Senin, 07 Oktober 2013

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SKMHT ?

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT
SURAT  KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT),
BERDASARKAN PERKABAN NOMOR 8/2012,
TAPI BERWENANG MEMBUAT
AKTA KUASA  MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (1) DAN 38 UUJN


Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT.  Dengan demikian kewenangan untuk membuat SKMHT ada pada Notaris dan PPAT.

Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) bahwa Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta, dan syarat serta ketentuan akta Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUJN. Kalau kita kaji lebih dalam ternyata  awal dan akhir  dari SKMHT yang sekarang ini dibuat di hadapan Notaris, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, artinya tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris.

Sekarang timbul pertanyaan, apakah akibat hukum dari akta Notaris yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN ?. Kalau kita membaca Pasal 84 UUJN mengenai sanksi perdata terhadap Notaris  dan  Pasal 85  UUJN mengenai sanksi administratif terhadap Notaris, maka  tidak ada sanksi bagi Notaris jika akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris tidak memenuhi ketentuan Pasal 38 UUJN. Meskipun UUJN tidak mengatur sanksi bagi Notaris yang membuat akta tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, maka dalam hal ini harus dikaitkan dengan aturan hukum lain yang ada hubungannya dengan akta Notaris, dalam hal ini yaitu Pasal 1868 dan 1869 Kitab Undang-undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

Pasal 1868 B.W. merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar  legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a.       akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
b.      akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
c.       Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut..

Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       Akta    yang   dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat  Umum.

Pasal 38 UUJN  yang mengatur mengenai Sifat dan Bentuk Akta tidak menentukan mengenai Sifat Akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan    Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.

Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas   atau Akta Berita Acara    yang    berisi berupa uraian Notaris  yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak  yang dilakukan  dituangkan  kedalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam    praktek   Notaris  disebut  Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris..

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak,  yang    menjadi      dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat    akta     yang   dimaksud.  Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran  dengan tetap berpijak    pada   aturan hukum. Ketika    saran    Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.

Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta     Notaris,  tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris  tetap berada di luar   para    pihak   atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga jika suatu akta Notaris dipermasalahkan,   maka tetap kedudukan Notaris bukan    sebagai     pihak   atau yang turut serta melakukan atau membantu  para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau   Turut   Tergugat dalam perkara perdata.   Penempatan Notaris sebagai pihak    yang     turut  serta atau    membantu para pihak    dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta Notaris    dan     Notaris  yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta Notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris tersebut.

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak,  maka :

  1. para    pihak     datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan  atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat    lagi     para    pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
  2. jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah  tetap mengikat para pihak atau dibatalkan ? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan  dapat mengajukan gugatan    berupa    tuntutan   ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban  penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut,  penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.

b.      Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
           
Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah  akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang ? Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands   Indie dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian        dengan      Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie  (Stb.1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt  (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak    dimasalahkan     karena    sejak   lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya     tidak      lebih      dari     bentuk   Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai    bentuk    akta. Setelah    lahirnya     UUJN keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan karena        bentuknya   ditentukan   oleh       undang-undang,     dalam      hal     ini  ditentukan  dalam  Pasal 38 UUJN.

c.       Pejabat  umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. 
            
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :
  1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu;
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain,  mengandung    makna   bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik  mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan     suatu     batasan,       bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang tersebut.  Tindakan Notaris diluar wewenang yang sudah ditentukan tersebut, dapat dikategorikan sebagai perbuatan di luar wewenang Notaris.  Jika menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang menimbulkan kerugian secara materil maupun immateril dapat diajukan gugatan ke pengadilan negeri. 

  1. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas (imparsial) Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

  1. Notaris harus berwenang  sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di  buat.

Notaris harus berwenang  sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat.  Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya  mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi, misalnya Notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya, maka dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah Propinsi Jawa Timur.

Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :
a.       Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukkanya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. Contoh Notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto, maka Notaris yang bersangkutan harus membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
b.      Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.
c.       Menjalankan tugas jabatan diluar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan  atau tidak terus-menerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).

Ketentuan tersebut dalam praktek memberikan peluang kepada Notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya atau di luar propinsi (Pasal 17 huruf a UUJN),  tapi untuk saling menghormati sesama Notaris di kabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada para pihak untuk membuat akta yang diinginkannya  untuk datang menghadap Notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika di kabupaten atau kota tersebut tidak ada Notaris.

  1. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan berhalangan  untuk menjalankan    tugas  jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris  yang     bersangkutan     dapat      menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3  UUJN).

Seorang Notaris dapat mengangkat seorang Notaris Pengganti, dengan ketentuan tidak kehilangan kewenangannya dalam menjalankan tugas jabatatannya, dengan    demikian   dapat menyerahkan kewenangannya kepada Notaris Pengganti, sehingga yang dapat mengangkat Notaris Pengganti, yaitu Notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara, yang setelah cuti habis protokolnya dapat diserahkan kembali kepada Notaris yang digantikannya, sedangkan     tugas    jabatan   Notaris dapat dilakukan oleh Pejabat Sementara  Notaris  hanya dapat dilakukan untuk Notaris yang kehilangan kewenangannya dengan alasan :
a.       meninggal dunia;
b.      telah berakhir masa jabatannya;
c.       minta sendiri;
d.      tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
e.       pindah wilayah jabatan;
f.        diberhentikan sementara, atau
g.       diberhentikan dengan tidak hormat;

Untuk Notaris Pengganti Khusus berwenang untuk membuat akta tertentu saja    yang     disebutkan dalam surat pengangkatannya, dengan alasan Notaris  yang berada di kabupaten atau kota yang bersangkutan hanya terdapat seorang Notaris, dan dengan alasan sebagaimana tersebut dalam UUJN tidak boleh membuat akta yang dimaksud. Ketidakbolehan tersebut dapat didasarkan kepada ketentuan Pasal 52 UUJN, terutama mengenai orang dan akta yang akan dibuat.

Dengan demikian kedudukan akta Notaris sebagai akta otentik atau otensitas akta Notaris, karena  :
1.      akta   dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Publik.
2.      akta dibuat dalam bentuk dan tata cara (prosedur) dan syarat yang ditentukan oleh undang-undang,
3.      Pejabat Publik oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Karakter yuridis akta Notaris, yaitu :
1.      Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang (UUJN).
2.      Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris;
3.      Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4.      Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.
5.      Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.

Akta  Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tersebut dalam Pasal  1869 BW, yaitu karena  :
(1)    tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(2)    tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(3)    cacat dalam bentuknya,
maka akta tersebut  tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.
Dengan menggunakan parameter Pasal 15 dan  Pasal 38 UUJN jis Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata, maka SKMHT  yang dibuat di hadapan Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris, yaitu :
1)      tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
2)      tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
3)      cacat dalam bentuknya,
sehingga Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat menggunakan blangko SKMHT yang selama ini ada, tapi atau Notaris tidak berwenang untuk membuat SKMHT dengan mempergunakan blangko SKMHT.  Jika Notaris ingin tetap membuat SKMHT, maka Notaris wajib membuatnya dalam bentuk akta Notaris (bukan surat) dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 UUJN dan tidak mempergunakan blangko SKMHT.

Jika Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan  masih menggunakan blangko SKMHT, maka Notaris telah bertindak diluar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, tapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dengan demikian Notaris yang berwenang untuk membuat akta Notaris, tapi ternyata membuat SKMHT, yang merupakan akta yang dibuat  diluar kewenangannya, tidak mampunya Notaris memahami pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan cacat bentuk akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka  jika tindakan Notaris seperti itu telah menimbulkan kerugian terhadap pihak yang namanya tersebut dalam akta, yang tadinya berharap akta yang dinginkan dalam bentuk akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, tetapi karena melanggar ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, maka pihak yang namanya tersebut dalam akta dapat mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri terhadap Notaris, agar Notaris dijatuhi sanksi perdata, berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.

Bahwa konsumen paling besar yang mempergunakan SKMHT yaitu perbankan (bank) yang berkedudukan sebagai kreditur, tidak dapat dibayangkan jika ternyata ada debitur yang mengetahui dan memahami kedudukan SKMHT sebagaimana tersebut di atas, maka debitur yang bersangkutan dapat mengajukan pembatalan pinjamannya (kreditnya) dengan alasan SKMHT bukan akta Notaris dan tidak memenuhi syarat dan ketentuan sebagai akta Notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan sudah tentu peluang seperti ini terbuka untuk dilakukan oleh debitur, kemudian Notaris digugat oleh bank secara perdata, karena membuat akta yang hanya kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

Agar hal tersebut di atas tidak terjadi, mari para Notaris untuk secara komprehensip – integral  ketentuan mengenai akta Notaris, dan juga untuk tidak membuat atau mengisi blangko SKMHT, jika Notaris masih ingin membuat akta kuasa membebankan hak tanggungan untuk kreditur dan debitur, dibuatkan saja Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (AKMHT) yang sesuai dengan kewenangan Notaris untuk membuat akta (Pasal 15 ayat 1 UUJN), dan sesuai dengan syarat dan ketentuan akta Notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan tentu sesuai pula dengan ketentuan Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata. Tapi jika masih ingin memaksakan untuk mengisi blangko SKMHT, buat saja dalam kedudukan sebagai PPAT, bukan sebagai Notaris.

Dengan demkian :
a.       Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN kewenangan Notaris adalah membuat akta (otentik), bukan membuat surat, sehingga judulnya KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN atau AKTA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN bukan SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. Dan bentuk/format akta Notaris harus sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN.
b.      Akta ini buat dalam  Minuta, sehingga dapat dibuat Salinannya atau dalam bentuk In Originali.
c.       Pasal 16 ayat (2) – (3) UUJN menegaskan :
(2)               Pasal Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3)               Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta :
    1. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
    2. penawaran pembayaran tunai;
    3. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
    4. akta kuasa;
    5. keterangan kepemilikan; atau
    6. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)               Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan berlaku untuk semua”.
(5)               Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.


d.   DALAM    PASAL    15    AYAT    (1) UU NO. 4/1996 - SKMHT
DIBUAT DENGAN AKTA PPAT ATAU AKTA NOTARIS :
  1. JIKA DIBUAT DENGAN AKTA PPAT - GUNAKAN BLANGKO AKTA PPAT/NOMOR AKTA PPAT/SESUAI DAERAH KERJA PPAT DAN UNTUK OBJEK YANG ADA PADA DAERAH KERJA PPAT.
  2. JIKA DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIS - GUNAKAN FORMAT/BENTUK AKTA NOTARIS SESUAI PASAL 38 UUJN/NOMOR AKTA NOTARIS/UNTUK OBJEK DI LUAR TEMPAT KEDUDUKAN/WILAYAH JABATAN NOTARIS (Salinan atau In Originali).

  1. Perkaban Nomor 8     Tahun  2012 tidak mengatur SKMHT untuk Notaris,  tapi khusus untuk PPAT.


Selamat Bekerja….!!!

------------------------------

 oleh :
Habib Adjie
(Notaris dan PPAT di Kota Surabaya)




Tidak ada komentar: