Sabtu, 17 Desember 2011

PENYIMPANGAN YANG DITEMUI DALAM PRAKTEK NOTARIS ATAS PENGGUNAAN LAMBANG NEGARA


A.  Bentuk-bentuk Penggunaan Penggunaan Lambang Negara

Bentuk  penggunaan  lambang  negara  oleh  notaris  yang  sesuai  dengan  UUJNpasal 56, lambang negara dilekatkan di:

a.       Untuk salinan Akta (Pasal 15 ayat [1]UUJN).
b.      Pada  pengesahan  tandatangan  Surat  di  bawah  tangan  (Pasal  15  ayat  [2]      huruf a UUJN)
c.       Pada  Pembukuan  surat-surat  di  bawah  tangan  (Pasal  15  ayat  [2]  huruf  b UUJN)
d.      Pada  copi  dari  Surat-surat  asli  di  bawah  tangan  (Pasal  15  ayat  [2]  huruf  c UUJN)
e.       Pada Pengesahan Pencocokan fotokopi dengan surat aslinya (Pasal 15 ayat [2] huruf d UUJN)
f.        Pada minuta Akta, akta originali, salinan akta, Kutipan akta grosse akta, surat di bawah tangan, dan surat-surat resmi yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas  Jabatan  Notaris  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  15  UUJN,  dimana bentuk  dan  ukuran  Cap/stempel  Notaris  terdapat  dalam  Pasal  5  Peraturan Menteri  Hukum  dan  Hak  Azasi  Manusia  Republik  Indonesia  Nomor M.02.HT.03.10.Tahun 2007.


B.  Bentuk-bentuk Penyimpangan atas Penggunaan Lambang Negara

Sebagai  orang  awam,  Notaris  di  mata  masyarakat  adalah  seseorang  yang menyandang  gelar  profesi  yang  terpecaya  dan  diakui  oleh  pemerintah,  hal  mana terbukti  dengan  diberikannya  hak  bagi  seorang  Notaris  untuk  menggunakan  dan memegang  cap/stempel  bergambar  Burung  Garuda,  yang  merupakan  Lambang Negara  Republik  Indonesia  dan  tidak  semua  orang  maupun  pejabat  yang  dapat menggunakan  dan  memegang  cap/stempel  Lambang  Negara  tersebut,  dasar kepercayaan  tersebut  terbentuk  dalam  benak  masyarakat  awam  yang  telah beranggapan bahwa profesi Notaris merupakan profesi  yang mulia  yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan di tengah masyarakat.

Tetapi dalam praktek Notaris sangat banyak terjadi penyalahgunaan Lambang Negara,  dari  hasil  penelitian  ditemukan  penyalahgunaan  lambang  negara  dalam
produk yang diterbitkan oleh notaris, seperti di bawah ini.

Penyimpangan penggunaan Lambang Negara yang ditemui yaitu:
  1. Dalam kartu nama

Penggunaan Lambang Negara untuk kartu nama, hal ini dianggap tidak perlu, karena kartu nama dapat diartikan sebagai suatu  promosi, reklame perdagangan atau cap  dagang  dari  notaris  yang  bersangkutan.  Kartu  nama  bukanlah  surat  jabatan sehingga  tidak  dapat  diberikan  lambang  Negara  di  dalamnya,  sebagaimana  diatur dalam pasal 12 ayat 3 PP No.43 tahun 1958.

  1. Dalam Covernote
 Dalam  praktek  notaris  dan  sering  dilakukan  oleh  para  notaris  yaitu membuat  Covernote  yang  berisi  pernyataan  atau  keterangan  notaris  yang menyebutkan  atau  menguraikan  bahwa  tindakan  hukum  tertentu  para pihak/penghadap  untuk  akta-akta  tertentu  telah  dilakukan  di  hadapan  Notaris dan  sudah  pasti  Covernot  tersebut  ditandatangani  dan  dibubuhi  cap/stempel Notaris yang bersangkutan.

Padahal  Covernote  tersebut  hanya  pernyataan  atau  keterangan  dari  notaris  yang  bersangkutan  dan  tidak  bernilai  hukum  apapun,  tapi  dalam praktek  notaris  seakan-akan Covernote menjadi semacam ”surat sakti” dari notaris  yang  dapat  dilandasi  tindakan  hukum  lainnya.  Jika  Covernote  tersebut ternyata  tidak  benar,  mana  hal  tersebut  tanggungjawab  Notaris  sepenuhnya dengan  segala  akibat  hukumnya,  sedangkan  Notaris  membuat  dan mengeluarkan Covernote di luar kewenangan sebagai notaris. 
c.  Dalam Kwitansi/tanda penerimaan uang
dalam pratek notaris, banyak  yang menggunakan stempel berlambang negara dalam  kwitansi,  seperti  halnya  dalam  penerimaan  sejumlah  uang  yang  tidak ada hubungannya sama sekali dengan jabatannya sebagai Notaris.

d.  Dalam Jilid atau map yang menuliskan kedudukan yang bersangkutan sebagai notaris  dan  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  (PPAT),  padahal  harus  dipahami PPAT tidak menggunakan lambang negara.

e.  Dalam formulir pembayaran pajak BPHTB, diberi Cap berlambang Garuda.

Kewajiban  pembayaran  BPHTB  apabila  jika  telah  diputuskan/diberi  hak kepada seseorang dengan dibuktikan adanya serifikat (bukti Hak), dimana ini merupakan  wewenang  dari  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  jadi  dengan diberinya  stempel  berlambang  negara  dalam  pembayaran  BPHTB  tersebut dianggap suatu penyalahgunaan lambang negara karena diluar dari wewenang sebagai notaris.

f.  Dalam  surat-surat  yang  tidak  ada  hubungannya  dengan  jabatannya  sebagai notaris,  seperti  yang  terjadi  dalam  kasus LS,  dimana  Notaris  mengeluarkan surat  bukan  akta,  bukan  legalisasi,  bukan  warmerking  tetapi  Notaris  tersebut membubuhkan  tandatangan  dan  stempel  berlambang  negara  sehingga menimbulkan persepsi negatif.

Tentang  pemakaian  teraan  cap  notaris  WPNR  no.3391  hlm.553  menulis kejadian-kejadian sebagai berikut:
1.  Seorang  notaris  di  Amsterdam  pernah  meminta  kepada  pemegang hipotek  (hypotheekbewaarder)  untuk  mencatat  bahwa  dalam  suatu akta  yang  telah  dibuatnya,  telah  terjadi  cessie  dari  piutang  yang dijamin  hipotek.  Permintaan  dilakukan  dalam  surat  biasa  dan  oleh notaris itu diberi teraan capnya. Pemegang hipotek membalas surat itu dengan  permintaan  agar  notaris  yang  berkenaan  untuk  selanjutnya jangan memakai teraan cap notaris dan menunjuk PW 13140

2.  Dalam PW 13140 itu seorang notaris membuat suatu keterangan dalam bentuk sebagai berikut: “yang bertandatangan di bawah ini notaris A di  kota  B  menerangkan  bahwa  dengan  akta  di  bawah  tangan  tentang Pemisahan  dan  pembagian  tertanggal  ……harta-harta tetap…..dan…..telah  dibagikan  kepada….”.  Keterangan  itu  diberi teraan  cap  Notaris.  Menteri  memberitahukan  sehubungan  dengan  itu bahwa  penyalahgunaan  cap  jabatan  Notaris  tidak  boleh  dilakukan dengan menunjuk PW 7065.

3.  Dalam  PW  7065  telah  dibicarakan  pemberian  teraan  cap  notaris  atas kuitansi yang diberikan untuk pembayaran pada sebuah kantor notaris. Tentang  hal  ini  ditulis  dalam  PW  7065  bahwa  yang  berkenaan  telah menyalahgunakan  teraan  cap  Notaris  dan  menerangkan  sebagai berikut:
Cap Jabatan Notaris dimaksudkan untuk menjamin autentisitas tanda-tanda  (stukken)  yang  dibuat  oleh  seorang  notaris  berdasarkan jabatannya.  Karenanya  teraan  itu  tidak  boleh  diberikan  atas  tanda-tanda  yang  dikeluarkan  oleh  Notaris  sebagai  perorangan,  tanda-tanda tersebut tidak mempunyai autentisitas.

Sehubungan  dengan  hal  penggunaan  Lambang  negara  di  atas, bahwa  Penggunaan  lambang  negara  di  luar  yang  ditentukan dalam UUJN seperti dalam kartu nama, Covernote, Kwitansi, dan Map tidak dianggap  suatu penyimpangan sejauh masih dalam batas kewenangannya sebagai Notaris.

Sedangkan  mengenai  penggunaan  Lambang  Negara  seyogyanya ditempatkan pada tempat tertentu seperti pada salinan Akta, sampul akta karena masih rangkaian dari produk Notaris, dan pada kop surat apabila dikeluarkan atas pekerjaannya sebagai Notaris, tergantung berpandangan dari sudut mana dulu.

Dengan  adanya  Peraturan  Pemerintah  Nomor  43  tahun  1958  tentang Penggunaan  Lambang  Negara  dan  Undang-undang  Nomor  24  tahun  2009  tentang Bendera,  Bahasa,  dan  Lambang  Negara,  serta  Lagu  Kebangsaan.  Penggunaan Lambang  Negara  oleh  Notaris  harus  sesuai  denan  UUJN  dan  juga  Peraturan  Perundang-undangan di atas. Penggunaan  Lambang Negara harus sesuai  dengan apa yang telah ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut

Seperti halnya, Lambang Negara boleh ditempatkan di dalam gedung-gedung negeri (Pasal 1 ayat 1 jo pasal 3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan  Lambang  Negara  ,  menurut  penulis  hal  ini  berlaku  pula  untuk  kantor notaris karena menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, Notaris adalah termasuk pejabat Negara yang mempunyai wewenang khusus dalam membuat akta-akta otentik (pasal 1360 KUHPER).

Menurut  pasal  5  Peraturan  Pemerintah  Nomor  43  tahun  1958,  bahwa  meletakkan lambang Negara pun ada aturannya, harus menempatkan lambang Negara paling tidak sejajar dengan foto presiden dan wakil presiden.

Pasal  7  PP  ini  menyatakan  bahwa  cap  jabatan,  cap  dinas  dan  surat  jabatan
dengan  lambang  Negara  didalamnya  hanya  boleh  digunakan  secara  limitatif  oleh jabatan-jabatan yang ditentukan dalam ayat 1 pasal 7 tersebut, antara lain notaris.

Dalam  pasal  12  menyatakan  dengan  jelas  larangan  penggunaan  lambang Negara sebagai perhiasan, cap dagang, reklame perdagangan atau propaganda politik dengan cara apapun.  Sehingga penggunaan lambang negara dalam kartu nama dapat dianggap sebagai suatu promosi.

Menurut  penulis  kop  surat  berlambang  Negara  sebenarnya  boleh,  selama menggunakannya  untuk  menulis  surat-surat  sehubungan  dengan  jabatan  sebagai notaris  karena  itu  merupakan  surat  jabatan  (pasal  7  ayat  3).    Menurut  penulis,  surat jabatan bukan hanya akta-akta yang dibuat oleh Notaris, namun termasuk pula surat- surat  yang  dibuat  notaris  dalam  rangka  menjalankan  tugas  jabatannya,  bukan  surat pribadinya.

Jadi  apabila  penggunaan  lambang  negara  tidak  pada  tempatnya  dikatakan suatu  pelanggaran,  karena  adanya  peraturan  berupa  Peraturan  Pemerintah  mengenai Penggunaan  Lambang  Negara  dan  Undang-undang  No.24  tahun  2009  tersebut. Mengingat  Notaris  adalah  pejabat  negara  yang  telah  dipercayai  menggunakan Lambang Negara seharusnya peraturan tersebut harus difungsikan dengan baik.

Tan Thong Kie menyatakan bahwa pemakaian Lambang negara di cap Notaris 1.  Untuk menjamin pekerjaan Notaris terhadap masyarakat
2.  Pemakaian  lambang  negara  sangat  peka  dan  tidak  dipercayakan kepada setiap pejabat.

Karena  itu  perlu  dipahami  ketentuan  memakai  lambang  negara  harus  tepat sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan dijunjung tinggi. Seperti halnya Camat dan Lurah tidak memakainya, padahal mereka merupakan bagian dari pemerintahan.

Penyalahgunaan  oleh  Notaris  dapat  saja  menyebabkan  sanksi  pidana  yang  dapat menjerat notaris. 

Akta yang tidak dibubuhi teraan cap berlambang negara merupakan kelalaian dari  Notaris,  dimana  batasan  akta  notaris  batal  demi  hukum  dapat  dilihat  dari  suatu perjanjian  batal  demi  hukum  jika  tidak  mempunyai  objek  tertentu  yang  dapat ditentukan,  mempunyai  sebab  yang  dilarang  oleh  Undang-undang  atau  berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
                                                 
Ketentuan-ketentuan  jika  dilanggar  akta  notaris  mempunyai  kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal tertentu  dalam  UUJN  yang  bersangkutan  sebagaimana  tersebut  di  atas,  maka  dapat ditafsirkan  bahwa  ketentuan-ketentuan  yang  tidak  disebutkan  dengan  tegas  akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,  Habib Adje menyatakan yang termasuk ke dalam akta notaris yang batal demi hukum adalah :

a.        Melanggar kewajiban sebagai mana tersebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf l,  yaitu  tidak  membuat  daftar  akta  wasiat  dan  mengirimkan  ke  Daftar Pusat wasiat dalam waktu 5(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil)
b.        Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf k,  yaitu  tidak  mempunyai  cap/stempel  yang  memuat  lambang  negara Republik  Indonesia  dan  pada  ruang  yang  melingkarinya  dituliskan  nama, jabatan, dan tempat kedudukannya.
c.        Melanggar  ketentuan  pasal  44,  pada  akhir  akta  tidak  disebutkan  atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta  yang  tidak  dibuat  dalam  bahasa  Indonesia  atau  bahasa  lainnya  yang digunakan  dalam  akta,  memakai  penterjemah  resmi,  penjelasan, penandatanganan  akta  di  hadapan  penghadap,  notaris  dan  penterjemah resmi.
d.        Melanggar  ketentuan  pasal  48,  yaitu  tidak  memberikan  paraf  atau  tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris, atau pengubahan  atau  penambahan  berupa  tulisan  tindih,  penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian, pencoretan.
e.        Melanggar  ketentuan  pasal  49,  yaitu  tidak  menyebutkan  atas  perubahan akta  yang  dibuat  tidak  di  sisi  kiri  akta,  tapi  untuk  perubahan  yang  dibuat pada  akhir  akta  sebelum  penutup  akta,  dengan  menunjuk  bagian  yang diubah  atau  dengan  menyisipkan  lembar  tambahan.  Perubahan  yang dilakukan tanpa menunjuk bagian  yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.
f.          Melanggar  ketentuan  pasal  50,  yaitu  tidak  melakukan  pencoretan, pemarafan, dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan  yang  tercantum  semula,  dan  jumlah  kata,  huruf,  atau  angka  yang dicoret  dinyatakan  pada  sisi  akta,  juga  tidak  menyatakan  pada  akhir  akta engenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.
g.        Melanggar  ketentuan  pasal  51,  yaitu  tidak  membetulkan  kesalahan  tulis dan/atau  kesalahan  ketik  yang  terdapat  pada  minuta  akta  yang  telah ditandatangani  ,  juga  tidak  membuat  berita  acara  tentang  pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang disebut dalam akta.

Sehubungan  dengan  hal  yang  telah  dijelaskan  diatas  sebagaian Notaris berpendapat lain karena kekuatan pembuktian akta berada  di minuta akta maka akta yang  tidak  biberi  stempel  berlambang  negara  tidak  mengurangi  kekuatan pembuktiannya tersebut. Ada juga rekan Notaris yang berpendapat bahwa  apabila  akta tersebut  tidak  dibubuhi  teraan  cap  atau  stempel  berlambang  negara  maka  kekuatan pembuktiannya manjadi akta di bawah tangan.

Setelah penulis mengkaji, Penulis berpendapat bahwa jika Notaris melakukan kelalaian yaitu tidak memberi stempel berlambang negara pada akta yang dibuatnya, maka kekuatan dari akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Karena mempunyai stempel  berlambang  negara  tersebut  merupakan  salah  satu  dari  kewajiban  notaris yang harus dipenuhi sebelum melakukan tugas jabatannya. 

Pelanggaran  terhadap  peraturan  penggunaan  lambang  negara  ini  dikenakan sanksi  selama-lamanya  3  bulan  atau  denda  Rp  500,-,  Pasal  15  PP  Nomor  43  Tahun 1958.  Menurut  hemat  Penulis  lambang  Negara  digunakan  sebagai cap  jabatan  pada salinan  akta,  legalisasi,  warmerking,  dan  lain  sebagainya  sesuai  dengan  pasal  56 dalam  UUJN  karena  sudah  pasti  hal  tersebut  merupakan  cap  jabatan  dan  cap  dinas Notaris, sedangkan untuk kop surat dan kartu nama penulis tidak perlu menggunakan lambang Negara, untuk menghindari pelanggaran pasal 15.

Sedangkan  sanksi  dalam  Undang-undang  Nomor  24  tahun  2009  tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam pasal 69: 71 (Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 69):

”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), setiap orang yang :
a.       Dengan sengaja menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b.      Membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; atau
c.       Dengan  sengaja  menggunakan  lambang  negara  untuk  keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.”


AKIBAT HUKUM TERHADAP NOTARIS YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN LAMBANG NEGARA DALAM PRODUK YANG DITERBITKAN

A.  Pengawasan Terhadap Notaris Dalam Melaksanakan Jabatannya
 
Agar  para  notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya  memenuhi persyaratan-persyaratan  yang  ditetapkan  oleh  peraturan  perundang-undangan,  demi pengamanan  atas  kepentingan  masyarakat  yang  dilayaninya.  Maka  diadakan pengawasan terhadap notaris. Mengingat bahwa notaris dalam menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting, yaitu meliputi bidang dan peraturan yang lebih luas dari apa yang sebenarnya diuraikan  dalam  UUJN,  maka  diadakannya  pengawasan  terhadap  notaris  adalah sangat  beralasan.  Dikatakan  demikian  karena  selain  membuat  akta-akta  otentik, notaris  juga  ditugaskan  untuk  melakukan  pendaftaran  dan  mensahkan  surat-surat  di bawah  tangan.  Notaris  juga  memberikan  nasehat-nasehat  hukum  dan  penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang berkepentingan.  (Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center For Documentation and Studies of Business Law (CDBSL), Yogyakarta, 2003, hal.56.)
 
Menurut  Sujamto,  pengawasan  dalam  arti  sempit  adalah  segala  usaha  atau kegiatan  untuk  mengetahui  dan  menilai  kenyataan  yang  sebenarnya  tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan  yang semestinya atau tidak, sedangkan  pengawasan  dalam  arti  luas  adalah  sebagai  pengendalian,  pengertiannya lebih forceful daripada  pengawasan,  yaitu  sebagai  segala  usaha  atau  kegiatan  untuk menjamin  dan  mengarahkan  agar  pelaksanaan  tugas  atau  pekerjaan  berjalan  sesuai dengan semestinya. (Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hal.53.)

Menurut  Pasal  1  butir  5  Peraturan  Menteri  Hukum  dan  Hak  Azasi  Manusia Republik  Indonesia  Nomor  M.02.PR.08.10  Tahun  2004  tentang  Tata  Cara Pengangkatan  anggota,  Pemberhentian  anggota,  Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata  Cara  Pemeriksaan  Majelis  Pengawas,  pengertian  pengawasan  adalah  kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.

Berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 menyebutkan dalam hal pengawasan terhadap notaris, disebutkan bahwa pengawasan
terhadap  notaris  dilakukan  oleh  Menteri,  di  mana  dalam  melaksanakan  pengawasan tersebut  Menteri  membentuk  Majelis  Pengawas,  yang  terdiri atas  3  (tiga)  Majelis Pengawas  terdiri  dari  unsur  Departemen,  Organisasi  Profesi  Notaris  dan  Para  ahli/ akademisi.  Majelis  Pengawas  ini  juga  terdiri  dari:  Majelis  Pengawas  pusat,  Majelis Pengawas  Daerah  dan  Majelis  Pengawas  Wilayah. Pengawasan  terhadap  notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris. 

Substansi  pengawasan  terhadap  notaris  tidak  hanya  dalam  pelaksanaan jabatan  notaris,  akan  tetapi  perilaku  notaris  juga  harus  diawasi  Majelis  pengawas, misalnya  melakukan  perbuatan  tercela  yang  bertentangan  dengan  norma  agama,norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat  notaris.  Apabila  notaris  terbukti  melakukan  hal-hal  tersebut  maka  dapat dijadikan  dasar  untuk  memberhentikan  notaris  dari  jabatannya  oleh  Menteri berdasarkan laporan dari Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat). (Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10.22.II, Tanggal 3 Maret 2005, hal. 36.)

Mengingat  notaris  menjalankan  suatu  fungsi  sosial  yang  sangat  penting, Notaris  dalam  melaksanakan  tugasnya  sebagai  pejabat  umum  untuk  membuat  akta otentik diawasi oleh yang berwajib, dengan tujuan agar Peraturan Jabatan Notaris dan Kode  etik  Notaris  dapat  dilaksanakan  dengan  baik  dan  notaris  dalam  menjalankan tugasnya  selalu  memperhatikan  syarat-syarat  atau  ketentuan-ketentuan  yang ditetapkan oleh undang-undang, demi terjaminnya kepastian Notaris sangat beralasan karena Notaris merupakan pejabat yang memberikan jasanya kepada masyarakat dan memberikan penjelasan mengenai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana  telah  diketahui  bahwa  terhadap  para  notaris  diadakan pengawasan yang dilakukan oleh yang berwajib, tidak hanya ditujukan bagi penataan kode  etik  notaris  akan  tetapi  juga  untuk  tujuan  lebih  luas,  yaitu  agar  para  notaris dalam  menjalankan  tugas  jabatannya  memenuhi  persyaratan-persyaratan  yang ditetapkan  oleh  Undang-undang,  demi  pengamanan  atas  kepentingan  masyarakat yang dilayaninya.
Menurut  Pasal  1  angka  1  Peraturan  Menteri  Hukum  dan  Hak  Azasi  Manusia Republik  Indonesia  nomor  M.02.PR.08.10  Tahun  2004,  menegaskan  apa  saja  yang dimaksud  dengan  pengawasan terhadap  Notaris  adalah  kegiatan  yang  bersifat  preventif  dan  kuratif  termasuk  kegiatan  pembinaan  yang  dilakukan  oleh  Majelis Pengawas terhadap notaris. 

Dengan  demikian  ada  3  (tiga)  tugas  yang  dilakukan  oleh  Majelis  Pengawas yaitu:
1.  Pengawasan Preventif
2.  Pengawasan Kuratif
3.  Pembinaan
(Habib  Adji, sanksi  Perdata  dan  Administratif  terhadap  Notaris  sebagai  Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009,(selanjutnya disebut Buku III),  hal.144 )


Undang-undang  Jabatan  Notaris,  Kode  Etik  dan  Undang-undang  lainnya memberikan kepercayaan kepada Notaris untuk menjalankan tugasnya.  Kepercayaan yang sudah diberikan kepada Notaris merupakan tanggungjawab yang harus diemban berdasarkan  nilai-nilai  agama,  moral,  kesusilaan,  etika  dan  hukum.  Pengawasan terhadap notaris bukan saja merupakan pengawasan terhadap kerja notaris melainkan juga pengawasan terhadap protokol notaris.

Tujuan  diadakannya  pengawasan  terhadap  protokol  notaris  adalah  untuk menghindari  terjadinya  tindakan-tindakan  kesewenang-wenangan  yang  dilakukannotaris  yang  tidak  sesuai  dengan  Undang-undang  Jabatan  Notaris,  dan  juga mengingat  bahwa  notaris  menjalankan  suatu  fungsi  sosial  yang  sangat  penting, meliputi  bidang  dan  peraturan  Pelaksanaannya  yang  lebih  luas  dari  apa  yang sebenarnya diuraikan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004. 
                                                
Dikatakan  demikian  karena  selain  membuat  akta-akta  otentik  ,  notaris  juga ditugaskan  untuk  melakukan  pendaftaran  dan  mensahkan  surat-surat  atau  akta-akta yang  dibuat  di  bawah  tangan.  Notaris  juga  memberikan  nasehat-nasehat  hukum  dan penjelasan  mengenai  Undang-undang  kepada  pihak-pihak  yang  berkepentingan, dengan  tegas  dapat  dikatakan  bahwa  inti  dari  tugas  notaris  adalah  mengatur  secara tertulis  dan  otentik  hubungan-hubungan  hukum  diantara  para  pihak  yang  secara mufakat meminta jasa-jasa notaris. (Rachmat Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cetakan keenam, Putra A .Bardin, bandung, 1999, hal. 7.)

Notaris sebagai pejabat Umum harus senantiasa menyadari bahwa ia diangkat oleh  penguasa  bukan  hanya  untuk  kepentingannya  sendiri,  melainkan  juga  untuk kepentingan  masyarakat.  Oleh  karena  itu,  Undang-undang  memberikan  kepada notaris  suatu  kepercayaan  yang  besar  dan  sejalan  dengan  itu,  notaris  harus  pula menyadari bahwa setiap kepercayaan kepada seseorang meletakkan tanggungjawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum, moral maupun etika.  

Seorang  notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya,  meskipun  telah memiliki  keterampilan  profesi  di  bidang  hukum,  akan  tetapi  apabila  tidak  dilandasi oleh  tangungjawab  dan  moral  yang  tinggi  serta  tanpa  adanya  penghayatan  terhadap keluhuran  dari  martabat  dan  tugas  jabatannya  maupun  nilai-nilai  dan  ukuran  etika, tidak dapat diharapkan untuk dapat menjalankan tugas jabatannya, sebagaimana yang dituntut oleh hukum dan kepentingan masyarakat.

Menurut  pasal  1  butir  5  Peraturan  Menteri  Hukum  dan  hak  Azasi  Manusia Republik  Indonesia  Nomor  M.02.PR.08.10  Tahun  2004  tentang  Tata  Cara Pengangkatan Anggota, pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata  Cara  Pemeriksaan  Majelis  Pengawas,  ada  2  lembaga  yang  berwenang  untuk melakukan  pengawasan  terhadap  Notaris,  yaitu  Majelis  Pengawas  Notaris  yang dibentuk  oleh  Menteri  dan  Dewan  Kehormatan  yang  merupakan  salah  satu  dari  alat perlengkapan organisasi notaris, dalam hal ini tentunya Ikatan Notaris Indonesia.

Dewan  kehormatan  merupakan  salah  satu  alat  perlengkapan  orgaisasi  Ikatan Notaris  Indonesia  dan  terdiri  dari  3  (tiga)  tingkat  yaitu  di  tingkat  pusat,  wilayah (provinsi),  dan  daerah  (kota/kabupaten).  Anggota  Dewan  Kehormatan  di  setiap tingkat  tersebut  berjumlah  5  (lima)  orang  yang  terpilih  dalam  rapat  anggota  berupa Kongres  di  tingkat  Pusat,  Konfrensi  Wilayah  di  tingkat  Propinsi  dan  Konfrensi Daerah di tingkat Kota/Kabupaten. Keberadaan  Lembaga Dewan Kehormatan diatur dalam  Anggaran  Dasar  Ikatan  Notaris  Indonesia.  Adapun  tugas  dari  dewan Kehormatan  sebagaimana  tercantum  dalam  Pasal  12  ayat  (3)  anggaran  Dasar  Ikatan

Notaris Indonesia adalah sebagai berikut:
Dewan Kehormatan Bertugas untuk:
1.             Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
2.             memeriksa  dan  mengambil  keputusan  atas  dugaan  pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
3.             memberikan saran dan pendapat kepada majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris. 

Pada  dasarnya    tugas  utama  Dewan  Kehormatan  adalah  melakukan pengawasan  terhadap  pelaksanaan  kode  etik  notaris  yang  telah  ditentukan  oleh organisasi meliputi kewajiban, larangan dan pengecualian yang harus dilakukan oleh para  anggota  organisasi.  Dewan  kehormatan  dalam  melaksanakan  tugasnya  tersebut dapat  melakukan  pemeriksaan  terhadap  anggota  organisasi  yang  diduga  melakukan pelanggaran  atas  kode  etik  notaris  dan  bila  dinyatakan  bersalah  maka  Dewan Kehormatan  pun  berhak  menjatuhkan  sanksi  organisasi  sebagaimana  tercantum dalam  Pasal  6  Kode  Etik  Ikatan  Notaris  Indonesia  berupa  teguran,  peringatan, pemberhentian  sementara,  pemecatan  dan  pemberhentian  dengan  tidak  hormat  dari keanggotaan  perkumpulan.  Wewenang  Dewan  Kehormatan  tersebut  adalah  terhadap pelanggaran kode etik organisasi yang dampaknya tidak berkaitan dengan masyarakat secara langsung atau tidak ada orang-orang yang dirugikan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh anggota organisasi, atau dengan kata lain wewenang Dewan Kehormatan bersifat internal organisasi.

Adapun  tujuan  dari  pengawasan  yang  dilakukan  oleh  Majelis  Pengawas Daerah,  Majelis  Pengawas  wilayah,  dan  Majelis  Pengawas  Pusat  terhadap  Notaris adalah  supaya  notaris  sebanyak  mungkin  memenuhi  persyaratan-persyaratan  yang dituntut  kepadanya.  Persyaratan-persyaratan  yang  dituntut  itu  tidak  hanya  oleh hukum  atau  Undang-undang  saja,  akan  tetapi  juga  berdasarkan  kepercayaan  yang diberikan  oleh masyarakat pengguna jasa notaris terhadap  notaris  tersebut.  Sifat  dari  jabatan  notaris  maupun keluhuran  dari  martabat  jabatannya  mengharuskan  adanya  tanggungjawab  dan kepribadian serta etika hukum yang tinggi, karena jabatan  yang diamanatkan kepada notaris adalah suatu jabatan kepercayaan.

Oleh sebab itu, seseorang bersedia untuk mempercayakan sesuatu kepadanya dan adapun konsekuensi dari kepercayaan itu adalah tanggungjawab yang besar bagi notaris.  Notaris  yang  tidak  bertanggungjawab  dan  tidak  menjunjung  tinggi  hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya adalah berbahaya, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat yang dilayaninya.

Selain dari adanya tanggungjawab dan etika profesi yang tinggi, juga adanya integritas dan moralitas yang baik, hal ini merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap notaris. Apabila notaris memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, maka dapat  diharapkan  notaris  akan  melakukan  tugasnya  dengan  baik,  sesuai  dengan tuntutan  hukum  dan  kepentingan  masyarakat.  Adapun  hubungannya  dengan  tugas pengawasan  terhadap  pekerjaan  notaris  ini,  Paulus  Efendie  Lotulung,  dalam makalahnya  yang  disampaikan  pada  kongres  ke-XVII  Ikatan  Notaris  Indonesia, tanggal  25-26  November  1999  di  Jakarta  dengan  judul  perlindungan  hukum  bagi notaris selaku pejabat umum dalam menjalankan tugasnya , mengatakan bahwa :  

Sebagai  konsekuensi  yang  logis,  maka  adanya  kepercayaan  terhadap notaris  memerlukan  pengawasan  agar  tugas  notaris  selalu  sesuai  dengan kaidah hukum yang mendasarinya dan agar terhindar dari penyalahgunaan kepercayaan  yang  diberikan,  dengan  demikian  tujuan  pengawasan  adalah agar  segala  hak  dan  kewajiban  serta  kewenangan  yang  diberikan  kepada notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya  sebagaimana  yang  diberikan oleh  Peraturan  dasarnya  senantiasa  berada  di  atas  rel,  bukan  saja  rel hukum  tetapi  juga  etika  dan  moral,  demi  tetap  terjaganya  perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Adapun pengawasan ini dilakukan baik secara preventif maupun represif.


Jabatan  notaris  dalam  proses  pembangunan  sangat  dibutuhkan  oleh masyarakat,  karena  itu  jasa  notaris  perlu  diatur  agar  memperoleh  perlindungan  dan jaminan  demi  tercapainya  kepastian  hukum.  Karena  itu  diundangkanlah  Undang-undang  Jabatan  Notaris  nomor  30  tahun  2004,  tentang  Jabatan  Notaris,  sehingga peraturan peraturan yang mengatur khusus mengenai notaris terdapat dalam Undang-undang ini, dan mengenai pengawasan terhadap notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan pasal 81.

Dinyatakan  dalam  UUJN  bahwa  yang  melakukan  pengawasan  atas  notaris diserahkan  kepada  Menteri  ,  dalam  hal  ini  adalah  Menteri  Hukum  dan  Hak  asasi Manusia.  Dalam  melakukan  pengawasan  terhadap  notaris,  Menteri  membentuk Majelis  Pengawas  yang  bertugas  membantu  Menteri  dalam  mengawasi  notaris meliputi  perilaku  dan  pelaksanaan  dalam  menjalankan  jabatannya  sebagai  notaris apabila  terdapat  notaris  yang  telah  melakukan  pelanggaran  terhadap  peraturan  yang berlaku.  Dengan  dibentuknya  Majelis  pengawas  secara  berjenjang  diharapkan  agar dapat mempermudah pengawasan Notaris mulai dari Daerah sampai ke Pusat.

Menurut Pasal 68 UUJN, Majelis Pengawas terdiri atas : 
a.  Majelis Pengawas Daerah;
b.  Majelis Pengawas Wilayah; dan
c.  Majelis Pengawas Pusat.

Tiap-tiap  Majelis  Pengawas  ini  dibentuk  dengan  kedudukan  dan kewenangannya,  serat  kewajibannya  masing-masing.  Semua  ini  ditujukan  dalam memudahkan Negara dalam mengawasi notaris dan pelaksanaan jabatannya.

Adapun Majelis Pengawas ini berjumlah 9 orang, terdiri atas unsur:
a.  Pemerintah sebanyak 3 orang
b.  Organisasi notaris sebanyak 3 orang
c.  Ahli/akademisi sebanyak 3 orang.

Dengan  dibentuknya  Peraturan-peraturan  tersebut  diharapkan  Majelis Pengawas  Notaris  dalam  menjalankan  tugasnya  agar  dapat  memberikan  pembinaan dan  pengawasan  kepada  notaris  dalam  menjalankan  jabatan  profesinya  sebagai pejabat umum  yang senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya, sehingga  dapat  memberikan  jaminan  kepastian  dan  perlindungan  hukum  bagi penerima jasa notaris dan masyarakat luas.

Berkaitan  dengan  adanya  unsur  pemerintah,  organisasi  notaris  dan ahli/akademisi  yang  terdapat  dalam  Majelis  Pengawas,  Habib  Adjie (Habib  Adji, Sanksi  Perdata  dan  Administratif  terhadap  Notaris  sebagai  Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.130.)  berpendapat  sebagai berikut:
Pengawasan  dan  pemeriksaan  terhadap  notaris  yang  dilakukan  oleh  Majelis Pengawas,  yang  didalamnya  ada  unsur  notaris,  dengan  demikian  setidaknya notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia  notaris.  Adanya  anggota  majelis  Pengawas  dari  kalangan  notaris merupakan  pengawasan  internal,  artinya  dilakukan  oleh  sesama  notaris  yang memahami  dunia  notaris  luar  dalam.  Sedangkan  unsur  lainnya  merupakan unsur  eksternal  yang  mewakili  dunia  akademik,  pemerintah  dan  masyarakat.

Perpaduan  keanggotaan  Majelis  Pengawas  diharapkan  dapat  memberikan sinergi  pengawasan  dan  pemeriksaan  yang  objektif,  sehingga  setiap pengawasan  dilakukan  berdasarkan  aturan  hukum  yang  berlaku,  dan  para notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya  tidak  menyimpang  dari  UUJN karena diawasi secara Internal dan eksternal.

Dikatakan  demikian  karena  selain  membuat  akta-akta  otentik ,  notaris  juga ditugaskan  untuk  melakukan  pendaftaran  dan  mensahkan  surat-surat  atau  akta-akta yang  dibuat  di  bawah  tangan.  Notaris  juga  memberikan  nasehat-nasehat  hukum  dan penjelasan  mengenai  Undang-undang  kepada  pihak-pihak  yang  berkepentingan, dengan  tegas  dapat  dikatakan  bahwa  inti  dari  tugas  notaris  adalah  mengatur  secara tertulis  dan  otentik  hubungan-hubungan  hukum  diantara  para  pihak  yang  secara mufakat meminta jasa-jasa notaris. (Rachmat Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cetakan keenam, Putra A.Bardin, bandung, 1999, hal. 7. )

Notaris sebagai pejabat Umum harus senantiasa menyadari bahwa ia diangkat oleh  penguasa  bukan  hanya  untuk  kepentingannya  sendiri,  melainkan  juga  untuk kepentingan  masyarakat.  Oleh  karena  itu,  Undang-undang  memberikan  kepada notaris  suatu  kepercayaan  yang  besar  dan  sejalan  dengan  itu,  notaris  harus  pula menyadari bahwa setiap kepercayaan kepada seseorang meletakkan tanggungjawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum, moral maupun etika.

Seorang  notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya,  meskipun  telah memiliki  keterampilan  profesi  di  bidang  hukum,  akan  tetapi  apabila  tidak  dilandasi oleh  tangungjawab  dan  moral  yang  tinggi  serta  tanpa  adanya  penghayatan  terhadap keluhuran  dari  martabat  dan  tugas  jabatannya  maupun  nilai-nilai  dan  ukuran  etika, tidak dapat diharapkan untuk dapat menjalankan tugas jabatannya, sebagaimana yang dituntut oleh hukum dan kepentingan masyarakat.
                                                 
Menurut  pasal  1  butir  5  Peraturan  Menteri  Hukum  dan  hak  Azasi  Manusia Republik  Indonesia  Nomor  M.02.PR.08.10  Tahun  2004  tentang  Tata  Cara Pengangkatan Anggota, pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata  Cara  Pemeriksaan  Majelis  Pengawas,  ada  2  lembaga  yang  berwenang  untuk melakukan  pengawasan  terhadap  Notaris,  yaitu  Majelis  Pengawas  Notaris  yang dibentuk  oleh  Menteri  dan  Dewan  Kehormatan  yang  merupakan  salah  satu  dari  alat perlengkapan organisasi notaris, dalam hal ini tentunya Ikatan Notaris Indonesia.

Dewan  kehormatan  merupakan  salah  satu  alat  perlengkapan  orgaisasi  Ikatan Notaris  Indonesia  dan  terdiri  dari  3  (tiga)  tingkat  yaitu  di  tingkat  pusat,  wilayah (propinsi),  dan  daerah  (kota/kabupaten).  Anggota  Dewan  Kehormatan  di  setiap tingkat  tersebut  berjumlah  5  (lima)  orang  yang  terpilih  dalam  rapat  anggota  berupa Kongres  di  tingkat  Pusat,  Konfrensi  Wilayah  di  tingkat  Propinsi  dan  Konfrensi Daerah di tingkat Kota/Kabupaten. Keberadaan  Lembaga Dewan Kehormatan diatur dalam  Anggaran  Dasar  Ikatan  Notaris  Indonesia.  Adapun  tugas  dari  dewan Kehormatan  sebagaimana  tercantum  dalam  Pasal  12  ayat  (3)  anggaran  Dasar  Ikatan Notaris Indonesia adalah sebagai berikut:
Dewan Kehormatan Bertugas untuk:
  1. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
  2. memeriksa  dan  mengambil  keputusan  atas  dugaan  pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
  3. memberikan saran dan pendapat kepada majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris. 

Pada  dasarnya    tugas  utama  Dewan  Kehormatan  adalah  melakukan pengawasan  terhadap  pelaksanaan  kode  etik  notaris  yang  telah  ditentukan  oleh organisasi meliputi kewajiban, larangan dan pengecualian yang harus dilakukan oleh para  anggota  organisasi.  Dewan  kehormatan  dalam  melaksanakan  tugasnya  tersebut dapat  melakukan  pemeriksaan  terhadap  anggota  organisasi  yang  diduga  melakukan pelanggaran  atas  kode  etik  notaris  dan  bila  dinyatakan  bersalah  maka  Dewan Kehormatan  pun  berhak  menjatuhkan  sanksi  organisasi  sebagaimana  tercantum dalam  Pasal  6  Kode  Etik  Ikatan  Notaris  Indonesia  berupa  teguran,  peringatan, pemberhentian  sementara,  pemecatan  dan  pemberhentian  dengan  tidak  hormat  dari keanggotaan  perkumpulan.  Wewenang  Dewan  Kehormatan  tersebut  adalah  terhadap pelanggaran kode etik organisasi yang dampaknya tidak berkaitan dengan masyarakat secara langsung atau tidak ada orang-orang yang dirugikan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh anggota organisasi, atau dengan kata lain wewenang Dewan Kehormatan bersifat internal organisasi.

Adapun  tujuan  dari  pengawasan  yang  dilakukan  oleh  Majelis  Pengawas Daerah,  Majelis  Pengawas  wilayah,  dan  Majelis  Pengawas  Pusat  terhadap  Notaris adalah  supaya  notaris  sebanyak  mungkin  memenuhi  persyaratan-persyaratan  yang dituntut  kepadanya.  Persyaratan-persyaratan  yang  dituntut  itu  tidak  hanya  oleh hukum  atau  Undang-undang  saja,  akan  tetapi  juga  berdasarkan  kepercayaan  yang diberikan  oleh client terhadap  notaris  tersebut.  Sifat  dari  jabatan  notaris  maupun keluhuran  dari  martabat  jabatannya  mengharuskan  adanya  tanggungjawab  dan kepribadian serta etika hukum yang tinggi, karena jabatan  yang diamanatkan kepada notaris adalah suatu jabatan kepercayaan.

Oleh sebab itu, seseorang bersedia untuk mempercayakan sesuatu kepadanya dan adapun konsekuensi dari kepercayaan itu adalah tanggungjawab yang besar bagi notaris.  Notaris  yang  tidak  bertanggungjawab  dan  tidak  menjunjung  tinggi  hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya adalah berbahaya, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat yang dilayaninya.

Selain dari adanya tanggungjawab dan etika profesi yang tinggi, juga adanya integritas dan moralitas yang baik, hal ini merupakan persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap notaris. Apabila notaris memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, maka dapat  diharapkan  notaris  akan  melakukan  tugasnya  dengan  baik,  sesuai  dengan tuntutan  hukum  dan  kepentingan  masyarakat.  Adapun  hubungannya  dengan  tugas pengawasan  terhadap  pekerjaan  notaris  ini,  Paulus  Efendie  Lotulung,  dalam makalahnya  yang  disampaikan  pada  kongres  ke-XVII  Ikatan  Notaris  Indonesia, tanggal  25-26  November  1999  di  Jakarta  dengan  judul  perlindungan  hukum  bagi notaris selaku pejabat umum dalam menjalankan tugasnya , mengatakan bahwa :

Sebagai  konsekuensi  yang  logis,  maka  adanya  kepercayaan  terhadap notaris  memerlukan  pengawasan  agar  tugas  notaris  selalu  sesuai  dengan kaidah hukum yang mendasarinya dan agar terhindar dari penyalahgunaan kepercayaan  yang  diberikan,  dengan  demikian  tujuan  pengawasan  adalah agar  segala  hak  dan  kewajiban  serta  kewenangan  yang  diberikan  kepada notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya  sebagaimana  yang  diberikan oleh  Peraturan  dasarnya  senantiasa  berada  di  atas  rel,  bukan  saja  rel hukum  tetapi  juga  etika  dan  moral,  demi  tetap  terjaganya  perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Adapun pengawasan ini dilakukan baik secara preventif maupun represif.

Jabatan  notaris  dalam  proses  pembangunan  sangat  dibutuhkan  oleh masyarakat,  karena  itu  jasa  notaris  perlu  diatur  agar  memperoleh  perlindungan  dan jaminan  demi  tercapainya  kepastian  hukum.  Karena  itu  diundangkanlah  Undang-undang  Jabatan  Notaris  nomor  30  tahun  2004,  tentang  Jabatan  Notaris,  sehingga peraturan peraturan yang mengatur khusus mengenai notaris terdapat dalam Undang-undang ini, dan mengenai pengawasan terhadap notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan pasal 81.

Dinyatakan  dalam  UUJN  bahwa  yang  melakukan  pengawasan  atas  notaris diserahkan  kepada  Menteri,  dalam  hal  ini  adalah  Menteri  Hukum  dan  Hak  asasi Manusia.  Dalam  melakukan  pengawasan  terhadap  notaris,  Menteri  membentuk Majelis  Pengawas  yang  bertugas  membantu  Menteri  dalam  mengawasi  notaris meliputi  perilaku  dan  pelaksanaan  dalam  menjalankan  jabatannya  sebagai  notaris apabila  terdapat  notaris  yang  telah  melakukan  pelanggaran  terhadap  peraturan  yang berlaku.  Dengan  dibentuknya  Majelis  pengawas  secara  berjenjang  diharapkan  agar dapat mempermudah pengawasan Notaris mulai dari Daerah sampai ke Pusat. 

Menurut Pasal 68 UUJN, Majelis Pengawas terdiri atas : 
a.  Majelis Pengawas Daerah;
b.  Majelis Pengawas Wilayah; dan
c.  Majelis Pengawas Pusat.

Tiap-tiap  Majelis  Pengawas  ini  dibentuk  dengan  kedudukan  dan kewenangannya,  serat  kewajibannya  masing-masing.  Semua  ini  ditujukan  dalam memudahkan Negara dalam mengawasi notaris dan pelaksanaan jabatannya. menjamin  dan  mengarahkan  agar  pelaksanaan  tugas  atau  pekerjaan  berjalan  sesuai dengan semestinya. (Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hal.53.)
 
Menurut  Pasal  1  butir  5  Peraturan  Menteri  Hukum  dan  Hak  Azasi  Manusia Republik  Indonesia  Nomor  M.02.PR.08.10  Tahun  2004  tentang  Tata  Cara Pengangkatan  anggota,  Pemberhentian  anggota,  Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata  Cara  Pemeriksaan  Majelis  Pengawas,  pengertian  pengawasan  adalah  kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.

Berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 menyebutkan dalam hal pengawasan terhadap notaris, disebutkan bahwa pengawasan
terhadap  notaris  dilakukan  oleh  Menteri,  di  mana  dalam  melaksanakan  pengawasan tersebut  Menteri  membentuk  Majelis  Pengawas,  yang  terdiri atas  3  (tiga)  Majelis Pengawas  terdiri  dari  unsur  Departemen,  Organisasi  Profesi  Notaris  dan  Para  ahli/ akademisi.  Majelis  Pengawas  ini  juga  terdiri  dari:  Majelis  Pengawas  pusat,  Majelis Pengawas  Daerah  dan  Majelis  Pengawas  Wilayah. Pengawasan  terhadap  notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris. 
 
Substansi  pengawasan  terhadap  notaris  tidak  hanya  dalam  pelaksanaan jabatan  notaris,  akan  tetapi  perilaku  notaris  juga  harus  diawasi  Majelis  pengawas, misalnya  melakukan  perbuatan  tercela  yang  bertentangan  dengan  norma  agama, norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat  notaris.  Apabila  notaris  terbukti  melakukan  hal-hal  tersebut  maka  dapat

Adapun Majelis Pengawas ini berjumlah 9 orang, terdiri atas unsur:
a.  Pemerintah sebanyak 3 orang
b.  Organisasi notaris sebanyak 3 orang
c.  Ahli/akademisi sebanyak 3 orang.

Dengan  dibentuknya  Peraturan-peraturan  tersebut  diharapkan  Majelis Pengawas  Notaris  dalam  menjalankan  tugasnya  agar  dapat  memberikan  pembinaan dan  pengawasan  kepada  notaris  dalam  menjalankan  jabatan  profesinya  sebagai pejabat umum  yang senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya, sehingga  dapat  memberikan  jaminan  kepastian  dan  perlindungan  hukum  bagi penerima jasa notaris dan masyarakat luas.

Berkaitan  dengan  adanya  unsur  pemerintah,  organisasi  notaris  dan ahli/akademisi  yang  terdapat  dalam  Majelis  Pengawas,  Habib  Adjie  (Habib  Adji, Sanksi  Perdata  dan  Administratif  terhadap  Notaris  sebagai  Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.130.) berpendapat
sebagai berikut:

Pengawasan  dan  pemeriksaan  terhadap  notaris  yang  dilakukan  oleh  Majelis Pengawas,  yang  didalamnya  ada  unsur  notaris,  dengan  demikian  setidaknya notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia  notaris.  Adanya  anggota  majelis  Pengawas  dari  kalangan  notaris merupakan  pengawasan  internal,  artinya  dilakukan  oleh  sesama  notaris  yang memahami  dunia  notaris  luar  dalam.  Sedangkan  unsur  lainnya  merupakan unsur  eksternal  yang  mewakili  dunia  akademik,  pemerintah  dan  masyarakat.

Perpaduan  keanggotaan  Majelis  Pengawas  diharapkan  dapat  memberikan sinergi  pengawasan  dan  pemeriksaan  yang  objektif,  sehingga  setiap pengawasan  dilakukan  berdasarkan  aturan  hukum  yang  berlaku,  dan  para notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya  tidak  menyimpang  dari  UUJN karena diawasi secara Internal dan eksternal.

Pengawasan  yang  dilakukan  oleh  Majelis  Pengawas  tidak  hanya  mengenai pelaksanaan  tugas  jabatan  notaris  agar  sesuai  dengan  ketentuan  UUJN,  tetapi  juga Kode  Etik  Notaris  dan  tindak-tanduk  atau  perilaku  Notaris  yang  mencederai keluhuran  martabat  jabatan  notaris.  Pengawasan  terhadap  pelaksanaan  tugas  jabatan notaris  dengan  mengacu  pada  UUJN,  mempunyai  maksud  agar  semua  ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan notaris dipatuhi oleh notaris.

Mengenai  pengawasan  terhadap  tindak-tanduk  atau  perilaku  notaris,  (Habib  Adji, Sanksi  Perdata  dan  Administratif  terhadap  Notaris  sebagai  Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.146.) maka yang  menjadi  ruang  lingkup  pengawasan  Majelis  Pengawas  adalah  yang  berada  di luar pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan notaris, dengan batasan:

1.      Melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat;
2.      Melakukan  perbuatan  yang  merendahkan  kehormatan  dan  martabat jabatan  notaris,  misalnya  berjudi,  mabuk,  menyalahgunakan  narkoba dan berzina.

Dengan  demikian  terdapat  3  institusi  (Habib  Adji, Sanksi  Perdata  dan  Administratif  terhadap  Notaris  sebagai  Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.148.) dengan  tugas  melakukan  pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris dengan kewenangan masing-masing, yaitu :

1.           Majelis  Pengawas  (daerah,  wilayah,  dan  pusat)  dengan kewenangan  melakukan  pengawasan  terhadap  pelaksanaan  tugas jabatan  notaris  dan  kode  etik  notaris  dan  tindak  tanduk  atau perilaku kehidupan notaris.
2.           Tim  pemeriksa  dengan  kewenangan  melakukan  pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkali 1 (satu) kali dalam 1(satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu.
3.           Majelis  pemeriksa  (daerah,  wilayah,  pusat)  dengan  kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau sesama notaris.

Selain  melakukan  pengawasan  dan  pemeriksaan,  Majelis  Pengawas  juga berwenang  untuk  menjatuhkan  sanksi  tertentu  terhadap  notaris  yang  telah  terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatan notaris. Adapun wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut adalah sebagai berikut :

1.        Majelis  Pengawas  Daerah  tidak  mempunyai  wewenang  untuk menjatuhkan  sanksi  apapun.  Meskipun  Majelis  Pengawas  Daerah mempunyai  wewenang  untuk  menerima  laporan  dari  masyarakat  dan dari  notaris  lainnya  dan  menyelenggarakan  sidang  untuk  memeriksa adanya  dugaan  pelanggaran  kode  etik  notaris  atau  pelanggaran pelaksanaan tugas jabatan notaris, tapi tidak diberikan kewenangannya untuk  menjatuhkan  sanksi  apapun.  Majelis  Pengawas  Daerah  dalam hal  ini  hanya  berwenang  untuk  melaporkan  hasil  sidang  dan pemeriksaannya  kepada  Majelis  Pengawas  Wilayah  dengan  tembusan kepada  pihak  yang  melaporkan,  notaris  yang  bersangkutan,  Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris

2.        Majelis  Pengawas  Wilayah  dapat  menjatuhkan  sanksi  teguran  lisan atau  tertulis.  Majelis  Pengawas  wilayah  dapat  menjatuhkan  sanksi berupa sanksi teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final.  Di  samping  itu  mengusulkan  pemberian  sanksi  terhadap  notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan  notaris  selama  3  (tiga)  sampai  6  (enam)  bulan  atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris. menurut  pasal  77  huruf  c  UUJN,  majelis  Pengawas  Pusat  berwenang menjatuhkan  sanksi  pemberhentian  sementara.  Sanksi  seperti  ini merupakan  masa  menunggu  dalam  jangka  waktu  tertentu  sebelum dijatuhkan sanksi lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris.

Selain  itu,  Majelis  Pengawas  Pusat  hanya  berwenang  untuk mengusulkan  pemberian  sanksi  berupa  pemberhentian  dengan  tidak hormat    dari  jabatannya  dan  pemberhentian  tidak  hormat  dari jabatannya  dengan  alasan  tertentu  berdasarkan  ketentuan  Pasal  12 UUJN kepada Menteri.

Mengingat  jumlah  pejabat  notaris  yang  banyak  seta  tersebar  di  seluruh Indonesia  maka  dalam  melakukan  pembinaan,pengembangan,  serta  pengawasan terhadap para notaris, akan terasa agak susah bagi pemerintah dalam melakukan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu organisasi yang mana bukan saja untuk kepentingan  profesi  notaris,  tetapi  juga  dalam  melindungi  masyarakat  pemakai  jasa notaris  dari  penyimpangan  yang  dilakukan  oleh  anggotanya  dalam  melayani masyarakat.  Maka  dari  itu,  pemerintah  hanya  mengakui  satu  organisasi  untuk  para notaris  karena  kebutuhan  pengawasan  dan  pelaksanaan  fungsi  pemerintahan  yang sebagian diemban oleh notaris. Adapun organisasi tersebut diberi nama Ikatan Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan  notaris  selama  3  (tiga)  sampai  6  (enam)  bulan  atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris.

3.        Menurut  pasal  77  huruf  c  UUJN,  majelis  Pengawas  Pusat  berwenang menjatuhkan  sanksi  pemberhentian  sementara.  Sanksi  seperti  ini merupakan  masa  menunggu  dalam  jangka  waktu  tertentu  sebelum dijatuhkan sanksi lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris. Selain  itu,  Majelis  Pengawas  Pusat  hanya  berwenang  untuk mengusulkan  pemberian  sanksi  berupa  pemberhentian  dengan  tidak hormat    dari  jabatannya  dan  pemberhentian  tidak  hormat  dari jabatannya  dengan  alasan  tertentu  berdasarkan  ketentuan  Pasal  12 UUJN kepada Menteri.

Mengingat  jumlah  pejabat  notaris  yang  banyak  seta  tersebar  di  seluruh Indonesia  maka  dalam  melakukan  pembinaan,pengembangan,  serta  pengawasan terhadap para notaris, akan terasa agak susah bagi pemerintah dalam melakukan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu organisasi yang mana bukan saja untuk kepentingan  profesi  notaris,  tetapi  juga  dalam  melindungi  masyarakat  pemakai  jasa notaris  dari  penyimpangan  yang  dilakukan  oleh  anggotanya  dalam  melayani masyarakat.  Maka  dari  itu,  pemerintah  hanya  mengakui  satu  organisasi  untuk  para notaris  karena  kebutuhan  pengawasan  dan  pelaksanaan  fungsi  pemerintahan  yang sebagian diemban oleh notaris. Adapun organisasi tersebut diberi nama Ikatan Notaris Indonesia  (INI).  Dengan  adanya  INI  diharapkan  dapat  membantu  dan  bekerjasama dengan pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan jabatan notaris di Indonesia.

Wadah  tunggal  organisasi  notaris  sebagai  pejabat  umum  diperlukan  dalam rangka  menjaga  kualitas  pelayanan  yang  diberikan  oleh  notaris  kepada  masyarakat, (Himpunan  Peraturan  Pelaksanaan  Undang-undang  Jabatan  Notaris  Dilengkapi  putusan Mahkamah  Konstitusi  &  AD,  ART  dan  Kode  Etik  Notaris,  dihimpun  oleh  Hadi  Setia  Tunggal, Harvarindo, Jakarta, 2008, hal. 233. )yaitu:

1.        Menegakkan standard pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris selaku anggota organisasi;
2.        melakukan sosialisasi dan peningkatan kualitas pelayanan notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
3.        melakukan pengawasan atas ketentuan standard pelayanan jasa notaris ;
4.        adanya  satu  kode  etik  notaris  yang  harus  dihormati  oleh  setiap  notaris dalam  menjalankan  tugas  kewenangannya  untuk  menjaga  martabat  dan kehormatan notaris;
5.        adanya  suatu  organisasiyang  mengawasi  kepatutan  serta  ketaatan  pada kode  etik  itu  serta  memberikan  sanksi  kepada  seorang  notaris  yang melakukan pelanggaran kode etik.

Kedua  lembaga  tersebut  berwenang  untuk  mengawasi  notaris  sampai  dengan menjatuhkan  sanksi  bagi  notaris  yang  dinyatakan  melakukan  pelanggaran  terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ada perbedaan kewenangan antara kedua lembaga tersebut  dikarenakan  keduanya  terbentuk  dari  lembaga  yang  berbeda,  namun keduanya tetap tidak dapat dipisahkan dari keberadaan organisasi notaris.

Tentang  penyalahgunaan  Lambang  negara  tersebut sebagai wewenang Majelis Pengawas Daerah sangat sempit hanya sebatas menerima laporan  dari  masyarakat  dan  melakukan  sidang  sehingga  apabila  ada  pelaporan  penyalahgunaan  lambang  negara  kepada  kepolisian,  maka  pemanggilan  notaris  atas penyalahgunaan  tersebut  harus  meminta  persetujuan  dari  Majelis  Pengawas  Daerah. Sehingga  MPD  tidak  ada  alasan  untuk  tidak  mengijinkan  Notaris  tersebut  dipanggil oleh Kepolisian karena berlandaskan UUNo.24 tahun 2009 dan PP No. 43 tahun 1958 tentang  Penggunaan  Lambang  Negara,  karena  jika  tidak  diijinkan  akan  melindungi orang yang salah.


B.  Akibat  Hukum  Terhadap  Notaris  yang  Melakukan  Penyalahgunaan Lambang Negara Dalam Produk yang Diterbitkan

Menurut analisa penulis, bahwa dalam Undang-undang Jabatan Notaris tidak memuat  secara  tegas  tentang  ketentuan  penggunaan  lambang  negara.  Dengan demikian  perlu  dijelaskan  bahwa  penggunaan  lambang  negara  dimana  jika  terjadi penyimpangan terhadap penggunaan lambang negara, mempunyai aturan dan apabila dilanggar  akan  mendapatkan  sanksi  seperi  yang  telah  disebutkan  dalam  pasal  15 Peraturan  Pemerintah  Nomor  43  tahun  1958  tentang  Penggunaan  Lambang  Negara
                                                
dan  pasal  69  Undang-undang  Nomor  24  Tahun  2009  tentang  Bendera,  Bahasa,  dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Setelah  melakukan  penelitian  ke  Majelis  Pengawas  Derah,  yaitu  bapak Pendastaren  Tarigan  bahwa  penggunaan  lambang  negara  di  luar  yang  ditentukan dalam UUJN tidak dianggap sebagai penyimpangan karena dianggap masih bertindak dalam  bidang  pekerjaannya  sebagai  notaris bahwa  Majelis  Pengawas  Daerah  tidak memberikan sanksi terhadap notaris yang berbuat demikian. Sehingga  penyimpangan  yang  dilakukan  notaris  atas  penggunaan  lambang negara  di  kota  medan  tidak  pernah  diperiksa,  dan  belum  pernah  ada  notaris  yang diberi sanksi atas penyimpangan penggunaan lambang negara tersebut.

Menurut  Notaris  Anita  Gloria  Simanjuntak  dan  Notaris  Gongga  Marpaung (Hasil wawancara dengan Notaris Anita Gloria Simanjuntak, Notaris di Medan,7 Juli 2010 dan Gongga Marpaung , Notaris di Medan, 8 juli  2010) :
bahwa  penggunaan  lambang  negara  di  luar  dari  yang  ditetapkan  dalm  UUJN merupakan  hal  yang  sudah  biasa  dan  sudah  menjadi  kebiasaan  mengikuti  notaris- notaris terdahulu.

Menurut Muhammad Yamin, (Hasil wawancara dengan Muhammad Yamin, Ahli Hukum, tanggal 02 Agustus 2010) :
Akibat penyalahgunaan Lambang Negara yang dianggap  sepele  tapi  mengakibatkan  dampak  yang  buruk  bagi  para  pihak  dan  juga terhadap  Notaris  itu  sendiri  seperti  hal  dalam  kasus LS  tahun  2005  dimana  Notaris yang  bersangkutan  menngeluarkan  surat  yang  tidak  dijelaskan  dikeluarkan  sebagai apa,  dan  surat  tersebut  diberi  cap  stempel  berlambang  negara  dimana sepihak menganggap  mempunyai  kekuatan  pembuktian  sempurna  dan  sepihak  menganggap sebagai  surat  biasa.  Surat  tersebut  dikeluarkan  diluar  dari  wewenangnya  sebagai notaris.  Sehingga  akibatnya  kepada  para  pihak  surat  tersebut  tidak  mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. 

Notaris  sebagai  pejabat  umum  kepadanya  dituntut  tanggung  jawab  terhadap akta yang dibuatnya. Apabila Akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa  dan  dibatalkan  oleh  suatu  putusan  Pengadilan,  maka  hal  ini  perlu dipertanyakan  apakah  akta  ini  merupakan  kesalahan  Notaris  atau  kesalahan  para pihak. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum seperti halnya akta yang dibuatnya tidak diberi stempel berlambang negara karena kesalahan notaris  baik  karena  kelalaian  maupun  karena  kesengajaan  notaris  itu  sendiri  maka notaris  itu  harus  memberikan  pertanggungjawaban  secara  moral  dan  secara  hukum, dan tentunya hal ini harus terlebih dulu dapat dibuktikan.
 
Kerugian  salah  satu  pihak  merupakan  penyebab  utama  terjadinya  gugatan yang  dapat  menyebabkan  pembatalan  akta  notaris  tanpa  adanya  kerugian  salah  satu pihak maka tidak mungkin timbul suatu gugatan yang menyebabkan pembatalan akta tersebut.    
 
Jabatan  Notaris  merupakan  jabatan  yang  terhormat  yaitu  jabatan  yang  dalam pelaksanaannya  mempertaruhkan  jabatannya  dengan  mematuhi  dan  tunduk  pada Undang-Undang  Jabatan  Notaris,  Kode  Etik  Notaris  dan  peraturan  perundang-undangan ang berlaku, dengan demikian diharapkan agar Notaris dalam menjalankan jabatannya memiliki integritas moral dengan memperhatikan nilai  agama, sosial danbudaya yang berlaku dalam masyarakat.
 
Oleh  karena  itu  seorang  Notaris  tidak  mungkin  menerbitkan  suatu  akta  yang mengandung cacat hukum atau tidak diberi stempel dengan cara sengaja, akan tetapi tidak  menutup  kemungkinan  bahwa  di  luar  sepengetahuan  Notaris  para pihak/penghadap  yang  meminta  untuk  dibuatkan  Akta  memberikan  keterangan-keterangan  yang  tidak  benar  sehingga  setelah  semuanya  dituangkan  ke  dalam  Akta lahirlah sebuah akta yang cacat hukum.
 
Selain  adanya  keterangan-keterangan  yang  tidak  benar,  Akta  yang  dibuat Notaris juga menjadi batal karena adanya perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan dari  para  penghadap/para  pihak  yang  tidak  sesuai  atau  melanggar  kesepakatan  yang telah  dituangkan  dalam  Akta  Notaris  tersebut.  Perbuatan-perbuatan  atau  tindakan-tindakan  para  penghadap/para  pihak  tersebut  telah  dikualifisir  sebelumnya  yaitu perbuatan  wanprestasi  (ingkar  Janji)  maupun  perbuatan-perbuatan  melawan  hukum.

Seperti  yang  dapat  dilihat  dalam  Keputusan  Mahkamah  Agung  RI,  tanggal  21  Mei 1973  No.70HK/Sip/1972,  yang  menyatakan  apabila  salah  satu  pihak  melakukan wanprestasi  karena  tidak  melakukan  atau  melaksanakan  pembayaran  barang  yang dibeli, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan.
  
Dengan terjadinya kasus-kasus wanprestasi dan perbuatan melawan hukum itu menyebabkan  Notaris  dapat  digugat  dan  harus  keluar  masuk  gedung  Pengadilan untuk  mempertanggungjawabkan  akta  yang  telah  dibuatnya,  mengingat  Notaris merupakan  pejabat  umum  yang  berwenang  membuat  Akta  otentik  dan  Akta  otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para pihak menjadi dokumen negara.

Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan  para  pihak.  Jika  Akta  yang  diterbitkan  Notaris  mengandung  cacat  hukum yang  terjadi  karena  kesalahan  notaris  baik  karena  kelalaiannya  maupun  karena kesengajaannya, Notaris itu sendiri harus memberikan pertanggungjawaban.     

Dalam  hal  ini  pertanggungjawaban  Notaris  bukan  saja  secara  moral  tetapi secara hukum, di mana Notaris dapat dituntut, digugat, maupun diberi sanksi. Semua kegiatan  yang  dilakukan  oleh  Notaris  khususnya  dalam  membuat  akta  akan senantiasa  dimintakan  pertanggungjawabannya.  Jika  akibat  kelalaian  atau kesalahannya  dalam  membuat  akta  dapat  dibuktikan  maka  dapat  dimintakan pertanggungjawabannya  baik  secara  perdata  maupun  Pidana.  (Sanksi  yang  dikenakan,  contohnya  dalam  pelanggaran  pada  Pasal  50  dan  51  UUJN berakibat akta yang dibuat notaris tersebut hanya memiliki keuatan pembuktian di bawah tangan.)

Pengenaan  sanksi terhadap  Notaris  bergantung  dari  besarnya  kesalahan  yang  dibuat  Notaris.  Oleh karena itu sikap kewaspadaan juga dituntut dari Notaris. 
 
Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara tidak terlepas dari tanggung jawab secara perdata di mana Notaris selalu berpedoman dan/atau  mengacu  kepada  Kitab  Undang-Undang  Hukum  perdata,  Undang-Undang No.  30  Tahun  2004,  tentang  Jabatan  Notaris  dan  peraturan  perundang-undangan lainnya.  Pertanggungjawaban  yang  diminta  kepada  Notaris  bukan  hanya  dalam pengertian sempit  yakni membuat Akta Notaris, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam  arti  luas,  yakni  tanggungjawab  pada  saat  sebelum  akta  dibuat  dan ditandatangani,  tanggung  jawab  pada  saat  fase  akta,  dan  tanggung  jawab  pada  saat pasca penandatanganan Akta.

Pada dasarnya Notaris dalam membuat akta selalu dengan penuh kehati-hatian dan  berpedoman  pada  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku  yakni Undang-Undang  Jabatan  Notaris  dan  peraturan  perundangan  lainnya.  Sebagaimana diketahui  tugas  Notaris  adalah  membuat  akta  otentik  yang  fungsinya  untuk membuktikan  kebenaran  tentang  telah  dilakukannya  suatu  perbuatan  hukum  oleh penghadap/para  pihak  dengan  mencantumkan  identitas  masing-masing  dari  para pihak/penghadap  tersebut.  Notaris  hanya  mengkonstantir  apa  yang  terjadi,  apa  yang dilihat,  dan  dialaminya  serta  menuangkannya  di  dalam  akta.  Notaris  pada  dasarnya hanya  mencatat  apa  yang  dikemukakan  oleh  para  pihak/penghadap  lalu dituangkannya ke dalam akta, disini dapat dikatakan bahwa Notaris berwenang untuk menyesuaikan  keterangan-keterangan  yang  diberikan  para  pihak/penghadap  berikut surat-surat/dokumen-dokumen  yang diberikan dengan surat-surat/dokumen-dokumen yang  asli  atau  yang  sebenarnya  sehingga  notaris  dapat  menuangkan  yang  formil  ke materiil akta. 

Disini  juga  notaris  memberikan  penyuluhan  hukum  untuk  memberi  arah dalam  menemukan  solusi  yang  benar  dan  tepat  kepada  para  pihak/penghadap sehubungan dengan akta yang akan dibuatnya.   

Berdasarkan  uraian  tersebut,  apabila  akta  otentik  yang  mengandung  cacat hukum tersebut dapat menjadi sengketa dan diperkarakan di depan sidang Pengadilan
maka dalam proses persidangan tersebut hakim akan melakukan pembuktian dengan menilai  dapat  tidaknya  diterima  suatu  alat  bukti  dan  menilai  kekuatan pembuktiannya.  Sehubungan  dengan  hal  ini  maka  akta  otentik  yang  dibuat  oleh Notaris tersebut akan menjadi bukti bahwa adanya suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan  oleh  para  pihak/penghadap  yang  oleh  Notaris  perbuatan  hukum  dari  para pihak/penghadap  tersebut  dituangkan  sebagai  materiil  dalam  suatu  akta.  Hal  ini berarti  akta  otentik  itu  sendirilah  yang  membuktikan  bahwa  telah  terjadi  suatu perbuatan  melawan  hukum  yang  dilakukan  oleh  para  pihak/penghadap,  bukan  oleh Notaris.  Oleh  karenanya  maka  Notaris  dalam  hal  ini  tidak  dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Akan  tetapi  dengan  adanya  sengketa  dan  menjadi  perkara  di  Pengadilan sehubungan  dengan  Akta  otentik  yang  dibuat  oleh  Notaris  tersebut  maka  Notaris dalam  hal  ini  akan  diperiksa  atau  dipanggil  sebagai  saksi  guna  proses  pembuktian. Pemanggilan  terhadap  Notaris  sebagai  saksi  untuk  memberikan  keterangan  di  depan persidangan  ada  kalanya  membuat  seorang  Notaris  enggan  hadir  dalam  persidangan tersebut.  Sebagian  orang  berpendapat  bahwa  notaris  tidak  perlu  hadir  dalam  sidang   di Pengadilan untuk menjadi saksi mengingat akta yang dibuatnya adalah akta otentik yang  merupakan  alat  bukti  yang  mengikat  dan  sempurna.  Artinya  adalah  apa  yang ditulis  di  dalam  akta  itu  harus  dipercaya  oleh  hakim,  yaitu  harus  dianggap  sebagai benar selama ketidakbenarannya itu tidak dapat dibuktikan, dan akta itu sudah tidak memerlukan penambahan pembuktian.
 
Menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal  148  HIR  bahwa  memberikan  kesaksian  adalah  merupakan  suatu  kewajiban, seseorang yang tidak memenuhi panggilan untuk menjadi saksi di depan persidanganakan berakibat (Hari  Sasongko, Hukum  Pembuktian  dalam  Perkara  Perdata,  Mandar  Maju,  Bandung,  2005, hal. 80.) sebagai berikut :

1.          Dihukum  untuk  membayar  biaya-biaya  yang  telah  dikeluarkan  untuk memanggil saksi.
2.          Secara paksa akan dibawa ke muka pengadilan.
3.          Dimasukkan ke dalam penyanderaan (gijzeling).

 Sebenarnya  kehadiran  seorang  notaris  sebagai  saksi  di  depan  sidang pengadilan  sangat  berguna  untuk  menerangkan  duduk  perkara  yang  sebenarnya  atas akta  otentik  yang  dibuat  oleh  Notaris  tersebut.  Sebab  notaris  adalah  orang  yang mengetahui  secara  pasti  kebenaran  dari  akta  yang  dibuatnya  maka,  sebagai  saksi, notaris  akan  menerangkan  tentang  apa  yang  dilihatnya  atau  dialaminya.  Selain daripada  itu  seorang  Notaris  apa  bila  dipanggil  sebagai  seorang  saksi  harus  datang dan  hadir  di  persidangan,  sebab  pada  waktu  kehadirannya  itulah  Notaris  akan menentukan  apakah  dia  akan  mempergunakan  hak  ingkarnya  (hak  untuk mengundurkan  diri  sebagai  saksi)  yang  diatur  dalam  pasal  1909  ayat  (3e) KUHPerdata, yang menyatakan:
                                                
“Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya  menurut undang-undang,  diwajibkan  merahasiakan  sesuatu,  namun  adalah  semata-mata mengenai hal yang sepengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian”. 
 
Karena untuk mempergunakan hak ingkar harus dinyatakan dengan tegas dan hal  ini  hanya  bisa  dilakukan  dengan  hadirnya  Notaris.  Dapat  dikatakan  bahwa  Hak Ingkar  adalah  merupakan  perwujudan  dari  perlindungan  hukum/immunitas  hukum bagi  Notaris  untuk  kepentingan  masyarakat  dan  kewajiban  untuk  merahasiakan  isi aktanya maupun hal-hal yang diketahuinya karena jabatannya.
 
Apabila  Notaris  mengemukakan  hak  ingkar  dalam  pemeriksaan  di  persidangan  notaris  harus  mengemukakannya  secara  tegas  dengan  mengajukan bukti-bukti  yaitu  minimal  dua  orang  saksi  yang  benar-benar  mengetahui  mengenai pembuatan akta otentik tersebut yang sebenarnya. Saksi-saksi yang dimaksudkan oleh Notaris tersebut adalah benar, dan saksi-saksi ini  membantah keterangan-keterangan yang  tidak  benar  sehubungan  dengan  pembuatan  akta  tersebut.  Namun  ada  kalanya hak  ingkar  yang  dimiliki  Notaris  ditolak  oleh  Hakim  Pengadilan  dengan  alasan sebagai berikut:

a.       Menurut  penilaian  hakim  bahwa  dalam  hal  pembuktian,  keterangan-keterangan  yang  dikemukakan  oleh  Notaris  tidak  dapat  dibuktikan  sesuai dengan  peristiwa-peristiwa  yang  sebenarnya  sehubungan  dengan pembuktian akta tersebut.

b.      Keterangan-keterangan Notaris masih dibutuhkan yaitu perlu dikonfrontir dengan  pemeriksaan  yang  dilakukan  terhadap  keterangan-keterangan  dari saksi-saksi yang lain.

c.       Kepentingan pro  Justicia  atau  kepentingan  umum  yang  lebih  tinggi nilainya dari kepentingan pribadi.

 Notaris  selaku  pejabat  umum  yang  melaksanakan  pelayanan  terhadap  publik selain  mendapatkan  pengawasan  dari  Majelis  Pengawas  juga  memerlukan perlindungan hukum, yaitu:  
1.         Dalam  hal  menjadi  saksi  di  pengadilan  sehubungan  dengan  akta  yang dibuatnya.
2.         Dalam  hal  menjadi  tergugat  di  pengadilan  menyangkut  akta  yang dibuatnya.
3.         Dalam  hal  sebagai  terdakwa  dalam  perkara  pidana  sehubungan  dengan kata   yang dibuatnya.
4.         Dalam hal penyitaan terhadap budel minuta yang dibuatnya.  (Paulus  Effendi  Lotulong,  Makalah  tentang  Perlindungan  Hukum  terhadap  Notaris, Disampaikan pada Kongres INI XVII di Jakarta, 2000.)

Hak  immunitas/kekebalan  hukum  bagi  Notaris  dapat  diberikan  dalam  hal kewajiban  untuk  menolak  memberikan  keterangan  yang  menyangkut  rahasia jabatannya,  dan  terhadap  kesalahan  yang  diperbuat  oleh  seorang  notaris  haruslah dibedakan  antara  kesalahan  yang  bersifat  pribadi  dengan  kesalahan  di  dalam menjalankan  tugasnya.  Secara  pribadi,  Notaris  dapat  dituntut  dan  dihukum  sama seperti  masyarakat  biasa  lainnya,  namun  sebagai  seorang  pejabat  umum  yang melaksanakan  kepentingan  publik,  maka  terhadap  kesalahan  yang  berkaitan  dengan pelaksanaan  tugasnya  atau  hasil  pekerjaannya,  otentisitas  akta-aktanya  tetap  dapat dijamin,  dan  terhadap  notaris  perlu  diberikan  perlindungan  hukum  yang  berbeda mekanismenya  dengan  anggota  masyarakat  biasa.  Hal  ini  tentunya  akan  membuat Notaris menjadi lebih kondusif dan terlindungi di dalam menjalankan tugasnya.
 
Seorang  Notaris  yang  melakukan  kesalahan  di  luar  jabatannya  atau  secara pribadi,  misalnya  melakukan  perbuatan  seperti  berjudi,  mabuk-mabukan, menyalahgunakan Narkoba, dan melakukan perbuatan zinah. Dengan demikian maka:
-Notaris tersebut dapat dikatakan telah melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan
-Notaris dan Kode Etik Profesi Notaris. 
-Sedangkan Notaris yang melakukan kesalahan dalam  jabatannya  selaku  pejabat  umum  adalah  apabila  notaris  dengan  sengaja melakukan  suatu  kesalahan  atau  kelalaian  dalam  pembuatan  akta  maka  ia  dapat dituntut  atau  bertanggungjawab  secara  perdata  maupun  pidana.  Akan  tetapi  seorang Notaris dapat juga dikatakan melanggar kode etik notaris pada saat melakukan tugas dan jabatannya, misalnya melakukan kesalahan etika terhadap sesama rekan Notaris.
 
Selain  itu  apabila  Notaris  melakukan  suatu  perbuatan  pembuatan  akta  atas perintah  dari  para  pihak,  dan  syarat-syarat  formil  yang  ditentukan  oleh  undang-undang  dalam  pembuatan  akta  telah  dipenuhi  Notaris,  maka  Notaris  tidak  dapat bertanggung  jawab.  Pertanggungjawaban  atas  perbuatan  seseorang  biasanya  praktis baru ada  arti apabila ia  melakukan perbuatan  yang tidak diperbolehkan oleh hukum.

Sebagian besar di dalam KUHPerdata dinamakan perbuatan melawan hukum.

Pertanggungjawaban  Notaris yang sebagai akibat pembatalan akta notaris harus dilihat dari perbuatan yang mengakibatkan pembatalan akta tersebut apakah diakibatkan adanya kesalahan atau kelalaian Notaris atau karenaadanya  perbuatan  melawan  hukum  dari  para  pihak,  Notaris  tidak  dapat  diminta pertanggung- jawaban apabila batalnya akta akibat adanya kesalahan para pihak bukankesalahan Notaris.
 
Pertanggungjawaban  Notaris timbul  bukan  hanya  akibat  perbuatan  notaris  semata  tetapi  lebih  sering  diakibatkan oleh  adanya  kesalahan  dari  para  pihak  yang  mengikatkan  diri  dalam  akta  Notaris. Notaris  harus  tetap  dilindungi  hak-haknya  dalam  menjalankan  tugasnya  khususnya dalam pembuatan akta.

Untuk pertanggungjawaban notaris ini ada baiknya mengutip pernyataan yang sangat  menarik  dari  Habib  Adjie  yang  menyatakan  pada  Komunitas  Hukum Indonesia,  bahwa  telah  terjadi  kesalahan  persepsi  dalam  memahami  Akta  Notaris. Bahwa  inti  dari  adanya  Akta  Notaris,  yaitu  adanya  keinginan  atau  kehendak  para pihak,  agar  segala  bentuk  tindakannya  dituangkan  ke  dalam  bentuk  Akta  Notaris,  tanpa  keinginan  para  pihak  sudah  tentu  Notaris  tidak  akan  membuatkannya  untuk para  pihak  dan  agar  menjadi  akta  otentik  kemudian  Notaris  memberi  bingkai formalitas  agar  dapat  menjadi  alat  bukti  yang  sempurna  sesuai  aturan  hukum  yang berlaku.  Sehingga  suatu  akta  Notaris  bukan  perbuatan  Notaris,  dan  Notaris  bukan pihak dalam Akta tersebut. 

Dengan  pengertian  semacam  ini,  jika  ada  Akta  Notaris  ingin  dibatalkan  atau agar  tidak  mempunyai  kekuatan  mengikat  secara  hukum  bagi  para  pihak  yang tersebut  dalam  akta,  maka  yang  harus  dilakukan  para  pihak,  yaitu  datang  kembali kepada  Notaris  untuk  membuat  akta  pembatalan  atas  akta    yang  telah  dibuat sebelumnya.  Jika  ini  tidak  dapat  dilakukan,  maka  salah  satu  pihak  dapat  menggugat pihak  lainnya  ke  Pengadilan  Negeri  (bukan  menggugat  Notaris),  dengan  pokok gugatan  agar  akta  Notaris  yang  dimaksud  didegradasikan  kedudukannya  dari  akta Notaris  yang  mempunyai  kekuatan  pembuktian  yang  sempurna,  diputuskan  menjadi mempunyai  kekuatan  pembuktian  sebagai  akta  di  bawah  tangan.  Setelah  diputuskan seperti  itu,  hakim  dapat  melakukan  penafsiran  atau  penilaian,  apakah  akta  tersebut dibatalkan atau tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi para pihak.

Perbuatan  hukum  yang  dapat  dibatalkan  atau  adanya  cacat  yang  tidak berakibat  batal  demi  hukum  masih  dapat  disahkan  sebagaimana  diatur  dalam  pasal 1892  KUHPerdata.  Menurut  pasal  tersebut  pengesahan  dapat  dilakukan  dengan penguatan  (Bekrachtiging)  atau  penetapan  (Bevestigiving)  yang  mengakibatkan hilangnya  atau  dilepaskannya  hak  untuk  membatalkan  perbuatan  hukum  yang sedianya dapat dimajukan dengan tidak mengurangi hak Pihak Ketiga. Di dalam Akta penguatan  atau  Akta  penetapan  tersebut  harus  dicantumkan  isi  pokok  perbuatan  dan alasan  yang  menyebabkan  dapat  dituntut  pembatalannya  beserta  maksudnya  untuk memperbaiki cacat yang sedianya menjadi dasar tuntutan tersebut.

Perlu  diperhatikan  akibat  dari  pengesahan  atau  penguatan  tersebut menyebabkan  perbuatan  hukum  yang  bersangkutan  menjadi  sah  sejak  perbuatan hukum tersebut dilakukan.

Dalam  Pasal  84  UUJN  diatur  secara  khusus  akibat  pelanggaran  yang dilakukan  Notaris  terhadap  ketentuan-ketentuan  tertentu  di  dalam  UUJN  tersebut. Akibat  pelanggaran  tersebut  dapat  menyebabkan  akta  notaris  hanya  mempunyai kekuatan  pembuktian  sebagai  akta  di  bawah  tangan,  namun  dapat  pula  suatu  akta menjadi  batal  demi  hukum.  Adalah  sangat  penting  untuk  mengetahui  pelanggaran-pelanggaran  yang  ada  pada  pasal-pasal  UUJN. Salah  satunya  pelanggaran  terhadap pasal 16 ayat 1 huruf k termasuk di dalamnya.
   
Pasal 84 UUJN apabila berkaitan dengan perbuatan hukum yang digolongkan pada perjanjian formil atau perbuatan hukum yang mengharuskan bentuk akta notaris atau  tidak  dipenuhinya  unsur essentialia mengakibatkan  perbuatan  hukum  tersebut menjadi  batal  karena  akta  notaris  hanya  berfungsi  sebagai  alat  bukti  maka  dengan adanya  pelanggaran  atas  pasal-pasal  yang  disebutkan  dalam  Pasal  84 UUJN menyebabkan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Tanpa adanya pendegradasian seperti itu telah mencederai posisi akta Notaris. 

Perlu dipahami secara integral bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang  sempurna,  sehingga  siapapun  (termasuk  Hakim),  terikat  dan  tidak  boleh  menafsirkan  apapun  selain  yang  tertulis  dalam  akta.  Ini  merupakan  makna  akta notaris  yang  mempunyai  kekuatan  pembuktian  yang  sempurna.  Tapi  ternyata  hal seperti  ini  tidak  dapat  dipahami  secara  benar  oleh  para  komunitas  hukum  (seperti hakim,  dan  Pengacara),  hal  ini  dapat  kita  baca  dari  berbagai  putusan  hakim,  secara langsung  membatalkan  akta  notaris,  tanpa  didahului  adanya  putusan  pendegradasian akta Notaris menjadi akta di bawah tangan.
  

C.   Ketentuan Sanksi Terhadap Notaris yang Melakukan Penyimpangan Dalam Penggunaan Lambang Negara.
 
Sebagaimanaa yang telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya mengenai segala  kewajiban  dan  larangan  yang  mengikat  seorang  pejabat  notaris,  maka  diatur pula berbagai macam sanksi-sanksi yang akan dikenakan bagi notaris yang melanggar ketentuan  tersebut.  Terhadap  ketentuan-ketentuan  tersebut,  apabila  dilanggar,  maka terhadap  notaris  yang  melanggar  akan  dikenakan  sanksi  yang  diatur  dalam  Bab  XI Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut, dan sanksi lain di luar UUJN.


1.  Sanksi Dalam UUJN
 
Pertanggungjawaban  Notaris  dalam  pembuatan  Akta  otentik  menimbulkan konsekuensi  bahwa  Notaris  dapat  dikenakan  sanksi.  Sanksi  terhadap  Notaris  diatur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN, ada 2 (dua) macam, yaitu:

a.  Sanksi Perdata.
sebagaimana  tersebut  dalam  pasal  84  UUJN,  yaitu  jika  notaris  melanggar (tidak  melakukan)  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal  16  ayat  (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52. jika  ketentuan  dalam  pasa  tersebut  di  atas  tidak  dipenuhi,  maka  akta  yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum dan hal tersebut dapat dijadikan  alasan  bagi  para  pihak  (para  penghadap)  yang  tercantum  dalam  akta  yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.   

(Substansi Pasal 84 UUJN ini dapat dibandingkan dengan pasal 60 PJN disebutkan jika akta yang  di  buat  di  hadapan  Notaris  tidak  memenuhi  syarat  bentuk  dapat  dibatalkan  di  muka  pengadilan atau hanya dianggap dpat berlaku sebagai akta yang dibuat di bawah tangan. Menurut Pasal 60 UUJN dalam pembatalan akta  untuk berlaku  sebagai akta di bawah tangan  memerlukan putusan pengadilan. Menurut Pasal 84 UUJN hal seperti tersebut dalam Pasal 60 PJN tidak diperlukan. Ketentuan Pasal 60 PJN ini sesuai dengan Substansi Pasal 1869 BW.)

Sanksi  berupa  penggantian  biaya,  ganti  rugi,  dan  bunga  merupakan  akibat yang  akan  diterima  Notaris  atas  tuntutan  para  penghadap  jika  akta  yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum..

Akta  Notaris  yang  mempunyai  kekuatan  pembuktian  yang  sempurna,  karena melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi mempunyai  kekuatan  pembuktian  sebagai  akta  di  bawah  tangan.  Kedudukan akta Notaris yang kemudian mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah  tangan  merupakan  penilaian  suatu  alat  bukti.  Sedangkan  suatu  akta yang  batal  demi  hukum  maka  akta  tersebut  dianggap  tidak  pernah  ada  atau tidak  pernah  dibuat.  Sesuatu  yang  tidak  pernah  dibuat  tidak  dapat  dijadikan dasar  suatu  tuntutan  dalam  bentuk  penggantian  biaya,  ganti  rugi,  dan  bunga.        

Penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga dapat dituntut kepada Notaris harus didasarkan  pada  suatu  hubungan  hukum  antara  Notaris  dengan  para  pihak yang menghadap Notaris.

b. Sanksi Administratif
 
Sebagaimana tersebut dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan atau Pasal 63 maka notaris dapat dikenakan Sanksi Administratif berupa:
1.  Teguran Lisan.
2.  Teguran Tertulis.
3.  Pemberhentian sementara.
4.  Pemberhentian dengan hormat.
5.  Pemberhentian dengan tidak hormat.

Pengenaan  Sanksi  Administratif  dapat  bersifat  Preventif  dan  juga  dapat bersifat  Represif  dan  seluruhnya  dilaksanakan  oleh  Majelis  Pengawas  terhadap Notaris yang dinilai melakukan pelanggaran.

Pengenaan  sanksi  terhadap  notaris  yang  melakukan penyalahgunaan  Lambang  Negara  yang  dianggap  sepele,  seperti  halnya  kasus  LS yang menimbulkan dampak  yang cukup besar bagi para pihak  dan juga pada notaris itu sendiri .

Kasus LS menimbulkan korban jiwa,  dimana para ahli waris melakukan rapat  di  kantor  notaris  yang  tidak  dihadiri  notaris  tersebut  dan  mengeluarkan  Surat Pernyataan  yang  merupakan  hasil  rapat   tersebut  yang  ditandatangani  dan  distempel berlambang  negara  dan  diterbitkan  Notaris  tapi  tidak  disebut  bahwa  surat  tersebut sebagai  legalisasi  atau  sebagai  warmerking  sehingga  menimbulkan  persepsi  yang negatif bagi para pihak.
 
Sehingga  Majelis  Pengawas  Wilayah  menjatuhkan  sanksi  terhadap  Notaris yang bersangkutan dengan Surat Putusan W-007.01.02 Tahun 2007 yang berisi:

1.      Tindakan  X  selaku  Notaris  di  Medan  tidak  tepat  karena  menandatangani dan  membubuhkan  stempel  pada  surat  pernyataan  tanggal  28  agustus 2006, sehingga menimbulkan persepsi negatif
2.      Surat  pernyataan  tanggal  28  Agustus  2006  tidak  dapat  dibatalkan  oleh Majelis Pengawas wilayah sumatera Utara dan hanya berkekuatan surat di bawah tangan yang mengikat bagi para pihak yang menandatangani
3.      Memberi teguran tertulis terhadap X selaku Notaris di Medan. Dimana  sanksi  teguran  tertulis  yang  dijatuhkan  oleh  MPW  terhadap  X  tersebut dikuatkan oleh Majelis Pengawas Pusat.
 
Setelah  dikaji  di  atas  sanksi  yang  diberikan  MPW  terhadap  X  tersebut merupakan salah satu dari sanksi yang disebutkan dalam UUJN yaitu sanksi teguran tulisan.           


2.  Sanksi Lainnya di luar UUJN 

Ikatan  Notaris  Indonesia  (INI)  telah  mengatur  mengenai  sanksi  hukum  dan sanksi etika terhadap Notaris. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas jabatannya Notaris  harus  mematuhi  dan  melaksanakan  ketentuan  yang  sudah  diatur  di  dalam Undang-undang  Nomor  30  Tahun  2004  tentang  Jabatan  Notaris  dan  Kode  Etik Notaris  Ikatan  Notaris  Indonesia  (INI)  sebagai  pedoman  moral  dan  etika  dalam berprofesi.  Permasalahan  dalam  tesis  ini  adalah  bagaimana  akibat  hukum  terhadap Notaris  sebagai  pejabat  publik  atas  penyalahgunaan  lambang  negara  dalam  produk yang  diterbitkannya.  Tentunya  dalam  koridor-koridor  hukum  sebagaimana  diatur dalam  Kode  Etik  Ikatan  Notaris  Indonesia  (INI)  dan  peraturan  perundang-undangan lainnya.

Hasil pengumpulan data diketahui bahwa penjatuhan sanksi perdata terhadap Notaris  atas  akta  yang  dibuat  oleh  atau  dihadapan  Notaris  mengakibatkan  Akta Notaris tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta  Notaris  batal  demi  hukum.  Penjatuhan  sanksi  administratif  terhadap  Notaris tidak  serta  merta  mengakibatkan  akta  yang  dibuat  oleh  atau  di  hadapannya  menjadi akta di bawah tangan atau batal demi hukum. Karena penjatuhan sanksi administratif ini tidak berkaitan dengan aspek lahir, formil dan materil akta Notaris. 

Penjatuhan  sanksi  pidana  terhadap  Notaris  tidak  serta  merta  mengakibatkan akta yang dibuat oleh atau di hadapannya menjadi batal demi hukum. Mempidanakan Notaris  dengan  alasan-alasan  pada  aspek  formal  akta,  tidak  akan  membatalkan  akta Notaris  yang  dijadikan  objek  perkara  pidana  tersebut,  dengan  demikian  akta  yang bersangkutan tetap mengikat para pihak. Dengan dijatuhkannya sanksi etika terhadap seorang  Notaris  tidak  mengakibatkan  akta  yang  dibuat  oleh  atau  dihadapannya menjadi  akta  di  bawah  tangan,  batal  demi  hukum  ataupun  dapat  dibatalkan,  akta tersebut  tetap  mengikat  para  pihak.  Tanggung  jawab  Notaris  Akibat  penjatuhan sanksi  Hukum  dan  Etika  adalah  Notaris  tersebut  harus  melaksanakan  sanksi  hukum dan etika tersebut. 

Diluar dari sanksi tersebut di atas sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris apabila melakukan penyimpangan dalam penggunaan lambang negara tersebut yaitu; sanksi yang telah disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun  1958  tentang  Penggunaan  Lambang  Negara  yaitu  barang  siapa  melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 12 dan Pasal 15 dihukum dengan hukuman kurungan  selama-lamanya  tiga  bulan  atau  denda  sebanyak-banyaknya  limaratus rupiah,  dan Pasal  69 Undang-undang  Nomor  24  tentang  Bendera,  Bahasa,  dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Sedangkan  sanksi  dalam  Undang-undang  Nomor  24  tahun  2009  tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam pasal 69: (Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 69)           

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), setiap orang yang :
d.      dengan sengaja menggunakan lambang negara  yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
e.       membuat  lambang  untuk  perseorangan,  partai  politik,  perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; atau
f.        dengan  sengaja  menggunakan  lambang  negara  untuk  keperluan selain yang diatur dalam Undang-undang ini.

                                                
KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan 
1. Peranan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang atas penggunaan lambang Negara  dalam  produk  yang  diterbitkannya  berdasarkan  Peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku  Penggunaan  Lambang  Negara  oleh  Notaris  tersebut dilakukan secara terbatas, yaitu pada stempel atau Cap Jabatan ke dalam Akta dan etiket  dan  pada  surat-surat  Jabatan  Notaris.  Penggunaan  Lambang  Negara  oleh Notaris terbatas sesuai dengan kewenangan Notaris, yaitu:
a.       Pada salinan Akta 
b.      Pada pengesahan tandatangan Surat di bawah tangan 
c.       Pada Pembukuan surat-surat di bawah tangan 
d.      Pada copi dari Surat-surat asli di bawah tangan 
e.       Pada Pengesahan Pencocokan fotokopi dengan surat aslinya 
f.        Pada minuta Akta, akta originali, salinan akta, Kutipan akta grosse akta, surat di bawah tangan, dan surat-surat resmi yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas  Jabatan  Notaris  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  15  UUJN,  dimana bentuk  dan  ukuran  Cap/stempel  Notaris  terdapat  dalam  Pasal  5  Peraturan Menteri  Hukum  dan  Hak  Azasi  Manusia  Republik  Indonesia  Nomor M.02.HT.03.10.Tahun 2007.
g.       Pada Kop Surat yang merupakan surat Jabatannya sebagai notaris.

2. Penyimpangan penggunaan Lambang Negara yang ditemui dalam praktek Notaris   yaitu:
a.       Dalam kartu nama
b.      Dalam Covernote
c.       Dalam Kwitansi/tanda penerimaan uang
d.      Dalam Jilid atau map yang menuliskan kedudukan yang bersangkutan sebagai notaris  dan  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  (PPAT),  padahal  harus  dipahami PPAT tidak menggunakan lambang negara.
e.       Dalam formulir pembayaran pajak BPHTB, diberi Cap berlambang Garuda.
f.        Dalam  surat-surat  yang  tidak  ada  hubungannya  dengan  jabatannya  sebagai notaris 

3.   Diluar dari sanksi perdata dan sanksi administratif yang ada dalam UUJN, sanksi yang  dapat  diberikan  kepada  Notaris  apabila  melakukan  penyimpangan  dalam penggunaan  lambang  negara  tersebut  yaitu; sanksi  yang  telah  disebutkan  dalam pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang  Negara  yaitu  barang  siapa  melanggar  ketentuan-ketentuan  tersebut dalam  Pasal  12  dan  Pasal  15  dihukum  dengan  hukuman  kurungan  selama-lamanya  tiga  bulan  atau  denda  sebanyak-banyaknya  limaratus  rupiah, dan Pasal 69 Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Sedangkan sanksi dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam pasal 69:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), setiap orang yang :
a.       dengan sengaja menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b.      membuat  lambang  untuk  perseorangan,  partai  politik,  perkumpulan, organisasi  dan/atau  perusahaan  yang  sama  atau  menyerupai  lambang negara; atau
c.       dengan  sengaja  menggunakan  lambang  negara  untuk  keperluan  selain yang diatur dalam Undang-undang ini.


B.  Saran

1.      Kepada Notaris sebagai pejabat yang dipercayakan dalam menggunakan lambang negara agar dalam penggunaan lambang negara tersebut harus tepat sesuai dengan ketentuan-ketentuan  seperti  Undang-undang  Jabatan  Notaris,  dan  juga  dalam Peraturan  Pemerintah  Nomor  43  tahun  1958  tentang  Penggunaan  Lambang Negara dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan harus dijunjung tinggi. 

2.      Kepada  para  Majelis  Pengawas  seharusnya  dapat  menerapkan sanksi    terhadap notaris  yang  menyalahgunakan  lambang  negara  sebagaimana  yang  telah ditentukan  dalam  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku.  Sehingga  ke depannya notaris jera dan dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik.

3.      Kepada  Pengurus  Organisasi  Ikatan  Notaris  Indonesia  (INI)  diharapkan memberikan  penyuluhan  kepada  para  notaris  dalam  menggunakan  lambang negara  sesuai  yang  telah  ditetapkan  dalam  peraturan  Perundang-undangan  yang berlaku.  Sehingga  ada  keseragaman  dan  keserasian  antar  Notaris  dalam penggunaan Lambang Negara tersebut.