Rabu, 09 September 2009

PROBLEMATIKA PEMBAGIAN HARTA WARISAN SUAMI MENIKAH LEBIH DARI SATU KALI


(Studi Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Perdata BW)

Latar belakang masalah

Bahwa dalam pembagian harta warisan baik itu menurut hukum Islam maupun hukum perdata BW, yang lebih diutamakan adalah orang yang mempunyai hubungan darah (nasab) dengan pewaris, sesuai dalam pasal 832 KUH perdata dan pasal 174 KHI serta dalam surat An-Nisa ayat 7. Maka isteri dan anak-anaknya sangatlah berperan dalam pembagian warisan. Dan pembagian warisan antara kedua hukum yaitu hukum waris Islam dan hukum waris perdata BW berbeda karena adanya perbedaan asas yang dipakai.Pembagian warisan untuk suami menikah lebih dari satu kali sering menimbulkan masalah yaitu apa yang menjadi problematika kewarisan suami menikah lebih dari satu kali, bagaimana pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali menurut hukum Islam dan hukum perdata BW.

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah :

  1. Untuk mengetahui problematika kewarisan suami menikah lebih dari satu kali.
  2. Untuk mengetahui pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali menurut hukum Islam dan Hukum perdata BW.

Adapun metodelogi penulisan yang penulis gunakan ada tiga macam yaitu pertama pendekatan masalah yang berbentuk yuridis normatif, metodelogi yang kedua yaitu sumber data dan analisa data meliputi data sekunder penulis menggunakan study pustaka (library research) dan data hukum primer diantaranya dari bahan-bahan hukum yang mengikat yaitu al-quran dan hadist, KUHPerdata, KHI dan peraturan hukum lainnya. Dan yang terakhir teknik analisa data yang menggunakan analisa data deskriptif kualitatif.

Problematika kewarisan yang timbul dengan adanya praktek poligami yang tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan, karena bertentangan dengan ketentuan hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 mengatakan, yaitu apabila suami meninggal dunia, maka hak kewarisan isteri dan anak-anak yang ditinggalkan sebagai ahli waris menjadi hilang. Dan perkawinan tersebut secara hukum dianggap tidak pernah ada dan terjadi.

Menurut Hukum Islam bahwa akibat hukum kewarisan suami menikah lebih dari satu kali (poligami) secara legal, jika suami yang berpoligami tersebut meninggal dunia, maka pembagian harta bersama dalam perkawinannya adalah separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri pertama dan separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua dan masing-masing terpisah dan tidak ada percampuran harta. Kecuali jika diadakan perjanjian khusus mengenai harta bersama tersebut, sebelum atau sesudah aqad perkawinan dilangsungkan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 45 Kompilasi Hukum Islam.

Sedangkan pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali (poligami) menurut hukum Islam, sama besarnya antara isteri pertama dengan isteri kedua, ketiga dan keempat terhadap bagian masing-masing, asal mereka mempunyai anak, maka bagian isteri yang seharusnya 1/8, berhubung isterinya ada dua maka 1/8 dibagi 2 menjadi 1/16, sebaliknya berbeda jika salah satu isteri tidak mempunyai anak maka bagian isteri adalah 1/4, sedangkan bagian anak-anaknya baik dari isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat, jika anak perempuan hanya seorang maka mendapat bagian 1/2 tetapi jika ada dua atau lebih maka mendapat bagian 2/3 tetapi jika anak perempuan bersama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki tersebut adalah dua banding satu (2:1).

Menurut hukum perdata BW bahwa dalam perkawinan untuk kedua kali atau selanjutnya, berlakulah demi hukum persatuan harta kekayaan secara bulat antara suami dan isteri kedua atau selanjutnya, selama dalam perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain sesuai dalam pasal 180 KUHPerdata.

Sedangkan pembagian harta warisan suami menikah lebih dari satu kali menurut hukum perdata BW yaitu bagian untuk isteri dalam perkawinan yang kedua kali atau selanjutnya ialah tidak boleh lebih besar dari bagian anak-anaknya pada perkawinan pertama atau tidak boleh lebih besar dari ¼ yakni dibatasi dengan ¼ bagian saja. Sedangkan bagian anak-anaknya baik anak dari perkawinan pertama, kedua, atau selanjutnya yaitu sama dengan bagian isteri kedua yaitu dibatasi dengan ¼ bagian , dengan tidak membedakan jenis kelamin antara anak laki-laki maupun anak perempuan dan urutan kelahiran dari anak tersebut.

Pada akhir penulisan ini ada beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, dalam pembagian harta warisan khususnya harta bersama dalam perkawinan poligami terhadap para ahli warisnya, hendaknya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku hal ini untuk mencegah adanya perselisihan antara para ahli waris yang ada

HIBAH DAN WASIAT


(KAJIAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, FIQIH DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA) 

Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. 

Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182). 

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadap materi tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat. 

Hibah dan wasiat berdasarkan hokum Islam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).

Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqih. Mengaitkan materi KHI dengan kajian fiqih dalam tulisan ini, karena hibah dan wasiat yang dimuat dalam KHI bukanlah suatu ketentuan yang final dan telah mencakup permasalahan hibah dan wasiat. 

Disebutkan dalam impres, bahwa KHI merupakan pedoman yang mengisyaratkan patokan umum yang memerlukan perkembangan dan pengkajian lebih lanjut yang tidak lain pengembangannya merujuk pada kajian fiqih, karena dalam kitab fiqih dijelaskan latar belakang dan lahirnya pendapat Ulama Fiqih terhadap obyek yang dikaji dan segala kemungkinan yang akan timbul, sehingga dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqih merupakan dasar untuk mengembangkan dan menafsirkan lebih lanjut hasil kajian yang sudah ada. 

Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia, yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru, apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum dalam penerapannya. 

Hampir setiap hukum yang diatur dalam peraturan prundangundangan tidak mampu menampung permasalahan hukum yang berakselerasi dengan perkembangan masyarakat. Wajarlah kalau dikatakan hukum berjalan tertatih-tatih dibelakang perkembangan zaman, karena hukum tidak mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia. 

Bagaimanapun lengkapnya suatu kitab hukum, tidak mampu mengantisipasi persoalan hukum yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Adalah suatu kodrat, bahwa kehidupan dan perilaku pergaulan manusia secara kontinyu mengalami perubahan. 

Para ahli ilmu sosial mengajarkan, bahwa sesungguhnya tidak ada masyarakat yang statis, tidak bergerak, melainkan yabg ada adalah masyarakat manusia yang secara terus menerus mengalami perubahan. 

Hanya saja gerak perubahan dari masyarakat yang lain, ada yang cepat, tetapi ada pula yang lambat. Hal ini merupakan ciri dari kehidupan masyarakat. W. Fridmann yang diikuti oleh Teuku Muhammad Radhi, SH. mengatakan, tempo dari perubahan-perubahan sosial pada zaman ini telah berakselerasi pada titik dimana asumsi-asumsi pada hari ini mungkin tidak berlaku dalam beberapa tahun yang akan datang (Teuku Muhammad Radhi, SH, 1981 : 8). 

Ibnu Kholdun (1332-1440) mengatakan, bahwa keadaan umat manusia, adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan khittoh yang tetap, melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan tempat, maka keadaan ini terjadi pula pada dunia dan negara. Sungguh sunnatullah berlaku pada hamba-hambaNya (Subhi Mahmassani, 1981 , 160). 

Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh hukum Islam. 

Meskipun atas pengaruh hukum Islam, tetapi berbeda nilai idiilnya dengan hukum islam, karena dalam KUH Perdata hibah dan wasiat digolongkan perjanjian cuma-cuma yang tidak mengandung unsur kasih sayang dan tolong menolong. sedangkan dalam hal islam perbuatan hukumnya dilihat dari kamul khomsah pada assanya sunnah (Al-Baqoroh ayat 177 dan 180). 

Hibah dalam KUH Perdata merupakan bagian dari hukum perjanjian dan digolongkan perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu diwaktu hidupnya (Subekti,1991,1). 

Pada asasnya suatu perjanjian adalah bersifat timbal balik, seseorang menyanggupi memenuhi prestasi disebabkan dia akan menerima kontra prestasi dari pihak lain. Meskipun hibah termasuk hokum perjanjian cuma-cuma, karena hanya ada prestasi dari satu pihak saja (Penghibah), sedangkan penerima hibah tidak ada kewajiban untuk memberikan kontra prestasi kepada penghibah. Dikatakan diwaktu hidupnya untuk membedakan hibah dengan testamen atau hibah antara suami istri dalam islam diperbolehkan. 

Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW). 

Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hukum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi Napoleon yang dimuat dalam codex Napoleon yang merupakan asal usul KUH perdata (BW), tetapi codex Napoleon justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan wasiat dalam hukum Islam. 

Masih melekat dikalangan dunia hukum, bahwa hukum modern selalu dikaitkan dengan negara Eropa, karena memang sejarah hukum senantiasa dikaitkan dengan hukum Romawi, mengingat pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum pada Negara-negara di Eropa sangat besar, khususnya dibidang hukum perdata yang dikembangkan melalui hukum universal atau hukum umum (jus comune, jus gentium). Jus comune atau jus gentium ini merupakan codex justinianusyang pada abad ke VI dikodifikasikan sebagai sebuah hukum tertulis oleh Negara-negara Eropa pada abad ke XV dan abad ke XVI. Codex justinianus khususnya hukum perdata menjadi sumber utama dari hukum perdata modern(Theo Huibers, 1990:34). 

Meskipun Codex Justinianus khususnya dibidang hukum perdata yang dikatakan menjadi sumber utama dari hukum perdata modern, namun BW (KUH Perdata) yang sekarang berlaku di Indonesia yang doberlakukan berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798 sampai bulan Agustus 1799. 

Sejarah KUH Perdata (BW) Indonesia  sendiri adalah mengikuti kodeifikasi BW di negeri Belanda (1838), sedangkan BW belanda mengikuti BW perancis yang terkenal code napolion (1807). 

Adapun kodifikasi Hukum Perancis yang merupakan cikal bakal hukum perdata modern Eropa sekarang sesungguhnya berpangkal pada 2 (dua) sumber yaitu Hukum Romawi dan Hukum Islam, hukum Romawi terkenal dengan kodifikasi Yustinianus (483-565) yang disebut Codex Justinianus atau justinianus corpus juris civilis. Sedangkan hukum fiqih Islam diambil oleh Napoleon dan dimuat dalam Code Napoleon berasal dari kitab fiqih susunan Abudalah Asy-Syarkowi (1737-1812 M). 

Pada waktu Napoleon menduduki Kairo Mesir, jabatan Asy-Syarkowi adalah Syaikhul Azhar yang diminya napolion membantu hokum Perancis, yaitu Portalis, Tronchet, Bigot De Preameneu dan Mallevilie yang keempatnya adalah para Sarjana Hukum Prancis yang turut Napolion ke Mesir. Hasil karya tim hukum Prancis tersebut yang dibantu oleh Imam Asy-Syarkowi inilah BW Prancis disusun tersebar di nagar-negara Eropa yang dikatakan sumber hukum modern, termasuk yang diadopsi belanda dan diberlakukan pada negara jajahannya termasuk Indonesia yang sampai sekarang BW Belanda tersebut masih berlaku positif di Indonesia yang dikenal dengan KUH Perdata, padahal di Belanda sendiri KUH Perdata tersebut sudah dilakukan perubahan. 

Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan hibah dan wasiat dalam hukum Islam. pasal 874 sampai dengan pasal 1022 KUH Perdata tentang wasiat dan hibah adalah berdasarkan pada prinsip-prinsip kitab fiqih. Dan pasal 1666 sampai dengan pasal 1693 KUH Perdata adalah tentang hibah mendekati persamaan dengan yang dibahas dalam kitab fiqih, kecuali dalam syarat-syarat tertentu ada perbedaan yang mendasar. 

Kalau diteruskan lagi mengkaji isi KUH Perdata dengan kitab fiqih, maka tentang penitipan barang dalam pasal 1729 KUHPerdata merupakan terjemahan bebas dalam kitab fikih tentang wadiah (penitipan barang) berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat (58) (Hasbullah bakry, 1985:9). 

Hibah dan Wiasiat dalam Islam Ketentuan tentang hukum hibah dan wasiat adalah berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga semua Ulama fiqih sepakat (Ijma) tentang ditetakannya wasiat dan hibah. 

Ketentuan wasian dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain dalam Surat Al-Baqoro ayat 180, An-Nisa ayat 12 dan ayat 58, sedangkan dalam Hadits adalah hadits Bukhiri Muslim. 

Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat  Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. 

Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. 

Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. 

Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. 

Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. 

Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). 

Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). 

Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. 

Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. 

Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat berhubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum. 

Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. 

Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. 

Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam. 

Hibah dan wasiat yang  diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat.

Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI. 

Lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi.  

Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta, yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 

Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). 

Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi (tahaaduu tahaabuu).

Dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul. 

Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah. 

Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat ditarik kembali. 

Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain. 

Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali. 

Pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya. 

Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI). 

Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi’i). melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam empat mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :”Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”. 

Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakanya. 

Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya. 

1.Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya. 

2.Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan. 

3.Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama. 

4.Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama. 

5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan.

 

Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum. 

Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris. 

Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24). 

Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya). 

Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum. 

Sedangkan porsi atau hak yang diperolehpada ahli waris pengganti tergantung pada posisi ahli waris yang diganti, mungkin pada posisi mendapat bagian lebih banyak atau pada posisi mendapat bagian lebih sedikit. Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat wajibah. Tidak adil dirasakan dalam ketentuan fiqih, bahwa paman menghijab anak saudaranya yang mininggal lebih dahulu, padahal andaikan dia masih hidup tentu posisinya sama dengan saudaranya itu (paman dari anak-anaknya). 

Dengan dasar rasa keadilan sebagai jalan mewujudkan keadilan inilah ketentuan ahli waris pengganti yang bersifat ijtihadiyah menjadi ketentuan kewarisan yang diatur dalam pasal 185 KHI. Pelaksanaan Putusan Peradilan Agama Pemberian harta melalui hibah dan wasiat, baik kepada ahli waris maupun kerabat dan orang lain dapat melindungi hak yang bersangkutan dari ahli waris yang lain. Misalnya seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan mempunyai anak keturunan. Kemudian suami kawin lagi dengan perempuan lain (istri yang kedua) dan mempunyai anak. 

Dalam kasus ini apabila suaminya meninggal tentu ada hak waris anak dari istri yang telah bercerai dengannya,sedangkan anaknya tersebut sebelumnya telah diberi harta ketika bercerai dari ibunya. 

Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan memadai. 

Selain dari itu sering terjadi dalam perkara perceraian, suami istri menghibahkan harta bersama misalna tanah berikut bangunan rumah diatasnya kepada salah satu pihak dari suami atau istri atau kepada anak-anaknya. Putusan Pengadilan Agama tentang hibah tersebut tentu perlu ditindaklanjuti oleh para pejabat yang diberi wewenang atau instansiterkait dengan persoalan benda tidak bergerak. 

Tetapi putusan ini sayangnya tidak serta merta dapat dilaksanakan, mengapa? 

Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian. Kalau dikaji lebih lanjut penyelesaian perkara di Peradilan Agama dengan menggunakan hukum acara yang berlaku berdasarkan Pasal 54 UUPA sesungguhnya banyak tidak relevan dengan kaakteristik perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama. 

Salah satu contoh yang tidak relevan adalah ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rbg, karena ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR atau Rgb adalah menyangkut perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi adalah dengan lelang, sdangkan perkara yang diselesaikan oleh Peradilan Agama sama sekali tidak menyentuh perkara sengketa milik, hutang piutang dan ganti rugi. 

Pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dengan memperhatikan ciri-ciri eksekusi lelang, sesungguhnya tidak perlu dengan lelang dan memang tidak melalui lelang, tetapi putusan Pengadilan Agama ditindaklanjuti oleh instansi yang terkait dengan pokok perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama. 

Masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama. 

Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang diputuskan. 

Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain. 

Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan tersebut, bahkan mengesampingkan putusan.

HAK MILIK INTELEKTUAL


HAK CIPTA 

Apakah Hak Cipta itu ? 

Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. 

Apakah yang dimaksud dengan pengumuman? 

Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat di baca, didengar atau dilihat orang lain. 

Apakah yang dimaksud dengan perbanyakan? 

Perbanyakan adalah penambahan jumlah suatu ciptaan baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk pengalihwujudan secara permanen atau temporer. 

Apakah yang dimaksud dengan pencipta? 

Yang dimaksud dengan pencipta adalah:Seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. 

Siapakah yang dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak cipta terhadap suatu ciptaan? 

Jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih maka yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau jika tidak ada orang itu, yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang menghimpunnya, dengan tidak mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya. 

Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang, diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan itu. 

Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pembuat sebagai penciptanya apabila penggunaan ciptaan itu diperluas keluar hubungan dinas. 

Ketentuan tersebut berlaku pula bagi ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas. 

Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta dan pemegang hak cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak. 

Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan berasal daripadanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai penciptanya, maka badan hukum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya. 

Apakah yang dimaksud dengan pemegang hak cipta? 

Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak tersebut di atas. 

Apakah yang dimaksud dengan ciptaan? 

Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra. 

Apakah suatu ciptaan perlu didaftarkan untuk memperoleh perlindungan hak cipta? 

Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata.Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapatkan surat  pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut. 

Apakah yang dimaksud dengan pelaku? 

Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, foklor atau karya seni lainnya. 

Apakah yang dimaksud dengan produser rekaman suara? 

Produser rekaman suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya. 

Apakah yang dimaksud dengan lembaga penyiaran? 

Lembaga penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik. 

Apakah lisensi itu? 

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait, kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. 

Apakah dewan hak cipta itu dan apa tugasnya? 

Dewan hak cipta adalah dewan yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan usulan Menteri Kehakiman yang memberikan penyuluhan, bimbingan dan pembinaan tentang hak cipta. Dewan ini anggotanya terdiri atas wakil pemerintah, wakil organisasi profesi, dan anggota masyarakat yang memiliki kompetensi di bidang hak cipta. 

Sebutkan dasar perlindungan hak cipta! 

Undang-undang Hak Cipta (UUHC) pertama kali diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemudian diubah dengan Undang-undang No.7 Tahun 1987. Pada tahun 1997 diubah lagi dengan Undang-undang No.12 Tahun 1997. Di tahun 2002, UUHC kembali mengalami perubahan dan diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002.Beberapa peraturan pelaksana yang masih berlaku yaitu : 

    * Peraturan Pemerintah RI No.14 Tahun 1986 Jo Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta;

    * Peraturan Pemerintah RI No.1 Tahun 1989 tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyak Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan;

    * Keputusan Presiden RI No.18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention For The Protection of Literary and Artistic Works;

    * Keputusan Presiden RI No.19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty;

    * Keputusan Presiden RI No.17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa;

    * Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat;

    * Keputusan Prcsiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia;

    * Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris;

    * Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.01-HC.O3.01 Tahun 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan;

    * Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.04.PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidikan Hak Cipta;

    * Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 Tahun 1990 tentang Kewenangan Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta;

    * Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No. M.02.HC.03.01 Tahun 1991 tentang Kewajiban Melampirkan NPWP dalam Permohonan Pendaftaran Ciptaan dan Pencatatan Pemindahan Hak Cipta Terdaftar.

 

Apakah hak cipta itu dapat dialihkan? 

Hak cipta dapat dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena : 

    * pewarisan;

    * hibah;

    * wasiat;

    * perjanjian tertulis; atau

    * sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Ciptaan apa saja yang dilindungi oleh UUHC?

 

Ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya : 

    * Buku, program komputer, pamflet, susunan perwajahan(lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

    * Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

    * Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

    * Ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

    * Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;

    * Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;

 

a)     Arsitektur; 

b)     Peta; 

c)      Seni batik; 

d)     Fotografi; 

e)     Sinematografi; 

f)        Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.

 

Bagaimanakah hak cipta atas hasil kebudayaan rakyat atau atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya? 

    * Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya;

    * Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.

 

Bagaimana posisi Indonesia  di bidang hak cipta di dunia internasional? 

Indonesia  saat ini telah meratifikasi konvensi international di bidang hak cipta, yaitu : 

    * Berne Convention tanggal 7 Mei 1997 dengan Keppres No.18 Tahun 1997 dan dinotifikasikan ke WIPO pada tanggal 5 Juni 1997, Berne Convention tersebut mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 5 September 1997;

    * WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan Kepres No. 19 Tahun 1997.

 

Kini, pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan peratifikasian WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT) 1996.

 

Hak Moral dan Hak Ekonomi 

Apakah yang dimaksud dengan hak moral dan hak ekonomi atas suatu ciptaan? 

Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. 

Hak ekonomi adalah hak hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. 

Apakah yang dimaksud dengan hak terkait? 

Hak terkait adalah hak eksklusif yang berkaitan dengan hak cipta yaitu hak eksklusif bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukkannya; bagi produser rekaman suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak atau menyiarkan karya siarannya. 

Jangka Waktu Perlindungan 

Berapa lama perlindungan atas suatu ciptaan? 

a)     Hak cipta atas ciptaan: 

    * buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain

    * drama atau drama musikal, tari, koreografi

    * segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni patung dan seni pahat

    * seni batik

    * lagu atau musik dengan atau tanpa teks

    * arsitektur

    * ceramah, kuliah pidato dan ciptaan sejenis lain

    * alat peraga

    * peta

    * terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rampai  

berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jika dimiliki 2 (dua) orang atau lebih, hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.

 

b)     Hak cipta atas ciptaan:

 

    * program komputer, sinematografi, fotografi, database, karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50(lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan;

    * Perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50(lima  puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan; 

Jika hak cipta atas ciptaan tersebut di atas dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum, hak cipta berlaku selama 50 (lima  puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. 

c)      Hak cipta yang dimiliki/dipegang oleh Negara berdasarkan: 

    * Pasal 10 ayat (2) UUHC berlaku tanpa batas waktu;

    * Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) UUHC berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.

 

Pendaftaran Ciptaan 

Ciptaan apakah yang tidak dapat didaftarkan? 

    * Ciptaan di luar bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra

    * Ciptaan yang tidak orsinil

    * Ciptaan yang tidak diwujudkan dalam suatu bentuk yang nyata

    * Ciptaan yang sudah merupakan milik umum

 

Bagaimana syarat-syarat permohonan pendaftaran ciptaan? 

    * Mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap dua (formulir dapat diminta secara cuma-cuma pada kantor Ditjen HKI), lembar pertama dari formulir tersebut ditandatangani di atas meterai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah)

    * Surat  permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan 

a)     Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta 

b)     Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa; jenis dan judul ciptaan 

c)      Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali 

d)     Uraian ciptaan rangkap 3

 

    * Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan

    * Melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotocopy KTP atau paspor

    * Apabila pemohon badan hukum, maka pada surat permohonannya harus dilampirkan turunan resmi akta pendirian badan hukum tersebut

    * Melampirkan surat kuasa, bilamana permohonan tersebut diajukan oleh seorang kuasa, beserta bukti kewarganegaraan kuasa tersebut

    * Apabila permohonan tidak bertempat tinggal di dalam wilayah RI, maka untuk keperluan permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memiliki tempat tinggal dan menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah RI

    * Apabila permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan atau suatu badan hukum, maka nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan menetapkan satu alamat pemohon ; 

a)     Apabila ciptaan tersebut telah dipindahkan, agar melampirkan bukti    pemindahan hak. 

b)     Melampirkan contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya. 

c)      Membayar biaya permohonan pendaftaran ciptaan sebesar Rp. 75.000, khusus untuk permohonan pendaftaran ciptaan program komputer sebesar Rp. 150.000.

 

Dalam hal apa suatu pendaftaran ciptaan dinyatakan hapus? 

Dalam Pasa1 44 UUHC disebutkan bahwa kekuatan hukum dari suatu pendaftaran ciptaan hapus karena: 

    * penghapusan atas permohonan orang, suatu badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta atau pemegang hak cipta.

    * Lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, 30, dan 31 dengan mengingat Pasal 32.

    * Dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

Pelanggaran Hak Cipta 

Perbuatan apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak cipta?

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta. 

Perbuatan apa yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta? 

Tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, hal-hal sebagai berikut: 

    * Pengumuman dan/atau perbanyakan Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan menurut sifatnya yang asli;

    * Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali jika hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau

    * Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

    * Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan : 

a) Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta; 

b) Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan: 

    * Pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;

    * Ceramah yang semata2 untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan

    * Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. 

c) Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan tersebut bersifat komersial; 

d) Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang bersifat non komersial semata-mata untuk keperluan aktifitasnya; 

e) Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan; 

f) Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri. 

Apakah yang dapat pencipta atau pemegang hak cipta lakukan jika ada pihak yang melakukan pelanggaran ? 

    * Mengajukan permohonan Penetapan Sementara ke Pengadilan Niaga dengan menunjukkan bukti-bukti kuat sebagai pemegang hak dan bukti adanya pelanggaran Penetapan Sementara ditujukan untuk : 

a) Mencegah berlanjutnya pelanggaran hak cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar hak cipta atau hak terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi; 

b) Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta atau hak terkait tersebut guna menghindari terjadinya penghilangan barang bukti. 

    * Mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakannya. 

Untuk mencegah kerugian yang lebih besar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (putusan sela). 

    * Melaporkan pelanggaran tersebut kepada pihak penyidik POLRI dan/atau PPNS DJHKI. 

Bagaimana pengaturan tentang ketentuan pidana dalam undang-undang hak cipta ?

Tindak pidana bidang hak cipta dikategorikan sebagai tindak kejahatan dan ancaman pidananya diatur dalam Pasal 72 yang bunyinya : 

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

    * Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidanan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 19 atau Pasal 49 ayat (3) dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)

    * Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah);

 

Siapa yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta? 

Selain penyidik pejabat Polisi Negara RI juga pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan hak cipta (Departemen Kehakiman) diberi wewenang khusus sebagai penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta.

Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia


(Analisis Ekonomi Atas Hukum)

 

Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.

 

Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.

 

Analisis Ekonomi Atas Hukum

Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare).

 

Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun 1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii

 

Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau ‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.iii

 

Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya. Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv

 

Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik.

 

Hal ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :

“A study of many applications of economic reasoning to problems of law and public policy including economic regulation of business; antitrust enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in economics is required; relevan economic concepts will developed through analysis of various legal applications.”v

 

Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia.

 

Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma dalam ilmu hukum atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada.

 

Hal ini dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :

1. Berdasarkan pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang hanya digantungkan pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments) terbukti kurang efektif.

2. Praktek-praktek perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments) merupakan salah satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Hukum Lingkungan.

3. Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of compliance.vii

 

Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger, cross-shareholding, dan sebagainya.viii

 

Tidak kalah menariknya juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi. Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :

“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan.”ix

 

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas hukum telah menggejala di setiap bidang hukum.

 

Implementasi Dalam Hukum Bisnis

Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum, terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.

 

Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.x

 

Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.

 

Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.

 

Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.

 

Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa akta perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris Connection”.

 

Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam hal ini izin praktek pengacara kepailitan).

 

Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan.

 

Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate lawyer BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan, maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer yang berbiaya tinggi.

 

Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

 

Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai berikut :

“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade competition in the American economy. … It provides guidance to business and industry on what they may do under the laws administered by the commission. It also gathers and makes available to Congress, the president, and the public factual data on economic and business conditions.

The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.

The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv

 

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-tugasnya mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka tidak perlu membentuk lembaga baru.

 

Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :

“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”

 

Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

 

Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti.

 

Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.

 

Penutup

Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia. Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah dapat memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan masalah economic efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia.

 

Oleh karena itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas Hukum disamping model teori hukum lain ke segenap proses hukum di Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.

 

Kepustakaan

• Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28 - Tahun VIII, Jakarta, 1997.

• Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II, Jakarta, 2000.

• Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.

• Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.

• Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/.

• Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, Jakarta, 2000.

• Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.

Endnote

i) Ronald Coase adalah pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi. Pendekatannya terkenal dengan nama ‘the Coase Theorem’, yang memberi penafsiran baru terhadap teori eksternalitas (externality), yakni berkenaan dengan analisis situasi di mana tindakan seseorang mengakibatkan beban biaya (atau keuntungan) bagi orang lain.

ii) Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999, hal. 1.

iii) Ibid., dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/, Chapter 1, hal. 1.

iv) Steven Shavell, Economic Analysis of Law, Chapter 1, hal. 1.

v) Definisi yang diberikan website resmi William and Mary School of Law, http://www.wm.edu/.

vi) Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II - 2000, hal. 23.

vii) Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, 1995, hal. 2.

viii) Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999, hal 60.

ix) Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28/Tahun VIII/Maret/1997, Jakarta, hal. 4.

x) Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000, hal. 43.

xi) Pasal 27 Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (draft pertama).

xii) Dibentuk berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

xiii) Dibentuk berdasarkan Pasal 31 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

xiv) Dibentuk berdasarkan Pasal 49 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

xv) Microsoft Encarta Reference Suite 2001, CD-ROM Encyclopedia.

 

Source http://taufiqnugroho.blogspot.com/search/label/Hukum