A. Bentuk-bentuk Penggunaan Penggunaan Lambang Negara
Bentuk penggunaan lambang negara oleh notaris yang sesuai dengan UUJNpasal 56, lambang negara dilekatkan di:
a. Untuk salinan Akta (Pasal 15 ayat [1]UUJN).
b. Pada pengesahan tandatangan Surat di bawah tangan (Pasal 15 ayat [2] huruf a UUJN)
c. Pada Pembukuan surat-surat di bawah tangan (Pasal 15 ayat [2] huruf b UUJN)
d. Pada copi dari Surat-surat asli di bawah tangan (Pasal 15 ayat [2] huruf c UUJN)
e. Pada Pengesahan Pencocokan fotokopi dengan surat aslinya (Pasal 15 ayat [2] huruf d UUJN)
f. Pada minuta Akta, akta originali, salinan akta, Kutipan akta grosse akta, surat di bawah tangan, dan surat-surat resmi yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN, dimana bentuk dan ukuran Cap/stempel Notaris terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.HT.03.10.Tahun 2007.
B. Bentuk-bentuk Penyimpangan atas Penggunaan Lambang Negara
Sebagai orang awam, Notaris di mata masyarakat adalah seseorang yang menyandang gelar profesi yang terpecaya dan diakui oleh pemerintah, hal mana terbukti dengan diberikannya hak bagi seorang Notaris untuk menggunakan dan memegang cap/stempel bergambar Burung Garuda, yang merupakan Lambang Negara Republik Indonesia dan tidak semua orang maupun pejabat yang dapat menggunakan dan memegang cap/stempel Lambang Negara tersebut, dasar kepercayaan tersebut terbentuk dalam benak masyarakat awam yang telah beranggapan bahwa profesi Notaris merupakan profesi yang mulia yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan di tengah masyarakat.
Tetapi dalam praktek Notaris sangat banyak terjadi penyalahgunaan Lambang Negara, dari hasil penelitian ditemukan penyalahgunaan lambang negara dalam
produk yang diterbitkan oleh notaris, seperti di bawah ini.
Penyimpangan penggunaan Lambang Negara yang ditemui yaitu:
- Dalam kartu nama
Penggunaan Lambang Negara untuk kartu nama, hal ini dianggap tidak perlu, karena kartu nama dapat diartikan sebagai suatu promosi, reklame perdagangan atau cap dagang dari notaris yang bersangkutan. Kartu nama bukanlah surat jabatan sehingga tidak dapat diberikan lambang Negara di dalamnya, sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 3 PP No.43 tahun 1958.
- Dalam Covernote
Dalam praktek notaris dan sering dilakukan oleh para notaris yaitu membuat Covernote yang berisi pernyataan atau keterangan notaris yang menyebutkan atau menguraikan bahwa tindakan hukum tertentu para pihak/penghadap untuk akta-akta tertentu telah dilakukan di hadapan Notaris dan sudah pasti Covernot tersebut ditandatangani dan dibubuhi cap/stempel Notaris yang bersangkutan.
Padahal Covernote tersebut hanya pernyataan atau keterangan dari notaris yang bersangkutan dan tidak bernilai hukum apapun, tapi dalam praktek notaris seakan-akan Covernote menjadi semacam ”surat sakti” dari notaris yang dapat dilandasi tindakan hukum lainnya. Jika Covernote tersebut ternyata tidak benar, mana hal tersebut tanggungjawab Notaris sepenuhnya dengan segala akibat hukumnya, sedangkan Notaris membuat dan mengeluarkan Covernote di luar kewenangan sebagai notaris.
c. Dalam Kwitansi/tanda penerimaan uang
dalam pratek notaris, banyak yang menggunakan stempel berlambang negara dalam kwitansi, seperti halnya dalam penerimaan sejumlah uang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan jabatannya sebagai Notaris.
d. Dalam Jilid atau map yang menuliskan kedudukan yang bersangkutan sebagai notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), padahal harus dipahami PPAT tidak menggunakan lambang negara.
e. Dalam formulir pembayaran pajak BPHTB, diberi Cap berlambang Garuda.
Kewajiban pembayaran BPHTB apabila jika telah diputuskan/diberi hak kepada seseorang dengan dibuktikan adanya serifikat (bukti Hak), dimana ini merupakan wewenang dari Pejabat Pembuat Akta Tanah jadi dengan diberinya stempel berlambang negara dalam pembayaran BPHTB tersebut dianggap suatu penyalahgunaan lambang negara karena diluar dari wewenang sebagai notaris.
f. Dalam surat-surat yang tidak ada hubungannya dengan jabatannya sebagai notaris, seperti yang terjadi dalam kasus LS, dimana Notaris mengeluarkan surat bukan akta, bukan legalisasi, bukan warmerking tetapi Notaris tersebut membubuhkan tandatangan dan stempel berlambang negara sehingga menimbulkan persepsi negatif.
Tentang pemakaian teraan cap notaris WPNR no.3391 hlm.553 menulis kejadian-kejadian sebagai berikut:
1. Seorang notaris di Amsterdam pernah meminta kepada pemegang hipotek (hypotheekbewaarder) untuk mencatat bahwa dalam suatu akta yang telah dibuatnya, telah terjadi cessie dari piutang yang dijamin hipotek. Permintaan dilakukan dalam surat biasa dan oleh notaris itu diberi teraan capnya. Pemegang hipotek membalas surat itu dengan permintaan agar notaris yang berkenaan untuk selanjutnya jangan memakai teraan cap notaris dan menunjuk PW 13140
2. Dalam PW 13140 itu seorang notaris membuat suatu keterangan dalam bentuk sebagai berikut: “yang bertandatangan di bawah ini notaris A di kota B menerangkan bahwa dengan akta di bawah tangan tentang Pemisahan dan pembagian tertanggal ……harta-harta tetap…..dan…..telah dibagikan kepada….”. Keterangan itu diberi teraan cap Notaris. Menteri memberitahukan sehubungan dengan itu bahwa penyalahgunaan cap jabatan Notaris tidak boleh dilakukan dengan menunjuk PW 7065.
3. Dalam PW 7065 telah dibicarakan pemberian teraan cap notaris atas kuitansi yang diberikan untuk pembayaran pada sebuah kantor notaris. Tentang hal ini ditulis dalam PW 7065 bahwa yang berkenaan telah menyalahgunakan teraan cap Notaris dan menerangkan sebagai berikut:
Cap Jabatan Notaris dimaksudkan untuk menjamin autentisitas tanda-tanda (stukken) yang dibuat oleh seorang notaris berdasarkan jabatannya. Karenanya teraan itu tidak boleh diberikan atas tanda-tanda yang dikeluarkan oleh Notaris sebagai perorangan, tanda-tanda tersebut tidak mempunyai autentisitas.
Sehubungan dengan hal penggunaan Lambang negara di atas, bahwa Penggunaan lambang negara di luar yang ditentukan dalam UUJN seperti dalam kartu nama, Covernote, Kwitansi, dan Map tidak dianggap suatu penyimpangan sejauh masih dalam batas kewenangannya sebagai Notaris.
Sedangkan mengenai penggunaan Lambang Negara seyogyanya ditempatkan pada tempat tertentu seperti pada salinan Akta, sampul akta karena masih rangkaian dari produk Notaris, dan pada kop surat apabila dikeluarkan atas pekerjaannya sebagai Notaris, tergantung berpandangan dari sudut mana dulu.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Penggunaan Lambang Negara oleh Notaris harus sesuai denan UUJN dan juga Peraturan Perundang-undangan di atas. Penggunaan Lambang Negara harus sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut
Seperti halnya, Lambang Negara boleh ditempatkan di dalam gedung-gedung negeri (Pasal 1 ayat 1 jo pasal 3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara , menurut penulis hal ini berlaku pula untuk kantor notaris karena menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, Notaris adalah termasuk pejabat Negara yang mempunyai wewenang khusus dalam membuat akta-akta otentik (pasal 1360 KUHPER).
Menurut pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958, bahwa meletakkan lambang Negara pun ada aturannya, harus menempatkan lambang Negara paling tidak sejajar dengan foto presiden dan wakil presiden.
Pasal 7 PP ini menyatakan bahwa cap jabatan, cap dinas dan surat jabatan
dengan lambang Negara didalamnya hanya boleh digunakan secara limitatif oleh jabatan-jabatan yang ditentukan dalam ayat 1 pasal 7 tersebut, antara lain notaris.
Dalam pasal 12 menyatakan dengan jelas larangan penggunaan lambang Negara sebagai perhiasan, cap dagang, reklame perdagangan atau propaganda politik dengan cara apapun. Sehingga penggunaan lambang negara dalam kartu nama dapat dianggap sebagai suatu promosi.
Menurut penulis kop surat berlambang Negara sebenarnya boleh, selama menggunakannya untuk menulis surat-surat sehubungan dengan jabatan sebagai notaris karena itu merupakan surat jabatan (pasal 7 ayat 3). Menurut penulis, surat jabatan bukan hanya akta-akta yang dibuat oleh Notaris, namun termasuk pula surat- surat yang dibuat notaris dalam rangka menjalankan tugas jabatannya, bukan surat pribadinya.
Jadi apabila penggunaan lambang negara tidak pada tempatnya dikatakan suatu pelanggaran, karena adanya peraturan berupa Peraturan Pemerintah mengenai Penggunaan Lambang Negara dan Undang-undang No.24 tahun 2009 tersebut. Mengingat Notaris adalah pejabat negara yang telah dipercayai menggunakan Lambang Negara seharusnya peraturan tersebut harus difungsikan dengan baik.
Tan Thong Kie menyatakan bahwa pemakaian Lambang negara di cap Notaris 1. Untuk menjamin pekerjaan Notaris terhadap masyarakat
2. Pemakaian lambang negara sangat peka dan tidak dipercayakan kepada setiap pejabat.
Karena itu perlu dipahami ketentuan memakai lambang negara harus tepat sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan dijunjung tinggi. Seperti halnya Camat dan Lurah tidak memakainya, padahal mereka merupakan bagian dari pemerintahan.
Penyalahgunaan oleh Notaris dapat saja menyebabkan sanksi pidana yang dapat menjerat notaris.
Akta yang tidak dibubuhi teraan cap berlambang negara merupakan kelalaian dari Notaris, dimana batasan akta notaris batal demi hukum dapat dilihat dari suatu perjanjian batal demi hukum jika tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan, mempunyai sebab yang dilarang oleh Undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Ketentuan-ketentuan jika dilanggar akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang bersangkutan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, Habib Adje menyatakan yang termasuk ke dalam akta notaris yang batal demi hukum adalah :
a. Melanggar kewajiban sebagai mana tersebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf l, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke Daftar Pusat wasiat dalam waktu 5(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil)
b. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya.
c. Melanggar ketentuan pasal 44, pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penterjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta di hadapan penghadap, notaris dan penterjemah resmi.
d. Melanggar ketentuan pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris, atau pengubahan atau penambahan berupa tulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian, pencoretan.
e. Melanggar ketentuan pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak di sisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.
f. Melanggar ketentuan pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan, dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta engenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.
g. Melanggar ketentuan pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani , juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang disebut dalam akta.
Sehubungan dengan hal yang telah dijelaskan diatas sebagaian Notaris berpendapat lain karena kekuatan pembuktian akta berada di minuta akta maka akta yang tidak biberi stempel berlambang negara tidak mengurangi kekuatan pembuktiannya tersebut. Ada juga rekan Notaris yang berpendapat bahwa apabila akta tersebut tidak dibubuhi teraan cap atau stempel berlambang negara maka kekuatan pembuktiannya manjadi akta di bawah tangan.
Setelah penulis mengkaji, Penulis berpendapat bahwa jika Notaris melakukan kelalaian yaitu tidak memberi stempel berlambang negara pada akta yang dibuatnya, maka kekuatan dari akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Karena mempunyai stempel berlambang negara tersebut merupakan salah satu dari kewajiban notaris yang harus dipenuhi sebelum melakukan tugas jabatannya.
Pelanggaran terhadap peraturan penggunaan lambang negara ini dikenakan sanksi selama-lamanya 3 bulan atau denda Rp 500,-, Pasal 15 PP Nomor 43 Tahun 1958. Menurut hemat Penulis lambang Negara digunakan sebagai cap jabatan pada salinan akta, legalisasi, warmerking, dan lain sebagainya sesuai dengan pasal 56 dalam UUJN karena sudah pasti hal tersebut merupakan cap jabatan dan cap dinas Notaris, sedangkan untuk kop surat dan kartu nama penulis tidak perlu menggunakan lambang Negara, untuk menghindari pelanggaran pasal 15.
Sedangkan sanksi dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam pasal 69: 71 (Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 69):
”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), setiap orang yang :
a. Dengan sengaja menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b. Membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; atau
c. Dengan sengaja menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
AKIBAT HUKUM TERHADAP NOTARIS YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN LAMBANG NEGARA DALAM PRODUK YANG DITERBITKAN
A. Pengawasan Terhadap Notaris Dalam Melaksanakan Jabatannya
Agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Maka diadakan pengawasan terhadap notaris. Mengingat bahwa notaris dalam menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting, yaitu meliputi bidang dan peraturan yang lebih luas dari apa yang sebenarnya diuraikan dalam UUJN, maka diadakannya pengawasan terhadap notaris adalah sangat beralasan. Dikatakan demikian karena selain membuat akta-akta otentik, notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasehat-nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center For Documentation and Studies of Business Law (CDBSL), Yogyakarta, 2003, hal.56.)
Menurut Sujamto, pengawasan dalam arti sempit adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak, sedangkan pengawasan dalam arti luas adalah sebagai pengendalian, pengertiannya lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya. (Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hal.53.)
Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan anggota, Pemberhentian anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.
Berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 menyebutkan dalam hal pengawasan terhadap notaris, disebutkan bahwa pengawasan
terhadap notaris dilakukan oleh Menteri, di mana dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas, yang terdiri atas 3 (tiga) Majelis Pengawas terdiri dari unsur Departemen, Organisasi Profesi Notaris dan Para ahli/ akademisi. Majelis Pengawas ini juga terdiri dari: Majelis Pengawas pusat, Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah. Pengawasan terhadap notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris.
Substansi pengawasan terhadap notaris tidak hanya dalam pelaksanaan jabatan notaris, akan tetapi perilaku notaris juga harus diawasi Majelis pengawas, misalnya melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama,norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat notaris. Apabila notaris terbukti melakukan hal-hal tersebut maka dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan notaris dari jabatannya oleh Menteri berdasarkan laporan dari Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat). (Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10.22.II, Tanggal 3 Maret 2005, hal. 36.)
Mengingat notaris menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting, Notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik diawasi oleh yang berwajib, dengan tujuan agar Peraturan Jabatan Notaris dan Kode etik Notaris dapat dilaksanakan dengan baik dan notaris dalam menjalankan tugasnya selalu memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang, demi terjaminnya kepastian Notaris sangat beralasan karena Notaris merupakan pejabat yang memberikan jasanya kepada masyarakat dan memberikan penjelasan mengenai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana telah diketahui bahwa terhadap para notaris diadakan pengawasan yang dilakukan oleh yang berwajib, tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk tujuan lebih luas, yaitu agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang, demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayaninya.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan apa saja yang dimaksud dengan pengawasan terhadap Notaris adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap notaris.
Dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh Majelis Pengawas yaitu:
1. Pengawasan Preventif
2. Pengawasan Kuratif
3. Pembinaan
(Habib Adji, sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009,(selanjutnya disebut Buku III), hal.144 )
Undang-undang Jabatan Notaris, Kode Etik dan Undang-undang lainnya memberikan kepercayaan kepada Notaris untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan yang sudah diberikan kepada Notaris merupakan tanggungjawab yang harus diemban berdasarkan nilai-nilai agama, moral, kesusilaan, etika dan hukum. Pengawasan terhadap notaris bukan saja merupakan pengawasan terhadap kerja notaris melainkan juga pengawasan terhadap protokol notaris.
Tujuan diadakannya pengawasan terhadap protokol notaris adalah untuk menghindari terjadinya tindakan-tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukannotaris yang tidak sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris, dan juga mengingat bahwa notaris menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting, meliputi bidang dan peraturan Pelaksanaannya yang lebih luas dari apa yang sebenarnya diuraikan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004.
Dikatakan demikian karena selain membuat akta-akta otentik , notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasehat-nasehat hukum dan penjelasan mengenai Undang-undang kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dengan tegas dapat dikatakan bahwa inti dari tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum diantara para pihak yang secara mufakat meminta jasa-jasa notaris. (Rachmat Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cetakan keenam, Putra A .Bardin, bandung, 1999, hal. 7.)
Notaris sebagai pejabat Umum harus senantiasa menyadari bahwa ia diangkat oleh penguasa bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang memberikan kepada notaris suatu kepercayaan yang besar dan sejalan dengan itu, notaris harus pula menyadari bahwa setiap kepercayaan kepada seseorang meletakkan tanggungjawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum, moral maupun etika.
Seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, meskipun telah memiliki keterampilan profesi di bidang hukum, akan tetapi apabila tidak dilandasi oleh tangungjawab dan moral yang tinggi serta tanpa adanya penghayatan terhadap keluhuran dari martabat dan tugas jabatannya maupun nilai-nilai dan ukuran etika, tidak dapat diharapkan untuk dapat menjalankan tugas jabatannya, sebagaimana yang dituntut oleh hukum dan kepentingan masyarakat.
Menurut pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan hak Azasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, ada 2 lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris, yaitu Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh Menteri dan Dewan Kehormatan yang merupakan salah satu dari alat perlengkapan organisasi notaris, dalam hal ini tentunya Ikatan Notaris Indonesia.
Dewan kehormatan merupakan salah satu alat perlengkapan orgaisasi Ikatan Notaris Indonesia dan terdiri dari 3 (tiga) tingkat yaitu di tingkat pusat, wilayah (provinsi), dan daerah (kota/kabupaten). Anggota Dewan Kehormatan di setiap tingkat tersebut berjumlah 5 (lima) orang yang terpilih dalam rapat anggota berupa Kongres di tingkat Pusat, Konfrensi Wilayah di tingkat Propinsi dan Konfrensi Daerah di tingkat Kota/Kabupaten. Keberadaan Lembaga Dewan Kehormatan diatur dalam Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia. Adapun tugas dari dewan Kehormatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (3) anggaran Dasar Ikatan
Notaris Indonesia adalah sebagai berikut:
Dewan Kehormatan Bertugas untuk:
1. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
2. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
3. memberikan saran dan pendapat kepada majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
Pada dasarnya tugas utama Dewan Kehormatan adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik notaris yang telah ditentukan oleh organisasi meliputi kewajiban, larangan dan pengecualian yang harus dilakukan oleh para anggota organisasi. Dewan kehormatan dalam melaksanakan tugasnya tersebut dapat melakukan pemeriksaan terhadap anggota organisasi yang diduga melakukan pelanggaran atas kode etik notaris dan bila dinyatakan bersalah maka Dewan Kehormatan pun berhak menjatuhkan sanksi organisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia berupa teguran, peringatan, pemberhentian sementara, pemecatan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Wewenang Dewan Kehormatan tersebut adalah terhadap pelanggaran kode etik organisasi yang dampaknya tidak berkaitan dengan masyarakat secara langsung atau tidak ada orang-orang yang dirugikan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh anggota organisasi, atau dengan kata lain wewenang Dewan Kehormatan bersifat internal organisasi.
Adapun tujuan dari pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas wilayah, dan Majelis Pengawas Pusat terhadap Notaris adalah supaya notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau Undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat pengguna jasa notaris terhadap notaris tersebut. Sifat dari jabatan notaris maupun keluhuran dari martabat jabatannya mengharuskan adanya tanggungjawab dan kepribadian serta etika hukum yang tinggi, karena jabatan yang diamanatkan kepada notaris adalah suatu jabatan kepercayaan.
Oleh sebab itu, seseorang bersedia untuk mempercayakan sesuatu kepadanya dan adapun konsekuensi dari kepercayaan itu adalah tanggungjawab yang besar bagi notaris. Notaris yang tidak bertanggungjawab dan tidak menjunjung tinggi hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya adalah berbahaya, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat yang dilayaninya.
Selain dari adanya tanggungjawab dan etika profesi yang tinggi, juga adanya integritas dan moralitas yang baik, hal ini merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap notaris. Apabila notaris memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, maka dapat diharapkan notaris akan melakukan tugasnya dengan baik, sesuai dengan tuntutan hukum dan kepentingan masyarakat. Adapun hubungannya dengan tugas pengawasan terhadap pekerjaan notaris ini, Paulus Efendie Lotulung, dalam makalahnya yang disampaikan pada kongres ke-XVII Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 25-26 November 1999 di Jakarta dengan judul perlindungan hukum bagi notaris selaku pejabat umum dalam menjalankan tugasnya , mengatakan bahwa :
Sebagai konsekuensi yang logis, maka adanya kepercayaan terhadap notaris memerlukan pengawasan agar tugas notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasarinya dan agar terhindar dari penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan, dengan demikian tujuan pengawasan adalah agar segala hak dan kewajiban serta kewenangan yang diberikan kepada notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagaimana yang diberikan oleh Peraturan dasarnya senantiasa berada di atas rel, bukan saja rel hukum tetapi juga etika dan moral, demi tetap terjaganya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Adapun pengawasan ini dilakukan baik secara preventif maupun represif.
Jabatan notaris dalam proses pembangunan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena itu jasa notaris perlu diatur agar memperoleh perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Karena itu diundangkanlah Undang-undang Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004, tentang Jabatan Notaris, sehingga peraturan peraturan yang mengatur khusus mengenai notaris terdapat dalam Undang-undang ini, dan mengenai pengawasan terhadap notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan pasal 81.
Dinyatakan dalam UUJN bahwa yang melakukan pengawasan atas notaris diserahkan kepada Menteri , dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia. Dalam melakukan pengawasan terhadap notaris, Menteri membentuk Majelis Pengawas yang bertugas membantu Menteri dalam mengawasi notaris meliputi perilaku dan pelaksanaan dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris apabila terdapat notaris yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Dengan dibentuknya Majelis pengawas secara berjenjang diharapkan agar dapat mempermudah pengawasan Notaris mulai dari Daerah sampai ke Pusat.
Menurut Pasal 68 UUJN, Majelis Pengawas terdiri atas :
a. Majelis Pengawas Daerah;
b. Majelis Pengawas Wilayah; dan
c. Majelis Pengawas Pusat.
Tiap-tiap Majelis Pengawas ini dibentuk dengan kedudukan dan kewenangannya, serat kewajibannya masing-masing. Semua ini ditujukan dalam memudahkan Negara dalam mengawasi notaris dan pelaksanaan jabatannya.
Adapun Majelis Pengawas ini berjumlah 9 orang, terdiri atas unsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 orang
b. Organisasi notaris sebanyak 3 orang
c. Ahli/akademisi sebanyak 3 orang.
Dengan dibentuknya Peraturan-peraturan tersebut diharapkan Majelis Pengawas Notaris dalam menjalankan tugasnya agar dapat memberikan pembinaan dan pengawasan kepada notaris dalam menjalankan jabatan profesinya sebagai pejabat umum yang senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima jasa notaris dan masyarakat luas.
Berkaitan dengan adanya unsur pemerintah, organisasi notaris dan ahli/akademisi yang terdapat dalam Majelis Pengawas, Habib Adjie (Habib Adji, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.130.) berpendapat sebagai berikut:
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang didalamnya ada unsur notaris, dengan demikian setidaknya notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia notaris. Adanya anggota majelis Pengawas dari kalangan notaris merupakan pengawasan internal, artinya dilakukan oleh sesama notaris yang memahami dunia notaris luar dalam. Sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan masyarakat.
Perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara Internal dan eksternal.
Dikatakan demikian karena selain membuat akta-akta otentik , notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasehat-nasehat hukum dan penjelasan mengenai Undang-undang kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dengan tegas dapat dikatakan bahwa inti dari tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum diantara para pihak yang secara mufakat meminta jasa-jasa notaris. (Rachmat Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cetakan keenam, Putra A.Bardin, bandung, 1999, hal. 7. )
Notaris sebagai pejabat Umum harus senantiasa menyadari bahwa ia diangkat oleh penguasa bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang memberikan kepada notaris suatu kepercayaan yang besar dan sejalan dengan itu, notaris harus pula menyadari bahwa setiap kepercayaan kepada seseorang meletakkan tanggungjawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum, moral maupun etika.
Seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, meskipun telah memiliki keterampilan profesi di bidang hukum, akan tetapi apabila tidak dilandasi oleh tangungjawab dan moral yang tinggi serta tanpa adanya penghayatan terhadap keluhuran dari martabat dan tugas jabatannya maupun nilai-nilai dan ukuran etika, tidak dapat diharapkan untuk dapat menjalankan tugas jabatannya, sebagaimana yang dituntut oleh hukum dan kepentingan masyarakat.
Menurut pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan hak Azasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, ada 2 lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris, yaitu Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh Menteri dan Dewan Kehormatan yang merupakan salah satu dari alat perlengkapan organisasi notaris, dalam hal ini tentunya Ikatan Notaris Indonesia.
Dewan kehormatan merupakan salah satu alat perlengkapan orgaisasi Ikatan Notaris Indonesia dan terdiri dari 3 (tiga) tingkat yaitu di tingkat pusat, wilayah (propinsi), dan daerah (kota/kabupaten). Anggota Dewan Kehormatan di setiap tingkat tersebut berjumlah 5 (lima) orang yang terpilih dalam rapat anggota berupa Kongres di tingkat Pusat, Konfrensi Wilayah di tingkat Propinsi dan Konfrensi Daerah di tingkat Kota/Kabupaten. Keberadaan Lembaga Dewan Kehormatan diatur dalam Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia. Adapun tugas dari dewan Kehormatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (3) anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia adalah sebagai berikut:
Dewan Kehormatan Bertugas untuk:
- Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
- memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
- memberikan saran dan pendapat kepada majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
Pada dasarnya tugas utama Dewan Kehormatan adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik notaris yang telah ditentukan oleh organisasi meliputi kewajiban, larangan dan pengecualian yang harus dilakukan oleh para anggota organisasi. Dewan kehormatan dalam melaksanakan tugasnya tersebut dapat melakukan pemeriksaan terhadap anggota organisasi yang diduga melakukan pelanggaran atas kode etik notaris dan bila dinyatakan bersalah maka Dewan Kehormatan pun berhak menjatuhkan sanksi organisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia berupa teguran, peringatan, pemberhentian sementara, pemecatan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Wewenang Dewan Kehormatan tersebut adalah terhadap pelanggaran kode etik organisasi yang dampaknya tidak berkaitan dengan masyarakat secara langsung atau tidak ada orang-orang yang dirugikan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh anggota organisasi, atau dengan kata lain wewenang Dewan Kehormatan bersifat internal organisasi.
Adapun tujuan dari pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas wilayah, dan Majelis Pengawas Pusat terhadap Notaris adalah supaya notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau Undang-undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh client terhadap notaris tersebut. Sifat dari jabatan notaris maupun keluhuran dari martabat jabatannya mengharuskan adanya tanggungjawab dan kepribadian serta etika hukum yang tinggi, karena jabatan yang diamanatkan kepada notaris adalah suatu jabatan kepercayaan.
Oleh sebab itu, seseorang bersedia untuk mempercayakan sesuatu kepadanya dan adapun konsekuensi dari kepercayaan itu adalah tanggungjawab yang besar bagi notaris. Notaris yang tidak bertanggungjawab dan tidak menjunjung tinggi hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya adalah berbahaya, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat yang dilayaninya.
Selain dari adanya tanggungjawab dan etika profesi yang tinggi, juga adanya integritas dan moralitas yang baik, hal ini merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap notaris. Apabila notaris memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, maka dapat diharapkan notaris akan melakukan tugasnya dengan baik, sesuai dengan tuntutan hukum dan kepentingan masyarakat. Adapun hubungannya dengan tugas pengawasan terhadap pekerjaan notaris ini, Paulus Efendie Lotulung, dalam makalahnya yang disampaikan pada kongres ke-XVII Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 25-26 November 1999 di Jakarta dengan judul perlindungan hukum bagi notaris selaku pejabat umum dalam menjalankan tugasnya , mengatakan bahwa :
Sebagai konsekuensi yang logis, maka adanya kepercayaan terhadap notaris memerlukan pengawasan agar tugas notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasarinya dan agar terhindar dari penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan, dengan demikian tujuan pengawasan adalah agar segala hak dan kewajiban serta kewenangan yang diberikan kepada notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagaimana yang diberikan oleh Peraturan dasarnya senantiasa berada di atas rel, bukan saja rel hukum tetapi juga etika dan moral, demi tetap terjaganya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Adapun pengawasan ini dilakukan baik secara preventif maupun represif.
Jabatan notaris dalam proses pembangunan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena itu jasa notaris perlu diatur agar memperoleh perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Karena itu diundangkanlah Undang-undang Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004, tentang Jabatan Notaris, sehingga peraturan peraturan yang mengatur khusus mengenai notaris terdapat dalam Undang-undang ini, dan mengenai pengawasan terhadap notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan pasal 81.
Dinyatakan dalam UUJN bahwa yang melakukan pengawasan atas notaris diserahkan kepada Menteri, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia. Dalam melakukan pengawasan terhadap notaris, Menteri membentuk Majelis Pengawas yang bertugas membantu Menteri dalam mengawasi notaris meliputi perilaku dan pelaksanaan dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris apabila terdapat notaris yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Dengan dibentuknya Majelis pengawas secara berjenjang diharapkan agar dapat mempermudah pengawasan Notaris mulai dari Daerah sampai ke Pusat.
Menurut Pasal 68 UUJN, Majelis Pengawas terdiri atas :
a. Majelis Pengawas Daerah;
b. Majelis Pengawas Wilayah; dan
c. Majelis Pengawas Pusat.
Tiap-tiap Majelis Pengawas ini dibentuk dengan kedudukan dan kewenangannya, serat kewajibannya masing-masing. Semua ini ditujukan dalam memudahkan Negara dalam mengawasi notaris dan pelaksanaan jabatannya. menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya. (Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hal.53.)
Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan anggota, Pemberhentian anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.
Berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 menyebutkan dalam hal pengawasan terhadap notaris, disebutkan bahwa pengawasan
terhadap notaris dilakukan oleh Menteri, di mana dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas, yang terdiri atas 3 (tiga) Majelis Pengawas terdiri dari unsur Departemen, Organisasi Profesi Notaris dan Para ahli/ akademisi. Majelis Pengawas ini juga terdiri dari: Majelis Pengawas pusat, Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah. Pengawasan terhadap notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris.
Substansi pengawasan terhadap notaris tidak hanya dalam pelaksanaan jabatan notaris, akan tetapi perilaku notaris juga harus diawasi Majelis pengawas, misalnya melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat notaris. Apabila notaris terbukti melakukan hal-hal tersebut maka dapat
Adapun Majelis Pengawas ini berjumlah 9 orang, terdiri atas unsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 orang
b. Organisasi notaris sebanyak 3 orang
c. Ahli/akademisi sebanyak 3 orang.
Dengan dibentuknya Peraturan-peraturan tersebut diharapkan Majelis Pengawas Notaris dalam menjalankan tugasnya agar dapat memberikan pembinaan dan pengawasan kepada notaris dalam menjalankan jabatan profesinya sebagai pejabat umum yang senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima jasa notaris dan masyarakat luas.
Berkaitan dengan adanya unsur pemerintah, organisasi notaris dan ahli/akademisi yang terdapat dalam Majelis Pengawas, Habib Adjie (Habib Adji, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.130.) berpendapat
sebagai berikut:
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang didalamnya ada unsur notaris, dengan demikian setidaknya notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia notaris. Adanya anggota majelis Pengawas dari kalangan notaris merupakan pengawasan internal, artinya dilakukan oleh sesama notaris yang memahami dunia notaris luar dalam. Sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan masyarakat.
Perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara Internal dan eksternal.
Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas tidak hanya mengenai pelaksanaan tugas jabatan notaris agar sesuai dengan ketentuan UUJN, tetapi juga Kode Etik Notaris dan tindak-tanduk atau perilaku Notaris yang mencederai keluhuran martabat jabatan notaris. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan notaris dengan mengacu pada UUJN, mempunyai maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan notaris dipatuhi oleh notaris.
Mengenai pengawasan terhadap tindak-tanduk atau perilaku notaris, (Habib Adji, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.146.) maka yang menjadi ruang lingkup pengawasan Majelis Pengawas adalah yang berada di luar pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan notaris, dengan batasan:
1. Melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat;
2. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris, misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina.
Dengan demikian terdapat 3 institusi (Habib Adji, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.148.) dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris dengan kewenangan masing-masing, yaitu :
1. Majelis Pengawas (daerah, wilayah, dan pusat) dengan kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan notaris dan kode etik notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan notaris.
2. Tim pemeriksa dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkali 1 (satu) kali dalam 1(satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu.
3. Majelis pemeriksa (daerah, wilayah, pusat) dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau sesama notaris.
Selain melakukan pengawasan dan pemeriksaan, Majelis Pengawas juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi tertentu terhadap notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatan notaris. Adapun wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Majelis Pengawas Daerah tidak mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun Majelis Pengawas Daerah mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan tugas jabatan notaris, tapi tidak diberikan kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi apapun. Majelis Pengawas Daerah dalam hal ini hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada Majelis Pengawas Wilayah dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris
2. Majelis Pengawas Wilayah dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis. Majelis Pengawas wilayah dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final. Di samping itu mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris selama 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris. menurut pasal 77 huruf c UUJN, majelis Pengawas Pusat berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris.
Selain itu, Majelis Pengawas Pusat hanya berwenang untuk mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUJN kepada Menteri.
Mengingat jumlah pejabat notaris yang banyak seta tersebar di seluruh Indonesia maka dalam melakukan pembinaan,pengembangan, serta pengawasan terhadap para notaris, akan terasa agak susah bagi pemerintah dalam melakukan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu organisasi yang mana bukan saja untuk kepentingan profesi notaris, tetapi juga dalam melindungi masyarakat pemakai jasa notaris dari penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya dalam melayani masyarakat. Maka dari itu, pemerintah hanya mengakui satu organisasi untuk para notaris karena kebutuhan pengawasan dan pelaksanaan fungsi pemerintahan yang sebagian diemban oleh notaris. Adapun organisasi tersebut diberi nama Ikatan Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris selama 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris.
3. Menurut pasal 77 huruf c UUJN, majelis Pengawas Pusat berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris. Selain itu, Majelis Pengawas Pusat hanya berwenang untuk mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUJN kepada Menteri.
Mengingat jumlah pejabat notaris yang banyak seta tersebar di seluruh Indonesia maka dalam melakukan pembinaan,pengembangan, serta pengawasan terhadap para notaris, akan terasa agak susah bagi pemerintah dalam melakukan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu organisasi yang mana bukan saja untuk kepentingan profesi notaris, tetapi juga dalam melindungi masyarakat pemakai jasa notaris dari penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya dalam melayani masyarakat. Maka dari itu, pemerintah hanya mengakui satu organisasi untuk para notaris karena kebutuhan pengawasan dan pelaksanaan fungsi pemerintahan yang sebagian diemban oleh notaris. Adapun organisasi tersebut diberi nama Ikatan Notaris Indonesia (INI). Dengan adanya INI diharapkan dapat membantu dan bekerjasama dengan pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan jabatan notaris di Indonesia.
Wadah tunggal organisasi notaris sebagai pejabat umum diperlukan dalam rangka menjaga kualitas pelayanan yang diberikan oleh notaris kepada masyarakat, (Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Jabatan Notaris Dilengkapi putusan Mahkamah Konstitusi & AD, ART dan Kode Etik Notaris, dihimpun oleh Hadi Setia Tunggal, Harvarindo, Jakarta, 2008, hal. 233. )yaitu:
1. Menegakkan standard pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris selaku anggota organisasi;
2. melakukan sosialisasi dan peningkatan kualitas pelayanan notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
3. melakukan pengawasan atas ketentuan standard pelayanan jasa notaris ;
4. adanya satu kode etik notaris yang harus dihormati oleh setiap notaris dalam menjalankan tugas kewenangannya untuk menjaga martabat dan kehormatan notaris;
5. adanya suatu organisasiyang mengawasi kepatutan serta ketaatan pada kode etik itu serta memberikan sanksi kepada seorang notaris yang melakukan pelanggaran kode etik.
Kedua lembaga tersebut berwenang untuk mengawasi notaris sampai dengan menjatuhkan sanksi bagi notaris yang dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ada perbedaan kewenangan antara kedua lembaga tersebut dikarenakan keduanya terbentuk dari lembaga yang berbeda, namun keduanya tetap tidak dapat dipisahkan dari keberadaan organisasi notaris.
Tentang penyalahgunaan Lambang negara tersebut sebagai wewenang Majelis Pengawas Daerah sangat sempit hanya sebatas menerima laporan dari masyarakat dan melakukan sidang sehingga apabila ada pelaporan penyalahgunaan lambang negara kepada kepolisian, maka pemanggilan notaris atas penyalahgunaan tersebut harus meminta persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Sehingga MPD tidak ada alasan untuk tidak mengijinkan Notaris tersebut dipanggil oleh Kepolisian karena berlandaskan UUNo.24 tahun 2009 dan PP No. 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara, karena jika tidak diijinkan akan melindungi orang yang salah.
B. Akibat Hukum Terhadap Notaris yang Melakukan Penyalahgunaan Lambang Negara Dalam Produk yang Diterbitkan
Menurut analisa penulis, bahwa dalam Undang-undang Jabatan Notaris tidak memuat secara tegas tentang ketentuan penggunaan lambang negara. Dengan demikian perlu dijelaskan bahwa penggunaan lambang negara dimana jika terjadi penyimpangan terhadap penggunaan lambang negara, mempunyai aturan dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi seperi yang telah disebutkan dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara
dan pasal 69 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Setelah melakukan penelitian ke Majelis Pengawas Derah, yaitu bapak Pendastaren Tarigan bahwa penggunaan lambang negara di luar yang ditentukan dalam UUJN tidak dianggap sebagai penyimpangan karena dianggap masih bertindak dalam bidang pekerjaannya sebagai notaris bahwa Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan sanksi terhadap notaris yang berbuat demikian. Sehingga penyimpangan yang dilakukan notaris atas penggunaan lambang negara di kota medan tidak pernah diperiksa, dan belum pernah ada notaris yang diberi sanksi atas penyimpangan penggunaan lambang negara tersebut.
Menurut Notaris Anita Gloria Simanjuntak dan Notaris Gongga Marpaung (Hasil wawancara dengan Notaris Anita Gloria Simanjuntak, Notaris di Medan,7 Juli 2010 dan Gongga Marpaung , Notaris di Medan, 8 juli 2010) :
bahwa penggunaan lambang negara di luar dari yang ditetapkan dalm UUJN merupakan hal yang sudah biasa dan sudah menjadi kebiasaan mengikuti notaris- notaris terdahulu.
Menurut Muhammad Yamin, (Hasil wawancara dengan Muhammad Yamin, Ahli Hukum, tanggal 02 Agustus 2010) :
Akibat penyalahgunaan Lambang Negara yang dianggap sepele tapi mengakibatkan dampak yang buruk bagi para pihak dan juga terhadap Notaris itu sendiri seperti hal dalam kasus LS tahun 2005 dimana Notaris yang bersangkutan menngeluarkan surat yang tidak dijelaskan dikeluarkan sebagai apa, dan surat tersebut diberi cap stempel berlambang negara dimana sepihak menganggap mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan sepihak menganggap sebagai surat biasa. Surat tersebut dikeluarkan diluar dari wewenangnya sebagai notaris. Sehingga akibatnya kepada para pihak surat tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila Akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa dan dibatalkan oleh suatu putusan Pengadilan, maka hal ini perlu dipertanyakan apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum seperti halnya akta yang dibuatnya tidak diberi stempel berlambang negara karena kesalahan notaris baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum, dan tentunya hal ini harus terlebih dulu dapat dibuktikan.
Kerugian salah satu pihak merupakan penyebab utama terjadinya gugatan yang dapat menyebabkan pembatalan akta notaris tanpa adanya kerugian salah satu pihak maka tidak mungkin timbul suatu gugatan yang menyebabkan pembatalan akta tersebut.
Jabatan Notaris merupakan jabatan yang terhormat yaitu jabatan yang dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk pada Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris dan peraturan perundang-undangan ang berlaku, dengan demikian diharapkan agar Notaris dalam menjalankan jabatannya memiliki integritas moral dengan memperhatikan nilai agama, sosial danbudaya yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu seorang Notaris tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang mengandung cacat hukum atau tidak diberi stempel dengan cara sengaja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa di luar sepengetahuan Notaris para pihak/penghadap yang meminta untuk dibuatkan Akta memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar sehingga setelah semuanya dituangkan ke dalam Akta lahirlah sebuah akta yang cacat hukum.
Selain adanya keterangan-keterangan yang tidak benar, Akta yang dibuat Notaris juga menjadi batal karena adanya perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan dari para penghadap/para pihak yang tidak sesuai atau melanggar kesepakatan yang telah dituangkan dalam Akta Notaris tersebut. Perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan para penghadap/para pihak tersebut telah dikualifisir sebelumnya yaitu perbuatan wanprestasi (ingkar Janji) maupun perbuatan-perbuatan melawan hukum.
Seperti yang dapat dilihat dalam Keputusan Mahkamah Agung RI, tanggal 21 Mei 1973 No.70HK/Sip/1972, yang menyatakan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melakukan atau melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan.
Dengan terjadinya kasus-kasus wanprestasi dan perbuatan melawan hukum itu menyebabkan Notaris dapat digugat dan harus keluar masuk gedung Pengadilan untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat Akta otentik dan Akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para pihak menjadi dokumen negara.
Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak. Jika Akta yang diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaannya, Notaris itu sendiri harus memberikan pertanggungjawaban.
Dalam hal ini pertanggungjawaban Notaris bukan saja secara moral tetapi secara hukum, di mana Notaris dapat dituntut, digugat, maupun diberi sanksi. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan senantiasa dimintakan pertanggungjawabannya. Jika akibat kelalaian atau kesalahannya dalam membuat akta dapat dibuktikan maka dapat dimintakan pertanggungjawabannya baik secara perdata maupun Pidana. (Sanksi yang dikenakan, contohnya dalam pelanggaran pada Pasal 50 dan 51 UUJN berakibat akta yang dibuat notaris tersebut hanya memiliki keuatan pembuktian di bawah tangan.)
Pengenaan sanksi terhadap Notaris bergantung dari besarnya kesalahan yang dibuat Notaris. Oleh karena itu sikap kewaspadaan juga dituntut dari Notaris.
Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara tidak terlepas dari tanggung jawab secara perdata di mana Notaris selalu berpedoman dan/atau mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum perdata, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pertanggungjawaban yang diminta kepada Notaris bukan hanya dalam pengertian sempit yakni membuat Akta Notaris, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam arti luas, yakni tanggungjawab pada saat sebelum akta dibuat dan ditandatangani, tanggung jawab pada saat fase akta, dan tanggung jawab pada saat pasca penandatanganan Akta.
Pada dasarnya Notaris dalam membuat akta selalu dengan penuh kehati-hatian dan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Jabatan Notaris dan peraturan perundangan lainnya. Sebagaimana diketahui tugas Notaris adalah membuat akta otentik yang fungsinya untuk membuktikan kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan hukum oleh penghadap/para pihak dengan mencantumkan identitas masing-masing dari para pihak/penghadap tersebut. Notaris hanya mengkonstantir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya serta menuangkannya di dalam akta. Notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para pihak/penghadap lalu dituangkannya ke dalam akta, disini dapat dikatakan bahwa Notaris berwenang untuk menyesuaikan keterangan-keterangan yang diberikan para pihak/penghadap berikut surat-surat/dokumen-dokumen yang diberikan dengan surat-surat/dokumen-dokumen yang asli atau yang sebenarnya sehingga notaris dapat menuangkan yang formil ke materiil akta.
Disini juga notaris memberikan penyuluhan hukum untuk memberi arah dalam menemukan solusi yang benar dan tepat kepada para pihak/penghadap sehubungan dengan akta yang akan dibuatnya.
Berdasarkan uraian tersebut, apabila akta otentik yang mengandung cacat hukum tersebut dapat menjadi sengketa dan diperkarakan di depan sidang Pengadilan
maka dalam proses persidangan tersebut hakim akan melakukan pembuktian dengan menilai dapat tidaknya diterima suatu alat bukti dan menilai kekuatan pembuktiannya. Sehubungan dengan hal ini maka akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut akan menjadi bukti bahwa adanya suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh para pihak/penghadap yang oleh Notaris perbuatan hukum dari para pihak/penghadap tersebut dituangkan sebagai materiil dalam suatu akta. Hal ini berarti akta otentik itu sendirilah yang membuktikan bahwa telah terjadi suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap, bukan oleh Notaris. Oleh karenanya maka Notaris dalam hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Akan tetapi dengan adanya sengketa dan menjadi perkara di Pengadilan sehubungan dengan Akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut maka Notaris dalam hal ini akan diperiksa atau dipanggil sebagai saksi guna proses pembuktian. Pemanggilan terhadap Notaris sebagai saksi untuk memberikan keterangan di depan persidangan ada kalanya membuat seorang Notaris enggan hadir dalam persidangan tersebut. Sebagian orang berpendapat bahwa notaris tidak perlu hadir dalam sidang di Pengadilan untuk menjadi saksi mengingat akta yang dibuatnya adalah akta otentik yang merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Artinya adalah apa yang ditulis di dalam akta itu harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar selama ketidakbenarannya itu tidak dapat dibuktikan, dan akta itu sudah tidak memerlukan penambahan pembuktian.
Menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR bahwa memberikan kesaksian adalah merupakan suatu kewajiban, seseorang yang tidak memenuhi panggilan untuk menjadi saksi di depan persidanganakan berakibat (Hari Sasongko, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2005, hal. 80.) sebagai berikut :
1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi.
2. Secara paksa akan dibawa ke muka pengadilan.
3. Dimasukkan ke dalam penyanderaan (gijzeling).
Sebenarnya kehadiran seorang notaris sebagai saksi di depan sidang pengadilan sangat berguna untuk menerangkan duduk perkara yang sebenarnya atas akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut. Sebab notaris adalah orang yang mengetahui secara pasti kebenaran dari akta yang dibuatnya maka, sebagai saksi, notaris akan menerangkan tentang apa yang dilihatnya atau dialaminya. Selain daripada itu seorang Notaris apa bila dipanggil sebagai seorang saksi harus datang dan hadir di persidangan, sebab pada waktu kehadirannya itulah Notaris akan menentukan apakah dia akan mempergunakan hak ingkarnya (hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi) yang diatur dalam pasal 1909 ayat (3e) KUHPerdata, yang menyatakan:
“Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun adalah semata-mata mengenai hal yang sepengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian”.
Karena untuk mempergunakan hak ingkar harus dinyatakan dengan tegas dan hal ini hanya bisa dilakukan dengan hadirnya Notaris. Dapat dikatakan bahwa Hak Ingkar adalah merupakan perwujudan dari perlindungan hukum/immunitas hukum bagi Notaris untuk kepentingan masyarakat dan kewajiban untuk merahasiakan isi aktanya maupun hal-hal yang diketahuinya karena jabatannya.
Apabila Notaris mengemukakan hak ingkar dalam pemeriksaan di persidangan notaris harus mengemukakannya secara tegas dengan mengajukan bukti-bukti yaitu minimal dua orang saksi yang benar-benar mengetahui mengenai pembuatan akta otentik tersebut yang sebenarnya. Saksi-saksi yang dimaksudkan oleh Notaris tersebut adalah benar, dan saksi-saksi ini membantah keterangan-keterangan yang tidak benar sehubungan dengan pembuatan akta tersebut. Namun ada kalanya hak ingkar yang dimiliki Notaris ditolak oleh Hakim Pengadilan dengan alasan sebagai berikut:
a. Menurut penilaian hakim bahwa dalam hal pembuktian, keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh Notaris tidak dapat dibuktikan sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya sehubungan dengan pembuktian akta tersebut.
b. Keterangan-keterangan Notaris masih dibutuhkan yaitu perlu dikonfrontir dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap keterangan-keterangan dari saksi-saksi yang lain.
c. Kepentingan pro Justicia atau kepentingan umum yang lebih tinggi nilainya dari kepentingan pribadi.
Notaris selaku pejabat umum yang melaksanakan pelayanan terhadap publik selain mendapatkan pengawasan dari Majelis Pengawas juga memerlukan perlindungan hukum, yaitu:
1. Dalam hal menjadi saksi di pengadilan sehubungan dengan akta yang dibuatnya.
2. Dalam hal menjadi tergugat di pengadilan menyangkut akta yang dibuatnya.
3. Dalam hal sebagai terdakwa dalam perkara pidana sehubungan dengan kata yang dibuatnya.
4. Dalam hal penyitaan terhadap budel minuta yang dibuatnya. (Paulus Effendi Lotulong, Makalah tentang Perlindungan Hukum terhadap Notaris, Disampaikan pada Kongres INI XVII di Jakarta, 2000.)
Hak immunitas/kekebalan hukum bagi Notaris dapat diberikan dalam hal kewajiban untuk menolak memberikan keterangan yang menyangkut rahasia jabatannya, dan terhadap kesalahan yang diperbuat oleh seorang notaris haruslah dibedakan antara kesalahan yang bersifat pribadi dengan kesalahan di dalam menjalankan tugasnya. Secara pribadi, Notaris dapat dituntut dan dihukum sama seperti masyarakat biasa lainnya, namun sebagai seorang pejabat umum yang melaksanakan kepentingan publik, maka terhadap kesalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya atau hasil pekerjaannya, otentisitas akta-aktanya tetap dapat dijamin, dan terhadap notaris perlu diberikan perlindungan hukum yang berbeda mekanismenya dengan anggota masyarakat biasa. Hal ini tentunya akan membuat Notaris menjadi lebih kondusif dan terlindungi di dalam menjalankan tugasnya.
Seorang Notaris yang melakukan kesalahan di luar jabatannya atau secara pribadi, misalnya melakukan perbuatan seperti berjudi, mabuk-mabukan, menyalahgunakan Narkoba, dan melakukan perbuatan zinah. Dengan demikian maka:
-Notaris tersebut dapat dikatakan telah melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan
-Notaris dan Kode Etik Profesi Notaris.
-Sedangkan Notaris yang melakukan kesalahan dalam jabatannya selaku pejabat umum adalah apabila notaris dengan sengaja melakukan suatu kesalahan atau kelalaian dalam pembuatan akta maka ia dapat dituntut atau bertanggungjawab secara perdata maupun pidana. Akan tetapi seorang Notaris dapat juga dikatakan melanggar kode etik notaris pada saat melakukan tugas dan jabatannya, misalnya melakukan kesalahan etika terhadap sesama rekan Notaris.
Selain itu apabila Notaris melakukan suatu perbuatan pembuatan akta atas perintah dari para pihak, dan syarat-syarat formil yang ditentukan oleh undang-undang dalam pembuatan akta telah dipenuhi Notaris, maka Notaris tidak dapat bertanggung jawab. Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru ada arti apabila ia melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum.
Sebagian besar di dalam KUHPerdata dinamakan perbuatan melawan hukum.
Pertanggungjawaban Notaris yang sebagai akibat pembatalan akta notaris harus dilihat dari perbuatan yang mengakibatkan pembatalan akta tersebut apakah diakibatkan adanya kesalahan atau kelalaian Notaris atau karenaadanya perbuatan melawan hukum dari para pihak, Notaris tidak dapat diminta pertanggung- jawaban apabila batalnya akta akibat adanya kesalahan para pihak bukankesalahan Notaris.
Pertanggungjawaban Notaris timbul bukan hanya akibat perbuatan notaris semata tetapi lebih sering diakibatkan oleh adanya kesalahan dari para pihak yang mengikatkan diri dalam akta Notaris. Notaris harus tetap dilindungi hak-haknya dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam pembuatan akta.
Untuk pertanggungjawaban notaris ini ada baiknya mengutip pernyataan yang sangat menarik dari Habib Adjie yang menyatakan pada Komunitas Hukum Indonesia, bahwa telah terjadi kesalahan persepsi dalam memahami Akta Notaris. Bahwa inti dari adanya Akta Notaris, yaitu adanya keinginan atau kehendak para pihak, agar segala bentuk tindakannya dituangkan ke dalam bentuk Akta Notaris, tanpa keinginan para pihak sudah tentu Notaris tidak akan membuatkannya untuk para pihak dan agar menjadi akta otentik kemudian Notaris memberi bingkai formalitas agar dapat menjadi alat bukti yang sempurna sesuai aturan hukum yang berlaku. Sehingga suatu akta Notaris bukan perbuatan Notaris, dan Notaris bukan pihak dalam Akta tersebut.
Dengan pengertian semacam ini, jika ada Akta Notaris ingin dibatalkan atau agar tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi para pihak yang tersebut dalam akta, maka yang harus dilakukan para pihak, yaitu datang kembali kepada Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta yang telah dibuat sebelumnya. Jika ini tidak dapat dilakukan, maka salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya ke Pengadilan Negeri (bukan menggugat Notaris), dengan pokok gugatan agar akta Notaris yang dimaksud didegradasikan kedudukannya dari akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, diputuskan menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Setelah diputuskan seperti itu, hakim dapat melakukan penafsiran atau penilaian, apakah akta tersebut dibatalkan atau tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi para pihak.
Perbuatan hukum yang dapat dibatalkan atau adanya cacat yang tidak berakibat batal demi hukum masih dapat disahkan sebagaimana diatur dalam pasal 1892 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut pengesahan dapat dilakukan dengan penguatan (Bekrachtiging) atau penetapan (Bevestigiving) yang mengakibatkan hilangnya atau dilepaskannya hak untuk membatalkan perbuatan hukum yang sedianya dapat dimajukan dengan tidak mengurangi hak Pihak Ketiga. Di dalam Akta penguatan atau Akta penetapan tersebut harus dicantumkan isi pokok perbuatan dan alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya beserta maksudnya untuk memperbaiki cacat yang sedianya menjadi dasar tuntutan tersebut.
Perlu diperhatikan akibat dari pengesahan atau penguatan tersebut menyebabkan perbuatan hukum yang bersangkutan menjadi sah sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan.
Dalam Pasal 84 UUJN diatur secara khusus akibat pelanggaran yang dilakukan Notaris terhadap ketentuan-ketentuan tertentu di dalam UUJN tersebut. Akibat pelanggaran tersebut dapat menyebabkan akta notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, namun dapat pula suatu akta menjadi batal demi hukum. Adalah sangat penting untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran yang ada pada pasal-pasal UUJN. Salah satunya pelanggaran terhadap pasal 16 ayat 1 huruf k termasuk di dalamnya.
Pasal 84 UUJN apabila berkaitan dengan perbuatan hukum yang digolongkan pada perjanjian formil atau perbuatan hukum yang mengharuskan bentuk akta notaris atau tidak dipenuhinya unsur essentialia mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi batal karena akta notaris hanya berfungsi sebagai alat bukti maka dengan adanya pelanggaran atas pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 84 UUJN menyebabkan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Tanpa adanya pendegradasian seperti itu telah mencederai posisi akta Notaris.
Perlu dipahami secara integral bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga siapapun (termasuk Hakim), terikat dan tidak boleh menafsirkan apapun selain yang tertulis dalam akta. Ini merupakan makna akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Tapi ternyata hal seperti ini tidak dapat dipahami secara benar oleh para komunitas hukum (seperti hakim, dan Pengacara), hal ini dapat kita baca dari berbagai putusan hakim, secara langsung membatalkan akta notaris, tanpa didahului adanya putusan pendegradasian akta Notaris menjadi akta di bawah tangan.
C. Ketentuan Sanksi Terhadap Notaris yang Melakukan Penyimpangan Dalam Penggunaan Lambang Negara.
Sebagaimanaa yang telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya mengenai segala kewajiban dan larangan yang mengikat seorang pejabat notaris, maka diatur pula berbagai macam sanksi-sanksi yang akan dikenakan bagi notaris yang melanggar ketentuan tersebut. Terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, apabila dilanggar, maka terhadap notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi yang diatur dalam Bab XI Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut, dan sanksi lain di luar UUJN.
1. Sanksi Dalam UUJN
Pertanggungjawaban Notaris dalam pembuatan Akta otentik menimbulkan konsekuensi bahwa Notaris dapat dikenakan sanksi. Sanksi terhadap Notaris diatur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN, ada 2 (dua) macam, yaitu:
a. Sanksi Perdata.
sebagaimana tersebut dalam pasal 84 UUJN, yaitu jika notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52. jika ketentuan dalam pasa tersebut di atas tidak dipenuhi, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum dan hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi para pihak (para penghadap) yang tercantum dalam akta yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
(Substansi Pasal 84 UUJN ini dapat dibandingkan dengan pasal 60 PJN disebutkan jika akta yang di buat di hadapan Notaris tidak memenuhi syarat bentuk dapat dibatalkan di muka pengadilan atau hanya dianggap dpat berlaku sebagai akta yang dibuat di bawah tangan. Menurut Pasal 60 UUJN dalam pembatalan akta untuk berlaku sebagai akta di bawah tangan memerlukan putusan pengadilan. Menurut Pasal 84 UUJN hal seperti tersebut dalam Pasal 60 PJN tidak diperlukan. Ketentuan Pasal 60 PJN ini sesuai dengan Substansi Pasal 1869 BW.)
Sanksi berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum..
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, karena melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Kedudukan akta Notaris yang kemudian mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan merupakan penilaian suatu alat bukti. Sedangkan suatu akta yang batal demi hukum maka akta tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. Sesuatu yang tidak pernah dibuat tidak dapat dijadikan dasar suatu tuntutan dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.
Penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga dapat dituntut kepada Notaris harus didasarkan pada suatu hubungan hukum antara Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris.
b. Sanksi Administratif
Sebagaimana tersebut dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan atau Pasal 63 maka notaris dapat dikenakan Sanksi Administratif berupa:
1. Teguran Lisan.
2. Teguran Tertulis.
3. Pemberhentian sementara.
4. Pemberhentian dengan hormat.
5. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Pengenaan Sanksi Administratif dapat bersifat Preventif dan juga dapat bersifat Represif dan seluruhnya dilaksanakan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris yang dinilai melakukan pelanggaran.
Pengenaan sanksi terhadap notaris yang melakukan penyalahgunaan Lambang Negara yang dianggap sepele, seperti halnya kasus LS yang menimbulkan dampak yang cukup besar bagi para pihak dan juga pada notaris itu sendiri .
Kasus LS menimbulkan korban jiwa, dimana para ahli waris melakukan rapat di kantor notaris yang tidak dihadiri notaris tersebut dan mengeluarkan Surat Pernyataan yang merupakan hasil rapat tersebut yang ditandatangani dan distempel berlambang negara dan diterbitkan Notaris tapi tidak disebut bahwa surat tersebut sebagai legalisasi atau sebagai warmerking sehingga menimbulkan persepsi yang negatif bagi para pihak.
Sehingga Majelis Pengawas Wilayah menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang bersangkutan dengan Surat Putusan W-007.01.02 Tahun 2007 yang berisi:
1. Tindakan X selaku Notaris di Medan tidak tepat karena menandatangani dan membubuhkan stempel pada surat pernyataan tanggal 28 agustus 2006, sehingga menimbulkan persepsi negatif
2. Surat pernyataan tanggal 28 Agustus 2006 tidak dapat dibatalkan oleh Majelis Pengawas wilayah sumatera Utara dan hanya berkekuatan surat di bawah tangan yang mengikat bagi para pihak yang menandatangani
3. Memberi teguran tertulis terhadap X selaku Notaris di Medan. Dimana sanksi teguran tertulis yang dijatuhkan oleh MPW terhadap X tersebut dikuatkan oleh Majelis Pengawas Pusat.
Setelah dikaji di atas sanksi yang diberikan MPW terhadap X tersebut merupakan salah satu dari sanksi yang disebutkan dalam UUJN yaitu sanksi teguran tulisan.
2. Sanksi Lainnya di luar UUJN
Ikatan Notaris Indonesia (INI) telah mengatur mengenai sanksi hukum dan sanksi etika terhadap Notaris. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas jabatannya Notaris harus mematuhi dan melaksanakan ketentuan yang sudah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai pedoman moral dan etika dalam berprofesi. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana akibat hukum terhadap Notaris sebagai pejabat publik atas penyalahgunaan lambang negara dalam produk yang diterbitkannya. Tentunya dalam koridor-koridor hukum sebagaimana diatur dalam Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hasil pengumpulan data diketahui bahwa penjatuhan sanksi perdata terhadap Notaris atas akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mengakibatkan Akta Notaris tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta Notaris batal demi hukum. Penjatuhan sanksi administratif terhadap Notaris tidak serta merta mengakibatkan akta yang dibuat oleh atau di hadapannya menjadi akta di bawah tangan atau batal demi hukum. Karena penjatuhan sanksi administratif ini tidak berkaitan dengan aspek lahir, formil dan materil akta Notaris.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris tidak serta merta mengakibatkan akta yang dibuat oleh atau di hadapannya menjadi batal demi hukum. Mempidanakan Notaris dengan alasan-alasan pada aspek formal akta, tidak akan membatalkan akta Notaris yang dijadikan objek perkara pidana tersebut, dengan demikian akta yang bersangkutan tetap mengikat para pihak. Dengan dijatuhkannya sanksi etika terhadap seorang Notaris tidak mengakibatkan akta yang dibuat oleh atau dihadapannya menjadi akta di bawah tangan, batal demi hukum ataupun dapat dibatalkan, akta tersebut tetap mengikat para pihak. Tanggung jawab Notaris Akibat penjatuhan sanksi Hukum dan Etika adalah Notaris tersebut harus melaksanakan sanksi hukum dan etika tersebut.
Diluar dari sanksi tersebut di atas sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris apabila melakukan penyimpangan dalam penggunaan lambang negara tersebut yaitu; sanksi yang telah disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara yaitu barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 12 dan Pasal 15 dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya limaratus rupiah, dan Pasal 69 Undang-undang Nomor 24 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Sedangkan sanksi dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam pasal 69: (Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 69)
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), setiap orang yang :
d. dengan sengaja menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
e. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; atau
f. dengan sengaja menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-undang ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peranan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang atas penggunaan lambang Negara dalam produk yang diterbitkannya berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku Penggunaan Lambang Negara oleh Notaris tersebut dilakukan secara terbatas, yaitu pada stempel atau Cap Jabatan ke dalam Akta dan etiket dan pada surat-surat Jabatan Notaris. Penggunaan Lambang Negara oleh Notaris terbatas sesuai dengan kewenangan Notaris, yaitu:
a. Pada salinan Akta
b. Pada pengesahan tandatangan Surat di bawah tangan
c. Pada Pembukuan surat-surat di bawah tangan
d. Pada copi dari Surat-surat asli di bawah tangan
e. Pada Pengesahan Pencocokan fotokopi dengan surat aslinya
f. Pada minuta Akta, akta originali, salinan akta, Kutipan akta grosse akta, surat di bawah tangan, dan surat-surat resmi yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN, dimana bentuk dan ukuran Cap/stempel Notaris terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.HT.03.10.Tahun 2007.
g. Pada Kop Surat yang merupakan surat Jabatannya sebagai notaris.
2. Penyimpangan penggunaan Lambang Negara yang ditemui dalam praktek Notaris yaitu:
a. Dalam kartu nama
b. Dalam Covernote
c. Dalam Kwitansi/tanda penerimaan uang
d. Dalam Jilid atau map yang menuliskan kedudukan yang bersangkutan sebagai notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), padahal harus dipahami PPAT tidak menggunakan lambang negara.
e. Dalam formulir pembayaran pajak BPHTB, diberi Cap berlambang Garuda.
f. Dalam surat-surat yang tidak ada hubungannya dengan jabatannya sebagai notaris
3. Diluar dari sanksi perdata dan sanksi administratif yang ada dalam UUJN, sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris apabila melakukan penyimpangan dalam penggunaan lambang negara tersebut yaitu; sanksi yang telah disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara yaitu barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 12 dan Pasal 15 dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya limaratus rupiah, dan Pasal 69 Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Sedangkan sanksi dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam pasal 69:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), setiap orang yang :
a. dengan sengaja menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; atau
c. dengan sengaja menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-undang ini.
B. Saran
1. Kepada Notaris sebagai pejabat yang dipercayakan dalam menggunakan lambang negara agar dalam penggunaan lambang negara tersebut harus tepat sesuai dengan ketentuan-ketentuan seperti Undang-undang Jabatan Notaris, dan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan harus dijunjung tinggi.
2. Kepada para Majelis Pengawas seharusnya dapat menerapkan sanksi terhadap notaris yang menyalahgunakan lambang negara sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga ke depannya notaris jera dan dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik.
3. Kepada Pengurus Organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) diharapkan memberikan penyuluhan kepada para notaris dalam menggunakan lambang negara sesuai yang telah ditetapkan dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sehingga ada keseragaman dan keserasian antar Notaris dalam penggunaan Lambang Negara tersebut.