BAB I
PENDAHULUAN
Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivistis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat.
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.
BAB II
PANDANGAN ALIRAN POSITIVIS TENTANG HUKUM
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi, tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapun yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, hlm. 267) , hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin, hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatakan sebagai positive law.
Selanjutnya Lili Rasyidi menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari Austin, yaitu :
1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain tersebut berada di luar hukum;
2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
3. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
6. Ajaran Austin kurang/ tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan ajaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein/ kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selanjutnya Prof. H. L. A. Hart seperti dikutip oleh Lili Rasyidi , menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut :
1. Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
2. Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/ penting antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
3. Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :
a. mempunyai arti penting,
b. harus dibedakan dari penyelidikan :
c. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
d. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
e. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
4. Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/ tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;
5. Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik.
BAB III
POLITIK DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Dalam khasanah ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi politik pada khususnya, politik pada dasarnya adalah sebuah konsep yang amat luas cakupannya. Konsep ini pada pokoknya menerangkan tentang bagaimana kekuasaan (power) dan sumber-sumbernya (resources of power) itu dialokasikan dan disistribusikan dalam sebuah masyarakat. Proses ini tidak selalu terjadi melulu atas dasar sebuah konsensus tetapi juga sering melalui kompetisi dan bahkan konflik atas dasar kombinasi pola “memperebutkan-mempertahankan” di antara partisipan konflik yang dapat berwujud individu, kelompok, golongan, atau lembaga. Di samping itu, konsep politik juga sangat terkait dengan beberapa konsep kunci lainnya seperti otoritas (authority), legitimasi (legitimacy), dominasi (domination), hegemoni (hegemony) dan kekuasaan paksa (coercive power).
Sumber-sumber kekuasaan yang dapat berbentuk posisi, jabatan, pengaruh, uang, dan kekayaan itu, di masyarakat manapun, secara relatif selalu bersifat terbatas. Ihwal inilah yang menyebabkan mengapa sejarah manusia selalu ditandai oleh pertikaian yang berdimensi politik. Walaupun wilayah pertikaian politik untuk memperebutkan (atau mempertahankan) sumber-sumber kekuasan itu juga terjadi di masayarakat (civil society), sangat penting di sini untuk dicatat bahwa negara (state) adalah pusat wilayah perebutan kekuasaan yang paling sengit karena di sanalah sumber-sumber kekuasaan terpenting untuk membuat keputusan publik itu terdapat.
Menurut ajaran trias politica yang di kemudian hari menjadi landasan pokok negara moderen, terdapat tiga cabang kekuasaan negara penting yang sama-sama telah kita kenal dengan baik itu : kekuasaan judisial, legislatif, dan eksekutif. Masing-masing cabang kekuasaan itu memiliki otoritas dan secara relatif memonopoli otoritas itu untuk menghasilkan (dan menggandakan) kekuasaan yang spesifik. Walaupun demikian, itu tidak berarti ketiga institusi pokok negara moderen itu tidak saling berinteraksi. Dalam beberapa keadaan, bahkan ketiga institusi itu mengembangkan hubungan kekuasaan yang secara inheren juga menyimpan prinsip saling ketergantungan.
Paradoks itu dapat dilihat di antaranya dalam ihwal hukum. Pada tempat pertama, hukum adalah produk lembaga legislatif. Sebagai sebuah produk, pembuatan hukum yang berupa undang-undang dan dalam keadaan tertentu berupa konstitusi negara, selalu melibatkan proses-proses politik yang amat kompleks. Melalui perdebatan parlemen, sebuah rancangan produk hukum dibahas dalam sidang-sidang yang melibatkan elemen-elemen yang berbeda dalam sebuah parlemen, yakni partai politik. Dengan kata lain, pada dasarnya hukum yang paling dasar, yakni konstitusi negara dan undang-undang, adalah sebuah produk politik dari partai-partai politik dominan dalam sebuah parlemen. Memang, terdapat beberapa variasi tentang bagaimana sebuah produk hukum itu diselesaikan oleh lembaga legislatif. Namun, secara umum, wilayah ini pada pokoknya merupakan monopoli parlemen yang karena kewenangannya dalam menghasilkan produk-produk hukum pokok mendapatkan namanya dengan sebutan lembaga legislatif itu.
Ketika sebuah proses politik di parlemen itu berakhir dengan sebuah produk hukum berupa undang-undang (yang pengaturan penetapannya menjadi undang-undang di sebagian sistem politik membutuhkan persetujuan kepala lembaga eksekutif dan di sebagian sistem lainnya tidak), maka segera setelah itu hukum baru itu (tampak seperti “tiba-tiba”) menjadi sebuah aturan dasar yang mengikat semua lembaga negara dan individu, tak terkecuali lembaga yang menghasilkannya. Pengikatan diri secara penuh terhadap hukum yang berlaku tanpa kecuali ini, dalam negara moderen dikenal dengan ajaran tentang “supremasi hukum”. Ajaran ini pada dasarnya mendiktekan peneguhan atas nilai dan praktik “persamaan di depan hukum” yang mengakibatkan sebuah produk hukum, yang walaupun pada awalnya merupakan produk politik yang menyertakan juga proses-proses kompetisi dan rivalitas atas sumber-sumber kekuasaan, bersifat otonom (kadang bahkan “alien”) dan “self-evident” (mutlak dengan sendirinya).
Dalam prinsip semacam inilah, dasar-dasar terpenting tentang gagasan negara hukum itu diletakkan dalam negara moderen. Penegasan terhadap gagasan negara hukum itu memiliki pesan tunggal yang amat jelas, yakni tidak sebuah kekuasaan dapat memaksakan kehendak dan kepatuhan publik atas kehendak itu tanpa dilandasi oleh hukum yang berlaku—yang proses pembuatan dan penetapannyapun diatur oleh hukum yang telah dibuat sebelumnya, baik dalam kedudukannya yang lebih tinggi maupun yang setara. Pada tempat inilah prinsip “Rule of Law” ditegaskan untuk mencegah praktik terjadinya “Rule by Law” yang kerap menjadi dasar dari tegaknya prinsip yang di negeri ini dalam khasanah perbincangan para ahli hukum tatanegara sering disebut dengan negara kekuasaan (machtsstaat) sebagai lawan dari negara hukum (rechtsstaat).
Hukum yang bersifat dasar dan mengikat semua pihak itu sesungguhnya merupakan tulisan bahkan kertas belaka apabila tidak ditegakkan. Pada tempat kedua inilah, di mana-mana, hukum membutuhkan lembaga “law enforcement”.
Dalam konteks inilah, lembaga eksekutif melalui aparatur khususnya mengemban tanggung jawab utama untuk menegakkan apa yang diperintahkan hukum untuk dilakukan atau tak dilakukan, untuk diindahkan atau dilarang. Mengikuti ajaran Trias Politica, lembaga eksekutif karena itu kepadanya diembankan kewajiban untuk memastikan hukum tak hanya menjadi tulisan atau kertas belaka. Birokrasi penegak hukum yang utama dalam negara moderen adalah polisi. Melalui proses evolusi yang panjang, dalam negara moderen yang berasas negara hukum itu, lembaga kepolisian memiliki tugas yang paling pokok: yakni penegakan hukum (law enforcement).
Tidak sebuah lembaga manapun dalam cabang eksekutif maupun kedua cabang lainnya, yakni lembaga legislatif dan judisial, pada dasarnya memiliki otoritas yang penuh untuk menegakkan hukum. Pikiran tersederhana dalam prinsip “law enforcement” adalah pentingnya semua orang mematuhi hukum guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut dengan istilah “social order and public safety”. Tegaknya kepatuhan orang pada hukum, dalam ajaran ini, dipercaya sebagai dasar untuk menciptakan sebuah kehidupan bersama yang memungkinkan pencapaian tujuan individual dan kolektif berikut segala perbedaan yang menyertainya dapat dilakukan tanpa dampak yang bersifat destruktif bagi kehidupan bersama yang berkelanjutan itu. Masih mengikuti ajaran ini, tanpa aturan bersama yang dipatuhi oleh publik, masyarakat akan menghasilkan anarki yang pada ujung-ujungnya akan menciptakan kehidupan bersama yang hancur dan atau menghancurkan.
Dalam mana telah terjadi, atau sekurang-kurangnya patut diduga sebagai berkemungkinan telah terjadi, pelanggaran hukum, polisi berkewajiban melakukan serangkaian tindakan: mulai dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan saksi dan atau pencarian bukti hingga pemberkasan. Mandat ini bersifat otonom dan penuh. Artinya, walaupun berada di wilayah jurisdiksi lembaga eksekutif, dan bukan, dan tidak pernah, dan tidak akan pernah, berada di bawah kedua cabang kekuasaan legislatif dan judisial, lembaga kepolisian tidak tunduk dan atau berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif dalam melakukan fungsi penegakan hukum selain dari hukum itu sendiri. Walaupun mungkin tampak mengandung paradoks, beginilah memang sesungguhnya ajaran negara hukum yang sejati. Pengaruh kekuasaan eksekutif atas kewajiban menegakkan hukum yang kewenangannya diberikan pada lembaga kepolisian tidak lain dan tidak ada yang lain selain menegakkan hukum itu sendiri.
Fungsi universal lainnya yang melekat pada lembaga kepolisian dalam kerangka penegakkan hukum demi terjadinya “social order dan public safety”—yang di Indonesia sering secara awam diringkas menjadi “ketertiban umum” itu (atau dalam terminologi Polri sering juga disebut dengan Kamtibmas)—adalah menjalankan fungsi-fungsi patroli (patroling), pengaturan lalu lintas (traffic), dan penyelidikan kejahatan (crime investigation). Hanya setelah paruh kedua abad yang lalu saja, lembaga kepolisian di banyak negara menambahkan juga fungsi antihuru-hara. Apa yang saya hendak katakan di sini tidak lain adalah, semua fungsi itu dilekatkan pada lembaga kepolisian untuk tujuan penciptaan tertib sosial dan keamanan publik.
Dalam tema yang serupa, lembaga eksekutif juga mengemban amanat sebagai lembaga penuntut perkara hukum ketika telah terjadi pelanggaran yang telah dikuatkan oleh bukti dan saksi yang oleh hukum dinyatakan sebagai telah memenuhi syarat bagi dilakukannya penuntutan. Lembaga kejaksaan adalah aparatus birokrasi penegak hukum yang berada di bawah jurisdiksi kekuasaan eksekutif. Sama dengan prinsip otonomi dan sifat yang penuh yang dimilki lembaga kepolisian itu, mandat lembaga kejaksaan tidak berkurang atau dapat dikurangkan oleh kenyataan bahwa lembaga ini berada di bawah jurisdiksi lembaga eksekutif. Sebagai penegasan tambahan, pengaruh lembaga eksekutif pada lembaga kejaksaan tidak lain dan tidak ada yang lain selain melakukan penuntutan berdasarkan hukum yang berlaku dan mengikat semua orang dan lembaga itu.
Cabang kekuasaan judisial yang meliputi otoritas penyelenggara sistem peradilan dan di beberapa negara juga merangkap sebagai lembaga penilai undang-undang dan atau peraturan di bawahnya (judicial reviewer) serta mahkamah penyelesai sengketa konstitusional, adalah satu cabang kekuasan dalam negara hukum yang memiliki otonomi untuk membuat keputusan akhir atas perkara hukum melalui sebuah sistem persidangan yang bertingkat. Cara bekerja lembaga ini adalah memutus perkara hukum (atau konstitusi) berdasarkan bunyi pasal-pasal hukum yang berlaku, dan, bila mana diperlukan, atas keyakinan hukum para hakimnya. Dalam jargon dan retorika hukum, lembaga ini sering juga disebut sebagai lembaga pemutus keadilan. Walaupun sebagai lembaga ia bersifat otonom, para hakim agungnya (begitulah mereka sering disebut) dipilih dan diangkat melalui proses politik jua. Sekurang-kurangnya, proses itu melalui pembahasan di cabang kekuasaan lainnya: lembaga legislatif dan atau lembaga eksekutif. Inilah gambaran paradoks yang di bagian awal tulisan ini telah saya singgung. Di satu pihak, mereka adalah lembaga yang memiliki otonomi dalam otoritas mereka masing-masing, di pihak lain mereka saling mempengaruhi melalui proses politik. Itulah potret hukum yang dalam satu sisinya digambarkan sebagai bersifat objekltif (karena sifatnya yang mengikat semua pihak) dan di sisi yang lain ia tidak terisolasi oleh proses politik yang dalam hasrat intinya berbicara tentang kekuasaan: tentang siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, dan kapan.
Keadilan adalah sebuah tema lain yang tidak kurang absorbnya. Sebagai konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam: teologi, filsafat, hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya. Dalam konteks hukum, berkembang kepercayaan yang sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering kali juga sedikit menyesatkan. Dalam bayangan banyak orang di negeri ini, keadilan adalah sebuah konsep dan praktik yang sepenuh self-evident dalam wilayah hukum berikut seluruh instrumen, atribut, simbol dan asesorisnya. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, sekurang-kurangnya dalam perspektif sosiologi politik dan sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja dalam hukum itu mengandung banyak masalah. Apa itu keadilan?; Siapa yang mendefinisikan sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif ruang dan waktu yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang sangat rumit penjelasannya.
Dalam ajaran hukum positif, dalam praktiknya hukum sesungguhnya bergumul dengan tema kepastian hukum, bukan keadilan hukum. Keadilan hukum adalah sesuatu yang dominan dalam perbincangan tentang filsafat hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana akademik oleh para sarjana hukum di kelas-kelas di perguruan tinggi. Para praktisi hukum yang meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan pembela hukum, bergumul dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang, bukan pada prinsip-prinsip abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran hukum dan ilmu hukum. Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat dengan apa yang ditulis dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diiedealkan oleh para sarjana dan ilmuwan hukum lainnya. Dalam ajaran hukum positif, sangat jelas apa yang dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat dalam undang-undangan dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya termaktub di dalamnya secara implisit. Apa yang tidak tertulis dalam undang-undang, bukanlah hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai harus dan atau ideal dan atau adil oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum sebagai adil atau tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi banyak orang termasuk ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi, tetapi tidak untuk para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran hukum positif.
Dalam perbincangan yang sedikit berbeda, tema tentang “rasa keadilan masyarakat” yang diangkat dalam seminar adalah sebuah konsep penuh makna subjektif yang definisi dan elemen yang dilekatkan kepadanya sangat bergantung pada wacana yang saling berkompetisi. Sebagai sebuah wacana (teoretik atau sosial), keadilan atau rasa keadilan masyarakat itu sangat bergantung pada kepentingan, teori, atau perspektif mereka yang mendefinisikan ihwal itu. Belum lagi, definisi tentang “masyarakat”, atau “rakyat” itu juga memiliki wacananya sendiri. Dengan kata lain, tema “keadilan”, “rasa keadilan”, “rasa keadilan masyarakat” adalah sebuah konstruksi sosial yang di dalamnya juga menyertakan proses-proses politik dan akumulasi pengetahuan yang sangat berimplikasi pada kekuasaan dan relasi kompleks di antara elemen-elemen yang membentuk struktur kekuasaan. Karena itu, perbincangan tentang “rasa keadilan masyarakat dalam hukum” adalah sebuah perbincangan politik betapapun itu berselimutkan teori dan perspektif yang dikemas dan diajukan sebagai naskah akademis.
Dalam pemikiran seperti itulah, perbincangan tentang hukum sungguh memang tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang politik dan kekuasaan . Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum. “Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam penegakan hukum juga mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain, selalu ada rasionalitas tertentu dalam hukum dan penegakannya. Penentuan prioritas dalam penegakan hukum oleh lembaga kepolisian karena keterbatasan anggaran dan jumlah personel misalnya, adalah sebuah contoh dari hadirnya proses seleksi atas sejumlah nilai. Pengutamaan penyelesaian perkara kasasi tentang perceraian di lembaga mahkamah agung, sebagai misal yang lain, adalah contoh tentang tak terisolasinya lembaga hukum dari pemihakan akan nilai-nilai tertentu.
Sebagai sebuah wacana sosial dan politik, rasa keadilan masyarakat itu secara spesifik sekurang-kurangnya merujuk pada tiga hal yang berbeda. Yang pertama berhubungan dengan substansi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa ada larangan atau perintah hukum untuk sesuatu dan tidak untuk yang lain. Contoh tentang hadirnya larangan impor pakaian bekas dan tidak hadirnya larangan truk bekas adalah sebuah ilustrasi yang memperlihatkan kecenderungan itu. Mengapa pada kasus yang pertama berkembang argumentasi semisal perlindungan industri garmen dalam negeri dan argumentasi kesehatan publik yang terkait dengan SARS? Sebaliknya, mengpa pada kasus yang kedua argumentasi perlindungan indusrtri otomotif dan atau perlindungan keselamatan publik di jalan raya tak muncul?
Yang kedua berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain ihwal itu tak dikerjakan. Pemberlakuan tahanan rumah selama pemeriksaan pada kasus tindak pidana korupsi tertentu dan tidak pada kasus yang lain adalah salah satu contoh yang kerap dipakai untuk memperlihatkan betapa absurdnya tema tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat ditemukan pada kasus di mana pelaku white colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan hingga semasa terhukum berada dalam lembaga pemasyarakatan. Yang ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum. Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Sebagai misal, mengapa putusan pengadilan pada kasus perampokan dan atau pencurian, sebutlah yang bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir dengan putusan hakim yang lebih berat ketimbang pencurian uang negara yang bernilai milyaran rupiah. Contoh-contoh serupa dapat saja ditemukan untuk menghasilkan daftar yang lebih panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan (opportunity) dan akses (access). Tema umumnya berhubungan dengan terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan klas sosial, kepercayaan politik dan ideologi.
Perbincangan tentang hukum dan politik adalah sebuah tema yang walaupun saling berkait namun memiliki dimensi yang amat kompleks. Ketidaksederhanan hubungan di antara keduanya justru terletak pada berkembangnya kepercayaan bahwa kedua wilayah itu semestinya tidak bercampur meskipun dalam kenyataan sejarahnya sungguh memang selalu dan akan selalu demikian. Pemilihan tentang siapa yang menjadi orang nomor satu di lembaga kepolisian atau kejaksaan misalnya, selalu mengundang pertanyaan politik. Jawabannya amat jelas, kedua lembaga ini sangat penting perannya dalam menentukan adakah sebuah produk hukum itu akan berhenti sekedar sebagai naskah hukum atau menjadi sebuah hukum yang hidup. Hanya dalam lingkungan pemerintahan yang relatif bersih sajalah proses penentuan kedua jabatan puncak itu secara relatif dapat dijauhkan dari pertimbangan politik yang berorientasi pada kekuasaan.
Karena itu, projek yang bertujuan meminimalisasikan politik dari wilayah hukum akan sangat bergantung pada ihwal lainnya seperti usaha untuk menciptakan sistem politik dan hukum yang lebih tansparan dan akuntabel. Dengan cara itu kekuasaan akan lebih mudah untuk dikontrol pemanfaatannya.
BAB IV
PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA
A. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev , yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan.
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti : partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional. Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 :
”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”.
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati.
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah. Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
C. Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan - sebagaimana yang dianut aliran positivis - mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihormati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.
BAB V
KESIMPULAN
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
Komar, Mieke, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.
Lev, Daniel S., Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Muhammad, Bushar, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
Nasution, Bismar, Catatan Perkuliahan Politik Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008.
Rasyidi, Lili & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
Salman, Otje, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.