Selasa, 14 Juli 2009

Persero Dalam Hukum Publik dan Hukum Privat



Pengantar Redaksi:

Artikel ini cuplikan dari ringkasan disertasi Dr Wuri Adriyani SH MHum dalam ujian terbuka doktor ilmu hukum di Universitas Airlangga 29 Januari 2009. Judul aslinya “Kedudukan Persero Dalam Hubungan Dengan Hukum Publik dan Hukum Privat”.


Kewajiban Pelayanan Umum (Public Service Obligations/PSO)

1. Kewenangan Persero terkait Kewajiban Pelayanan Umum (Public Service Obligations/PSO)

Persero tidak seperti PT swasta pada umumnya. Pada Persero dibebankan kewajiban yang tidak dibebankan pada PT swasta yaitu Kewajiban pelayanan umum atau Public Service Obligations (PSO).

Kewajiban pelayanan umum pada BUMN diatur Pasal 2 (1) huruf c UU BUMN bahwa salah satu maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah: “menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Dalam Pasal 66 UU BUMN diatur tentang “fungsi kemanfaatan umum” dikaitkan dengan “penugasan khusus” pada BUMN, dikutip sebagai berikut:

(1) Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.

(2) Setiap penugasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/Menteri.

Pada dasarnya penyelenggaraan kemanfaatan umum adalah untuk perlindungan rakyat. Penyelenggaraan kemanfaatan umum terkait erat dengan kepentingan umum, dan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kepentingan umum adalah kepentingan negara, yang meliputi kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat.


Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, dapat menjalankan kewenangannya berdasarkan hukum publik maupun hukum privat, namun untuk penyelenggaraan kepentingan umum, tindakan pemerintah harus dalam bentuk tindakan publik yang berdasarkan pada undang-undang (wet). Karena aturan-aturan yang menimbulkan akibat hukum yang bersifat hukum publik akan melanggar kepentingan atau hak orang lain. Untuk itu diperlukan undang-undang, agar masyarakat terlindungi dari tindakan sewenang-wenang (willekeur, arbitrary).


Asas yang menentukan bahwa suatu kewenangan harus dilandasi oleh suatu ketentuan hukum disebut asas legalitas atau “legalicit beginsel” atau “wetmatigheids”. Asas legalitas lahir berdasarkan perlindungan pada hak atau kepentingan seseorang. Hak atau kepentingan hanya dapat dibatasi dengan hak yang lain. Dalam hukum publik hak individu dibatasi oleh hak lain yang bersifat umum, sebagai contoh adalah hak negara. Untuk mendasari suatu negara menjadi subyek hukum yang berhak atau yang disebut mempunyai ‘kewenangan yang sah’, harus dibuat ‘undang-undang’ (wet). Sebab undang-undang melahirkan kewenangan atau bevoedgheid atau ‘hak yang bersifat publik’.


Terkait pada istilah penugasan khusus pada Persero, menunjuk pada hubungan vertikal. Persero dalam hal ini berkedudukan sebagai pelaksana pelayanan publik mewakili pemerintah. Sebab tugas penyelenggaraan kemanfaatan umum ini adalah tugas pemerintah. Dalam konsep hukum administrasi pengaturan dalam undang-undang akan memberikan kewenangan atribusi, namun karena fungsi kemanfaatan umum adalah tugas pemerintah, maka dipakai istilah “penugasan khusus” dari pemerintah. Oleh karena itu lebih tepat kewenangan Persero atau Perum adalah mandat, atau dalam hal ini penugasan. Pada mandat berarti tanggung jawab tentang pelaksanaan PSO tetap ada pada pemerintah. Dikatakan oleh Brower bahwa: “With mandate, there is no transfer, but the mandate-giver (mandans) assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take action in its name.[1]


Tujuan pemberian mandat pada Persero adalah pemberian kewenangan publik. Berdasarkan kewenangan ini Persero dapat menerbitkan peraturan-peraturan yang mengikat masyarakat. dengan kata lain pemberian mandat adalah pemberian kewenangan publik, untuk melakukan tindakan hukum yang bersifat publik.


Wewenang dalam konsep hukum publik terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu komponen pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (yang berlaku untuk semua jenis wewenang) dan standar khusus (hanya untuk jenis wewenang tertentu).[2]


Berdasarkan mandat atau penugasan khusus, Persero berwenang menerbitkan peraturan-peraturan untuk mengendalikan perilaku masyarakat (komponen pengaruh), namun demikian Persero hanya berwenang menerbitkan peraturan-peraturan terkait dengan materi penugasan khususnya saja, hal ini ada pada komponen konformitas hukum standar khusus. Kewenangan berasal dari UU BUMN merupakan dasar ‘kewenangan yang sah’ bagi Persero untuk melaksanakan PSO, hal ini ada pada tataran komponen dasar hukum.


Terkait kewenangan publik, dalam konsep hukum administrasi juga dikenal tiga macam penggunaan kewenangan publik yaitu: kewenangan mengatur, mengontrol, dan pemberian sanksi atau penegakan hukum.[3]


Kewenangan mengatur berkaitan dengan pemberian beban pada masyarakat untuk menjaga ketertiban. Kewenangan mengatur dapat dilakukan melalui undang-undang dalam arti formal (legislasi), atau dilakukan melalui pembentukan aturan umum atas kuasa delegasinya (regulasi). Kewenangan mengontrol dilakukan dengan cara membuat batasan-batasan (restrictions) tertentu pada masyarakat. Sebagai contoh adalah dalam kontrak antara pelanggan dengan PT PLN, terdapat ketentuan-ketentuan dalam kontrak jual beli aliran listrik termasuk hak-hak dan pembebanan kewajiban pelanggan. PT PLN pada tataran ini mempunyai kewenangan melakukan pengaturan dan pengotrolan terhadap semua pelanggannya untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi, dan atau tidak melaksanakan kewajibannya.


Kewenangan pemberian sanksi pada dasarnya adalah pembebanan atau perampasan hak asasi. Dalam konsep hukum publik perampasan hak asasi hanya dapat dilakukan oleh undang-undang. Sanksi merupakan alat pemaksa yang diperlukan untuk menjalankan kewenangan mengatur dan mengontrol agar aturan ditaati. Sanksi juga dapat dikatakan sebagai alat penegakan hukum pada ketentuan yang berisi larangan atau kewajiban. Sanksi-sanksi PLN juga berupa kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan yang termuat dalam kontrak. Apabila satu ketentuan tidak dilaksanakan atau dilanggar, PLN dapat menerapkannya. Sebagai contoh adalah pemutusan aliran listrik.


Dalam konsep hukum publik wewenang publik layaknya hanya dimiliki oleh ‘penguasa’.[4] Persero adalah badan hukum privat. Terkait dengan hal ini Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No 6 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) menyebutkan bahwa:

semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum dikeluarkan oleh badan perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.

Mengacu pada penjelasan Pasal 1 angka 2 UU PTUN, maka peraturan-peraturan Persero tidak termasuk keputusan pejabat tata usaha negara, tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum atau besluiten van algemene strekking. Terhadap perbuatan badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan yang merupakan pengaturan yang bersifat umum tidak dapat digugat melalui pengadilan tata usaha negara.[5] Terkait hal ini Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU PTUN juga menegaskan bahwa, peraturan yang bersifat umum dikecualikan dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KPTUN), karena peraturan-peraturan Persero tidak memenuhi elemen individual yang ditentukan Pasal 1 angka 3 UU PTUN.[6]


E. Utrecht menyebutkan bahwa penyelenggaraan kepentingan umum oleh negara dapat dilakukan melalui beberapa tindakan yaitu:[7]

1. administrasi negara sendiri;

2. subyek hukum (badan hukum) lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan biasa dengan pemerintah, baik diatur dengan hukum publik maupun privat, seperti penanaman modal asing;

3. subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang menyelenggarakan pekerjaan berdasarkan suatu konsesi (concessie) atau berdasarkan suatu izin (vergunning) yang diberikan oleh pemerintah;

4. subjek hukum yang lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang diberi subsidi pemerintah, seperti sekolah swasta;

5. pemerintah bersama-sama dengan subjek hukum lain (beberapa subjek hukum) yang tidak termasuk administrasi negara dan kedua belah pihak itu bergabung dalam bentuk kerja sama tertentu yang diatur dalam hukum privat atau menempatkan tenaga pengawas;

6. yayasan yang didirikan atau diawasi pemerintah;

7. koperasi didirikan atau diawasi pemerintah;

8. perusahan negara;

9. subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara tetapi diberi suatu kekuasaan pemerintah (delegasi perundang-undangan).

Dalam paparan ini E Utrecht menyebut bahwa subyek hukum lain dapat menyelenggarakan kepentingan umum apabila mempunyai hubungan dengan pemerintah, seperti:

1. hubungan istimewa atau hubungan biasa;

2. hubungan pekerjaan dengan pemerintah:

3. merupakan penerima subsidi;

4. hubungan kerja sama;

5. yayasan, koperasi, perusahaan negara;

6. pendelegasian wewenang.

Seperti diuraikan bahwa kewenangan publik seharusnya hanya dapat dimiliki oleh seorang penguasa atau pemerintah (bestuur). Dalam Persero kewenangan diberikan pada direksi sebagai penanggungjawab perusahaan. Dengan demikian direksi persero dapat disebut sebagai penguasa (bestuur) Persero,[8] karena Direksi bertindak untuk dan atas nama pemerintah. Untuk itu pada Persero harus dipenuhi ‘syarat tambahan’, karena Persero adalah badan hukum privat.


Dalam konsep hukum publik setiap orang atau badan hukum privat (privatrechtelijke rechtspersoon) yang tidak termasuk dalam golongan badan pemerintahan umum atau badan hukum publik (publiekrechtelijke rechtspersoon) dapat saja memiliki wewenang hukum publik. Kewenangan publik terkait dengan badan semacam ini harus digolongkan dalam desentralisasi fungsional. Untuk penggolongan itu diperlukan satu syarat tambahan agar badan hukum privat (privatrechtelijke rechtspersoon) tersebut dapat digolongkan dalam “organisasi pemerintah”.[9] Syarat tambahan pada Persero adalah minimal 51% saham harus dimiliki negara. Untuk itu Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa lebih baik tidak menggolongkan badan hukum privat ini kedalam desentralisasi (yang fungsional), tetapi pada suatu desentralisasi fungsional hukum perdata.[10]


Dalam desentralisasi fungsional hukum perdata, pertanggungjawaban tidak perlu diuraikan dengan jelas dalam satu atau lebih perundang-undangan yang dapat diketahui oleh setiap orang. Desentralisasi fungsional hukum perdata terjadi bila kewenangan dilaksanakan oleh pejabat yang dalam pelaksanaan kewenangan itu secara hirarki tidak berada di bawah suatu kekuasaan yang lebih tinggi. Jadi desentralisasi fungsional adalah pelaksanaan kewenangan oleh pejabat-pejabat yang berkedudukan tidak resmi. Badan-badan tergolong dalam desentralisasi fungsional hukum perdata adalah:[11]


- Badan-badan yang memiliki wewenang hukum publik (yang bukan wewenang penasehat dan kekuasaan kehakiman)

- Badan-badan hukum yang memiliki wewenang hukum perdata yang ditetapkan dengan undang-undang.

- Lembaga pemerintahan yang menurut surat keputusan organisasi mereka telah memperoleh otonomi tertentu terhadap Menteri.

Untuk itu nyatalah bahwa kewenangan yang dimiliki Persero yang mempunyai satu syarat tambahan tertentu yaitu 51% saham dimiliki pemerintah atau kepemilikan saham oligarchi (golden shares), adalah masuk dalam kategori badan adminitrasi atau organ pemerintah. Menurut wet AROB 1975 (Belanda), yang dimaksud organ adminitrasi negara atau badan administrasi adalah “ieder persoon en ieder college, met enige openbare gezag …..” (setiap orang dan setiap …. yang memiliki kekuasaan publik tertentu).[12] Menurut Pasal 1:A W B (Belanda) badan administrasi adalah:[13]

a. an organ of legal person which has been establish under public law, or

b. another person or body corporate which is invested with any public authority.

2. Kewajiban Pelayanan Umum terkait Tujuan Pendirian

Kewajiban Pelayanan Umum atau PSO merupakan bagian dari policy/beleidsregel. Oleh karena itu PSO diatur dalam Ketentuan Umum yang mengatur mengenai maksud dan tujuan. Dalam Pasal 2 (1) huruf c UU BUMN bahwa salah satu maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah: “menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Dalam Pasal 66 UU BUMN, seperti diuraikan sebelumnya, karena “fungsi kemanfaatan umum” maka diatur “penugasan khusus” pada BUMN.

Mengkaji pengaturan di atas maka menyelenggarakan kemanfaatan umum merupakan salah satu tujuan didirikannya Persero. Dengan demikian, sebelum didirikan telah ada “niat” lebih dulu bahwa BUMN yang akan didirikan juga menyelenggarakan kemanfaatan umum. “Niat” atau motivasi ini tentu harus masuk sebagai hasil kajian yang dilakukan Menteri Keuangan, Menteri Teknis dan Menteri BUMN, terkait perlunya pendirian suatu Persero. Makna untuk pengaturan ini bahwa “fungsi kemanfaatan umum”, adalah terkait pada layanan umum yang sebenarnya menjadi tugas pemerintah.[14]


Penugasan khusus terkait pelayanan umum (public services) selayaknya bila diserahkan pada Perum, bukan pada Persero. Sebab pada dasarnya ciri-ciri Persero tidak memenuhi kualifikasi untuk layanan umum. Hal ini ada pada rancangan pembuat undang-undang untuk Perjan, Perum dan Persero dalam Lampiran Inpres No. 17 Tahun 1967.[15] Pada ciri-ciri Persero benar-benar tampak bahwa Persero akan dipakai untuk mencari keuntungan. Oleh karenanya ditentukan status hukumnya sebagai badan hukum privat dengan bentuk PT. Sedangkan ciri-ciri Perum lebih memenuhi kualifikasi layanan umum. Ciri-ciri Perum dalam Lampiran Inpres No. 17 Tahun 1967 dikutip sebagai berikut:

1. Makna usahanya adalah melayani kepentingan umum (kepentingan-kepentingan produksi, distribusi dan konsumsi, secara keseluruhan) dan sekaligus untuk memupuk keuntungan. Usaha dijalankan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektivitas dan ekonomi, cost-accounting prinsiples and management masyarakat atau nasabahnya.
2. Berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan Undang-undang (dengan wetstuding).
3. Pada umumnya bergerak di bidang jasa-jasa vital (publik utilitiss). Pemerintah boleh menetapkan bahwa beberapa usaha yang bersifat public utility tidak perlu diatur, disusun atau diadakan sebagai suatu perusahaan negara (misalnya perusahaan listrik untuk kota kecil yang dapat dibangun dengan modal swasta).
4. Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau masuk kedalam suatu perjanjian, kontrak-kontrak dan hubungan-hubungan perusahaan lainnya.
5. Dapat dituntut dan menuntut dan hubungan hukumnya diatur secara hubungan hukum perdata, (private rechtelijk).
6. Modal seluruhnya dimiliki oleh negara dari kekayaan negara yang dipisahkan serta dapat mempunyai dan memperoleh dana dari kredit-kredit dalam dan luar negeri atau dari obligasi (dari masyarakat).
7. Pada prinsipnya secara finansial harus dapat berdiri sendiri, kecuali apabila karma politik Pemerintah mengenai tarip dan harga tidak mengizinkan tercapainya tujuan ini. Namun bagaimana politik tarip dan harga dari Pemerintah, cara/sistem yang harus ditempuh adalah ketentuan tersebut A titik 4 diatas.
8. Dipimpin oleh suatu Direksi.
9. Pegawainya adalah pegawai perusahaan negara yang diatur tersendiri diluar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pegawai Negeri atau Perusahaan Swasta Usaha (Negara) Perseroan.
10. Organisasi, tugas, wewenang, tanggung jawab, pertanggungan jawab dan cara mempertanggungjawabkannya serta pengawasan dan lain sebagainya, diatur secara khusus, yang pokok-pokoknya akan tercermin dalam Undang-Undang yang mengatur pembentukan perusahaan negara itu.
11. Yang karna sifatnya apabila diantaranya ada yang berupa public utility, maka dipandang perlu untuk kepentingan umum politik tarip dapat ditentukan oleh Pemerintah, dengan cara/sistim tersebut A titik 4 diatas.
12. Laporan tahunan perusahaan yang memuat neraca rugi dan kekayaan negara disampaikan kepada Pemerintah.

Dalam UU BUMN tidak ditegaskan apakah fungsi kemanfaatan umum dan penugasan khusus tersebut untuk Perum ataukah Persero. Karena Pasal 2 UU BUMN adalah Ketentuan Umum terkait “Maksud Dan Tujuan Pendirian BUMN”, yang berlaku baik bagi keduanya. Seharusnya untuk hal ini dipertimbangkan berdasar sejarah, bahwa penerbitan Inpres No. 17 Tahun 1967 adalah berdasar pengalaman inefisiensi dan rigiditas Perusahaan Negara. Artinya bahwa bentuk Persero dibuat dan sengaja dibedakan dengan bentuk Perum dan Perjan, untuk tujuan mencari keuntungan saja. Bahkan dicirikan bahwa dalam Persero tidak memiliki fasilitas-fasilitas negara. Pada poin D Lampiran Inpres No. 17 Tahun 1967 menunjukkan hal tersebut. Pada poin D Inpres disebutkan bahwa memang pada dasarnya semua usaha negara “seyogyanya” berbentuk Persero, tetapi bila itu tidak mungkin dilakukan karena tidak cocok dengan kepentingan pelayanan masyarakat, maka pilihannya ada pada Perjan atau Perum, sebagai berikut:


Dari ketiga bentuk usaha-usaha negara tersebut A, B, C diatas sejauh mungkin apabila bentuk C masih dapat dilaksanakan bagi perusahaan/usaha-usaha negara yang ada sekarang, maka seyogyanya dipilih bentuk C saja, dan apabila tidak mungkin dimasukkan/disajikan bentuk C, baru dijadikan bentuk B, atau A yang sekiranya lebih serasi dan cocok bagi kepentingan pelayanan masyarakat tanpa merugikan Negara/secara tidak langsung merugikannya (masyarakat) juga.

Sinkron dengan hal ini Penjelasan Umum UU BUMN juga menandakan hal tersebut, dikutip sebagai berikut:

Memperhatikan sifat usaha BUMN, yaitu untuk memupuk keuntungan dan melaksanakan kemanfaatan umum, dalam Undang-undang ini BUMN disederhanakan menjadi dua bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) yang bertujuan memupuk keuntungan dan sepenuhnya tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas serta Perusahaan Umum (Perum) yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan usaha sebagai implementasi kewajiban pemerintah guna menyediakan barang dan jasa tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk bentuk usaha Perum, walaupun keberadaannya untuk melaksanakan kemanfaatan umum, namun demikian sebagai badan usaha diupayakan untuk tetap mandiri dan untuk itu Perum harus diupayakan juga untuk mendapat laba agar bisa hidup berkelanjutan.

Penjelasan Umum ini ternyata tidak diikuti secara konsisten. Dalam Penjelasan Pasal 2 (1) huruf b UU BUMN ditegaskan bahwa: “Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat”.

3. Sistem Anggaran Terkait Pelaksanaan PSO

PSO sebenarnya adalah tugas pemerintah. Oleh karena itu anggaran terkait pelaksanaan PSO merupakan beban anggaran pemerintah. Hal ini ditegaskan oleh beberapa pengaturan baik dalam UU BUMN maupun peraturan pelaksanaannya. Dalam Penjelasan Pasal 2 (1) huruf b UU BUMN ditegaskan bahwa:

Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

Dalam Pasal 65 PP 45 Tahun 2005 ditentukan bahwa pembukuan pembiayaannya terkait pelaksanaan PSO harus secara tegas dipisahkan dengan pembukuan perusahaan, sebagai berikut:

(1) Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha BUMN.

(2) Rencana penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji bersama antara BUMN yang bersangkutan, Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis yang memberikan penugasan tersebut yang dikoordinasikan oleh Menteri Teknis yang memberikan penugasan.

(3) Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak menguntungkan, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan.

(4) Setiap penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS untuk Persero dan Menteri untuk Perum.

(5) BUMN yang melaksanakan penugasan khusus Pemerintah, harus secara tegas melakukan pemisahan pembukuan mengenai penugasan tersebut dengan pembukuan dalam rangka pencapaian sasaran usaha perusahaan.

(6) Setelah pelaksanaan kewajiban pelayanan umum, Direksi wajib memberikan laporan kepada RUPS/Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis yang memberikan penugasan.

Penjelasan Pasal 66 UU BUMN menegaskan kembali bahwa penugasan khusus terkait dengan keadaan yang “mendesak” sehingga ada kemungkinan merubah rencana kerja dan anggaran perusahaan, sebagai berikut:

(1) Meskipun BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah. Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan.

(2) Karena penugasan pada prinsipnya mengubah rencana kerja dan anggaran perusahaan yang telah ada, penugasan tersebut harus diketahui dan disetujui pula oleh RUPS/Menteri.

Berdasarkan pengaturan-pengaturan di atas diakui bahwa harus ada pemisahan tegas pada kegiatan Persero. Dalam artian bahwa Persero dalam menjalankan tugasnya melayani umum, berkedudukan sebagai wakil pemerintah yang berwewenang menerbitkan peraturan-peraturan yang mengikat masyarakat (rechtshandelingen), harus dipisahkan dengan kegiatan-kegiatan usaha inti dari Persero yang berada dalam lingkup hukum privat.


Pemisahan ini memang tidak dapat tegas diatur, sehingga banyak terjadi kesalahpahaman tentang kedudukan ganda Persero ini. Hal ini mengakibatkan sumber-sumber anggaran dalam Pesero bervariasi. Secara garis besar anggaran Persero dapat dibagi dua yaitu:

1. kekayaan persero sendiri yang terdiri atas saham-saham; dan

2. sumber-sumber lain terkait pelaksanaan PSO.

Kekayaan persero yang berasal dari saham-saham adalah murni kekayaan Persero, dan menjadi harta kekayaan Persero. Hal ini termasuk saham-saham yang ditanam pemerintah dalam Persero. Penjelasan Pasal 4 (1) UU BUMN secara tegas memastikan hal ini, bahwa sesudah proses penyertaan, pembinaan dan pengelolaan keuangan BUMN tidak lagi didasarkan mekanisme APBN, tetapi didasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Untuk sumber-sumber lain terkait pelaksanaan PSO, bentuk dan jenisnya tergantung pada kebijakan pemerintah. Berdasarkan Pasal 2 (2) PP No. 44 Tahun 2005, maka kemungkinan-kemungkinan sumber dana yang ada pada persero adalah: dana segar; proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN; piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan aset-aset negara lain yang tidak masuk kategori a, b dan c.


Keempat sumber dana ini dinyatakan berasal dari APBN, tetapi bila sumber-sumber dana ini tidak dijadikan penyertaan modal negara, maka mekanisme APBN terkait penyertaan negara tidak perlu digunakan. Untuk dana-dana yang tidak dijadikan penyertaan modal dan berasal dari APBN, maka berlaku sistem pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Dasar hukum sistem pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan peraturan pelaksanaannya. Persero dalam hal ini berkedudukan sebagai pengguna angggaran dan atau pengguna barang.


Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 menentukan bahwa, tata cara pengadaan barang dan jasa Persero yang menggunakan APBN harus dilakukan sebagai berikut:

(1) Pengadaan barang dan jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri.

(3) Pedoman umum dan tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisensi dan transparansi.

Penjelasan Pasal 99 (2):

Pedoman umum yang ditetapkan Menteri tersebut berlaku secara otomatis terhadap BUMN yang seluruh saham modalnya dimiliki oleh negara karena dalam hal ini Peraturan Menteri atas penetapan pedoman umum tersebut sama dengan keputusan RUPS. Sedangkan bagi BUMN yang tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, maka pemberlakuan pedoman umum yang ditetapkan oleh menteri dimaksud dikukuhkan terlebih dahulu dengan keputusan RUPS.

Tentang penulis:

Dr Wuri Adriyani SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga


[1] Brouwer J.G dan Schilder, A Survey of Ducth Adsministrative Law, Ars Aequi Libri, Nijmegen, 1998, Chapter 2: Administrative Power, hal. 16, disebutkan bahwa: “As regards the manner in which administrative authorities acquire power, we have to distinguish between three legal concepts: attribution, delegation, and mandate”, hal. 16-18.

[2] Hadjon, Philipus. M., Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997 (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II), hal. 1-2.

[3] Tatiek Djatmiati, Op. Cit., hal. 75.

[4] Philipus M. Hadjon I, Op. Cit., hal. 131.

[5] Ibid.

[6] Elemen yang harus dipenuhi antara lain konkrit, final dan individual. Konkrit dan final dapat dipenuhi, tetapi tidak untuk elemen individual, kecuali apabila seluruh pelanggan dianggap menjadi satu individu, karena seluruh pelanggan tersebut adalah pelanggan dalam jenis yang sama, misalnya pelanggan telepon berlangganan tetap.

[7] Utrecht. E., Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cet IV, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Padjajaran, Bandung, 1960, hal. 79 – 80.

[8] Kamus Kantong Indonesia Belanda Indonesia, Amin Singgih dan Drs W Mooijman, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. 7. 1987, hal. 106, Dalam kamus bahasa belanda bestuur juga diartikan sebagai pengurus. Dalam Osborn’s Concise Law Dictionary, Leslie Rutherford and Sheila Bone, Eight Edition, Sweet & Maxwell, London, 1993, hal. 37, arti authority tidak dibedakan antara a local planning authority dengan agent, sebab keduanya bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya.

[9] Bandingkan dengan Philipus M. Hadjon I, Op. Cit., hal. 71.

[10] Ibid, hal. 72.

[11] Bandingkan Ibid., hal. 73.

[12] Dalam Hadjon, Philipus M., Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Diktat, Tanpa penerbit, 1985 (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon III), hal. 1, menyebutkan bahwa: “Yang tidak termasuk pengertian organ adminitrasi negara adalah kekuasaan pembuat undang-undang Staten General, Badan Pemeriksa Keuangan, … dan Dewan Oktroi”.

[13] Tatiek Djamiati, Op. Cit., hal. 69.

[14] Penjelasan Pasal 65 (1) PP No. 45 tahun 2005.

[15] Seperti diuraikan pada Pendahuluan, Inpres No. 17 Tahun 1967 merupakan landasan hukum dibuatnya UU No. 9 Tahun 1969.


Tidak ada komentar: