Selasa, 16 Maret 2010

PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)


PENDAHULUAN

Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.

Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan.

A. Pengertian Penemuan Hukum

Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.

Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum.Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.

Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu :

a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.

b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.

Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit[1]).

Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan. Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).

Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.

Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal atau faktor serta alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :

1. Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.
2. Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.
3. Munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya.
4. Kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.

Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan.

B. Kegunaan Penemuan Hukum

Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa:

a. Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;

b. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.

c. Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.

Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.

Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah[2]) :

1. Unsur sistem hukum, meliputi :

a. Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.

b. Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian.

c. Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan

d. Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.

e. Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.

2. Pembidangan sistem hukum

a. Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku)

b. Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku)

Dasar pembedaannya adalah ruang dan waktu

3. Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum

a. Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya kedamaian.

b. Subyek hukum

c. Hukum dan kewajiban

d. Peristiwa hukum

e. Hubungan hukum ; sederajat dan timpang

f. Obyek hukum

Pengertian butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya hukum yang merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan[3]).

C. Penemuan Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia

Indonesia dalam perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan di dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa hukum lainnya yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic Law) dan sistem hukum komunis (Communist Law). Indonesia menganut sistem hukum sipil, akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama kurun waktu 350 tahun melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek , yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra Amandemen) yang menyatakan : “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law.

Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.

Pengunaan aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu dinamis, oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan. Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making function). Sehingga diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim dengan menggunakan konstruksi hukum,

Indonesia di dalam keluarga-keluarga sistem hukum dunia, termasuk salah satu dari keluarga hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem Eropa Kontinental ini, mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari sistem hukum eropa kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut sebagai . Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke-18 – 19. Untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih lanjut pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum (algemeen). Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua, undang-undang harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini Pemerintah dan Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas untuk menerapkan undang-undang (secara mekanis). Berkebalikan dengan sistem eropa continental, sistem anglo saxon yang biasa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi ini merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkret yang kemudian putusan tersebut menciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi hakim-hakim berikutnya di dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris kemudian ke daerah-derah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris), Amerika Serikat, Canada, Australia dan lain-lain. Namun demikian, pada perkembangannya kedua sistem hukum tersebut mengalami konvergensi (saling mendekat), yang ditandai dengan peranan yang cukup penting suatu peraturan perundang-undangan bagi sistem common law dan sebaliknya peranan yang signifikan pula dari yurisprudensi dalam sistem Eropa Kontinental.

Makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal, diantaranya ialah :

a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya;

b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;

c. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya; dan

d. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Tetapi tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung masalah-masalah, adapun masalah-masalah tersebut ialah :

a. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri akan “terpaksa” menerima peraturan-peraturan perundangan-undangan yang sudah ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat;

b. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran Cicero-ubi societas ubi ius- maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila “hukum resmi” tidak memadai atau tidak ada.

Kelemahan-kelemahan dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian menimbulkan konsep penemuan hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan hakim melakukan penemuan hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidakmungkinan dari apa yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini merupakan pandangan dari positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa “tidak mungkin terdapat suatu kekosongan hukum dikarenakan jika tata hukum tidak mewajibkan para individu kepada suatu perbuatan tertentu, maka individu-individu tersebut adalah bebas secara hukum. sepanjang negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan kebebasan pribadinya”. Berkebalikan dengan pandangan ini, justru kekosongan hukum sangat mungkin terjadi dan akan menimbulkan kebangkrutan keadilan (bankruptcy of justice) dimana hukum tidak dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat. Kebangkrutan keadilan, merupakan konsekuensi dari kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu sengketa yang timbul di dalam masyarakat.

Melihat dua pandangan yang saling bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini adalah mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun konstruksi berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan fakta-fakta empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang kemudian dinyatakan oleh negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum juga terdapat di dalam masyarakat akibat proses interaksi yang sangat dinamis dari kehidupan sehari-hari. Kemudian, argumentasi dari yang menyatakan terjadinya kekosongan hukum dapat menimbulkan kebangkrutan keadilan titik tekannya adalah kehidupan yang selalu berkembang di dalam masyarakat, memungkinkan hukum selalu tertinggal satu langkah di bandingkan fakta-fakta sosial kemasyarakatan, oleh karenanya fakta sosial yang demikian dinamis kadang kala merupakan friksi antara kepentingan individu-individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat diselesaikan oleh hukum.

Pada konteks tersebut di atas kekosongan hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum adalah hal yang dipastikan dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber hukum satu-satunya adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan hakim yang lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal ini kemudian yang sering diistilahkan jugde made law atau penemuan hukum (rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004 dimana dalam Pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut :

“pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Pada Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman. Namun demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti di dalam hukum common law.

Pengertian judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa hakim memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini benar-benar membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu perkara hakim di dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan ketidakadlian maka hakim harus menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama.

Dalam konteks tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum didasarkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang pada ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas tersebut dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker menyatakan bahwa hukum bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat istiadat di dalam masyarakat, oleh karenanya ajaran ini disebut pula ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua memandang hukum dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada untuk manusia, ketentuan kodrati ini tertuang di dalam kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan dan moralitas, oleh karenanya, hukum ini disebut dengan hukum kodrat. Dan ajaran ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum, tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun lebih dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan membentuk norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap.

Pada konteks hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28 ayat (1) dan (2) undang-undang nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut :

(1). Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

(2) Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Dari kedua ayat dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara. Hal ini menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim masih terikat oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum bebas di posisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan dia tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan tersebut, akan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat, yang merupakan inti dari ajaran penemuan hukum bebas yang beraliran sosiologis. Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat sangat identik dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam masyarakat. Namun tidak sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan nilai-nilali masyarakat juga dapat ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara.

Salah satu contoh penemuan hukum yang menjadi preseden di dalam hukum Indonesia, misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining (peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di dalam definisi mengenai barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian pada zaman kolonial dengan beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J.1921, 564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973 dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.

Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.

Di dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa prinsip di bawah ini :

1. Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya;

2. Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya;

3. Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum tersebut; dan

4. Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.

Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.

BAGIAN II

FENOMENA HUKUM : FATWA HARAM GOLPUT OLEH MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2009 alias golongan putih (Golput), dihukumi haram.

Haram dalam terminologi fikih itu terlarang. Mungkinkah masyarakat akan tunduk patuh (sami’naa wa atho’naa) terhadap fatwa MUI yang terkesan politis ini? Dilihat dari akar historis di Indonesia, Golput merupakan gerakan moral (moral forces) untuk melawan rezim diktator Orde Baru yang mencederai demokrasi. Golput (non-voting behaviour) di Indonesia muncul kali pertama dikomandoi oleh Arif Budiman pada tahun 1971 atau sebulan sebelum Pemilu. Arif Budiman dan para aktivis pemuda dan mahasiswa dengan lantang melawan kediktatoran Orde Baru (Orba) yang memaksakan kehendak kepada rakyat untuk memilih Golkar, selaku kendaraan politik Soeharto dan kroni-kroninya. Pada saat itu pula Orba melarang berdirinya PSI dan Masyumi sebagai representasi Parpol Islam. Gerakan Golput ini harus dibayar mahal karena sebanyak 34 aktivis ditahan rezim dan Golput divonis haram.

Setelah keran demokrasi dibuka di era Reformasi, Golput pun menjadi fenomena yang muncul kembali. Dalam logika demokrasi, memilih atau tidak memilih adalah hak. Dalam perspektif ilmu hukum, hak (right) adalah peranan seseorang yang mempunyai sifat fakultatif. Memilih adalah hak politik warga negara yang by its nature, mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation.

Berbeda dengan kasus di negara tetangga, Australia, yang menganggap Pemilu sebagai sebuah kewajiban. Di Indonesia, Pemilu yang disebut-sebut sebagai pesta demokrasi bukanlah pesta yang melibatkan dan mewajibkan warganya untuk berduyun-duyun menggunakan hak pilihnya. Bahkan di Amerika Serikat, dalam catatan sejarah, hanya sekitar 30 persen warga yang menggunakan hak pilihnya. Kecuali Pemilu terakhir dengan tampilnya Obama sebagai presiden yang mampu menjadi magnet bagi warga AS. Di negara adikuasa saja, apatisme politik sangat tinggi. Apalagi negara seprti Indonesia yang kesadaran berpolitiknya terkalahkan oleh penderitaan dan tumpukan kesengsaraan.

Mungkinkah Pemilu Juli 2009 nanti, Golput akan menguat kembali? Pada Pemilu 2004, jumlah pemilih yang Golput mencapai 34 juta orang, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Partai Golkar selaku pemenang yang hanya memperoleh 24 juta suara. Jika berpijak pada fakta sejumlah Pilkada, tentu kekhawatiran semacam itu bisa menjadi kenyataan. Pilkada Banten mencatat 40 persen orang memilih Golput. Pilkada Jawa Barat mencatatkan angka Golput lebih dari 33 persen, Pilkada DKI Jakarta 35 persen, Pilkada Kepulauan Riau 46 persen, dan yang paling fenomenal di Jawa Tengah mencapai 69 persen. Jika Golput menjadi pemenang, maka pemerintah yang terpilih tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat. Sehingga, mereka tidak memiliki kekuatan yang mengikat secara de facto, walaupun secara de jure sah menjadi pemenang pesta demokrasi. Pemerintahan model inilah yang tidak stabil, berpotensi digoyang badai dahsyat, bahkan bisa diadang di tengah jalan oleh gerakan rakyat (people power).

Lantas, obat manjur apakah yang bisa disuntikkan oleh pemerintah untuk mengadang Golput? Memakai pintu agama, melalui fatwa MUI yang mengharamkan Golput, justru terkesan lucu. Bagaimana tidak, urusan politik yang sekuler mau dicampuradukkan dengan urusan-urusan agama yang transenden dan sakral. Bukan saatnya lagi pemerintah ini bertindak semakin bodoh, juga para politisi yang berambisi untuk dipilih, dipuja-puja, menggunakan dalil-dalil agama untuk mencari legitimasi kepentingannya.

Mungkin pendapat ini akan dituduh sebagai pendapat yang menjunjung tinggi nalar sekularisme yang memisahkan agama dan negara. Namun harus disadari bahwa dalam rangkaian panjang sejarah politik, ketika agama menjalin perselingkuhan konspiratif dengan kekuasaan, hasilnya adalah kehancuran. Kepentingan kekuasaan yang dilegitimasi oleh dalil-dalil agama, akan menjadi model teokrasi yang semena-mena. Sebaliknya, teologi keagamaan yang semula berdiri dalam posisinya yang sakral, yang melegitimasi kekuasaan dengan semena-mena, akan berubah menjadi agama palsu (pseudo religion).

Dalam konteks ini, fatwa agama yang mengharamkan Golput akan semakin dikritik banyak orang. Warga perlahan-lahan akan mengalami pendewasaan, baik agama dan politik, minimal sudah bisa memilah dan memilih dengan cerdas. Tidak semua tokoh agama akan mendukung fatwa haram Golput. Hanya ulama-ulama yang berdekat-dekatan dengan kekuasaan yang berani lantang mengharamkan Golput, apapun landasan naqliyah dan aqliyah-nya. Sementara ulama yang berada dalam habitus yang murni, tetap menghargai bahwa Golput adalah hak atau bagian dari kebebasan yang dijamin oleh syariat agama juga. Sebagaimana juga agama menjamin kebebasan untuk memilih agama sesuai dengan keyakinan, walaupun Allah menunjukkan bahwa yang paling diridai hanyalah Islam.

Dalam konteks konstitusional, jika hukum negara mewajibkan warganya memilih dalam Pemilu, hal itu akan mencederai hak asasi manusia. Hak asasi yang paling asasi salah satunya adalah hak untuk memilih ataupun tidak memilih. Memang demokrasi akan kehilangan legitimasi jika pintu Pemilu sudah tidak lagi memberikan harapan. Demokrasi bukan hanya disimbolkan dengan adanya Pemilu, ada Parpol atau ada wakil rakyat. Itu namanya demokrasi prosedural. Demokrasi yang substansial bukan semata-mata mementingkan prosedur, namun juga substansi. Artinya jika ada Pemilu, ada Parpol, ada wakil rakyat, substansinya adalah keadilan, kesejahteraan dan pencerahan baru. Buat apa ada Pemilu, ada Parpol, ada wakil rakyat, jika kehidupan bertambah sengsara. Tenang sajalah bagi mereka yang sudah haqqul yakin untuk memilih Golput. Agama dan hukum negara sudah tak ada masalah, sudah memberikan kebebasan.

Hanya ada satu solusi untuk menarik kembali perhatian pemilih. Yakni segera mengubah moral politik para politisi yang berada di lembaga legislatif ataupun para pengurus Parpol yang merepresentasikan partai politiknya. Rakyat sebagai konstituen bukan obyek yang hanya dibutuhkan sebagai lumbung suara, namun ketika Pemilu berlalu, terdengar tangisan rakyat karena BBM tak terjangkau, sekolah mahal dan terjadi krisis pangan. Jika partai-partai peserta Pemilu 2009 hanya berorientasi untuk kepentingan partainya, atau calon anggota legislatif adalah aktor yang bejat moralnya, lantas partai mana dan calon mana yang harus dipilih. Maka Golput menjadi pilihan di antara berbagai pilihan.

BAGIAN III

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Maraknya fenomena Golongan Putih (golput) di pilkada beberapa daerah di Indonesia membuat banyak pihak termasuk pemerintah kalang kabut. Pernyataan beberapa tokoh yang berlindung di balik agama menjadi pemicu tercetusnya ide untuk melahirkan fatwa haramnya golput. Pemerintah memang patut ”kebakaran jenggot”. Penyelenggaran pilkada di berbagai wilayah ”dimenangkan” oleh golput, dan diperkirakan fenomena ini akan terus berlanjut sampai ke pemilu 2009 mendatang. Golput yang terjadi di berbagai daerah salah satu penyebabnya dikarenakan sudah mulai lunturnya kepercayaan masyarakat ke dalam sistem hukum demokrasi. Janji-janji manis yang dilontarkan oleh penganutnya di kursi DPR terbukti hanya omong belaka. Komitmen mereka untuk menjadi corong rakyat dalam mensejahterakan mereka hanyalah isapan jempol semata.

2. Saat rakyat Indonesia meneriakkan penolakan kenaikan BBM, para penyampai aspirasinya di DPR malah menyetujuinya. Dan isu terbaru, di saat rakyat miskin sangat sulit untuk menyekolahkan anak-anaknya karena mahalnya biaya pendidikan, pemerintah malah mensahkan UU BHP yang memberi otonomi kepada lembaga pendidikan untuk menjadikan sekolahnya komersil. Sehingga bisa kita nyatakan bahwasanya orang miskin dilarang pintar di negeri ini. Saat rakyat terdzalimi itulah, mereka mulai sadar bahwasanya tidak ada keuntungan bagi mereka untuk tetap hidup di sistem yang tidak mensejahterakan itu. Rakyat mulai terbuka mata melihat keberadaan sistem demokrasi yang hanya menyajikan racun berbalut madu, yang seolah manis di luar tetapi penuh kebobrokan di dalamnya. Keuntungan apa yang akan rakyat peroleh jika tetap memilih dalam pesta demokrasi yang nyata-nyata tidak pernah berpihak pada kepentingan mereka?

3. Jika pesta demokrasi sudah dianggap sebagai pintu gerbang kemadlaratan, kenapa kita masih mempertahankannya? Bukankah Allah SWT Yang Maha Tahu yang telah menciptakan manusia, sudah membuat peraturan yang agung yang memberi solusi komprehensif untuk menuntaskan penderitaan rakyat. Dan pasti semua aturan-Nya mengandung kemaslahatan bagi seluruh pihak tanpa ada yang merasa terdzalimi atau dianaktirikan. Kita tidak mungkin mempercayakan kepemimpinan umat kepada pemimpin yang memecah belah umat dengan image “Islam indonesialah”, “Islam timur tengahlah” dan sebagainya. kita tidak mungkin memberikan kepemimpinan umat kepada pemimpin yang lebih takut pada Pancasila daripada Hukum Allah. Tidak ada yang final bagi Pancasila dan setiap pemimpin yang memfinalkan Pancasila, apa kepantasan kalian memimpin mereka yang tak perduli dengan penderitaan yang mereka alami di dunia demi Al Wala Wal Bara kepada Syariat Allah, sedangkan kalian sendiri sudah menjual kemurnian syariat Allah ini kepada bulan dan matahari demokrasi. Pantaskah umat ini dipimpin oleh pemimpin yang mengolok olok ayat Allah dengan mengatakan uang sogokan parlemen, atau uang koalisi politik sebagai uang mahar dan sebagainya?

4. MUI boleh saja mengeluarkan fatwa golput haram ini, tapi sebagian rakyat tetap tidak memilih karena tidak ada alasan dari mereka untuk bisa menyakini ada pemimpin yang teguh, tegas, jelas, tulus dan berani dalam memperjuangkan Syariat Islam dan Khilafah Islamiyah tanpa ditutup tutupi.

5. Apakah fatwa MUI ini muncul dari ”ketidakharmonisnya” hubungan antara aspek kehidupan manusia (dalam hal ini moral dan aspek kepercayaan) dengan aspek hukum?. Aspek-aspek kehidupan manusia adalah cara-cara kehadiran (Zijnswijzen) atau bentuk-bentuk pengalaman (Ervaringswijzen) yang fundamental yang di dalamnya berfungsi hal-hal, kejadian-kejadian, hubungan-hubungan kemasyarakatan dan sebagainya dari kenyataan manusia dan manusia mengalami hal-hal tersebut[4]). Moral dan kepercayaan yang dianut oleh orang sedikit banyaknya mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum dan institusi-institusi hukum, jika kepercayaan hukum melemah dan hukum dipandang sebagai sekedar suatu sarana teknikal untuk mengabdi kepentingan masyarakat dan sejenis itu (apa yang dinamakan pandangan hukum fungsional) maka lambat atau cepat kehidupan hukum akan mengalami kemerosotan[5]).

6. Lebih jauh lagi, muncul pertanyaan, apakah kekuatan Fatwa dari MUI melebihi kekuatan dari putusan hakim?bahkan ingin menjadi “Tuhannya” rakyat Indonesia?apakah Fatwa MUI tersebut termasuk dari penemuan hukum baru?. Sebagian besar rakyat indonesia berpandangan bahwa sepanjang sesuatu peraturan atau perintah selama belum dituangkan dalam bentuk Peraturan yang sah (dalam hal ini Undang-Undang, Perda atau sejenisnya), maka hal tersebut bukan merupakan suatu pelanggaran terlebih bagi umat Islam, tentulah sangat berhati-hati dalam menentukan pilihan aqidah atau perintah lain apalagi mengenai haram atau halal, terutama perintah yang turun selain dari Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raaf : 3 yang artinya sebagai berikut : “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).

7. Berkaca dari fenomena diatas, muncullah berbagai polemik, mulai pertanyaan, pernyataan ataupun tanggapan dari berbagai kalangan bahwa apakah Fatwa MUI ini berlatarbelakang dari lemahnya sistem hukum demokrasi diindonesia?sehingga undang-undang pemilu yang telah dikeluarkan oleh DPR belum menyentuh kesegala aspek kehidupan berdemokrasi?apakah Pemilu hanya untuk kepentingan orang-orang yang ”haus” kekuasaan dan rakyat hanya menjadi “batu loncatan” atau “media pemanfaatan”?. Dari sudut pandang Yuridist, apakah MUI dapat melakukan penemuan hukum baru di negara Indonesia ini yang “notabene” bukan negara Islam melainkan negara hukum?sementara yang berkompeten dalam melakukan penemuan hukum adalah terletak pada kewenangan Hakim.

Menurut Pontang Moerad[6]) :

Fakta sebagai elemen penemuan hukum adalah :

1. Penelitian atau pengkajian fakta-fakta dalam menemukan kebenaran adalah suatu faktor penting dalam penemuan hukum.

2. Penemuan hukum berkenaan dengan penelitian terhadap kejadian atau fakta konkrit.

3. Sebelum hukum tersebut dapat diterapkan terhadap kejadian atau fakta konkrit, maka terlebih dahulu harus diterapkan apakah yang sesungguhnya menjadi situasi faktual dan apakah dari situasi faktual itu dapat dipandang sebagai suatu yang relevan secara yuridis.

8. Penemuan hukum dilakukan untuk menutupi kekurangan dari suatu peraturan perundang-undangan dan untuk mencegah kekosongan hukum. Tugas untuk melakukan penemuan hukum, merupakan tugas yang diemban oleh hakim di dalam melakukan memutus perkara konkret. Hakim di dalam melakukan penafsiran terikat oleh teks dan tidak dapat menciptakan hukum baru, hakim hanya menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat sebagaimana ajaran penemuan hukum bebas (vrije rechtsvinding) aliran sosiologisnya Hamaker. Penemuan hukum memiliki 4 prinsip, yakni prinsip objektif, kesatuan, penafsiran genetis dan prinsip perbandingan. Sehingga dalam melakukan penafsiran tidak hanya melakukan dengan menggunakan logika semata.

9. Kalaupun MUI dalam hal ini sebagai salah satu lembaga Keagamaan menemukan kejanggalan, kekurangan atau pelanggaran dalam hal sistem Pemilu, hendaknya membuat pengaduan ataupun laporan ke lembaga yang berkompeten dalam bidang Pemilu, atau bahkan dapat mengajukan “Yudicial Review” terhadap Undang-Undang Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki, menambah atau meng-amandemen undang-undang tersebut yang mungkin salah satu butir pasalnya dapat berisi memberikan sanksi kepada orang, atau rakyat Indonesia yang telah memenuhi syarat mengikuti pemilu apabila tidak memilih “alias” menjadi Golongan Putih (Golput).

10. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk cepat tanggap dalam memberikan pengertian atau kepastian hukum kepada masyarakat mengenai fenomena fatwa MUI ini agar masyarakat tidak menjadi “rancu” atau ragu dalam bertindak dan memahami suatu fatwa atau peraturan yang dikeluarkan.

11. Politik bukanlah agama, tidak dapat “dicampuradukkan”, namun politik dapat berjalan dengan baik apabila para pelaku politik bekerja dan melaksanakan tugas sesuai, sejalan dan juga dilandasi dengan keimanan agama.

DAFTAR BACAAN

1. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2001.
2. R. Otje Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, CV. Armico, Bandung, 1984
3. Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2002
4. H.J. Van Eikema Hommes, disadur oleh B.Arief Sidharta, Hubungan Aspek Hukum dan Aspek Kehidupan Lain, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2004,
5. Pontang Moerad, Catatan Mata kuliah Penemuan Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Langlangbuana, bandung, 2009.
6. R. Subekti, Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradya Paramita, Jakarta, 2008.
7. Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003.
8. Jan Gijssels, Mark Van Hoecke, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Apakah Teori Hukum Itu?, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 2001
9. A.Pitlo, Disadur oleh Djasadin Saragih, Azas-Azas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung, 1973

10. Hans Kelsen, Alih Bahasa Oleh B.Arief Sidharta, Hukum Dan Logika, PT. Alumni, Bandung, 2006

11. R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, CV. Armico, Bandung, 1987

12. B. Arief Sidharta, Hand out Mata kuliah Teori Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Langlangbuana, bandung, 2009
[1]) Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2001, hlm.37-38

[2]) R. Otje Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, CV. Armico, Bandung, 1984, hlm.38-39

[3]) Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm.28.

[4]) H.J. Van Eikema Hommes, disadur oleh B.Arief Sidharta, Hubungan Aspek Hukum dan Aspek Kehidupan Lain, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2004, hlm.1

[5]) ibid.hlm 15

[6]) Pontang Moerad, Catatan Mata kuliah Penemuan Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Langlangbuana, bandung, 2009.

Sabtu, 13 Maret 2010

SURAT KETERANGAN WARIS DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA



1.      S.K.W. SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM WARIS

Semua yang pernah mengenyam pendidikan hukum pasti pernah mengalami, betapa mata kuliah Hukum Waris merupakan salah satu mata kuliah yang paling sulit untuk dikuasai.  Mengingat, pembuatan Surat Keterangan Waris -- selanjutnya disingkat S.K.W. -- merupakan pelaksanaan dari ketentuan waris, kiranya sudah bisa diduga, bahwa pembuatan S.K.W. bukan merupakan pekerjaan mudah.  Istilah S.K.W. disini merupakan terjemahan dari “Verklaring van Erfrecht” sebagai yang dimaksud dalam Ps 38 U.U.J.N. Belanda (Oe Siang Djie, 1991).

Hukum Waris berkaitan dengan masalah harta, dan kita semua tahu, bahwa masalah harta warisan merupakan issue yang sangat peka, yang dalam kehidupan sehari-hari sering menimbulkan masalah dalam keluarga.  Bisa dibayangkan, bahwa pembuatan S.K.W. adalah pekerjaan yang mengandung banyak resiko dan karenanya perlu dikerjakan dengan penuh kehati-hatian.

Atas dasar itu, kita semua perlu untuk mencermati teknik pembuatan S.K.W.  Pada kesempatan ini kami mengajak anda sekalian untuk bersama-sama membahas beberapa segi dari S.K.W., dengan pengharapan kita bersama-sama akan memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai liku-liku S.K.W.


2.      S.K.W. BAGI MEREKA YANG TUNDUK PADA B.W.
Mengenai siapa ahli-waris dari pewaris tertentu, ditetapkan oleh hukum yang berlaku bagi pewaris.  Dalam praktek, untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli-waris, diperlukan suatu dokumen yang menjabarkan ketentuan hukum waris tentang hal itu, yang dapat dipakai sebagai pegangan oleh para ahli-waris maupun pejabat-pejabat, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris.  Surat seperti itu disebut S.K.W.  Bisa diduga, bahwa S.K.W. merupakan dokumen yang sangat penting dan dibutuhkan oleh para ahli-waris pada umumnya.  Namun demikian pada kesempatan ini kita akan membatasi diri dengan hanya membahas S.K.W. yang berlaku bagi mereka yang tunduk pada B.W. saja, karena pembuatan S.K.W. untuk warga yang lain bukan menjadi kewenangan Notaris (vide Tuntunan bagi P.P.A.T. dikeluarkan oleh Dirjen Agraria Depdagri, 1982).

S.K.W. merupakan akta yang menetapkan siapa ahli-waris pada saat pewaris meninggal dunia dan berapa hak bagiannya atas warisan.  S.K.W. pada umumnya dibuat atas permintaan satu atau beberapa diantara para ahli-waris.  Sekalipun S.K.W. mendapat pengakuan dalam undang-undang maupun yurisprudensi, namun ternyata tidak ada suatu ketentuan umum yang mengatur bentuk dan isi S.K.W. S.K.W. yang dibuat oleh notaris di Indonesia, dibuat dengan mengikuti jejak para notaris seniornya, yang pada gilirannya mengikuti jejak dari para Notaris di Negeri Belanda (Oe Siang Djie, 1991).

Di Negeri Belanda, dalam Ps. 38 Undang Undang Jabatan Notaris ada disebutkan, bahwa Verklaring van Erfrecht termasuk dalam kelompok akta yang dikecualikan dari kewajiban pembuatan secara Notariil dalam bentuk minut.  Walaupun seperti sudah disebutkan diatas, bahwa tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang S.K.W., tetapi ternyata ada suatu undang-undang, yang kebetulan mengandung suatu ketentuan yang mengatur peralihan hak atas obligasi negara yang terdaftar dalam buku besar dari pemiliknya kepada para ahli-warisnya (Wet op de Grootboek der Nasionale Schul S. 1913 - 105), yang dalam pasal 14 ayat (2) mengatakan, bahwa untuk itu harus dibuat suatu S.K.W. (Verklaring van Erfrecht), dalam mana disebutkan a.l. pada pokoknya Verklaring van Erfrecht berisi tentang :
-         siapa pewarisnya, kapan meninggal dan dimana domisili terakhirnya.
-         Siapa ahli-waris Pewaris dan berapa hak bagian masing-masing.
-         Ada tidaknya wasiat dan kalau ada, perlu ada penyebutannya secara rinci isi wasiat tersebut.
-         Hubungan kekeluargaan antara Pewaris dan para ahli-waris.
-         Pembatasan-pembatasan kewenangan terhadap para ahli waris kalau ada.
-         Dibuat in originali.

Pembuatan S.K.W. oleh Notaris dengan mendasarkan pada ketentuan Wet op de Grootboek der Nasionale Schul seperti itu, walaupun tidak didasarkan atas suatu ketentuan umum yang secara khusus mengaturnya, tetapi karena telah dilaksanakan untuk waktu yang lama dan diterima, maka sekarang dapat dikatakan, bahwa praktek pembuatan S.K.W. seperti itu sudah menjadi hukum kebiasaan (Ting Swan Tiong, 1988).  Jadi dari suatu ketentuan khusus telah ditarik menjadi suatu ketentuan umum.

Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka S.K.W. yang dibuat oleh Notaris pada umumnya berbentuk pernyataan sepihak dari Notaris, dengan mendasarkan kepada keterangan-keterangan dan bukti-bukti (dokumen-dokumen) yang disampaikan atau diperlihatkan kepadanya, berisi data-data sebagai yang disyaratkan oleh Wet op de Grootboek der Nasionale Schul tersebut di atas.

Yang perlu sekali diperhatikan adalah, bahwa S.K.W. menetapkan siapa ahli- waris “pada saat pewaris mati” (dan berapa hak bagian para ahli-waris), bukan siapa ahli- waris pada saat S.K.W. dibuat.  Kedua moment tersebut bisa memberikan hasil perhitungan yang sangat berbeda, sebab seringkali S.K.W. baru dibuat sekian lama sesudah pewaris meninggal.  Sangat berbeda, sebab seringkali S.K.W. baru dibuat sekian lama sesudah pewaris meninggal.  Kalau sementara antara waktu matinya pewaris -- sebut saja X -- dengan saat pembuatan S.K.W., ada diantara para ahli-waris -- sebut saja C -- yang meninggal dunia, maka pada waktu pembuatan S.K.W. dari X, hak bagian C tetap dihitung, bahkan sekalipun C meninggal dunia tanpa menikah. Penulis pernah menemukan S.K.W. yang dalam kasus seperti tersebut di atas, langsung saja membagikan hak bagian C kepada sesama ahli-waris X.

Seharusnya hak-bagian C tetap dihitung dan hak-bagian tersebut bercampur dengan harta pribadinya dan menjadi harta warisan C.  Ini menjadi hak bagian ahli-waris C.  Untuk C nantinya ada kemungkinan juga dibuatkan S.K.W. tersendiri.  Hasil perhitungan cara yang pertama dengan cara yang kedua bisa sangat berbeda, apalagi kalau C ternyata meninggalkan wasiat.
           

3.      PRINSIP PEWARISAN MENURUT B.W.
Di dalam B.W. berlaku prinsip, bahwa dengan matinya pewaris, maka si mati berhenti sebagai persoon, dan semua hak dan kewajibannya beralih kepada ahli-warisnya (Ps 833 jo Ps. 955 B.W.).  Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun -- di dalam doktrin -- dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan.  Orang menggambarkannya dengan ungkapan le mort saisit le vif, si ahli waris melanjutkan persoon si mati (A.Pitlo, 1955, hal 12).  Dengan itu berarti bahwa ahli-waris mengoper warisan dengan alas hak umum (M.J.A. v. Mourik, 1985, hal 12).  Pada asasnya yang beralih adalah seluruh kekayaan Pewaris -- semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan hukum kekayaan -- untuk mana seringkali digunakan istilah “boedel warisan”.  Boedel warisan meliputi, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan Hukum Kekayaan.  Perkecualiannya ada, dimana hak-hak yang berasal dari Hukum Keluarga juga diwaris oleh ahli-waris (Ps. 256 jo Ps. 258 K.U.H.Perdata).

Dikatakan, bahwa peralihan itu terjadi demi hukum, yang berarti, bahwa pada asasnya semuanya terjadi dengan sendirinya, tanpa si pewaris dan si ahli waris harus melakukan suatu tindakan atau mengambil sikap tertentu.  Sudah cukup kalau pewarisnya mati dan orang yang terpanggil untuk mewaris masih hidup, dengan perkecualian sebagai yang disebutkan dalam Ps. 2 B.W. (P. Scholten-J. Wiarda, 1947, hal. 12).

Prinsip seperti tersebut diatas, kalau dilaksanakan secara (absolut) konsekwen, bisa menimbulkan ketidak-adilan yang besar.  ketidak-adilan bagi ahli-waris bisa muncul, kalau warisannya ternyata negatif, yaitu hutang-hutang warisan lebih besar dari aktivanya.  Demikian juga ketidak-adilan muncul, kalau terjadi, bahwa orang, yang seandainya ia masih hidup ketika pewaris mati, adalah ahli waris, dan ada meninggalkan keturunan.  Berpegang pada asas tersebut di atas, maka si mati maupun keturunannya tidak mewaris dari pewaris.  Bukankah mestinya patut sekali kalau keturunan dari orang seperti itu diberikan juga hak untuk mewaris ?

Terhadap kemungkinan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa sebagai yang disebut pertama, B.W. ternyata ada memberikan kesempatan kepada ahli-waris untuk menentukan sikapnya terhadap warisan yang terbuka, yaitu menerima atau menolak warisan, sedang untuk menghindarkan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa yang disebut kedua, diciptakan lembaga penggantian tempat.

Kalau ahli-waris ybs. menerima warisan, maka semua hak dan kewajiban pewaris, untuk suatu bagian sebanding tertentu -- sesuai dengan hak-bagian dalam pewarisan -- beralih kepada dirinya.  Hak bagiannya atas harta warisan tersebut bercampur dengan harta pribadinya.  Dalam hal hutang warisan lebih besar daripada aktivanya, maka kekurangannya -- untuk suatu bagian yang sebading dengan haknya dalam pewarisan - ditanggung/dibayar dengan harta pribadi ahli-waris ybs.

Yang perlu dicermati adalah, bahwa dalam hukum waris B.W. berlaku asas :
-         Menolak warisan berarti menolak seluruh warisan sebagai satu kesatuan
-         Mereka yang sudah menerima warisan tidak bisa menolak lagi.

Untuk menghindari diri dari kemungkinan kerugian seperti itu, ada tersedia lembaga :
-         menerima secara beneficiair
-         menolak warisan

Perkecualian -- dalam hal-hal yang sangat terbatas -- diatur dalam Ps. 1056 dan Ps. 1065 B.W.

Ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair hanya mau menerima warisan, kalau aktivanya lebih besar dari pasivanya.  Untuk menentukan sikap seperti itu, maka aktiva dan pasiva warisan harus didaftar.  Itulah sebabnya, bahwa penerimaan warisan secara beneficiair diseut juga menerima warisan dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan boedel.

Terhadap ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair, harta warisan yang jatuh kepada ahli-waris ybs., untuk sementara tidak bercampur dengan harta pribadinya.

Mereka yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli-waris.  Ia tidak menerima apa-apa dari warisan, tetapi ia juga tidak menanggung beban-beban warisan.  Pada asasnya, mereka yang telah menolak warisan tidak bisa menerimanya lagi (vide perkecualian dalam Ps. 1056 B.W.)

4.      LEGITIEME PORTIE
Hukum waris B.W. berangkat dari prinsip, bahwa adalah tidak adil, kalau ahli waris tertentu, yang mempunyai kedekatan hubungan-darah dengan pewaris sampai derajat tertentu, bisa disingkirkan sama sekali dari kedudukannya sebagai ahli-waris atau penerimaannya dikecilkan sekali.  Cara-ara yang bisa ditempuh oleh pewaris, untuk menyingkirkan ahli-waris tertentu dari pewarisan, adalah dengan mengambil tindakan-tindakan, baik semasa hidupnya maupun melalui wasiat, sedemikian rupa sehingga sisa warisan menjadi kosong atau menjadi sangat minim.

Guna mengatasi tindakan pewaris seperti itu, maka undang-undang memberikan kepada ahli-waris tertentu hak waris mutlak / legitieme portie, yang berupa suatu hak-bagian sebanding tertentu dari haknya menurut undang-undang (hak waris ab intestaat-nya), yang atas tuntutannya harus diberikan kepada ahli-waris ybs. (Ps. 913 B.W.).

Yang penting untuk diperhatikan adalah, bahwa L.P. itu baru diberikan kalau dituntut oleh ahli-waris legitiemaris.  L.P. merupakan hak, dan karenanya si pemilik hak bebas untk menggunakannya atau tidak.  Karena L.P. merupakan suatu bagian sebanding tertentu dari hak waris ab intestaat, maka legitiemaris baru mempunyai kepentingan untuk menggunakan haknya atas legitieme portie, kalau ia memperhitungkan akan menerima kurang dari L.P.nya.

5.      STATUS SEBAGAI AHLI WARIS

Dengan demikian, maka seorang yang menurut hukum waris berhak atas warisan, belum tentu berkedudukan sebagai ahli-waris, karena kedudukannya sebagai ahli-waris digantungkan kepada sikapnya terhadap warisan yang terbuka.  Kalau ybs. menerima warisan, maka ybs. berkedudukan sebagai ahli-waris, dan ybs. mengoper semua hak dan kewajiban pewaris, sudah tentu untuk bagian yang sebanding dengan haknya berdasarkan hukum waris.

Kesimpulan kita, kalau semula dikatakan, bahwa dengan matinya Pewaris, warisan menjadi hak para ahli-waris menurut undang-undang dan/atau berdasarkan wasiat, maka kemudian ternyata, bahwa terhadap warisan yang terbuka, mereka (para ahli-waris) masih diberikan kesempatan untuk menyatakan sikapnya, dengan konsekwensi bisa menjadi ahli waris, kalau ia menerima atau bukan ahli-waris, kalau ia menolak.

Dengan demikian, maka mereka yang dalam undang-undang (atau berdasarkan wasiat) disebut sebagai ahli-waris, sebenarnya baru benar-benar menjadi ahli-waris, kalau ia /mereka telah menerima warisan yang jatuh kepadanya.  Dengan demikian mereka-mereka yang dalam undang-undang atau wasiat disebut sebagai ahli-waris, sebenarnya adalah mereka-meraka yang baru terpanggil untuk mewaris.  Apakah mereka nantinya benar-benar berkedudukan sebagai ahli-waris, bergantung dari sikap mereka terhadap warisan yang terbuka baginya.

Kita melihat, bahwa istilah “ahli-waris” dipakai, baik untuk mereka yang berdasarkan undang-undang terpanggil untuk mewaris suatu warisan yang terbuka, maupun untuk menunjuk mereka yang mengoper seluruh atau suatu bagian sebanding tertentu dari warisan, atau d.p.l. mereka yang sudah  mengambil sikap untuk menerima warisan.

Penerimaan suatu warisan bisa terjadi baik dengna suatu pernyataan tegas-tegas atau secara diam-diam, yaitu disimpulkan dari tindakan dan sikapnya.  Kita sekarang tahu, bahwa suatu tindakan atau sikap, yang dianggap sebagai tindakan atau sikap menerima, ada kemungkinan sama sekali tidak dimaksudkan oleh si pelaku (atau si pengambil sikap) sebagai suatu pernyataan menerima warisan.  Yang namanya anggapan tidak selalu harus sesuai dengan kenyataan yang ada.

Kesimpulan kita, mereka yang menurut hukum mempunyai hak untuk mewaris harus berhati-hati dalam tindakan atau sikapnya terhadap warisan, sebab konsekwensinya bisa sangat merugikan.

6.      PERMASALAHAN (1)
Kalau dalam S.K.W., Notaris menetapkan, bahwa orang (-orang) tertentu adalah ahli-waris dari pewaris tertentu, untuk seluruh atau suatu bagian sebanding tertentu dari warisan, apakah hal itu berarti, bahwa ahli-waris (ahli-waris) tersebut sudah mengambil sikap menerima warisan ? Dengan konsekwensinya harus mengoper hak maupun kewajiban pewaris ? Bukankah ybs. dalam S.K.W. sudah dinyatakan sebagai “ahli-waris”.

Karena dalam pembuatan S.K.W., pada umumnya Notaris tidak menyelidiki sikap ahli-waris terhadap warisan pewaris, maka S.K.W. sama sekali tidak menggambarkan sikap dari orang (orang) yang didalamnya dinyatakan sebagai “ahli-waris”. Yang didalam S.K.W. disebut sebagai “ahli-waris” adalah orang (orang) yang berdasarkan undang-undang terpanggil untuk mewaris, mereka (mereka) yang baru berstatus sebagai orang (orang) yang terpanggil untuk mewaris.

Ps. 1023 B.W. mengatakan, bahwa “Alle personen, aan welke een erfenis is opgekomen, …”, yang menurut penulis bisa diterjemahkan menjadi “ mereka terpanggil untk mewaris suatu warisan …” boleh mengambil sikap untuk menerima warisan secara murni, menerima secara beneficiair atau menolak warisan.

Dengan akta S.K.W. kita tahu, siapa-siapa yang terpanggil untuk mewaris dan hanya kepada mereka-mereka yang terpanggil itulah, yang -- berdasarkan Ps. 1023 B.W. -- diberikan kesempatan untuk mengambil sikap terhadap warisan.


7.      PERMASALAHAN (2)

Berdasarkan Ps. 14 sub 2 d Wet op de Grootboek der Nationale Schuld, kalau ada ditinggalkan wasiat oleh pewaris, maka S.K.W. harus menyebutkannya secara teliti.  Dalam prakteknya, sebelum menyusun S.K.W.,  Notaris mengadakan checking ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, apakah pewaris ada meninggalkan surat wasiat.  

Kalau ada ditinggalkan wasiat oleh pewaris, maka seluruh isi wasiat ditulis kembali di dalam S.K.W. yang pernah penulis temui, dengan ada ditinggalkannya wasiat oleh pewaris, Notaris ybs., karena mau bersikap sangat hati-hati, didalam S.K.W. langsung saja menyebutkan, bahwa para legitimaris menuntut L.P.nya.

Bisa kita duga bahwa cara berfikir Notaris ybs. adalah : bukankah kalau ada wasiat ada kemungkinan L.P. legitimaris akan terlanggar ?

Kalau ahli-waris protes atas penyebutan hak-bagiannya dalam S.K.W. kecil (yang mewujudkan haknya atas L.P.), Notaris mempunyai dalih, bahwa bukankah L.P. merupakan bagian yang minimum yang harus diberikan kepada ahli-waris   legitimaris ?   Dan karenanya kalau diberikan lebih tidak apa-apa ? Pikirnya, daripada terlambat, lebih baik cepat-cepat menyatakan “menuntut L.P”.  Yang dilupakan oleh Notaris ybs. adalah, bahwa dengan begitu   S.K.W. tidak memenuhi fungsinya, yaitu menyatakan siapa ahli-waris dari pewaris dan berapa hak bagiannya atas warisan, dan yang dimaksud dengan “hak bagiannya” adalah hak bagian ab intestaatnya, itupun kalau ia menyatakan menerima warisan.

Konsekwensi yang lebih berat dari statement sebagai tersebut di atas adalah, bahwa pernyataan menuntut L.P. bisa ditafsirkan sebagai pernyataan untuk menerima warisan.  Kalau ia tidak berniat untuk menerima warisan, untuk apa ia menuntut L.P. ?

Konsekwensi lebih lanjut bisa sangat parah, kalau ternyata warisan pewaris negatif.  Misalkan setelahsekian tahun sejak S.K.W. dibuat, para ahli-waris memutuskan untuk membagi warisan dan datang ke seorang Notaris Y. ketika Notaris Y yang hendak menuangkan tindakan pemisahan dan pembagian warisan dalam akta, membuat perhitungan atas aktiva dan pasiva, dan melaporkan kepada para  ahli-waris, bahwa warisan pewaris ternyata adalah negatif, hutang-hutangnya jauh di atas aktivanya.  Dalam hal demikian, kemungkinan besar para ahli waris -- untuk menghindarkan kerugian -- akan menolak saja warisan tersebut.  Tetapi Notaris Y mengatakan, bahwa mereka tidak bisa menolak lagi, karena mereka sudah menyatakan  menerima warisan, Notaris Y akan menunjukkan S.K.W. yang dulu dibuat oleh Notaris X, dalam mana disebutkan, bahwa para leitimaris telah menuntut L.P. nya dan dengan itu berarti, bahwa  para  ahli-waris secara diam-diam telah menerima warisan ybs. Sudah tentu para legitimaris akan mengatakan, bagaimana mau dikatakan mereka menuntut L.P., apa itu L.P. saja mereka tidak tahu.  Dan ini memang benar, bukankah Notaris dalam prakteknya tidak menanyakan lebih dahulu apakah para  ahli-waris menuntut L.P. dan kalaupun ada ditanyakan, kepada mereka Notaris pada umumnya tidak memberitahukan apa konsekwensi-konsekwensinya.  Apalagi pada umumnya pembuatan S.K.W., sudah cukup atas permintaan salah seorang dari para  ahli-waris saja.  Berarti, bahwa bisa terjadi ada sesama ahli-waris      lan, yang tidak pernah tahu adanya pembuatan S.K.W. Bagaimana mau dikatakan, bahwa ia menuntut L.P. ?

Permasalahannya, kalau ada kerugian pada ahli-waris karena adanya statement “menuntut L.P.” dalam S.K.W., tanpa Notaris memberitahukan apa konsekwensi dari pernyataan seperti itu, siapakah yang harus bertanggungjawab ?

Perlu diperhatikan, bahwa Notaris, selain adalah pejabat yang melayani pembuatan akta, ia adalah sekaligus juga penasehat hukum bagi clientnya.  Notaris wajib memperhatikan kepentingan clientnya dengan baik dan sebagai seorang profesional, dalam pelaksanaan profesinya, ia menjamin kebenaran obyektif dari advis-advisnya; ia tidak bisa mengelak tanggung-jawab dengan mengatakan, bahwa semula menurut kenyakinannya apa yang ia lakukan dan nyatakan adalah benar.  Disini tidak berlaku kebenaran subyektif, tetapi Notaris harus menjamin kebenaran obyektif.

8.      TERLANGGARNYA L.P.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, terlanggarnya L.P. dari legitimaris terjadi karena tindakan pewaris atas hartanya, baik yang dilakukan semasa hidupnya maupun melalui wasiat.  Dalam hal ini kita harus mengakui, bahwa pewaris -- sebagai juga setiap pemilik atas suatu benda -- pada asasnya adalah bebas untuk mengambil tindakan -- termasuk tindakan pemilikan -- atas harta miliknya.  Yang dikhawatirkan oleh pembuat undang-undang adalah tindakan pewaris yang sengaja dimaksudkan untuk menyingkirakan ahli-waris tertentu dari pewarisan, dengan jalan melepaskan harta miliknya secara Cuma-Cuma.  Tindakan Cuma-cuma yang dapat dilakukan dan dilaksanakan semasa hidup pewaris adalah tindakan hibah, sedang yang baru dilaksanakan sesedah pewaris mati adalah pemberian melalui wasiat.

Dengan demikian kita melihat, bahwa tidakan pewaris secara Cuma-Cuma, yang bisa melanggar L.P. dari legitimaris adalah hibah dan / atau pemberian melalui wasiat.  Karenanya adalah aneh sekali, kalau dalam pembuatan S.K.W., yang katanya atas kehati-hatian, Notaris hanya merasa perlu untuk menyatakan ahli-waris menuntut L.P. nya, kalau pewaris ada meninggalkan surat wasiat saja.  Bukankah tidak ada wasiatpun L.P. legitimaris bisa terlanggar, yaitu kalau ada hibah-hibah yang meliputi seluruh warisan atau paling tidak suatu bagian yang cukup besar ?

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, sekarang kita tahu, bahwa tidak setiap hibah atau pemberian melalui wasiat pasti mengakibatkan pelanggaran L.P. Hanya hibah atau wasiat yang -- dibandingkan dengan keseluruhan warisan -- meliputi jumlah yang cukup besarnya saja, yang potensial untuk melanggar L.P.  Disamping itu, terhadap wasiat masih harus diperhitungkan, apakah ahli-waris / legitaris yang ditunjuk dalam wasiat menerima pemberian itu atau tidak.

Mengingat, bahwa S.K.W. belum menggambarkan sikap dari mereka -- yang terpanggil untuk mewaris -- terhadap warisan yang terbuka, maka semua ahli-waris yang disebutkan dalam S.K.W. belum kehilangan haknya untuk, sesudah ada S.K.W., menyatakan menerima atau menolak warisan, termasuk untuk menuntut L.P.nya, kalau diperlukan.  Kalau begitu, apakah ada cukup alasan untuk cepat-cepat menyatakan sikap ahli-waris dalam S.K.W. ?  Apalagi kalau akta itu dibuat hanya atas permintaan salah satu atau beberapa diantara para ahli-waris saja ?

 Kalaupun, karena ada wasiat ditinggalkan pewaris, dan Notaris, demi untuk melindungi para legitimaris merasa lebih aman, kalau para legitiemaris menyatakan tuntutannya atas L.P.nya, maka redaksinya bisa dibuat menjadi lebih netral, umpama saja sbb. :
“ Dengan tidak mengurangi hak para legitiemaris untuk menuntut L.P.nya, maka setelah wasiat dilaksanakan, sisa warisan menjadi hak bagian dari para ahli-waris menurut undang-undang, kesemuanya untuk hak bagian yang sama besarnya, yaitu masing-masing mendapat 1/3/(satu per tiga) bagian dari warisan “. (Catatan :  kalau ahli-warisnya ada 3 orang dengan hak bagian yang sama besarnya).

9.      WARISAN SEBAGAI PEMILIKAN - BERSAMA YANG TERIKAT.

Dengan matinya Pewaris, maka seluruh warisannya, sebagai satu kesatuan (en bloc) demi hukum beralih kepada seluruh ahli warisnya.  Kalau ahli-warisnya ada lebih dari satu orang, maka -- sebelum dilaksanakan pemisahan dan pembagian atas warisan ybs.  Dengan demikian atas warisan itu -- antara para ahli-waris -- ada  pemilikan-bersama (mede-eigendom; vide Ps. 1066 K.U.H.Perdata).

Doktrin membedakan dua macam pemilikan-bersama, yaitu pemilikan-bersama yang bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan-bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom).  Salah satu ciri yang membedakan keduanya adalah, apakah diantara para pemilik serta, ada hubungan hukum yang lain selain daripada hanya sekedar mereka adalah bersama-sama menjadi pemilik-serta atas satu atau sekelompok benda yang sama (L.C.Hofmann, 1933, hal. 117 - 118).  Yang biasanya dipakai sebagai patokan untuk membedakannya adalah ketentuan-ketentuan yang ada dalam B.W., yaitu dengan memperbandingkan Ps. 119 (tentang harta-persatuan), Ps. 1066 (tentang boedel warisan) dan Ps. 1618 K.U.H.Perdata (tentang boedel perseroan) disatu pihak, dan ketentuan Ps. 573 B.W. dilain pihak.  Pasal-pasal yang disebut pertama mewakili ” pemilikan-bersama yang terikat”, sedang yang disebut terakhir mewakili “pemilikan-bersama yang bebas”.  Adakalanya doktrin membedakan kedua macam pemilikan-bersama menjadi : pemilikan-bersama atas sekelompok hak dan kewajiban sebagai satu kesatuan (pemilikan-bersama atas boedel-bersama, boedelgemeenschap) dan pemilikan-bersama atas benda tertentu, zaakgemeenschap) (J.H.Beekhuis, 1975, hal 307)

Salah satu ciri khas dari pemilikan-bersama yang terikat adalah, bahwa atas harta milik-bersama, pemilik-serta hanya bisa melakukan tindakan hukum dengan persetujuan semua pemilik-serta yang lain.

Pemilikan-bersama yang terikat muncul diluar kehendak para pemilik-serta.  Keadaan itu muncul sebagai akibat dari suatu peristiwa diluar kehendak mereka -- seperti pada pewarisan -- atau merupakan akibat dari tindakan hukum lain (menikah atau mendirikan perseroan).  pemilikan-bersama yang bebas muncul dari kehendak para pemilik-serta, misalnya para pemilik-serta bersama-sama membeli suatu benda tertentu.  Dengan tindakan seperti itu muncullah pemilikan-bersama yang bebas antara mereka.  Para pemilik-serta pada pemilikan-bersama yang bebas mempunyai kebebasan yan glebih besar untuk mengambil tindakan atas hak-bagiannya dalam pemilikan-bersama.

10.  HAK BAGIAN AHLI - WARIS

Besarnya hak bagian ahli-waris dalam pemilikan-bersama atas boedel warisan ditentukan oleh undang-undang (K.U.H.Perdata) dan / atau wasiat.

Kalau Pewaris tidak meninggalkan wasiat- pengangkatan-waris, maka berlakulah ketentuan pewarisan ab intestaat, dan besarnya hak bagian ahli-waris atas warisan pewaris didasarkan atas ketentuan undang-undang, ic. Bab XII Buku II K.U.H.Perdata.

Dalam hal Pewaris meninggalkan wasiat-pengangkatan-waris, maka wasiat dijalankan lebih dahulu (Ps 874 K.U.H.Perdata), sisanya baru dibagi menurut undang-undang, dengan tidak mengurangi hak para legitiemaris  untuk menuntut L.P.nya, kalau L.P.-nya (-mereka) dilanggar.  Besarnya hak bagian para ahli-waris disebutkan dalam suatu pecahan sebanding tertent dari warisan.

Para legataris (penerima hibah-wasiat) bukan merupakan “ahli-waris”, karena mereka mengoper benda tertentu dari warisan berdasarkan atas hak khusus.  Mereka hanya mengoper hak-hak saja, mereka tidak mengoper kewajiban pewaris.  Lain halnya dengan ahli-waris, yang mengoper berdasarkan alas hak umum, yang mengoper baik hak maupun kewajiban.

Yang perlu diwaspadai adalah, bahwa hak bagian para ahli-waris adalah suatu bagian sebanding tertentu dari warisan sebagai satu kesatuan (en bloc), sehingga kalau dikatakan, bahwa X mempunyai hak bagian sebesar 1/3 warisan, bukan berarti, bahwa X mempunyai 1/3 atas masing-masing benda yang berbentuk warisan sebagai satu kesatuan.  Bagian 1/3/ itu adalah 1/3 dari aktiva maupun pasiva boedel warisan sebagai satu kesatuan.  Karenanya ahli-waris pemilik-serta tidak bisa memaksa sesama ahli-waris lainnya untuk membagi “masing-masing benda” warisan dalam bagian-bagian sesuai dengan besarnya hak bagian masing-masing ahli-waris; umpama saja memotong meja dan kursi, yang merupakan bagian dari boedel warisan, menjadi 3 bagian.

11.  PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN WARISAN

Karena hak-bagian ahli-waris disebutkan dalam suatu pecahan tertentu atas (atau seluruh) warisan, maka semua itu masih harus dilaksanakan lebih lanjut dalam wujud pembagian benda-benda warisan yang ada.  Pembagian dan pemisahan warisan  tidak dilakukan dengan memotong tiap benda menjadi bagian-bagian sesuai dengan banyak ahli-waris.  Undang-undang memberikan pedoman pemisahan dan pembagian boedel dalam Bab VII Buku III B.W.

Setelah dilaksanakan pemisahan dan pembagian, para ahli-waris baru tahu, benda-benda apa saja dari warisan yang jatuh kepadanya.  Berdasarkan Ps. 1083 B.W. pemisahan dan pembagian warisan berlaku surut sampai saat pewaris meninggal dunia.  Hal itu berarti, bahwa benda tertentu yang jatuh kepadanya, dianggap sudah menjadi miliknya sejak pewaris meninggal dunia.  Disini pembuat undang-undang membuat fiksi, seakan-akan ahli-waris ybs. mengoper langsung dari Pewaris pada saat Pewaris mati (W.M. Klein, hal. 114 - 115).  Dilain pihak, sesudah pemisahan dan pembagian warisan, para ahli-waris baru tahu, bahwa atas benda-benda tertentu, yang dalam pemisahan dan pembagian jatuh kepada ahli-waris lain, ternyata ia tidak pernah turut memiliki benda tersebut (Ps. 1083 ayat 2 B.W.).

Dari sifat warisan sebagai suatu pemilikan-bersama yang terikat dan dari ketentuan undang-undang yang mengatur pemisahan dan pembagian boedel, orang menyimpulkan, bahwa pemisahan dan pembagian boedel tidak bisa dibagi-bagi, atau dengan perkataan lain pemisahan dan pembagian warisan harus dilaksanakan sekaligus untuk seluruh warisan sebagai satu kesatuan.  Hal itu berarti, bahwa pemisahan secara partiil -- atas benda (-benda) tertentu dari warisan -- tidak dibenarkan, sebab bisa merugikan kedudukan ahli-waris yang lain.  Jadi pada asasnya memaksakan pemisahan benda tertentu (pemisahan partiil) tidak dibenarkan.  Pemisahan secara partiil hanya dibenarkan dengan persetujuan semua ahli-waris.

Disamping itu pemisahan secara partiil tanpa persetujuan semua pemilik-serta yang lain, tidak menjamin, bahwa pihak -ketiga yang mengoper benda tertentu dari warisan, benar-benar akan mendapatkan benda ybs.  Kesemuanya bergantung dari, apakah nanti dalam pemisahan dan pembagian, benda tersebut jatuh kepada ahli-waris yang mengoperkan benda tersebut kepadanya.  Jadi d.p.l. perjanjian obligatoirnya bisa ditutup, tetapi leveringnya belum tentu bisa terlaksana (J. Satrio, 1998)

Bahwa memaksakan pemisahan secara partiil tidak dibenarkan, bisa kita lihat dari ketentuan Ps. 494 Rv., yang mengatakan :
“ Sekalipun demikian, hak bagian pemilik-serta atas benda tetap suatu warisan, oleh kreditur pribadinya tidak dapat dituntut untuk dijual, sebelum boedel warisan dipisahkan melalui pembagian, pemisahan mana, kalau ada alasan untuk itu, bisa dituntut olehnya”.

Yang dimaksud dengan “kreditur pribadi” adalah krediturnya ahli-waris, sedang yang dimaksud dengan “menjual” adalah mengeksekusi (menjual lelang).  Jadi krediturnya ahli-waris tidak bisa mengeksekusi benda tetap warisan, atas mana debiturnya, sebagai ahli-waris, adalah pemilik-serta, sebelum warisan itu dipisahkan dan dibagi, karena penjualan eksekusi akan mengakibatkan pemisahan boedel warisan secara partill.  Di dalam doktrin ketentuan itu kemudian ditafsirkan luas, sehingga meliputi semua benda yang termasuk dalam boedel warisan dan semua tindakan mengalihkan (A.Pitlo, hal. 260; W.M.Klein, hal 52).


12.  PERMASALAHAN (3)

Bagaimana kalau, sebagaimana yang biasa terjadi, ahli-waris tertentu -- sebut saja si A -- menjual hak-bagiannya atas suatu persil tertentu -- sebutnya saja persil X -- yang berasal dari warisan, yang telah dibalik-nama berdasarkan S.K.W. ke atas nama semua ahli-waris, termasuk diri ahli-waris yang menjual ? Jadi sertifikatnya sudah tercatat atas nama semua ahli-waris.

Kita ketahui, praktek membalik nama suatu persil berdasarkan S.K.W. sudah biasa terjadi, dan yang demikian memang dimungkinkan oleh undang-undang (vide Ps. 42 P.P. 42 tahun 1977).

Untuk jelasnya kita kutib Ps. 42 ayat 5 P.P. 24/1997 sbb :
“warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftar belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak-bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli-waris dan / atau akta pembagian waris”

Dengan mengacu kepada Surat Dirjen Agraria tgl. 20 Desember 1969, No. Dpt/12/63/12/69), kata-kata “tanda bukti sebagai ahli waris” mestinya tertuju kepada S.K.W.

Sekarang, mengapa dipermasalahkan ?

Karena dalam praktek yang muncul dikalangan para Notaris/P.P.A.T., warisan pewaris yang berupa persil, dibalik nama ke atas nama semua ahli-waris berdasarkan S.K.W. dan pelaksanaan balik nama biasanya cukup atas permintaan dari salah seorang ahli-waris yang namanya disebut sebagai ahli-waris dalam S.K.W.

Tindakan membalik-nama persil warisan berdasarkan S.K.W. atas permintaan salah satu atau beberapa di antara para ahli-waris, merupakan tindakan pemaksaan pemisahan secara partiil.  Di pandang dari pihak-ketiga, tindakan membalik nama persil ybs. ke atas nama semua ahli-waris bisa ditafsirkan, bahwa semua ahli-waris telah menerima warisan dan sepakat untuk membagikan persil ybs. kepada semua ahli-waris.

Permasalahannya adalah, bagaimana kalau kemudian atas permintaan dari para ahli-waris dilaksanakan pemisahan dan pembagian atas warisan, dan disepakati, bahkan persil X tersebut diberikan kepada salah satu saja diantara para ahli-waris, yaitu si B, bukan kepada A, ahli-waris yang telah menjual hak bagiannya atas persil X itu ?
Sejalan dengan prinsip Ps. 1083 B.W., bukankah ternyata, sejak pewaris mati persil X dianggap telah beralih kepada B, dan bahwa para ahli-waris yang lain, yang dalam pembagian tidak menerima persil X itu -- termasuk si A -- tidak pernah turut memiliki persil tersebut ?

Sekarang, bagaimana kalau ternyata, A -- yang telah mengoperkan hak-bagiannya atas persil X tersebut kepada pihak ketiga -- adalah ahli-waris, yang dalam pemisahan dan pembagian, tidak mendapatkan persil X, sehingga ternyata tidak pernah turut memiliki persil tersebut ?  Maksudnya, bagaimana dengan nasib pihak-ketiga yang dengan itikad baik mengoper “hak-bagian A” atas persil X ?  Bukankah jual beli benda milik orang lain batal (Ps. 1457 B.W.) ?  Kalau rechtstitelnya batal, bagaimana dengan levering/penyerahannya ?  Lalu yang paling penting, bagaimana tanggung-jawab Notaris / P.P.A.T. ?

Makalah ini disusun untuk pertemuan Notaris di Samarinda.

                                                                        Purwokerto, 14 September 2004

                                                                                    J. SATRIO, S.H


Daftar Literatur yang digunakan :

1.      P. Scholten - J. Wiarda  Serie Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
         Burgelijk Recht, Bagian I, Familierecht, cetakan kedelapan,     
         Tjeenk Willink, Zwolle 1947.
2.      A. Pitlo                            Het Erfrecht naar het Nederlands Burgelijk Wetboek cetakan
         kedua, Tjeenk Willink en zoon, Haarlem, 1955.
3.      M.J.A. van Mourik        Erfrecht, Tjeenk Willink, Zwolle 1985.
4.      L.C. Hofmann                 het Nederlands Zakenrecht, J.B. Wolters, Groning-en - den Haag -
         Batavia, 1933.
5.      J.H. Beekhuis                  Serie Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
         Burgelijk Recht, Zakenrecht, Algemeen Deel, cetakan kesepuluh, 
         Tjeenk Willink, Zwolle 1975.
6.      Ting Swan Tiong              Tentang Surat Keterangan Hak Waris, dimuat dalam Media
         Notariat, No. 18 - 19 tahun VI - Januari 1991, hal. 158.
7.      J. Satrio                           Hukum Waris, tentang Pemisahan Boedel, Citra Aditya Bakti,
         Bandung 1998.
8.      W.M. Klein                     De Boedelscheiding, S. Gouda Quint - D. Brouwer en zoon, Het
         Huis de Crabbe - Arnhein, 1969.