Selasa, 03 Maret 2009

Notaris Minta PP Pendaftaran Tanah 1997 Direvisi

Notaris Minta PP Pendaftaran Tanah 1997 Direvisi

Timbulnya perbedaan penafsiran kewenangan Notaris di bidang pertanahan antara Departemen Hukum dan HAM dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu segera diakhiri. Demikian disampaikan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta pada Pelantikan Anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris Abdul Wahid Masru SH. MH menggantikan Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah yang memasuki masa purnabakti. Jakarta, Senin, 2 Juli 2007.

Notaris Minta PP Pendaftaran Tanah 1997 Direvisi

Sejumlah notaris mengeluh, akta-akta tanah tertentu dalam lingkup hukum perdata yang mereka buat dikesampingkan Badan Pertanahan Nasional. Akibatnya, ada notaris yang meminta Pemerintah segera merevisi PP Pendaftaran Tanah.

Permintaan itu antara lain disampaikan DR M. Afandhi Nawawi, seorang notaris di Jakarta, secara tertulis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam surat tertanggal 3 Mei yang salinannya diperoleh hukumonline, Afandhi Nawawi mengusulkan kepada Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin agar segera melakukan legislative review terhadap sejumlah pasal pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pasal yang diminta Afandhi untuk dicabut dihapus adalah pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) PP Pendaftaran Tanah. Ia juga minta dicabut pasal 7 ayat (3), pasal 64 ayat (1) dan ayat (2), pasal 66 ayat (1) dan ayat (2). Lihat tabel:

PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Pasal 7
(1) PPAT sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat 2 diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT sementara.
(3) Peraturanjabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri

Pasal 64
(1) Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah ada masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Hak-hak yang didaftar serta hal-hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tetap sah sebagai hasil pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 66
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 3 (tiga) bulan sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ketentuan-ketentuan tersebut, menurut Afandhi, merugikan notaris. Selaku “pejabat umum” pada hakekatnya seorang notaris berwenang untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang berada dalam lingkup hukum perdata. Akta dimaksud antara lain jual beli, tukar menukar, hibah atau pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) atas suatu hak kebendaan. “Jika pasal 7 ayat (1) dihapuskan maka serta merta notaris selaku pejabat umum berwenang membuat akta-akta tanah tertentu,” papar Afandhi dalam suratnya.

Namun dalam prakteknya, ujar Afandhi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menolak eksisten akta-akta tanah dalam lingkup perdata yang dibuat notaris. BPN menganggap yang berwenang membuat akta tanah tertentu masih harus diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Keluhan atas penolakan oleh BPN itu juga pernah disampaikan oleh HM Ridwan Indra, seorang notaris di Bekasi, dalam sidang pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris di Mahkamah Konstitusi, 9 Mei lalu. Bahkan menurut informasi yang diperoleh hukumonline, beberapa orang notaris di Jakarta Timur telah mendapatkan ‘sanksi’ dari Badan Pertanahan Nasional.

PP Pendaftaran Tanah merupakan peraturan organik dari pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Menurut ketentuan ini, pendaftaran tanah dibuat demi kepastian hukum. Namun, pasal 19 ayat (1) tadi tidak mengatur sama sekali tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat umum. Aturannya ditemukan pada Notarisreglement (Staatblad 1860 No. 3), dan kemudian lewat Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Masalahnya, pada pasal 1 angka (24) PP Pendaftaran Tanah ada kalimat bersifat declaratoir, “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.

Penggunaan kata ‘pejabat umum’ tadi berarti merujuk pada terminologi yuridis yang berlaku. UU Jabatan Notaris tegas menyebutkan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang “membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan” (pasal 15 ayat 2 huruf f).

Sumber : http://hukumonline.com/detail.asp?id=12818&cl=Berita



Tidak ada komentar: