate dalam UU BHP menjadi hal yang biasa. aturan soal investasi, potofolio (saham) menunjukkan hal tersebut (vide pasal 42 (1) dan pasal 38 (3)). Kondisi ini memungkinkan lembaga pendidikan melakukan investasi di bursa saham dan ekspansi bisnis selayaknya perusahaan. walaupun secara jelas menyebutkan bahwa lembaga pendidikan (BHP) bukanlah lembaga profit (nirlaba) tetap saja “roh” yang terkandung dalam UU BHP sarat akan profit orientied.

Semangat yang terkandung dalam UU BHP jelas menunjukkan pergeseran makna pendidikan yang diamanatkan dalam UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Kenapa demikian ? untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya tidak terlepas dari peran negara sebagai pemangku kewajiban penyelenggaraan pendidikan. Artinya pendidikan merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara, yang dikonstruksi oleh negara dalam hak-hak konstitusional warga negara. Dengan menengok semangat privatisasi dalam UU BHP memperlihatkan upaya pengelakkan tanggung jawab negara atas pendidikan. UU BHP membuka “kran” besar bagi modal untuk masuk dalam ranah pendidikan, sehingga pendidikan tergerus oleh logika pasar, baik di aras domestik maupun global.

UU BHP memposisikan modal sebagai mitra utama penyelenggara pendidikan di tengah mekanisme pasar yang dibangun. Mekanisme pasar yang mengedepankan semangat persaingan bebas yang berakibat pada meminggirkan kelompok-kelompok lemah secara ekonomi dalam masyarakat (marginalized groups) untuk mengeyam pendidikan. Selain itu, aroma deskriminatif terhadap kelompok-kelompok lemah tercium dalam UU ini. pengaturan quota minimaL 20 persen bagi peserta didik WNI yang berpotensi akademik dan kurang mampu menunjukkan hal tersebut (vide pasal 46 (1)). Pengaturan itu secara tegas menetapkan dua syarat sekaligus (kumulatif) bagi kelompok lemah secara ekonomi, yaitu; berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi. Artinya, bagi kelompok lemah secara ekonomi yang tidak memiliki nilai akademik tinggi tidak berhak mengenyam pendidikan yang lebih baik. Pasal ini selain kontradiktif dengan prinsip “akses yang berkeadilan” yang diatur dalam pasal 4 (2) UU BHP, juga melanggar pasal 28 I (2) UUD 1945 yang berbunyi; “ setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat deskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif itu” (sudi prayitno, 2009).

Disamping sifat deskriminatif pasal diatas, secara umum, dengan karakter privatisasi perguruan tinggi yang diatur dalam UU BHP yang kemudian memberikan quota 20 persen bagi kelompok lemah secara ekonomi merupakan bentuk “polesan” semata keberpihakkan UU BHP bagi kelompok-kelompok lemah. Selain itu, aturan diatas menunjukkan bahwa pembuat undang-undang telah memprediksi bahwa UU BHP berimplikasi negatif bagi kelompok-kelompok lemah secara ekonomi sehingga diperlukan quota 20 persen tersebut. Artinya secara konstitusional UU BHP jelas-jelas memberikan peluang terjadinya pelanggaran atas hak untuk mendapatkan pendidikan dalam pasal 31 (1) UUD 1945 yang berbunyi; “ setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Konteks Sumatera Barat.
Uji coba privatisasi pendidikan dengan menggeser ranah hukum publik ke ranah hukum privat sebenarnya telah dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang telah berbentuk BHMN, seperti UI, UGM, dan lain-lain. Praktek BHMN memunculkan kecenderungan komersialisasi pendidikan dengan memecah konsentrasi lembaga pendidikan dari hanya pada aras pemikiran / akademik, kepada aras bisnis yang belakangan terjadi di perguruan-perguruan tinggi tersebut. Kritik pemberlakukan BHMN yang cenderung komersial dan seakan-akan tidak terkontrol relevan dengan pengaturan UU BHP dengan aturan-aturan yang ketat seperti; pengaturan audit bidang akademik dan non akademik. Namun apakah hal tersebut relevan dengan perguruan tinggi negeri lain ?

Bagi perguruan tinggi negeri non BHMN belum tentu permasalahan-permasalahan yang ada, baik itu permasalahan akademik maupun manejerial sama dengan permasalahan BHMN, karena permasalahan BHMN tidak terlepas dari kebablasannya privatisasi BHMN itu sendiri, sehingga UU BHP tidak relevan dengan perguruan tinggi negeri non BHMN. Dengan menjeneralisir persoalan BHMN terhadap perguruan tinggi negeri non BHMN adalah bentuk simplikasi masalah dan bahkan bentuk legitimasi pemberlakukan privitisasi pendidikan bagi perguruan tinggi non BHMN. Untuk sumatera barat sendiri, keberadaan perguruan tinggi negeri, seperti Universitas Andalas dan Universitas Negeri Padang merupakan sentral pencerdasan masyarakat yang cenderung dapat diakses oleh hampir semua lapisan masyarakat. Disisi lain, sumatera barat dengan basis ekonomi pertanian yang ditopang dengan industri kecil dan menengah menjadikan daerah ini mempunyai pendapatan perkapita kecil dibandingkan dengan daerah sentra industri dan jasa, seperti DKI Jakarta misalnya. paling tidak terlihat dari Upah Minimum Regional (UMR) sumatera barat yang hanya sebesar 800.000. rupiah. Selain persoalan ekonomi, persoalan sosial - kultural masyarakat sumatera barat yang agraris dengan nilai-nilai komunalnya tidak memungkinkan pemberlakukan UU BHP dengan karakter liberatif dan kapitalistik.

Semangat UU BHP yang mengagungkan persaingan bagi pengelola lembaga pendidikan maupun peserta didik mengakibatkan tercerabutnya makna pendidikan pada struktur masyarakat yang masih mementingkan semangat kebersamaan seperti di sumatera barat ini. sistem “pendidikan surau” merupakan bukti semangat komunalistik yang terkandung dalam masyarakat sumatera barat yang masih menghargai nilai-nilai kebersamaan, toleransi dan gotong royong. Artinya, pemberlakukan UU BHP selain berimplikasi negatif bagi kelompok ekonomi lemah juga berimplikasi negatif bagi struktur sosial – budaya masyarakat, sehingga kekhawatiran berbagai pihak terhadap fenomena individualisme terutama di generasi muda bukan lagi sebuah kekhawatiran belaka, namun telah menjadi keniscayaan.

Disela-sela kegelapan yang akan muncul dari pemberlakuan UU BHP di sumatera barat, titik terangpun hadir, yaitu Pernyataan Prof. Musliar Kasim (rektor Universitas Andalas) di dialog interaktif yang diselenggarakan oleh LAM & PK FHUA pada tanggal 17 februari 2009 ini. adapun pernyataannya adalah mengkaji lebih dalam pemberlakuan UU BHP di Universitas Andalas, terutama yang berhubungan dengan dampak-dampak negatifnya. Selain itu, tidak di tutup kemungkinan bahwa Universitas Andalas akan melakukan “Judicial Review” UU BHP ke Mahkamah Konstitusi apabila di nilai berpengaruh besar terhadap Universitas Andalas pada khususnya dan sumatera barat pada umumnya.

Seiring dengan kontroversi UU BHP yang menyita perhatian publik, baik nasional maupun daerah, terdapat hal penting, yaitu kesadaran berbagai pihak bahwa UU BHP mempunyai persoalan serius yang perlu disikapi. Upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah salah satu cara untuk menguji UU ini dalam konteks konstitusionalnya. Selaras dengan itu, melihat UU BHP semestinya berangkat dari semangat menolak privatisasi / komersialisasi pendidikan yang merupakan bentuk filtrasi dari ancaman serius dari roda-roda globalisasi dan kapitalisme, sehingga kedepan kita masih bisa berharap masa depan bangsa yang lebih cerah dan bermartabat.


Sumber : Nurul Firmansyah, S.H.
[Penulis adalah Peneliti perkumpulan Qbar dan Dewan Pembina Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM & PK) FHUA]

Tidak ada komentar: