A. Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis dan dunia usaha di mulai semenjak tahun 1970, ketika pemerintah mulai memacu pertumbuhan perekonomian nasional dengan mengeluarkan kebijakan penanaman modal asing melalui diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. sehingga dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut dunia bisnis di Indonesia mengalami suatu masa keemasan, di mana banyaknya para investor asing yang datang ke Indonesia untuk menanamkan modalnya. Banyaknya pihak asing yang masuk ke Indonesia dalam rangka menjalankan praktek bisnisnya membuat banyaknya perubahan mengenai hal-hal baru yang terjadi di dalam praktek hukum bisnis di Indonesia. Hal ini terjadi pula dalam masalah kontrak bisnis. Para pihak investor asing banyak menganggap bahwa di Indonesia masalah kontrak masih merupakan hal yang asing sehingga tidak banyak jenis-jenis variasi kontrak yang ada di Indonesia.
Memang ada fenomena bahwa hukum kontrak dianggap sebagai “keranjang sampah” (catch all). Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Yang di maksud dengan fenomena hukum kontrak sebagai keranjang sampah adalah banyak hal tentang dan sekitar kontrak tidak diatur baik dalam undang-undang ataupun dalam yurisprudensi. Kalaupun diatur, tidak selamanya bersifat memaksa, dalam arti para pihak dapat mengenyampingkannya dengan aturan yang dibuatnya sendiri oleh para pihak. Pengaturan sendiri oleh para pihak ini dituangkan dalam kontrak tersebut berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dalam hal ini pengaturan sendiri dalam kontrak tersebut sama kekuatannya dengan ketentuan undang-undang. Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all), sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, yurisprudensi dan kepatutan jadi kontrak tersebut akhirnya memang berkedudukan seperti keranjang sampah saja.
Banyak pebisnis tidak menyadari bagaimana pentingnya peran seorang konsultan hukum dalam suatu negosiasi transaksi bisnis. Sehingga, mereka baru datang ke konsultan hukum setelah timbul sengketa. Padahal dalam banyak hal, sengketa tersebut umumnya dapat dielakkan jika saja permulaan proses pembuatan kontrak sudah diikutsertakan konsultan hukum. Keadaan seperti ini sangat sering terjadi dewasa ini.Baik jika terjadi negosiasi antara sesama pebisnis domestik, apalagi jika salah satu pihaknya adalah pihak asing, pihak domestiklah yang perlu ekstra hati-hati. Karena biasanya pihak asing tersebut sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan konsultan hukumnya, sehingga kedudukannya dari segi hukum benar-benar aman dan kuat. Umumnya, dalam suatu kontrak, semakin kuat kedudukan salah satu pihak, semakin besar pula ancaman terhadap pihak lainnya.
Masalah lemahnya jaminan perlindungan hukum Indonesia terhadap kepentingan bisnis pihak mitra Indonesia merupakan akibat dari lemahnya sistem hukum kontrak yang berlaku di Indonesia di mana banyak hal-hal baru yang tidak diatur dalam sistem hukum di Indonesia terutama mengenai kontrak.
Pihak Indonesia, umumnya memiliki kesempatan sangat kecil untuk menegosiasikan kepentingannya. Transaksi yang berlaku adalah transaksi take it or leave it, mau menerima atau tidak, dan karena alasan-alasan tertentu, pihak mitra Indonesia harus mengusahakan perlindungan hukum sendiri, sementara ketentuan hukum nasional belum mengakomodasikan kebutuhan itu.
Sebab-sebab lain yang berpengaruh terhadap lemahnya perlindungan hukum tersebut dikarenakan kurang progresinya Indonesia dalam memanfaatkan fasilitas-fasilitas perlindungan hukum yang disediakan oleh hukum internasional.
Kendatipun kini terdapat perkembangan yang sangat menggembirakan yaitu dengan aktifnya keterlibatan Indonesia dalam pendesainan dan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang bersifat melindungi pelaku bisnis, seperti GATT Anti-Dumping Code, dan beberapa konvensi internasional penting lainnya seperti Convention of the law applicable to international sales of goods (1995) dan penandatanganan WTO Agreement. Harus disadari bahwa perjanjian-perjanjian itu yang misalnya WTO sebenarnya terbatas, yaitu sebatas transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan dalam kerangka WTO. Dalam hal penyelesaian sengketa, juga ditentukan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa (Disputes Settlement Body) WTO hanya berurusan dengan sengketa-sengketa yang timbul akibat dari pelaksanaan perjanjian (WTO Agreement) dan sama sekali tidak berkaitan dengan perjanjian yang bersifat privat yang dibuat untuk suatu transaksi antar perusahaan. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa untuk masalah-masalah yang bersifat privat, yang berkaitan dengan transaksi bisnis internasional, tetap berlaku hukum kontrak. Oleh karena itu, subyek bisnis, tetap mengusahakan perlindungan sendiri melalui kontrak yang dibentuk dari akibat-akibat perilaku curang mitra bisnisnya.
Agar suatu negosiasi bisnis berjalan dengan baik, maka yang mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk-beluk bisnis disertai dengan konsultan hukum, mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan melihat dari aspek bisnisnya, sementara konsultan hukum akan melihat aspek hukum dan formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada para konsultan hukum sendiri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tetapi juga menguasai dasar-dasar bisnis yang dinegosiasinya. Misalnya, kalau negosiasi mengenai kontrak joint venture produksi barang-barang elektronik, maka konsultan hukum tersebut juga harus mengerti tentang bisnis elektronik yang bersangkutan. Tidak perlu mendetail, tetapi cukup dasar-dasarnya saja. Disamping itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing, seorang konsultan hukum juga harus dituntut untuk bisa berbahasa Inggris dengan sempurna. Bahkan dewasa ini, bagi seorang konsultan hukum yang datang ke meja negosiasi diharapkan pula untuk bisa memakai komputer sendiri, sehingga jalan dan hasil negosiasidapat lebih cepat dan mulus.
Rumusan yang berlaku umum adalah semakin banyak detil dimasukkan dalam suatu kontrak, maka akan semakin baik pula kontrak tersebut. Karena kalau kepada masalah sekecil-kecilnya sudah disetujui, kemungkinan untuk timbul perselisihan di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin. Karena itu tidak mengherankan jika dalam dunia bisnis terdapat kontrak yang jumlah halamannya puluhan bahkan ratusan lembar. Hanya saja demi alasan praktis terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini dilakukan karena yangdilakukanbaruhanyaikatan dasar, di mana para pihak belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan detail-detailnya dan agar ada suatu komitmen di antara para pihak, sementara detailnya dibicarakan dikemudian hari. Untuk itu disepakati dahulu prinsip-prinsip dasar dari suatu kesepakatan. Kesepakatan semacam ini sering disebut sebagai Memorandum of Understanding (Selanjutnya disingkat M.O.U).
Sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung. Tahapan berikutnya pembuatan M.O.U. M.O.U merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. M.O.U penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan. Maksudnya sebagai studi kelayakan adalah setelah pihak-pihak memperoleh M.O.U sebagai pegangan atau pedoman awal, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan.
Banyak hal yang melatarbelakangi dibuatnya M.O.U salah satunya adalah karena prospek bisnis suatu usaha dirasa belum jelas benar dan dengan negosiasi yang rumit dan belum ada jalan keluarnya, sehingga dari pada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah M.O.U.
Apa yang namanya M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di Indonesia. Tetapi dewasa ini sering dipraktekkan dengan meniru (mengadopsi) apa yang dipraktekkan secara internasional. Jadi sebenarnya dengan kita memberlakukan M.O.U itu telah ikut memperkaya khasanah pranata hukum di Indonesia ini.
Dengan tidak diaturnya M.O.U di dalam hukum konvesional kita, maka banyak menimbulkan kesimpangsiuran dalam prakteknya, misalnya apakah M.O.U sesuai dengan peraturan hukum positif di Indonesia, atau apakah M.O.U bisa dikategorikan setingkat dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu pengingkaran di dalam kesepakatan semacam ini, juga yang paling ekstrim adalah ada yang mempertanyakan apakah M.O.U merupakan suatu kontrak, mengingat M.O.U hanya merupakan suatu nota-nota kesepakatan saja.
B. Permasalahan
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka akan saya rumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Sejauh mana pengaturan dan doktrin-doktrin mengenai hukum kontrak?
2. Bagaimana kedudukan hukum dari M.O.U ditinjau dari hukumkontrak ?
3. Akibatnya jika ada salah satu pihak atau debitur melakukanpengingkaran terhadap klausul M.O.U ?
1 komentar:
rekan Teja untuk melengkapi artikel anda silahkan lihat http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html
Salam sukses
Jusuf Patrick
Posting Komentar