MENATA TANAH BAGI RAKYAT
Reformasi di Bidang UU Pertanahan
Saat diduduki oleh Belanda, pemerintah Kolonial memberlakukan hukum agraria yang dikenal sebagai Agrarische Wet pada tahun 1870. Hukum ini mengatur jangka waktu penggunaan tanah oleh pihak-pihak pemakai. Karena tanah diasumsikan sebagai milik pemerintah, maka tanah dibagi dalam dua kategori peruntukan, sebagai milik pribadi yakni sebagai peruntukan tempat tinggal maupun sebagai milik lembaga usaha, yakni sebagai peruntukan usaha.
Meski merupakan perbaikan dari kebijakan Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang diberlakukan penguasa Kolonial sebelumnya, hukum Agraria ini tetap lebih menguntungkan penjajah. Aturan yang mengatur jangka waktu yang cukup panjang bagi pengusahaan lahan bertujuan untuk upaya menarik lebih banyak lagi penanam modal asing ke wilayah Hindia Belanda. Ini dilaku-kan, karena pemerintahan Kolonial tidak punya cukup uang untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia saat itu.
Ketika Indonesia merdeka, karena berbagai keterbatasan, hukum Agraria warisan Belanda ini kemudian diadopsi penuh sebagai rujukan hukum di bidang pertanahan. Namun, dengan se-mangat 'berdiri di atas kaki sendiri' (Berdikari) yang dicadangkan Presiden Indonesia waktu itu, Soekarno, pada tahun 1960 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Un-dang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Kini, 38 tahun setelah diberlakukannya, apakah UUPA ini masih relevan?
Masalah SDM
"Lahirnya UUPA pada saat itu dimaksudkan untuk mengeliminir penanaman modal asing ke Indonesia," ujar Erman Rajagukguk SH, LL.M, Phd, Wakil Sekretaris Kabinet RI yang juga pakar hukum pertanahan. Padahal pada saat ini, Indonesia justru sedang membutuhkan aliran modal asing, dan harus bersaing dengan negara-negara Asia lainnya yang menawarkan kemu-dahan pengelolaan tanah di negara mereka masing-masing sebagai salah satu daya tarik investasi. Oleh karena itu, Erman berpendapat, "Sudah saatnya perundangan pertanahan diubah dan disesuaikan dengan konsentrasi pembangunan saat ini."
Namun, pakar hukum yang lain berbeda pendapat. "Bukan undang-undangnya yang salah, sumber daya yang memfungsikannya yang salah," tegas Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, pakar hukum dari UGM, Yogyakarta "Peraturannya bunyinya gimana? Pelaksanaannya bisa lain lagi," tambahnya. Kurangnya kwalitas SDM pelaksana menjadikan UUPA bagai badan tanpa kepala. "Aparatnya mesti lebih sadar hukum lagi agar pelaksanaan Undang-Undang ini menjadi lebih lancar dan bebas hambatan," tukas Koesnadi lagi.
Selain itu, pelaksanaan UUPA juga dihadang oleh kekuasaan. Undang-undang yang se-benarnya difungsikan untuk kesejahteraan masyarakat, justru sering dikalahkan oleh keputusan-keputusan presiden (Keppres), yang secara hukum berada dalam posisi yang lebih rendah. Ini terlihat dari Keppres proyek pembebasan lahan di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, yang sebenarnya melanggar aturan Undang-undang yang berada di atasnya. Pakar hukum tanah dari UGM, Yogyakarta, Maria S.W. Soemardjono berpendapat serupa. "Tak ada yang perlu dirubah dari UUPA, sifatnya sudah cukup populis alias merakyat," tandas Maria, "Masalahnya ya berkisar di SDMnya yang sembarangan menerjemahkan peraturan," tegasnya.
Masalah Keadilan
Dalam usianya yang mencapai 38 tahun, ada lima masalah di bidang pertanahan yang sering mencuat ke permukaan, yaitu fungsi sosial tanah (pasal 6), batas maksimum pemilikan tanah (pasal 7), pemilikan tanah guntai (pasal 10), monopoli pemilikan tanah (pasal 13), dan penetapan ganti rugi tanah (pasal 18). Kelima hal ini --baik secara langsung maupun tidak-memicu mun-culnya berbagai bentuk konflik pertanahan, yang tidak mudah diselesaikan. Masalah menjadi semakin rumit, karena gencarnya aktivitas pembangunan menyebabkan terlupakannya unsur keadilan di bidang pertanahan. Penerapan pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, misalnya, masih sering bias dalam praktek di lapangan.
Menurut butir II.4 penjelasan umum UUPA, fungsi sosial tanah berarti hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugi-kan masyarakat. Sementara itu, penerapan pasal 7 UUPA tentang batas maksimum pemilikan tanah, dalam kenyataannya juga sering dilanggar. Berbagai kekisruhan yang terjadi selama inimengindikasi-kan terjadinya penumpukan pemilikan tanah di satu pihak, sedangkan di pihak lain, pemilikan tanah dikikis. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah inilah --baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian-- yang menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Pada akhirnya, petani lapisan bawah yang memikul beban terberat akibat ketidakseimbangan distribusi ini.
Di lain pihak niatan pemerintah untuk membagikan tanah pada masyarakat atau landreform mendapatkan hambatan psikologis yang cukup besar, karena kebijakan ini dikaitkan dengan dengan Partai Komunis Indonesia, yang pernah menggunakannya sebagai strategi untuk mere-but hati rakyat. Padahal, dalam sejarahnya, landreform justru pertama kali dipopulerkan oleh Amerika Seri-kat di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Ahli tanah dari New York, Wolf Ladeijensky, dikontrak untuk melancarkan kebijakan pembagian tanah ini guna menangkal pengaruh komunisme. Na-mun, saat diundang oleh Presiden Soekarno untuk membantu melakukan program serupa di Indonesia, Ladeijensky berpendapat program landreform ini akan gagal di Indonesia, karena minimnya dana pemerintah yang dapat digunakan untuk membeli tanah-tanah luas yang akan dibagikan. Jika konsistensi pemantaua batas pemilikan tanah terus dijaga --baik batas maksimal maupun minimal-- tentu persoalan keadilan di bidang pertanahan tidak akan merebak.
Komoditas
Masalah lain yang mengganjal adalah berkembangnya nilai komoditas tanah, sehingga di-perebutkan banyak orang untuk mengejar keuntungan ekonomi. Orientasi kerakyatan yang menjadi semangat UUPA -paling tidak jika ditilik pada beberapa pasal yang berpihak pada rakyat, serta ditetapkannya UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) dan UU No. 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian-sedikit demi sedikit terkikis oleh sifat kapitalistik.
Konflik muncul dari perbedaan kepentingan antara rakyat banyak yang membutuhkan tanah sebagai sumber pokok kehidupan, dengan pihak-pihak lain yang membutuhkan tanah tersebut untuk kegiatan ekonomi dalam skala besar. Meski tanah memang langka karena tidak bisa di-perbaharui (unrenewable resources), silang sengketa antara rakyat dengan pemodal ini lebih dise-babkan oleh ekspansi modal secara besar-besaran. Dalam konteks ini, para pemodal diuntungkan oleh kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan ketimbang pemerataan ekonomi. Atas nama pembangunan, tanah-tanah ga-rapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal, yang memanfa-atkan peluang pengalihan hak atas sumber-sumber agraria yang terdapat pada undang-undang buatan penguasa (negara). Dengan demikian, muncul sumber konflik baru, yaitu antara para petani kecil dengan para pemodal besar, yang bukan hanya didukung oleh perangkat hukum, tetapi juga aparat keamanan. Inilah yang memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan Pengadilan Agraria (PA) yang mandiri, untuk menangani sengketa-sengketa agraria, baik yang bersifat horisontal maupun ver-tikal. Pengadilan Agraria ini tidak sama dengan Pengadilan Landreform yang diatur dalam UU No 21/1964 tentang, karena lebih mengacu kepada corak sengketa dan model penanganannya. Dengan pendirian PA seperti ini, niscaya pemerintah dan masyarakat akan dapat saling diun-tungkan, karena masalah sengketa pertanahan yang kerap terjadi bukan melulu masalah aturan dan Undang-Undang tapi juga masalah perangkat keras pendukung dari Undang-Undang dan sistem ketata negaraan sebuah negara.
Jalan Terus
Seiring dengan semangat reformasi, dengan keberpihakan yang lebih besar pada rakyat, pe-merintah kini menyusun undang-undang pertanahan yang baru. "Perubahan terhadap UUPA telah menjadi pemikiran sejak lama, namun rakyat tampaknya harus bersabar sedikit, sekurangnya setelah pemilu 1999 nanti perubahan itu niscaya akan dilakukan. Rancangan perubahan UUPA telah sempat diajukan sejak lama" ujar Erman Radjagukguk, yang kini men-jadi Wakil Sekretaris Kabinet pada pemerintahan Presiden B.J. Habibie "Saya yakin DPR kini se-dang mempelajarinya." Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, namun, say-angnya, selama ini sering dipandang remeh oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam era refor-masi ini, dalam setiap pengambilan kebijakan, tanah hendaknya sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional, karena tanah mengandung persoalan yang sangat rawan, melibatkan orang banyak, rentan dan memiliki tingkat urgensi yang tinggi.
Reformasi di Bidang UU Pertanahan
Saat diduduki oleh Belanda, pemerintah Kolonial memberlakukan hukum agraria yang dikenal sebagai Agrarische Wet pada tahun 1870. Hukum ini mengatur jangka waktu penggunaan tanah oleh pihak-pihak pemakai. Karena tanah diasumsikan sebagai milik pemerintah, maka tanah dibagi dalam dua kategori peruntukan, sebagai milik pribadi yakni sebagai peruntukan tempat tinggal maupun sebagai milik lembaga usaha, yakni sebagai peruntukan usaha.
Meski merupakan perbaikan dari kebijakan Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang diberlakukan penguasa Kolonial sebelumnya, hukum Agraria ini tetap lebih menguntungkan penjajah. Aturan yang mengatur jangka waktu yang cukup panjang bagi pengusahaan lahan bertujuan untuk upaya menarik lebih banyak lagi penanam modal asing ke wilayah Hindia Belanda. Ini dilaku-kan, karena pemerintahan Kolonial tidak punya cukup uang untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia saat itu.
Ketika Indonesia merdeka, karena berbagai keterbatasan, hukum Agraria warisan Belanda ini kemudian diadopsi penuh sebagai rujukan hukum di bidang pertanahan. Namun, dengan se-mangat 'berdiri di atas kaki sendiri' (Berdikari) yang dicadangkan Presiden Indonesia waktu itu, Soekarno, pada tahun 1960 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Un-dang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Kini, 38 tahun setelah diberlakukannya, apakah UUPA ini masih relevan?
Masalah SDM
"Lahirnya UUPA pada saat itu dimaksudkan untuk mengeliminir penanaman modal asing ke Indonesia," ujar Erman Rajagukguk SH, LL.M, Phd, Wakil Sekretaris Kabinet RI yang juga pakar hukum pertanahan. Padahal pada saat ini, Indonesia justru sedang membutuhkan aliran modal asing, dan harus bersaing dengan negara-negara Asia lainnya yang menawarkan kemu-dahan pengelolaan tanah di negara mereka masing-masing sebagai salah satu daya tarik investasi. Oleh karena itu, Erman berpendapat, "Sudah saatnya perundangan pertanahan diubah dan disesuaikan dengan konsentrasi pembangunan saat ini."
Namun, pakar hukum yang lain berbeda pendapat. "Bukan undang-undangnya yang salah, sumber daya yang memfungsikannya yang salah," tegas Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, pakar hukum dari UGM, Yogyakarta "Peraturannya bunyinya gimana? Pelaksanaannya bisa lain lagi," tambahnya. Kurangnya kwalitas SDM pelaksana menjadikan UUPA bagai badan tanpa kepala. "Aparatnya mesti lebih sadar hukum lagi agar pelaksanaan Undang-Undang ini menjadi lebih lancar dan bebas hambatan," tukas Koesnadi lagi.
Selain itu, pelaksanaan UUPA juga dihadang oleh kekuasaan. Undang-undang yang se-benarnya difungsikan untuk kesejahteraan masyarakat, justru sering dikalahkan oleh keputusan-keputusan presiden (Keppres), yang secara hukum berada dalam posisi yang lebih rendah. Ini terlihat dari Keppres proyek pembebasan lahan di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, yang sebenarnya melanggar aturan Undang-undang yang berada di atasnya. Pakar hukum tanah dari UGM, Yogyakarta, Maria S.W. Soemardjono berpendapat serupa. "Tak ada yang perlu dirubah dari UUPA, sifatnya sudah cukup populis alias merakyat," tandas Maria, "Masalahnya ya berkisar di SDMnya yang sembarangan menerjemahkan peraturan," tegasnya.
Masalah Keadilan
Dalam usianya yang mencapai 38 tahun, ada lima masalah di bidang pertanahan yang sering mencuat ke permukaan, yaitu fungsi sosial tanah (pasal 6), batas maksimum pemilikan tanah (pasal 7), pemilikan tanah guntai (pasal 10), monopoli pemilikan tanah (pasal 13), dan penetapan ganti rugi tanah (pasal 18). Kelima hal ini --baik secara langsung maupun tidak-memicu mun-culnya berbagai bentuk konflik pertanahan, yang tidak mudah diselesaikan. Masalah menjadi semakin rumit, karena gencarnya aktivitas pembangunan menyebabkan terlupakannya unsur keadilan di bidang pertanahan. Penerapan pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, misalnya, masih sering bias dalam praktek di lapangan.
Menurut butir II.4 penjelasan umum UUPA, fungsi sosial tanah berarti hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugi-kan masyarakat. Sementara itu, penerapan pasal 7 UUPA tentang batas maksimum pemilikan tanah, dalam kenyataannya juga sering dilanggar. Berbagai kekisruhan yang terjadi selama inimengindikasi-kan terjadinya penumpukan pemilikan tanah di satu pihak, sedangkan di pihak lain, pemilikan tanah dikikis. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah inilah --baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian-- yang menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Pada akhirnya, petani lapisan bawah yang memikul beban terberat akibat ketidakseimbangan distribusi ini.
Di lain pihak niatan pemerintah untuk membagikan tanah pada masyarakat atau landreform mendapatkan hambatan psikologis yang cukup besar, karena kebijakan ini dikaitkan dengan dengan Partai Komunis Indonesia, yang pernah menggunakannya sebagai strategi untuk mere-but hati rakyat. Padahal, dalam sejarahnya, landreform justru pertama kali dipopulerkan oleh Amerika Seri-kat di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Ahli tanah dari New York, Wolf Ladeijensky, dikontrak untuk melancarkan kebijakan pembagian tanah ini guna menangkal pengaruh komunisme. Na-mun, saat diundang oleh Presiden Soekarno untuk membantu melakukan program serupa di Indonesia, Ladeijensky berpendapat program landreform ini akan gagal di Indonesia, karena minimnya dana pemerintah yang dapat digunakan untuk membeli tanah-tanah luas yang akan dibagikan. Jika konsistensi pemantaua batas pemilikan tanah terus dijaga --baik batas maksimal maupun minimal-- tentu persoalan keadilan di bidang pertanahan tidak akan merebak.
Komoditas
Masalah lain yang mengganjal adalah berkembangnya nilai komoditas tanah, sehingga di-perebutkan banyak orang untuk mengejar keuntungan ekonomi. Orientasi kerakyatan yang menjadi semangat UUPA -paling tidak jika ditilik pada beberapa pasal yang berpihak pada rakyat, serta ditetapkannya UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) dan UU No. 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian-sedikit demi sedikit terkikis oleh sifat kapitalistik.
Konflik muncul dari perbedaan kepentingan antara rakyat banyak yang membutuhkan tanah sebagai sumber pokok kehidupan, dengan pihak-pihak lain yang membutuhkan tanah tersebut untuk kegiatan ekonomi dalam skala besar. Meski tanah memang langka karena tidak bisa di-perbaharui (unrenewable resources), silang sengketa antara rakyat dengan pemodal ini lebih dise-babkan oleh ekspansi modal secara besar-besaran. Dalam konteks ini, para pemodal diuntungkan oleh kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan ketimbang pemerataan ekonomi. Atas nama pembangunan, tanah-tanah ga-rapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal, yang memanfa-atkan peluang pengalihan hak atas sumber-sumber agraria yang terdapat pada undang-undang buatan penguasa (negara). Dengan demikian, muncul sumber konflik baru, yaitu antara para petani kecil dengan para pemodal besar, yang bukan hanya didukung oleh perangkat hukum, tetapi juga aparat keamanan. Inilah yang memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan Pengadilan Agraria (PA) yang mandiri, untuk menangani sengketa-sengketa agraria, baik yang bersifat horisontal maupun ver-tikal. Pengadilan Agraria ini tidak sama dengan Pengadilan Landreform yang diatur dalam UU No 21/1964 tentang, karena lebih mengacu kepada corak sengketa dan model penanganannya. Dengan pendirian PA seperti ini, niscaya pemerintah dan masyarakat akan dapat saling diun-tungkan, karena masalah sengketa pertanahan yang kerap terjadi bukan melulu masalah aturan dan Undang-Undang tapi juga masalah perangkat keras pendukung dari Undang-Undang dan sistem ketata negaraan sebuah negara.
Jalan Terus
Seiring dengan semangat reformasi, dengan keberpihakan yang lebih besar pada rakyat, pe-merintah kini menyusun undang-undang pertanahan yang baru. "Perubahan terhadap UUPA telah menjadi pemikiran sejak lama, namun rakyat tampaknya harus bersabar sedikit, sekurangnya setelah pemilu 1999 nanti perubahan itu niscaya akan dilakukan. Rancangan perubahan UUPA telah sempat diajukan sejak lama" ujar Erman Radjagukguk, yang kini men-jadi Wakil Sekretaris Kabinet pada pemerintahan Presiden B.J. Habibie "Saya yakin DPR kini se-dang mempelajarinya." Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, namun, say-angnya, selama ini sering dipandang remeh oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam era refor-masi ini, dalam setiap pengambilan kebijakan, tanah hendaknya sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional, karena tanah mengandung persoalan yang sangat rawan, melibatkan orang banyak, rentan dan memiliki tingkat urgensi yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar