NOTARIS TIDAK
BERWENANG MEMBUAT
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT),
BERDASARKAN PERKABAN
NOMOR 8/2012,
TAPI
BERWENANG MEMBUAT
AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)
BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (1) DAN 38 UUJN
Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan bahwa
SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan demikian kewenangan untuk membuat
SKMHT ada pada Notaris dan PPAT.
Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) bahwa Notaris
mempunyai kewenangan untuk membuat akta, dan syarat serta ketentuan akta
Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUJN. Kalau kita kaji lebih dalam
ternyata awal dan akhir dari SKMHT yang sekarang ini dibuat di
hadapan Notaris, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, artinya tidak
memenuhi syarat sebagai akta Notaris.
Sekarang timbul pertanyaan, apakah akibat hukum dari akta Notaris yang
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN ?. Kalau kita membaca Pasal 84 UUJN
mengenai sanksi perdata terhadap Notaris
dan Pasal 85 UUJN mengenai sanksi administratif terhadap
Notaris, maka tidak ada sanksi bagi
Notaris jika akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris tidak memenuhi
ketentuan Pasal 38 UUJN. Meskipun UUJN tidak mengatur sanksi bagi Notaris yang
membuat akta tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, maka dalam hal ini
harus dikaitkan dengan aturan hukum lain yang ada hubungannya dengan akta
Notaris, dalam hal ini yaitu Pasal 1868 dan 1869 Kitab Undang-undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer).
Pasal 1868 B.W. merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga
merupakan dasar legalitas eksistensi
akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. akta itu harus dibuat oleh (door) atau di
hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
b. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang,
c. Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa
akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut..
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Akta
yang dibuat oleh (door)
atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat
Umum.
Pasal 38 UUJN
yang mengatur mengenai Sifat dan Bentuk Akta tidak menentukan mengenai
Sifat Akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.
Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam
praktek Notaris disebut Akta Relaas
atau Akta Berita Acara
yang berisi berupa uraian
Notaris yang dilihat dan disaksikan
Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para
pihak yang dilakukan dituangkan
kedalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten
overstaan) Notaris, dalam
praktek Notaris disebut
Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak
yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak
berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta
Notaris..
Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun
akta pihak, yang menjadi
dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada
keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika
keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan
membuat akta yang
dimaksud. Untuk memenuhi
keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada
aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan
dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap
merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat
Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau
tindakan Notaris.
Pengertian seperti tersebut di atas merupakan
salah satu karakter yuridis dari akta
Notaris, tidak berarti Notaris
sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris
tetap berada di luar para pihak
atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti
itu, sehingga jika suatu akta Notaris dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Notaris bukan sebagai
pihak atau yang turut serta
melakukan atau membantu para pihak dalam
kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut
Tergugat dalam perkara perdata.
Penempatan Notaris sebagai pihak
yang turut serta atau
membantu para pihak dengan kualifikasi
membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau
menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta
Notaris dan Notaris
yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta
Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran
lain atas akta Notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris
tersebut.
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar
mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh
para pihak, maka :
- para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
- jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan ? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu
pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa
dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa
tuntutan ganti rugi kepada
Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban
penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian
tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi
tersebut, penggugat harus dapat
membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek
formal dan aspek materil atas akta Notaris.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang.
Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan
Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang
? Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de
Notarissen Residerende in Nederlands Indie
dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesie (Stb.1860 : 3), dan Reglement
ini berasal dari Wet op het Notarisambt
(1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. Meskipun
Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena
sejak lembaga Notaris lahir di
Indonesia, pengaturannya tidak lebih
dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk
akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan
karena bentuknya ditentukan
oleh undang-undang, dalam
hal ini ditentukan
dalam Pasal 38 UUJN.
c. Pejabat
umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :
- Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu;
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik
sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga
berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung
makna bahwa wewenang Notaris
dalam membuat akta otentik mempunyai
wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal
15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan suatu
batasan, bahwa Notaris tidak
boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang tersebut. Tindakan Notaris diluar wewenang yang sudah
ditentukan tersebut, dapat dikategorikan sebagai perbuatan di luar wewenang
Notaris. Jika menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang
menimbulkan kerugian secara materil maupun immateril dapat diajukan gugatan ke
pengadilan negeri.
- Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang
(-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat
membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas (imparsial)
Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris
tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau
orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena
perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau
ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan
derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu
kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
- Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu
di buat. Pasal 18 ayat (1) UUJN
menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap
Notaris sesuai dengan keinginannya
mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota
(Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh
wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian
pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak
hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah
jabatan seluruh propinsi, misalnya Notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya,
maka dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah Propinsi Jawa
Timur.
Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :
a. Notaris ketika menjalankan tugas
jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukkanya, maka Notaris tersebut
harus berada di tempat akta akan dibuat. Contoh Notaris yang berkedudukan di
Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto, maka Notaris yang bersangkutan harus
membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
b. Pada akhir akta harus disebutkan tempat
(kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.
c. Menjalankan tugas jabatan diluar tempat
kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu
keteraturan atau tidak terus-menerus
(Pasal 19 ayat (2) UUJN).
Ketentuan tersebut dalam praktek memberikan
peluang kepada Notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan
dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan,
karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya
atau di luar propinsi (Pasal 17 huruf a UUJN),
tapi untuk saling menghormati sesama Notaris di kabupaten atau kota lain
lebih baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada
para pihak untuk membuat akta yang diinginkannya untuk datang menghadap Notaris di kabupaten
atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika
di kabupaten atau kota tersebut tidak ada Notaris.
- Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu
pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam
keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara
waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan
berhalangan untuk menjalankan tugas
jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang
bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka
3 UUJN).
Seorang Notaris dapat mengangkat seorang Notaris
Pengganti, dengan ketentuan tidak kehilangan kewenangannya dalam menjalankan
tugas jabatatannya, dengan
demikian dapat menyerahkan
kewenangannya kepada Notaris Pengganti, sehingga yang dapat mengangkat Notaris
Pengganti, yaitu Notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara, yang
setelah cuti habis protokolnya dapat diserahkan kembali kepada Notaris yang
digantikannya, sedangkan tugas jabatan
Notaris dapat dilakukan oleh Pejabat Sementara Notaris
hanya dapat dilakukan untuk Notaris yang kehilangan kewenangannya dengan
alasan :
a. meninggal dunia;
b. telah berakhir masa jabatannya;
c. minta sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani
untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih
dari 3 (tiga) tahun;
e. pindah wilayah jabatan;
f.
diberhentikan
sementara, atau
g. diberhentikan dengan tidak hormat;
Untuk Notaris Pengganti Khusus berwenang untuk
membuat akta tertentu saja yang disebutkan dalam surat pengangkatannya,
dengan alasan Notaris yang berada di
kabupaten atau kota yang bersangkutan hanya terdapat seorang Notaris, dan
dengan alasan sebagaimana tersebut dalam UUJN tidak boleh membuat akta yang
dimaksud. Ketidakbolehan tersebut dapat didasarkan kepada ketentuan Pasal 52
UUJN, terutama mengenai orang dan akta yang akan dibuat.
Dengan demikian kedudukan akta Notaris sebagai
akta otentik atau otensitas akta Notaris, karena :
1. akta
dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat
Publik.
2. akta dibuat dalam bentuk dan tata cara
(prosedur) dan syarat yang ditentukan oleh undang-undang,
3. Pejabat Publik oleh – atau di hadapan
siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Karakter yuridis akta Notaris, yaitu :
1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk
yang sudah ditentukan oleh undang-undang (UUJN).
2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan
para pihak, dan bukan keinginan Notaris;
3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama
Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak
bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna. Siapapun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan
lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.
5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya
dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta.
Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan
permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi
dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.
Akta
Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tersebut dalam
Pasal 1869 BW, yaitu karena :
(1) tidak berwenangnya pejabat umum yang
bersangkutan, atau
(2) tidak mampunya pejabat umum yang
bersangkutan, atau
(3) cacat dalam bentuknya,
maka akta tersebut
tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh
para pihak.
Dengan menggunakan parameter Pasal 15 dan Pasal 38 UUJN jis Pasal 1868 dan 1869
KUHPerdata, maka SKMHT yang dibuat di
hadapan Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris, yaitu :
1) tidak berwenangnya pejabat umum yang
bersangkutan, atau
2) tidak mampunya pejabat umum yang
bersangkutan, atau
3) cacat dalam bentuknya,
sehingga Notaris dalam membuat kuasa membebankan
hak tanggungan tidak dapat menggunakan blangko SKMHT yang selama ini ada, tapi
atau Notaris tidak berwenang untuk membuat SKMHT dengan mempergunakan blangko
SKMHT. Jika Notaris ingin tetap membuat
SKMHT, maka Notaris wajib membuatnya dalam bentuk akta Notaris (bukan surat)
dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 UUJN dan tidak
mempergunakan blangko SKMHT.
Jika Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak
tanggungan masih menggunakan blangko
SKMHT, maka Notaris telah bertindak diluar kewenangannya, sehingga SKMHT
tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, tapi hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dengan demikian
Notaris yang berwenang untuk membuat akta Notaris, tapi ternyata membuat SKMHT,
yang merupakan akta yang dibuat diluar
kewenangannya, tidak mampunya Notaris memahami pelaksanaan tugas jabatan
Notaris dan cacat bentuk akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka jika tindakan Notaris seperti itu telah
menimbulkan kerugian terhadap pihak yang namanya tersebut dalam akta, yang
tadinya berharap akta yang dinginkan dalam bentuk akta Notaris yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, tetapi karena melanggar ketentuan Pasal 1869
KUHPerdata, menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan, maka pihak yang namanya tersebut dalam akta dapat mengajukan
gugatan perdata kepada pengadilan negeri terhadap Notaris, agar Notaris
dijatuhi sanksi perdata, berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada
Notaris.
Bahwa konsumen paling besar yang mempergunakan
SKMHT yaitu perbankan (bank) yang berkedudukan sebagai kreditur, tidak dapat
dibayangkan jika ternyata ada debitur yang mengetahui dan memahami kedudukan
SKMHT sebagaimana tersebut di atas, maka debitur yang bersangkutan dapat
mengajukan pembatalan pinjamannya (kreditnya) dengan alasan SKMHT bukan akta
Notaris dan tidak memenuhi syarat dan ketentuan sebagai akta Notaris
berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan sudah tentu peluang seperti ini terbuka untuk
dilakukan oleh debitur, kemudian Notaris digugat oleh bank secara perdata,
karena membuat akta yang hanya kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.
Agar hal tersebut di atas tidak terjadi, mari para
Notaris untuk secara komprehensip – integral
ketentuan mengenai akta Notaris, dan juga untuk tidak membuat atau
mengisi blangko SKMHT, jika Notaris masih ingin membuat akta kuasa membebankan
hak tanggungan untuk kreditur dan debitur, dibuatkan saja Akta Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (AKMHT) yang sesuai dengan kewenangan Notaris untuk
membuat akta (Pasal 15 ayat 1 UUJN), dan sesuai dengan syarat dan ketentuan
akta Notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan tentu sesuai pula dengan ketentuan
Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata. Tapi jika masih ingin memaksakan untuk mengisi
blangko SKMHT, buat saja dalam kedudukan sebagai PPAT, bukan sebagai Notaris.
Dengan demkian :
a. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15
ayat (1) UUJN kewenangan Notaris adalah membuat akta (otentik), bukan membuat
surat, sehingga judulnya KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN atau AKTA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN bukan SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. Dan bentuk/format
akta Notaris harus sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN.
b. Akta ini buat dalam Minuta, sehingga dapat dibuat Salinannya atau
dalam bentuk In Originali.
c. Pasal 16 ayat (2) – (3) UUJN menegaskan :
(2)
Pasal
Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku,
dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3)
Akta
originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta :
- pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
- penawaran pembayaran tunai;
- protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
- akta kuasa;
- keterangan kepemilikan; atau
- akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)
Akta
originali sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan berlaku
untuk semua”.
(5)
Akta
originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat
dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
d. DALAM
PASAL 15 AYAT
(1) UU NO. 4/1996 - SKMHT
DIBUAT DENGAN AKTA PPAT ATAU
AKTA NOTARIS :
- JIKA DIBUAT DENGAN AKTA PPAT - GUNAKAN BLANGKO AKTA PPAT/NOMOR AKTA PPAT/SESUAI DAERAH KERJA PPAT DAN UNTUK OBJEK YANG ADA PADA DAERAH KERJA PPAT.
- JIKA DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIS - GUNAKAN FORMAT/BENTUK AKTA NOTARIS SESUAI PASAL 38 UUJN/NOMOR AKTA NOTARIS/UNTUK OBJEK DI LUAR TEMPAT KEDUDUKAN/WILAYAH JABATAN NOTARIS (Salinan atau In Originali).
- Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 tidak mengatur SKMHT untuk Notaris, tapi khusus untuk PPAT.
Selamat Bekerja….!!!
------------------------------
oleh :
Habib Adjie
(Notaris dan PPAT di Kota Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar