Selasa, 03 Maret 2009

Pengamanan Aset Tanah Negara Lewat MPBM

Pengamanan Aset Tanah Negara Lewat MPBM
Kategori: Penelitian

Aset negara perlu segera diinventarisasi agar dapat dicegah adanya tindakan korupsi, sebagaimana dinyatakan oleh Sekretaris Jendral Departemen Keuangan yang didampingi Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan bersama sejumlah sekjen, irjen instansi pemerintah ketika membahas penertiban aset negara (Kompas, Rabu 7/5 2008). Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan mengungkapkan bahwa sertifikat ganda menggerogoti aset negara dan menyebabkan ketidakjelasan status tanah yang berpengaruh terhadap investasi (Jawa Pos, Rabu 7/5 2008).

Sebagai pegawai yang telah mengabdi cukup lama di BPN, penulis tidak kaget mendengar kedua pernyataan di atas. Hampir semua instansi pemerintah hingga pemerintah desa belum tergerak untuk mendaftarkan asetnya. Kalaupun ada, masih bersifat sporadis dan keproyekan, serta belum sistematis dalam kerangka manajemen aset.

Penyertifikatan tanah, menurut UU No. 5 Tahun 1960, merupakan langkah yang tepat untuk menata aset negara dan sesungguhnya pendaftaran tanah di seluruh NKRI adalah kewajiban Pemerintah. Namun, karena keterbatasan keuangan negara, hingga saat ini diperkirakan 70-80 persen bidang tanah belum bersertifikat.

Sistem pensertifikatan tanah yang diberlakukan saat ini juga belum dapat mencegah sertifikat ganda. Ada sebidang tanah dilandasi oleh dua akta hibah pelepasan adat oleh dua marga/kelompok adat, memiliki dua sertifikat dan kebetulan sertifikat yang satu adalah tanah aset negara/pemerintah daerah. Marga tidak mengetahui batas wilayah ulayat yang jelas. Subjek yang mengatasnamakan marga juga tidak jelas.

Dobelnya surat keterangan adat atau kepala desa ini karena tidak tertibnya administrasi penguasaan tanah yang dibukukan di desa, sehingga menimbulkan sertifikat dobel. Reorganisasi instansi pemerintah menyebabkan dokumen pemilikan dan penguasaan aset banyak yang hilang, bahkan banyak tanah bengkok desa yang disertifikasi atas nama pribadi.
Keterbatasan pemerintah menyediakan anggaran menyebabkan pendaftaran tanah dilakukan secara sporadis, sehingga 20-30 persen yang sudah besertifikat berpotensi memiliki sertifikat ganda. Sekalipun jumlahnya tidak banyak tapi akan membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak efektif, karena disibukkan oleh persengketaan dan konflik pertanahan.

Tanah yang sudah bersertifikat disebut aset negara, karena negara telah melakukan inventarisasi melalui penetapan hak berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1960, sedangkan aset bangsa meliputi aset negara dan tanah yang belum bersertifikat atau tidak perlu diberi sertifikat, karena tidak ada yang menguasai, selain negara, seperti pulau-pulau terluar NKRI memerlukan sistem terpadu dalam penataannya. Subjek hak, baik seseorang WNI atau WNA maupun badan hukum privat atau publik dan jenis hak yang dibukukan melalui manajemen pertanahan harus terkoneksi dengan administrasi kependudukan sehingga sertifikat dobel dapat dihindari.

Dengan kondisi abu-abu data tanah yang ada di tingkat desa saat ini, maka penertiban aset bangsa dan aset negara sebaiknya dilakukan secara sistematis dan menyeluruh pada akar persoalan pertanahan, yaitu mulai dari desa. Sebagai pegawai pertanahan yang puluhan tahun telah mengabdi di BPN, penulis merasa terpanggil untuk mengajukan terobosan yang sistematis, yaitu melalui manajemen pertanahan berbasis masyarakat (MPBM) yang meliputi manajemen aset, manajemen pertanahan, manajemen tata ruang, tata guna tanah, tata bangunan, dan manajemen alokasi tanah untuk pembangunan fisik atas konversi penggunaan tanah, dapat diselenggarakan secara serempak, karena dilaksanakan oleh masing-masing desa/kelurahan. Pemerintah hanya memberi bimbingan teknis dan administratif.

Uji coba MPBM di Jawa Tengah telah memberikan gambaran bahwa MPBM mampu dibangun oleh masyarakat desa. Tim Sembilan yang dipilih secara musyawarah di tingkat desa bertugas mewakili masyarakat sebagai pengelola MPBM, sekaligus penggerak masyarakat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah, yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah. MPBM yang mengembangkan self finance dan multiguna serta pembangunan awalnya secara gotong royong, sangat menghemat keuangan negara dan dapat terselesaikan 5-10 tahun di seluruh Indonesia.

MPBM dapat mengeliminaasi mafia tanah yang bermain di kondisi abu-abu. Sertifikat dobel dapat dihindari karena surat keterangan tanah kepala desa dilampiri peta bidang tanah yang dibuat oleh masyarakat. Pemeliharaan data atas bidang tanah, baik subjek maupun objek dapat terlaksana secara tertib, karena dicatat pada buku MPBM. Buku aset dapat dengan mudah dikembangkan melalui MPBM di setiap desa dan dapat dikoneksikan dengan file aset yang dipusatkan di kabupaten/kota, karena setiap bidang tanah terkorelasi dengan pemilik tanahnya. Data MPBM sebelum diberlakukan sebagai landasan dalam pemberian surat keterangan tanah diverifikasi oleh Kantor Pertanahan, dimutakhirkan setiap akhir tahun atau dievaluasi setiap terjadi penggantian kepala desa/lurah, sehingga memiliki kecocokan data dengan data kantor pertanahan.

Membangun MPBM seluruh Indonesia tentu saja perlu ada koordinasi dan kerja sama antara Depdagri dan BPN RI. Pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Inventarisasi Tanah Adat perlu didukung MoU antara Mendagri dan Ka BPN agar dapat terlaksana.

Rekruitmen Tim Sembilan MPBM melalui rembug/musyawarah desa sebagai upaya pendewasaan demokratisasi, penyadaran dan pemberdayaan melalui Tim Sembilan sebagai kelompok penggerak upaya membangun kemandirian dan martabat bangsa. MPBM mempercepat pembangunan sistem informasi pertanahan nasional (simtanas), sehingga berbagai kebijakan pertanahan dapat ditetapkan setiap saat untuk mempercepat realisasi pasal 1 s/d 15 UU PA, yaitu tanah untuk kesejahteraan dan keadilan, keutuhan NKRI, kehidupan harmonis Bhineka Tunggal Ika, dalam program 5-10 tahun. MPBM dapat mengefektifkan peran lembaga pertanahan dengan fungsi mengadministrasikan setiap kejadian dan perubahan menyangkut penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan atas sebidang tanah yang tidak mungkin dapat ditangani oleh lembaga yang hanya berpusat di kabupaten/ kota.***

Penulis adalah penggagas MPBM, mantan Kapuslitbang BPN,
kini Direktur Pengelolaan Tanah Kritis, Tanah Negara dan Tanah Terlantar BPN RI

Sumber: Suara Karya On-line. 24 Juni 2008


Tidak ada komentar: