Selasa, 14 Juli 2009

TANAH, DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT DAN UNTUK RAKYAT



Oleh Maria W. Soemardjono

Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga 38 tahun usia UUPA masih juga belum seperti yang di-harapkan. Ini tampak dari kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali merupakan hal yang diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena dilakukan melalui cara-cara pembuatan surat kuasa mutlak atau pe-milikan KTP ganda.

Pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi dan hal-hal seperti ini menyumbang pada persoalan macetnya program landreform. Data menunjukkan bahwa dari 837.082,2696 hektar tanah negara obyek landreform, yang diredistribusikan baru 28%, sehingga masih terdapat sisa seluas 600.000 hektar.

Luas Maksimal
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, den-gan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tek-nik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.

Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan Kepala BPN no. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.

Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) no. 6 tahun, no. 6 tahun 1972, pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria no. 2 tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luas-nya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Mencegah Monopoli
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, pasal 11 ayat (1) UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang tim-bul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang sama juga memperhatikan adanya perbedaan da-lam keadaan dan keperluan hukum berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah.

Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta. Sedang-kan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan denga-nundang-undang. Masalah penguasaan tanah pertanian, prinsip dasarnya telah digariskan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 (prinsip mengerjakan atau mengusahakan sendiri hak atas tanah pertanian secara aktif) serta pasal 17 yang mengisyaratkan tentang perlunya peraturan mengenai batas maksimum luas tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.

Urusan tanah-tanah non-pertanian diatur dengan UU no. 56 PRP tahun 1960 pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangu-nan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.

Sebelum memperoleh hak atas tanah, pemilik HGU dan HGB (biasanya adalah penanam modal) harus memperoleh ijin lokasi yang sering berdampak negatif karena disalah gunakan serta pengawasan dan pen-gendaliannya tidak efektif. Perolehan tanah lewat ijin lokasi tanpa ketentuan batas maksimum tanah sering diwarnai dengan pemberian ganti rugi yang tidak adil dan disertai pemaksaan kehendak secara sepihak dan penggusuran. Alih fungsi tanah pertanian sering dilakukan untuk dijual lagi dengan harga mahal.

Pendekatan Holistik
Tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai keperluan sehingga sering timpang. Rencana tata ruang juga sering dimanipulasi oleh banyak pihak. Pemerintah saat ini perlu memiliki lembaga penyalur tanah (land banking), untuk mengendalikan pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah-tanah pertanian untuk kegunaannya yang lain. Akibat dari ketimpangan akses kepemilikan tanah ditambah dengan rasa ketidakadilan dari bekas pe-megang hak atas tanah yang tergusur dan kecemburuan sosial dari masyarakat yang tersingkirkan dari ke-sempatan memperoleh tanah, ditambah krisis moneter yang membuatbanyak orang terkena PHK, kini tam-pak dalam bentuk penyerobotan dan "penjarahan" tanah.

Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus melindungi dan memberdayakan ma-syarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kebijaksanaan pertana-han harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar. Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang menyangkut pen-guasaan tanah yang punya dampak besar.

Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam merancang kebijakan pe-nataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.

Mempersoalkan Undang-undang Tanah di Indonesia

"Air, tanah dan udara adalah milik negara dan dimanfaatkan seluas-luasnya oleh negara bagi kepentingan rakyat banyak" demikian bunyi pasal 33 dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Para Bapak Bangsa merumuskan pasal ini untuk menjamin distribusi kekayaan alam yang adil bagi seluruh masyarakat. Namun, saat ini, 54 tahun setelah pasal tersebut dirumuskan, apakah cita-cita pemerataan ini sudah tercapai?

Terungkapnya berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme selama pemerintahan Orde Baru, menunjukkan bahwa cita-cita luhur ini masih jauh dari tercapai. Demikian juga dalam bidang pertanahan. Sejak 38 tahun yang lalu, DPR RI mengesahkan Undang-undang Pokok Agraria, no. 5/1960, untuk menggantikan menggantikan Agrarische Wet yang dibuat pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1870. Dengan orientasi yang kuat pada kepentingan masyarakat banyak, undang-undang ini mengatur secara spesifik mengenai hak-hak pemilikian atas tanah dan juga penggunaan atas tanah.

Saling Silang
Sayangnya, meningkatnya nilai komoditas tanah, mendorong sejumlah oknum aparat pemerin-tah 'bekerja sama' dengan sebagian pengusaha untuk mengakali UUPA, dengan memanfaatkan lubang-lubang (loopholes) hukum yang ada.

"Oknum-oknum apa? Lha wong yang sering mengakali aturan UUPA justru dari pihak pemerintah sendiri," sanggah Mulyadi Oje dari divisi pertanahan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ja-karta. Pakar hukum dari UGM Yogyakarta, Prof. Koesnadi juga berpendapat bahwa UUPA sudah cu-kup baik dalam segi isi, sehingga tidak perlu diutak-utik dulu. "Itulah masalahnya, UUPA itu sendiri justru cenderung ditinggalkan, sekarang pemerintah malah bikin-bikin aturan-aturan lain dengan Keppres-Keppres (Keputusan Presiden-red) yang belakangan mereka buat," tambah Oje.

Keadaan menjadi bertambah sulit karena dilanggarnya tata hukum perundang-undangan di In-donesia, sehingga produk hukum yang lebih tinggi seringkali justru dikalahkan oleh produk hu-kum di bawahnya. "UUPA sering dikalahkan oleh Keppres. Lihat saja kasus tanah Jonggol, yang Keppresnya berlawanan UUPA yang sebenarnya lebih kuat dasar hukumnya," lontar Oje lagi.

Saling silang seperti inilah yang kemudian membuat masalah tanah di Indonesia menjadi sangat rumit, dan sulit memperoleh kepastian hukum di dalamnya. "Selama kurun 32 tahun ini, kasus tanah tidak terjadi sepuluh atau duapuluh kali, bisa ratusan bahkan barangkali ribuan," tukas Prof. Koesnadi Harjasumantri, "dan dalam setiap kasus tersebut, yang ujung-ujungnya jadi kor-ban ya rakyat juga."

Pendekatan Kekuasaan

Dalam prakteknya, rakyat bukan hanya menjadi korban dari produk hukum yang saling bersi-langan, tetapi juga akibat intervensi pihak pemerintah, yang dalam banyak kasus adalah aparat keamanan, dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. Di Sumatera Utara, misalnya, Bupati Asahan Rihold Sihotang terancam diberhentikan dari kedudukannya karena Tim Pencari Fakta yang dibentuk Gubernur Tengku Rizal Nurdin mene-mukan indikasi keterlibatan pada sejumlah kasus tanah di wilayahnya. Jika Sihotang jadi dico-pot, maka ia menjadi bupati kedua yang mengalami kasus serupa, setelah Bupati Langkat Zukli-fly Harahap.

Di tempat lain, bahkan oknum aparat Badan Pertanahan Nasional yang memanipulasi kekua-saannya untuk kepentingan pribadi. Di Tangerang, Jawa Barat, misalnya, mantan Kepala BPN Kabupaten Tangerang yang dikenal dengan inisial Han, kini dicari Kejaksaan Negeri setempat karena menjadi tersangka dalam kasus pembebasan tanah untuk perluasan Bandara Soekarno-Hatta dan perumahan karyawan Angkasa Pura II, yang berlangsung sejak 1978-1985.

Sementara di Banjarmasin, pelantikan Kepala BPN Kotamadya Banjarmasin Amir Machmud Tji-knawi, S.H. diwarnai dengan surat kaleng yang menyatakan mantan Kepala BPN Kabupaten Tanah Laut itu terlibat dalam jual beli tanah negara dan masalah mahalnya biaya pembuatan sertifikat prona yang dinaikan hingga 300 persen dari ketentuan. Menurut harian Banjarmasin Post (6 April 1998), Walikotamadya Banjarmasin mengatakan akan membebastugaskan kepala BPN Kodya, apabila terbukti terlibat dalam kasus jual beli tanah negara. "Tidak benar tertun-danya serah terima jabatan ini dikaitkan dengan permasalahan pertanahan yang diduga dilaku-kan oleh Amir Machmud di tempat tugas yang lama. Meski hari ini dilantik dan kalau esoknya terbukti bersalah, dia langsung dibebastugaskan," tegas H Sadjoko. "Hukum bukan cuma dinihilkan dalam setiap kasus pertanahan, bahkan pemerintah tidak akan segan-segan melakukan pendekatan kekuasaan, dalam setiap penanganan kasus-kasus tanah," tutur Oje, yang bertanggung jawab dalam menangani kasus-kasus pertanahan di LBH, Jakarta. Tidak heran jika pada tahun 1997, misalnya, LBH mencatat 114 kasus pertanahan, sementara itu tercatat juga 114 kasus di tahun 1996 dan 149 kasus di tahun sebelumnya. LBH yakin kasus-kasus yang terjadi sebenarnya jauh lebih banyak ketimbang yang tercatat, karena belum semua lapisan masyarakat mau menggunakan jalur hukum guna menuntut hak-hak mereka.

Populis
Kenapa kasus-kasus ini masih terjadi? Padahal secara hukum, UUPA dianggap cukup populis "Didalamnya terdapat aturan-aturan terhadap UU tanah, pokoknya cukup populislah," ujar Oje lagi. "Didalamnya sudah terdapat aturan batasan kepemilikan tanah dan lain sebagainya," Menurut pakar hukum dari UGM, UU Pokok Agraria ini sering diakali oleh kekuasaan dengan berbagai tujuan tertentu. "Itulah masalahnya, UU yang sudah baik itu kurang didukung oleh SDM yang baik," tukas Koesnadi. Tapi ada pendapat lain. "Yang salah bukan aparat, pemerin-tahnya yang ngawur. Kalau misalnya ada acuan yang jelas, tidak akan ada yang namanya penyelewengan," tukas Oje.

Jika pemerintah menaati setiap aturan yang dibuatnya, tentu tidak akan ada penyelewengan. Bagi pengacara LBH ini, pelanggaran aturan bukan melulu salah sumber daya manusia, tetapi juga karena pemerintah tidak memberikan suasana yang kondusif bagi setiap aparatnya, "Nggak bisa dong kita selalu menganggap orang kita bodoh-bodoh, masyarakat kita sudah pintar-pintar kok," lanjutnya.

Perlu Diganti
Meski demikian, beberapa pakar berpendapat, undang-undang yang sudah berumur 38 tahun ini perlu diganti. Pakar ekonomi Hartojo Wignyowiyoto mengatakan Undang-undang Pokok Agraria perlu diubah agar rakyat lebih mempunyai akses terhadap kepemilikan tanah dengan berdasarkan ide landreform. "Yang mendesak, UU Agraria ini perlu menjadi paket reformasi karena konsentrasi kepemilikan tanah kini ada pada kelompok tertentu, baik kelompok Jimbaran, maupun kelompok penguasa," ujarnya. Hartojo mencontohkan dalam prakteknya UU Pokok Agraria itu masih rancu antara kepemilikan tanah dan penggunaan tanah. "Seharusnya Menteri Pertanahan tidak sangkut paut dengan penggunaan tanah. Sedangkan Pemda dengan perencanaan kotanya hanya berkonsen-trasi pada tata guna tanah." Ketidakjelasan antara penggunaan dan perencanaan pertanahan itu menyebabkan tata ruang menjadi campur aduk antara perumahan dan komersial yang berdampak pada masalah lalu lin-tas dan sosial psikologis masyarakat.

"Bahkan semasa pemerintahan Presiden Soeharto, kalau mau melakukan survai tentang siapa pemilik tanah harus ada izin dari Sekneg. Saya tidak tahu dari mana aturannya. Bahkan banyak pemilik lahan yang mengatasnamakan orang lain," ujar Hartojo, yang juga konsultan Bank Dunia ini. Sementara, pakar hukum Prof. Dr. Erman Radjagukguk berpendapat, Undang-undang Pokok Agraria ini perlu diganti, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Ketika di lahirkan dulu, UUPA dibuat dengan pemikiran bahwa Indonesia adalah negara agraris, sementara kita tahu sendiri saat ini Indonesia telah mengarah pada negara Industri," kata Erman Rajagukguk, yang kini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet. Menyinggung gagasan landreform yang masih dikaitkan dengan ide komunis, Erman mengin-gatkan bahwa landreform justru dipopulerkan oleh Amerika Serikat untuk menangkal komu-nisme. Wolf Ladejinsky, ahli tanah dari New York, yang menjadi arsitek landreform di Jepang (1946-1950), Korea Selatan (1949-1951) dan Taiwan (1953-1956), diundang oleh Presiden RI pertama, Soekarno, untuk merancang program serupa di Indonesia. Namun, keberhasilan landreform di tiga negara tersebut, tidak bisa diulangi di Indonesia, karena kesulitan teknis hu-kum, kondisi sosial, politik dan ekonomi yang tidak mendukung, serta tidak cukupnya tanah -yang tersedia untuk dibagikan pada para petani (Rajagukguk, 1995). Apalagi kemudian program ini 'dibajak' oleh Partai Komunis Indonesia sebagai dalih untuk mengambil alih lahan-lahan luas tanpa ganti rugi.

Jika dikaji lebih jauh, pemerintah memang sudah saatnya mengkaji orientasi pertanahan yang sifatnya kawasan khusus, yakni UU penggunaan pertanahan yang memprioritaskan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Sebab, UU Pokok Agraria didasarkan pada semangat paradigma lama yakni mendorong konglomerasi termasuk fasilitas pemberian aset kepada kelompok tertentu sebagai agen pembangunan.

Tidak ada komentar: