Senin, 07 Oktober 2013

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SKMHT ?

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT
SURAT  KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT),
BERDASARKAN PERKABAN NOMOR 8/2012,
TAPI BERWENANG MEMBUAT
AKTA KUASA  MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (1) DAN 38 UUJN


Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT.  Dengan demikian kewenangan untuk membuat SKMHT ada pada Notaris dan PPAT.

Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) bahwa Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta, dan syarat serta ketentuan akta Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUJN. Kalau kita kaji lebih dalam ternyata  awal dan akhir  dari SKMHT yang sekarang ini dibuat di hadapan Notaris, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, artinya tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris.

Sekarang timbul pertanyaan, apakah akibat hukum dari akta Notaris yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN ?. Kalau kita membaca Pasal 84 UUJN mengenai sanksi perdata terhadap Notaris  dan  Pasal 85  UUJN mengenai sanksi administratif terhadap Notaris, maka  tidak ada sanksi bagi Notaris jika akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris tidak memenuhi ketentuan Pasal 38 UUJN. Meskipun UUJN tidak mengatur sanksi bagi Notaris yang membuat akta tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, maka dalam hal ini harus dikaitkan dengan aturan hukum lain yang ada hubungannya dengan akta Notaris, dalam hal ini yaitu Pasal 1868 dan 1869 Kitab Undang-undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

Pasal 1868 B.W. merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar  legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a.       akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
b.      akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
c.       Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut..

Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       Akta    yang   dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat  Umum.

Pasal 38 UUJN  yang mengatur mengenai Sifat dan Bentuk Akta tidak menentukan mengenai Sifat Akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan    Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.

Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas   atau Akta Berita Acara    yang    berisi berupa uraian Notaris  yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak  yang dilakukan  dituangkan  kedalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam    praktek   Notaris  disebut  Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris..

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak,  yang    menjadi      dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat    akta     yang   dimaksud.  Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran  dengan tetap berpijak    pada   aturan hukum. Ketika    saran    Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.

Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta     Notaris,  tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris  tetap berada di luar   para    pihak   atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga jika suatu akta Notaris dipermasalahkan,   maka tetap kedudukan Notaris bukan    sebagai     pihak   atau yang turut serta melakukan atau membantu  para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau   Turut   Tergugat dalam perkara perdata.   Penempatan Notaris sebagai pihak    yang     turut  serta atau    membantu para pihak    dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta Notaris    dan     Notaris  yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta Notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris tersebut.

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak,  maka :

  1. para    pihak     datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan  atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat    lagi     para    pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
  2. jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah  tetap mengikat para pihak atau dibatalkan ? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan  dapat mengajukan gugatan    berupa    tuntutan   ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban  penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut,  penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.

b.      Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
           
Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah  akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang ? Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands   Indie dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian        dengan      Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie  (Stb.1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt  (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak    dimasalahkan     karena    sejak   lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya     tidak      lebih      dari     bentuk   Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai    bentuk    akta. Setelah    lahirnya     UUJN keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan karena        bentuknya   ditentukan   oleh       undang-undang,     dalam      hal     ini  ditentukan  dalam  Pasal 38 UUJN.

c.       Pejabat  umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. 
            
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :
  1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu;
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain,  mengandung    makna   bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik  mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan     suatu     batasan,       bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang tersebut.  Tindakan Notaris diluar wewenang yang sudah ditentukan tersebut, dapat dikategorikan sebagai perbuatan di luar wewenang Notaris.  Jika menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang menimbulkan kerugian secara materil maupun immateril dapat diajukan gugatan ke pengadilan negeri. 

  1. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas (imparsial) Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

  1. Notaris harus berwenang  sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di  buat.

Notaris harus berwenang  sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat.  Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya  mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi, misalnya Notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya, maka dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah Propinsi Jawa Timur.

Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :
a.       Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukkanya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. Contoh Notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto, maka Notaris yang bersangkutan harus membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
b.      Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.
c.       Menjalankan tugas jabatan diluar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan  atau tidak terus-menerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).

Ketentuan tersebut dalam praktek memberikan peluang kepada Notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya atau di luar propinsi (Pasal 17 huruf a UUJN),  tapi untuk saling menghormati sesama Notaris di kabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada para pihak untuk membuat akta yang diinginkannya  untuk datang menghadap Notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika di kabupaten atau kota tersebut tidak ada Notaris.

  1. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan berhalangan  untuk menjalankan    tugas  jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris  yang     bersangkutan     dapat      menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3  UUJN).

Seorang Notaris dapat mengangkat seorang Notaris Pengganti, dengan ketentuan tidak kehilangan kewenangannya dalam menjalankan tugas jabatatannya, dengan    demikian   dapat menyerahkan kewenangannya kepada Notaris Pengganti, sehingga yang dapat mengangkat Notaris Pengganti, yaitu Notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara, yang setelah cuti habis protokolnya dapat diserahkan kembali kepada Notaris yang digantikannya, sedangkan     tugas    jabatan   Notaris dapat dilakukan oleh Pejabat Sementara  Notaris  hanya dapat dilakukan untuk Notaris yang kehilangan kewenangannya dengan alasan :
a.       meninggal dunia;
b.      telah berakhir masa jabatannya;
c.       minta sendiri;
d.      tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
e.       pindah wilayah jabatan;
f.        diberhentikan sementara, atau
g.       diberhentikan dengan tidak hormat;

Untuk Notaris Pengganti Khusus berwenang untuk membuat akta tertentu saja    yang     disebutkan dalam surat pengangkatannya, dengan alasan Notaris  yang berada di kabupaten atau kota yang bersangkutan hanya terdapat seorang Notaris, dan dengan alasan sebagaimana tersebut dalam UUJN tidak boleh membuat akta yang dimaksud. Ketidakbolehan tersebut dapat didasarkan kepada ketentuan Pasal 52 UUJN, terutama mengenai orang dan akta yang akan dibuat.

Dengan demikian kedudukan akta Notaris sebagai akta otentik atau otensitas akta Notaris, karena  :
1.      akta   dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Publik.
2.      akta dibuat dalam bentuk dan tata cara (prosedur) dan syarat yang ditentukan oleh undang-undang,
3.      Pejabat Publik oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Karakter yuridis akta Notaris, yaitu :
1.      Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang (UUJN).
2.      Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris;
3.      Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4.      Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.
5.      Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.

Akta  Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tersebut dalam Pasal  1869 BW, yaitu karena  :
(1)    tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(2)    tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(3)    cacat dalam bentuknya,
maka akta tersebut  tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.
Dengan menggunakan parameter Pasal 15 dan  Pasal 38 UUJN jis Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata, maka SKMHT  yang dibuat di hadapan Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris, yaitu :
1)      tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
2)      tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
3)      cacat dalam bentuknya,
sehingga Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat menggunakan blangko SKMHT yang selama ini ada, tapi atau Notaris tidak berwenang untuk membuat SKMHT dengan mempergunakan blangko SKMHT.  Jika Notaris ingin tetap membuat SKMHT, maka Notaris wajib membuatnya dalam bentuk akta Notaris (bukan surat) dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 UUJN dan tidak mempergunakan blangko SKMHT.

Jika Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan  masih menggunakan blangko SKMHT, maka Notaris telah bertindak diluar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, tapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dengan demikian Notaris yang berwenang untuk membuat akta Notaris, tapi ternyata membuat SKMHT, yang merupakan akta yang dibuat  diluar kewenangannya, tidak mampunya Notaris memahami pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan cacat bentuk akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka  jika tindakan Notaris seperti itu telah menimbulkan kerugian terhadap pihak yang namanya tersebut dalam akta, yang tadinya berharap akta yang dinginkan dalam bentuk akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, tetapi karena melanggar ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, maka pihak yang namanya tersebut dalam akta dapat mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri terhadap Notaris, agar Notaris dijatuhi sanksi perdata, berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.

Bahwa konsumen paling besar yang mempergunakan SKMHT yaitu perbankan (bank) yang berkedudukan sebagai kreditur, tidak dapat dibayangkan jika ternyata ada debitur yang mengetahui dan memahami kedudukan SKMHT sebagaimana tersebut di atas, maka debitur yang bersangkutan dapat mengajukan pembatalan pinjamannya (kreditnya) dengan alasan SKMHT bukan akta Notaris dan tidak memenuhi syarat dan ketentuan sebagai akta Notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan sudah tentu peluang seperti ini terbuka untuk dilakukan oleh debitur, kemudian Notaris digugat oleh bank secara perdata, karena membuat akta yang hanya kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

Agar hal tersebut di atas tidak terjadi, mari para Notaris untuk secara komprehensip – integral  ketentuan mengenai akta Notaris, dan juga untuk tidak membuat atau mengisi blangko SKMHT, jika Notaris masih ingin membuat akta kuasa membebankan hak tanggungan untuk kreditur dan debitur, dibuatkan saja Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (AKMHT) yang sesuai dengan kewenangan Notaris untuk membuat akta (Pasal 15 ayat 1 UUJN), dan sesuai dengan syarat dan ketentuan akta Notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan tentu sesuai pula dengan ketentuan Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata. Tapi jika masih ingin memaksakan untuk mengisi blangko SKMHT, buat saja dalam kedudukan sebagai PPAT, bukan sebagai Notaris.

Dengan demkian :
a.       Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN kewenangan Notaris adalah membuat akta (otentik), bukan membuat surat, sehingga judulnya KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN atau AKTA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN bukan SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. Dan bentuk/format akta Notaris harus sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN.
b.      Akta ini buat dalam  Minuta, sehingga dapat dibuat Salinannya atau dalam bentuk In Originali.
c.       Pasal 16 ayat (2) – (3) UUJN menegaskan :
(2)               Pasal Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3)               Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta :
    1. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
    2. penawaran pembayaran tunai;
    3. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
    4. akta kuasa;
    5. keterangan kepemilikan; atau
    6. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)               Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan berlaku untuk semua”.
(5)               Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.


d.   DALAM    PASAL    15    AYAT    (1) UU NO. 4/1996 - SKMHT
DIBUAT DENGAN AKTA PPAT ATAU AKTA NOTARIS :
  1. JIKA DIBUAT DENGAN AKTA PPAT - GUNAKAN BLANGKO AKTA PPAT/NOMOR AKTA PPAT/SESUAI DAERAH KERJA PPAT DAN UNTUK OBJEK YANG ADA PADA DAERAH KERJA PPAT.
  2. JIKA DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIS - GUNAKAN FORMAT/BENTUK AKTA NOTARIS SESUAI PASAL 38 UUJN/NOMOR AKTA NOTARIS/UNTUK OBJEK DI LUAR TEMPAT KEDUDUKAN/WILAYAH JABATAN NOTARIS (Salinan atau In Originali).

  1. Perkaban Nomor 8     Tahun  2012 tidak mengatur SKMHT untuk Notaris,  tapi khusus untuk PPAT.


Selamat Bekerja….!!!

------------------------------

 oleh :
Habib Adjie
(Notaris dan PPAT di Kota Surabaya)




ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

ANALISIS  HUKUM  PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tgl 13 FEB. 2012,
Tentang Status Anak Luar Kawin
Oleh: Syafran Sofyan, SH,SpN,MHum  
Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI


I.    UMUM :
            Mahkamah  Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Pasal 24 ayat 2 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD NRI TH 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD NRI TH 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
a.    menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945;
b.    memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;
c.    memutus pembubaran partai politik;
d.    memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

II.    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA  
           Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
            Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era Soeharto memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono..
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berdasarkan Pasal  51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a.    perorangan warga Negara Indonesia;
b.    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.    badan hukum public atau privat; atau
d.    lembaga Negara
Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Th.1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :
1.    kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003
2.    kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Pemohon mengajukan uji materiil terhadap :

UUD NRI Th. 1945
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
Pasal 28 B ayat 1
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “
Pasal 2 ayat 2
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “
Pasal 28 B ayat 2
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “
Pasal 43 ayat 1
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “
Pasal 28 D ayat 1
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “


Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon.  Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.
Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.
Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur / administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.

Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.

Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah?.
       
                
Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran didalam praktik dimasyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut.



Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris.
Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat.
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris.
Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris.


III.    PEMBAHASAN
A.    Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak  diberikan untuk anak zina.

Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).

Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.

Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui  pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
b.    Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.

Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
a.    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b.    Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkanPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Namun perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
a.    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
b.    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur; namun perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya  tetap dianggap anak sah.
Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya.

Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.

B.    Kedudukan Anak Luar Kawin

Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUHPerdata.
Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya.
Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :
1.    Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
a.    Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
b.    Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
c.    Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
d.    Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.

2.    Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata.
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).

Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
a.    Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b.    Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c.    Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
d.    Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.

C.    Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin
Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat:

a.    Akta Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;
b.    Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris menurut undang-undang.
c.    Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris.

IV.    Penutup.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut saya dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya  sehingga tidak menimbulkan pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.