Paradigma parsialitas dalam sebuah disiplin ilmu dan profesi tampaknya kerap dijumpai dalam forum-forum diskusi, seminar, dan dialog. Salah satunya dalam sebuah Dialog Nasional Hukum dan Non Hukum yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN) pada tanggal 18-19 Juli 2006 lalu, yang berlangsung di Semarang. Kritik telah dilontarkan oleh forum sejak awal acara. Bagaimana tidak, apakah hanya ada dua spesifikasi keilmuan dan paradigma, hukum dan non hukum? Dan ternyata, mayoritas dari peserta dialog, adalah orang-orang dengan latar belakang pendidikan ilmu hukum.
Forum ini adalah lanjutan dari rangkaian Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII yang diselenggarakan tanggal 14-18 Juli 2003, di Bali. Tujuannya adalah untuk menjembatani dan menghimpun pemikiran-pemikiran yang berkembang, berkaitan dengan hukum dan pembangunan hukum, baik yang berasal dari kalangan hukum sendiri maupun pakar-pakar dari bidang non hukum. Pada dialog kali ini terdapat tiga issu utama, yakni Ekonomi dan Investasi, Sumber Daya Alam (SDA) dan Reformasi Birokrasi.
Ketiga isu tersebut sebenarnya menarik untuk dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Namun sangat disayangkan, perspektif hukum jauh lebih kental dari perspektif ekonomi-sosial, lingkungan dan pemerintahan. Karena ketiga hal tersebut ditarik ke dalam sebuah sistem normatif, maka perdebatan yang ada meliputi hukum penanaman modal, hukum pengelolaan SDA dan hukum administrasi negara.
Berikut kesimpulan sementara Dialog Nasional yang dihasilkan oleh Tim Perumus BPHN:
1. Bidang Hukum dan Ekonomi/Investasi
Untuk tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi, maka pembentukan peraturan perundang-undangan di pusat dan daerah yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan investasi dilakukan berdasarkan Prolegnas dan Prolegda. Prioritas utama adalah peraturan tentang pelayanan terpadu penanaman modal dan perijinan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka mendorong pemajuan ekonomi dan investasi, adalah:
a. perlu dibangun model ekonomi baru yang mensinergikan antara hukum, negara dan pasar.
1. Kebijakan legislasi berorientasi pada ekonomi, sustainable development dan keseimbangan lingkungan.
2. Perlunya Perbaikan RUU Penanaman Modal
3. Harmonisasi hukum pusat dan daerah diawali dengan harmonisasi UUD 1945, UU No. 10 tahun 2004 dan UU No. 32 tahun 2004
4. Pembentukan Perda harus lebih baik secara substansi, tata cara pembentukan dan sosialisasi.
2. Bidang Hukum dan Pengelolaan SDA
Kebijakan ekonomi berbasis pengelolaan SDA yang dikembangkan sejak tahun 1970-an telah menimbulkan akibat-akibat yang cukup signifikan terhadap kinerja pembangunan nasional. Yang ada selama ini bukanlah pengelolaan, tetapi pemanfaatan komoditas dari SDA berdasarkan undang-undang yang dijalankan oleh setiap sektor.
Perubahan hukum pengelolaan SDA merupakan persoalan mendasar untuk meningkatkan kualitas sosial ekonomi masyarakat, dan menjadi tuntutan masyarakat untuk memperoleh keadilan.
Program aksi nasional dalam pengelolaan SDA, mencakup:
a. Percepatan pembentukan UU Pengelolaan SDA;
b. Restrukturisasi kelembagaan dan revitaslisasi birokrasi dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah;
c. Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan investasi di bidang SDA, termasuk kontrak dan ijin investasi. dan;
d. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan SDA.
3. Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi
Beberapa permasalahan dalam birokrasi:
a. pelanggaran disiplin;
b. penyalahgunaan wewenang;
c. penyimpangan;
d. rendahnya kinerja;
e. sistem organisasi dan manajemen pemerintah yang belum memadai;
f. rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja;
g. rendahnya kualitas pelayanan umum;
h. rendahnya kesejahteraan PNS, dan;
i. banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah out-of-date
Reformasi birokrasi diarahkan pada penyempurnaan tiga unsur pokok yang menjadi key leverage dalam reformasi birokrasi, yakni: sistem kelembagaan, pengembangan ketatalaksanaan, dan pengembangan SDM
Beberapa upaya yang perlu dilakukan:
a. Percepatan pembentukan UU Administrasi Pemerintahan dan UU Pelayanan Publik;
b. Pengembangan kelembagaan yang diarahkan pada restrukturisasi;
c. Menata kembali kekuasaan dan diskresi yang bisa melampaui dari aturan hukum sebagai kode etik pemerintah;
d. mengatur proses rekrutmen dan hubungan kerja antara jabatan negara, jabatan politik dan jabatan karir;
e. Pengembangan SDA yang diarahkan pada terwujudnya kapasitas SDM yang profesional.
Dari hasil kesimpulan sementara di atas, pertanyaan besar yang perlu dijawab, apakah Indonesia menempatkan hukum sebagai instrumen, atau hukum telah menjadi sebuah sistem utama dalam kehidupan bersosial. Viva Justicia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar