Jumat, 28 Agustus 2009

HUKUM DAN POLITIK DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN

Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup. 
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivistis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. 
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.

BAB II
PANDANGAN ALIRAN POSITIVIS TENTANG HUKUM

Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi, tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapun yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, hlm. 267) , hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin, hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatakan sebagai positive law.
Selanjutnya Lili Rasyidi menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari Austin, yaitu :
1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain tersebut berada di luar hukum;
2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
3. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
6. Ajaran Austin kurang/ tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan ajaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein/ kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selanjutnya Prof. H. L. A. Hart seperti dikutip oleh Lili Rasyidi , menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut :
1. Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
2. Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/ penting antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
3. Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :
a. mempunyai arti penting,
b. harus dibedakan dari penyelidikan :
c. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
d. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
e. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
4. Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/ tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;
5. Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik. 

BAB III
POLITIK DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Dalam khasanah ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi politik pada khususnya, politik pada dasarnya adalah sebuah konsep yang amat luas cakupannya. Konsep ini pada pokoknya menerangkan tentang bagaimana kekuasaan (power) dan sumber-sumbernya (resources of power) itu dialokasikan dan disistribusikan dalam sebuah masyarakat. Proses ini tidak selalu terjadi melulu atas dasar sebuah konsensus tetapi juga sering melalui kompetisi dan bahkan konflik atas dasar kombinasi pola “memperebutkan-mempertahankan” di antara partisipan konflik yang dapat berwujud individu, kelompok, golongan, atau lembaga. Di samping itu, konsep politik juga sangat terkait dengan beberapa konsep kunci lainnya seperti otoritas (authority), legitimasi (legitimacy), dominasi (domination), hegemoni (hegemony) dan kekuasaan paksa (coercive power).
Sumber-sumber kekuasaan yang dapat berbentuk posisi, jabatan, pengaruh, uang, dan kekayaan itu, di masyarakat manapun, secara relatif selalu bersifat terbatas. Ihwal inilah yang menyebabkan mengapa sejarah manusia selalu ditandai oleh pertikaian yang berdimensi politik. Walaupun wilayah pertikaian politik untuk memperebutkan (atau mempertahankan) sumber-sumber kekuasan itu juga terjadi di masayarakat (civil society), sangat penting di sini untuk dicatat bahwa negara (state) adalah pusat wilayah perebutan kekuasaan yang paling sengit karena di sanalah sumber-sumber kekuasaan terpenting untuk membuat keputusan publik itu terdapat.
Menurut ajaran trias politica yang di kemudian hari menjadi landasan pokok negara moderen, terdapat tiga cabang kekuasaan negara penting yang sama-sama telah kita kenal dengan baik itu : kekuasaan judisial, legislatif, dan eksekutif. Masing-masing cabang kekuasaan itu memiliki otoritas dan secara relatif memonopoli otoritas itu untuk menghasilkan (dan menggandakan) kekuasaan yang spesifik. Walaupun demikian, itu tidak berarti ketiga institusi pokok negara moderen itu tidak saling berinteraksi. Dalam beberapa keadaan, bahkan ketiga institusi itu mengembangkan hubungan kekuasaan yang secara inheren juga menyimpan prinsip saling ketergantungan.
Paradoks itu dapat dilihat di antaranya dalam ihwal hukum. Pada tempat pertama, hukum adalah produk lembaga legislatif. Sebagai sebuah produk, pembuatan hukum yang berupa undang-undang dan dalam keadaan tertentu berupa konstitusi negara, selalu melibatkan proses-proses politik yang amat kompleks. Melalui perdebatan parlemen, sebuah rancangan produk hukum dibahas dalam sidang-sidang yang melibatkan elemen-elemen yang berbeda dalam sebuah parlemen, yakni partai politik. Dengan kata lain, pada dasarnya hukum yang paling dasar, yakni konstitusi negara dan undang-undang, adalah sebuah produk politik dari partai-partai politik dominan dalam sebuah parlemen. Memang, terdapat beberapa variasi tentang bagaimana sebuah produk hukum itu diselesaikan oleh lembaga legislatif. Namun, secara umum, wilayah ini pada pokoknya merupakan monopoli parlemen yang karena kewenangannya dalam menghasilkan produk-produk hukum pokok mendapatkan namanya dengan sebutan lembaga legislatif itu.
Ketika sebuah proses politik di parlemen itu berakhir dengan sebuah produk hukum berupa undang-undang (yang pengaturan penetapannya menjadi undang-undang di sebagian sistem politik membutuhkan persetujuan kepala lembaga eksekutif dan di sebagian sistem lainnya tidak), maka segera setelah itu hukum baru itu (tampak seperti “tiba-tiba”) menjadi sebuah aturan dasar yang mengikat semua lembaga negara dan individu, tak terkecuali lembaga yang menghasilkannya. Pengikatan diri secara penuh terhadap hukum yang berlaku tanpa kecuali ini, dalam negara moderen dikenal dengan ajaran tentang “supremasi hukum”. Ajaran ini pada dasarnya mendiktekan peneguhan atas nilai dan praktik “persamaan di depan hukum” yang mengakibatkan sebuah produk hukum, yang walaupun pada awalnya merupakan produk politik yang menyertakan juga proses-proses kompetisi dan rivalitas atas sumber-sumber kekuasaan, bersifat otonom (kadang bahkan “alien”) dan “self-evident” (mutlak dengan sendirinya). 
Dalam prinsip semacam inilah, dasar-dasar terpenting tentang gagasan negara hukum itu diletakkan dalam negara moderen. Penegasan terhadap gagasan negara hukum itu memiliki pesan tunggal yang amat jelas, yakni tidak sebuah kekuasaan dapat memaksakan kehendak dan kepatuhan publik atas kehendak itu tanpa dilandasi oleh hukum yang berlaku—yang proses pembuatan dan penetapannyapun diatur oleh hukum yang telah dibuat sebelumnya, baik dalam kedudukannya yang lebih tinggi maupun yang setara. Pada tempat inilah prinsip “Rule of Law” ditegaskan untuk mencegah praktik terjadinya “Rule by Law” yang kerap menjadi dasar dari tegaknya prinsip yang di negeri ini dalam khasanah perbincangan para ahli hukum tatanegara sering disebut dengan negara kekuasaan (machtsstaat) sebagai lawan dari negara hukum (rechtsstaat).
Hukum yang bersifat dasar dan mengikat semua pihak itu sesungguhnya merupakan tulisan bahkan kertas belaka apabila tidak ditegakkan. Pada tempat kedua inilah, di mana-mana, hukum membutuhkan lembaga “law enforcement”.
Dalam konteks inilah, lembaga eksekutif melalui aparatur khususnya mengemban tanggung jawab utama untuk menegakkan apa yang diperintahkan hukum untuk dilakukan atau tak dilakukan, untuk diindahkan atau dilarang. Mengikuti ajaran Trias Politica, lembaga eksekutif karena itu kepadanya diembankan kewajiban untuk memastikan hukum tak hanya menjadi tulisan atau kertas belaka. Birokrasi penegak hukum yang utama dalam negara moderen adalah polisi. Melalui proses evolusi yang panjang, dalam negara moderen yang berasas negara hukum itu, lembaga kepolisian memiliki tugas yang paling pokok: yakni penegakan hukum (law enforcement). 
Tidak sebuah lembaga manapun dalam cabang eksekutif maupun kedua cabang lainnya, yakni lembaga legislatif dan judisial, pada dasarnya memiliki otoritas yang penuh untuk menegakkan hukum. Pikiran tersederhana dalam prinsip “law enforcement” adalah pentingnya semua orang mematuhi hukum guna terciptanya ketertiban sosial dan keamanan umum yang sering juga disebut dengan istilah “social order and public safety”. Tegaknya kepatuhan orang pada hukum, dalam ajaran ini, dipercaya sebagai dasar untuk menciptakan sebuah kehidupan bersama yang memungkinkan pencapaian tujuan individual dan kolektif berikut segala perbedaan yang menyertainya dapat dilakukan tanpa dampak yang bersifat destruktif bagi kehidupan bersama yang berkelanjutan itu. Masih mengikuti ajaran ini, tanpa aturan bersama yang dipatuhi oleh publik, masyarakat akan menghasilkan anarki yang pada ujung-ujungnya akan menciptakan kehidupan bersama yang hancur dan atau menghancurkan.
Dalam mana telah terjadi, atau sekurang-kurangnya patut diduga sebagai berkemungkinan telah terjadi, pelanggaran hukum, polisi berkewajiban melakukan serangkaian tindakan: mulai dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan saksi dan atau pencarian bukti hingga pemberkasan. Mandat ini bersifat otonom dan penuh. Artinya, walaupun berada di wilayah jurisdiksi lembaga eksekutif, dan bukan, dan tidak pernah, dan tidak akan pernah, berada di bawah kedua cabang kekuasaan legislatif dan judisial, lembaga kepolisian tidak tunduk dan atau berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif dalam melakukan fungsi penegakan hukum selain dari hukum itu sendiri. Walaupun mungkin tampak mengandung paradoks, beginilah memang sesungguhnya ajaran negara hukum yang sejati. Pengaruh kekuasaan eksekutif atas kewajiban menegakkan hukum yang kewenangannya diberikan pada lembaga kepolisian tidak lain dan tidak ada yang lain selain menegakkan hukum itu sendiri.
Fungsi universal lainnya yang melekat pada lembaga kepolisian dalam kerangka penegakkan hukum demi terjadinya “social order dan public safety”—yang di Indonesia sering secara awam diringkas menjadi “ketertiban umum” itu (atau dalam terminologi Polri sering juga disebut dengan Kamtibmas)—adalah menjalankan fungsi-fungsi patroli (patroling), pengaturan lalu lintas (traffic), dan penyelidikan kejahatan (crime investigation). Hanya setelah paruh kedua abad yang lalu saja, lembaga kepolisian di banyak negara menambahkan juga fungsi antihuru-hara. Apa yang saya hendak katakan di sini tidak lain adalah, semua fungsi itu dilekatkan pada lembaga kepolisian untuk tujuan penciptaan tertib sosial dan keamanan publik.
Dalam tema yang serupa, lembaga eksekutif juga mengemban amanat sebagai lembaga penuntut perkara hukum ketika telah terjadi pelanggaran yang telah dikuatkan oleh bukti dan saksi yang oleh hukum dinyatakan sebagai telah memenuhi syarat bagi dilakukannya penuntutan. Lembaga kejaksaan adalah aparatus birokrasi penegak hukum yang berada di bawah jurisdiksi kekuasaan eksekutif. Sama dengan prinsip otonomi dan sifat yang penuh yang dimilki lembaga kepolisian itu, mandat lembaga kejaksaan tidak berkurang atau dapat dikurangkan oleh kenyataan bahwa lembaga ini berada di bawah jurisdiksi lembaga eksekutif. Sebagai penegasan tambahan, pengaruh lembaga eksekutif pada lembaga kejaksaan tidak lain dan tidak ada yang lain selain melakukan penuntutan berdasarkan hukum yang berlaku dan mengikat semua orang dan lembaga itu.
Cabang kekuasaan judisial yang meliputi otoritas penyelenggara sistem peradilan dan di beberapa negara juga merangkap sebagai lembaga penilai undang-undang dan atau peraturan di bawahnya (judicial reviewer) serta mahkamah penyelesai sengketa konstitusional, adalah satu cabang kekuasan dalam negara hukum yang memiliki otonomi untuk membuat keputusan akhir atas perkara hukum melalui sebuah sistem persidangan yang bertingkat. Cara bekerja lembaga ini adalah memutus perkara hukum (atau konstitusi) berdasarkan bunyi pasal-pasal hukum yang berlaku, dan, bila mana diperlukan, atas keyakinan hukum para hakimnya. Dalam jargon dan retorika hukum, lembaga ini sering juga disebut sebagai lembaga pemutus keadilan. Walaupun sebagai lembaga ia bersifat otonom, para hakim agungnya (begitulah mereka sering disebut) dipilih dan diangkat melalui proses politik jua. Sekurang-kurangnya, proses itu melalui pembahasan di cabang kekuasaan lainnya: lembaga legislatif dan atau lembaga eksekutif. Inilah gambaran paradoks yang di bagian awal tulisan ini telah saya singgung. Di satu pihak, mereka adalah lembaga yang memiliki otonomi dalam otoritas mereka masing-masing, di pihak lain mereka saling mempengaruhi melalui proses politik. Itulah potret hukum yang dalam satu sisinya digambarkan sebagai bersifat objekltif (karena sifatnya yang mengikat semua pihak) dan di sisi yang lain ia tidak terisolasi oleh proses politik yang dalam hasrat intinya berbicara tentang kekuasaan: tentang siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, dan kapan.
Keadilan adalah sebuah tema lain yang tidak kurang absorbnya. Sebagai konsep, keadilan memiliki dimensi yang ragam: teologi, filsafat, hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya. Dalam konteks hukum, berkembang kepercayaan yang sesungguhnya agak berbau mitos, dan sering kali juga sedikit menyesatkan. Dalam bayangan banyak orang di negeri ini, keadilan adalah sebuah konsep dan praktik yang sepenuh self-evident dalam wilayah hukum berikut seluruh instrumen, atribut, simbol dan asesorisnya. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, sekurang-kurangnya dalam perspektif sosiologi politik dan sosiologi hukum, ajaran tentang keadilan yang dipuja dalam hukum itu mengandung banyak masalah. Apa itu keadilan?; Siapa yang mendefinisikan sesuatu sebagai adil atau tidak?; keadilan menurut perspektif ruang dan waktu yang mana? Itu semua adalah sebagian pertanyaan dasar yang sangat rumit penjelasannya.
Dalam ajaran hukum positif, dalam praktiknya hukum sesungguhnya bergumul dengan tema kepastian hukum, bukan keadilan hukum. Keadilan hukum adalah sesuatu yang dominan dalam perbincangan tentang filsafat hukum dan politik hukum. Tema-tema ini dibahas sebagai wacana akademik oleh para sarjana hukum di kelas-kelas di perguruan tinggi. Para praktisi hukum yang meliputi polisi, jaksa, hakim, dan para penasihat dan pembela hukum, bergumul dengan apa yang tertulis dalam kitab undang-undang, bukan pada prinsip-prinsip abstrak yang memenuhi buku-buku teks pengajaran hukum dan ilmu hukum. Dengan kata lain, para praktisi hukum sangat terikat dengan apa yang ditulis dalam hukum positif, bukan dalam hukum yang diiedealkan oleh para sarjana dan ilmuwan hukum lainnya. Dalam ajaran hukum positif, sangat jelas apa yang dianggap hukum dan bukan. Yang disebut pertama selalu terdapat dalam undang-undangan dan peraturan lainnya, sekurang-kurangnya termaktub di dalamnya secara implisit. Apa yang tidak tertulis dalam undang-undang, bukanlah hukum positif betapapun itu dipercaya sebagai harus dan atau ideal dan atau adil oleh banyak orang. Karena itu menilai sebuah keputusan hukum sebagai adil atau tidak adalah sebuah pekerjaan yang mungkin berguna bagi banyak orang termasuk ahli hukum, ahli ilmu politik, atau bahkan para politisi, tetapi tidak untuk para praktisi hukum yang bekerja dalam kerangka ajaran hukum positif.
Dalam perbincangan yang sedikit berbeda, tema tentang “rasa keadilan masyarakat” yang diangkat dalam seminar adalah sebuah konsep penuh makna subjektif yang definisi dan elemen yang dilekatkan kepadanya sangat bergantung pada wacana yang saling berkompetisi. Sebagai sebuah wacana (teoretik atau sosial), keadilan atau rasa keadilan masyarakat itu sangat bergantung pada kepentingan, teori, atau perspektif mereka yang mendefinisikan ihwal itu. Belum lagi, definisi tentang “masyarakat”, atau “rakyat” itu juga memiliki wacananya sendiri. Dengan kata lain, tema “keadilan”, “rasa keadilan”, “rasa keadilan masyarakat” adalah sebuah konstruksi sosial yang di dalamnya juga menyertakan proses-proses politik dan akumulasi pengetahuan yang sangat berimplikasi pada kekuasaan dan relasi kompleks di antara elemen-elemen yang membentuk struktur kekuasaan. Karena itu, perbincangan tentang “rasa keadilan masyarakat dalam hukum” adalah sebuah perbincangan politik betapapun itu berselimutkan teori dan perspektif yang dikemas dan diajukan sebagai naskah akademis.
Dalam pemikiran seperti itulah, perbincangan tentang hukum sungguh memang tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang politik dan kekuasaan . Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuh naskah yang yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum. “Ketertiban sosial dan keselamatan publik” yang menjadi dasar pokok dalam penegakan hukum juga mengandung pemihakan pada nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain, selalu ada rasionalitas tertentu dalam hukum dan penegakannya. Penentuan prioritas dalam penegakan hukum oleh lembaga kepolisian karena keterbatasan anggaran dan jumlah personel misalnya, adalah sebuah contoh dari hadirnya proses seleksi atas sejumlah nilai. Pengutamaan penyelesaian perkara kasasi tentang perceraian di lembaga mahkamah agung, sebagai misal yang lain, adalah contoh tentang tak terisolasinya lembaga hukum dari pemihakan akan nilai-nilai tertentu.
Sebagai sebuah wacana sosial dan politik, rasa keadilan masyarakat itu secara spesifik sekurang-kurangnya merujuk pada tiga hal yang berbeda. Yang pertama berhubungan dengan substansi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa ada larangan atau perintah hukum untuk sesuatu dan tidak untuk yang lain. Contoh tentang hadirnya larangan impor pakaian bekas dan tidak hadirnya larangan truk bekas adalah sebuah ilustrasi yang memperlihatkan kecenderungan itu. Mengapa pada kasus yang pertama berkembang argumentasi semisal perlindungan industri garmen dalam negeri dan argumentasi kesehatan publik yang terkait dengan SARS? Sebaliknya, mengpa pada kasus yang kedua argumentasi perlindungan indusrtri otomotif dan atau perlindungan keselamatan publik di jalan raya tak muncul?
Yang kedua berhubungan dengan implementasi hukum. Ihwal ini berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa sebuah ketentuan hukum pada kasus tertentu diindahkan dan kasus sama yang lain ihwal itu tak dikerjakan. Pemberlakuan tahanan rumah selama pemeriksaan pada kasus tindak pidana korupsi tertentu dan tidak pada kasus yang lain adalah salah satu contoh yang kerap dipakai untuk memperlihatkan betapa absurdnya tema tentang keadilan hukum itu. Contoh yang mirip juga dapat ditemukan pada kasus di mana pelaku white colar crime cenderung mendapat perlakuan yang berbeda dengan pelaku blue colar crime selama pemeriksaan hingga semasa terhukum berada dalam lembaga pemasyarakatan. Yang ketiga berhubungan perbandingan relatif tentang sebuah keputusan hukum. Ihwal ini berhubungan dengan rasa keadilan numerik dalam persepsi publik. Sebagai misal, mengapa putusan pengadilan pada kasus perampokan dan atau pencurian, sebutlah yang bernilai 50 juta rupiah, cenderung berakhir dengan putusan hakim yang lebih berat ketimbang pencurian uang negara yang bernilai milyaran rupiah. Contoh-contoh serupa dapat saja ditemukan untuk menghasilkan daftar yang lebih panjang. Intinya, rasa keadilan hukum itu berhubungan penilaian publik atas prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dalam perlakuan (treatment), kesempatan (opportunity) dan akses (access). Tema umumnya berhubungan dengan terjadinya pembedaan ketiga prinsip itu atas dasar status dan klas sosial, kepercayaan politik dan ideologi.
Perbincangan tentang hukum dan politik adalah sebuah tema yang walaupun saling berkait namun memiliki dimensi yang amat kompleks. Ketidaksederhanan hubungan di antara keduanya justru terletak pada berkembangnya kepercayaan bahwa kedua wilayah itu semestinya tidak bercampur meskipun dalam kenyataan sejarahnya sungguh memang selalu dan akan selalu demikian. Pemilihan tentang siapa yang menjadi orang nomor satu di lembaga kepolisian atau kejaksaan misalnya, selalu mengundang pertanyaan politik. Jawabannya amat jelas, kedua lembaga ini sangat penting perannya dalam menentukan adakah sebuah produk hukum itu akan berhenti sekedar sebagai naskah hukum atau menjadi sebuah hukum yang hidup. Hanya dalam lingkungan pemerintahan yang relatif bersih sajalah proses penentuan kedua jabatan puncak itu secara relatif dapat dijauhkan dari pertimbangan politik yang berorientasi pada kekuasaan. 
Karena itu, projek yang bertujuan meminimalisasikan politik dari wilayah hukum akan sangat bergantung pada ihwal lainnya seperti usaha untuk menciptakan sistem politik dan hukum yang lebih tansparan dan akuntabel. Dengan cara itu kekuasaan akan lebih mudah untuk dikontrol pemanfaatannya. 

BAB IV
PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

A. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev , yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. 
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan. 
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti : partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional. Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : 
”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”.

Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati. 
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah. Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
C. Sistem Politik Indonesia
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan - sebagaimana yang dianut aliran positivis - mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihormati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.

BAB V
KESIMPULAN

Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.

Komar, Mieke, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.

Lev, Daniel S., Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.

Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Muhammad, Bushar, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.

Nasution, Bismar, Catatan Perkuliahan Politik Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008. 

Rasyidi, Lili & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.

Salman, Otje, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Sumber : Sudirman Simamora 
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan 2008






Eksekusi Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan


 
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, akan memiliki kekuatan eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia (cidera janji) kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan?
Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).
Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan (butuh keterangan dan pengakuan dari para pihak dalam akta). Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dibuat dengan akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang.
Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal kenderaan bermotor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Namun, fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan oleh karena itu fidusia sebagai jaminan kebendaan tidaklah lahir, dengan demikian kreditor tersebut bukanlah kreditor pemegang jaminan kebendaan.
Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.
Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang kompleks dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 BW dan dapat digugat ganti kerugian.
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
 
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor. Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena fidusia tersebut tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.
Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan pelayanan yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman.
Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.
Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi sendiri. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.
Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting dan mendesak.


Sekilas Tentang Kredit



 

Secara etimologi, istilah kredit berasal dari Bahasa latin, yaitu "credere", yang berarti kepercayaan.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kredit adalah pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.

 

Menurut beberapa pendapat para ahli ilmu hukum, seperti:

1. J. A. Lavy, merumuskan arti kredit adalah menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit.

2. Drs. Muchdarsyah Sinungan, kredit adalah suatu prestasi yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lainnya, dimana prestasi akan dikembalikan lagi pada masa tertentu yang akan diserahi dengan suatu kontraprestasi berupa bunga.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, pengertian kredit diatur dalam Pasal 1 angka 12, "kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan".

 

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Undang-Undang yang Diubah), pengertian kredit diatur dalam Pasal 1 butir 11, "kredit adalah penyediaan uangatau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak lain untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga".

 

Pasal 1 butir 12 Undang-Undang yang Diubah, merumuskan pengertian "pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan dan kesepakatan antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi uang atau tagihan tersebut, setelah jangka waktu yang tertentu dengan imbalan atau bagi hasil".

 

Prinsip Syari'ah, menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang yang Diubah, adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syaria'ah, antara lain: mudharabah, musharaqah, murabahah, ijarah, dan ijarah wa iqtina. 

 

Dari defenisi diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa unsur-unsur kredit adalah:

1. Kepercayaan.

Adanya keyakinan dari pihak bank terhadap prestasi yang diberikan kepada 

nasabah debitur yang akan dilunasinya sesuai dengan jangka waktu yang di

perjanjikan.

2. Jangka Waktu.

Adanya jangka waktu antara pemberian kredit dan pelunasannya, dimana 

jangka waktu tersebut sebelumnya telah ditentukan terlebih dahulu, berdasar

kan kesepakatan bersama.

3. Prestasi.

Adanya objek berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat tercapainya

kesepakatan dalam perjanjian pemberian kredit antara bank dengan nasabah

debitur, berupa bunga atau imbalan.

4. Risiko.

Adanya jangka waktu antara pemberian kredit dan pelunasannya, 

memungkinkan adanya risiko dalm perjanjian kredit tersebut. Untuk itu, untuk

mencegah terjadinya risiko tersebut (berupa wanprestasi), maka diadakan

pengikatan jaminan/agunan yang dibebankan kepada pihak nasabah debitur. 

 

Tujuan kredit:

1. Untuk mencari keuntungan bagi bank/kreditur, berupa pemberian bunga, 

imbalan, biaya administrasi, provisi, dan biaya-biaya lainnya yang dibebankan

kepada nasabah debitur.

2. Untuk meningkatkan usaha nasabah debitur. Bahwa dengan adanya 

pemberian kredit berupa pemberian kredit investasi atau kredit modal kerja

bagi debitur, diharapkan dapat meningkatkan usahanya.

3. Untuk membantu Pemerintah. Bahwa, dengan banyaknya kredit yang disalur

kan oleh bank-bank, hal ini berarti dapat meningkatkan pembangunan disegala

sektor, khususnya disektor ekonomi.

 

Fungsi kredit secara luas:

1. Untuk meningkatkan daya guna uang.

2. Untuk meningkatkan peredaran uang dan lalu lintas uang.

3. Untuk meningkatkan daya guna barang.

4. Untuk meningkatkan peredaran barang.

5. Sebagai alat stabilitas ekonomi.

6. Kredit dapat mengaktifkan atau meningkatkan aktifitas-aktifitas atau kegunaan 

potensi-potensi ekonomi yang ada.

7. Kredit sebagai jembatan untuk meningkatkan pemerataan pendapatan 

nasional.

8. kredit sebagai alat hubungan ekonomi internasional.

 

Prinsip-prinsip pembrian kredit, didasarkan pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tetang Perbankan, bunyinya:

"dalam meberikan kredit, Bank Umum wajib memiliki keyakinan atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya, sesuai dengan yang diperjanjikan".

Dalam penjelasannya, dijelaskan bahwa kredit yang diberikan oleh bank umum mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank wajib memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, dengan memberikan jaminan dalam arti bank wajib memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya/kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum kredit diberikan bank harus melakukan penilaian terhadap watak, modal, jaminan/agunan, da prospek usaha dari nasabah debitur.

 

Sedangkan bunyi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (UU yang Diubah):

ayat (1): "dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah, bank umum wajib memiliki keyakinan terhadap analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan atau kesanggupan nasabah debitur, untuk melunasi utangnya, sesuai dengan yang diperjanjikan".

ayat (2): "bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah, sesuai dengan ketentuann yang ditetapkan oleh Bank Indonesia".

 

Secara umum, bank wajib memberikan kredit dengan menggunakan prinsip pemberian kredit didasarkan pada 5C atau "the 5C's analisys of credit", yaitu:

1. Character (watak).

2. Capacity (kemapuan).

3. Capital (modal).

4. Condition of economic (kondisi ekonomi).

5. Collateral (jaminan/agunan).

 

Jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:

1. Dari segi Kegunaan: a. Kredit Investasi; b. Kredit Modal Kerja.

2. Dari segi Tujuan Kredit: a. Kredit Produktif; b. Kredit Konsumtif; c. Kredit Perdagangan.

3. Dari segi Jangka Waktu: a. Kredit Jangka Pendek (jangka waktu pengembalian kurang dari 1 tahun); b. Kredit Jangka Menengah (jangka waktu pengembalian antara 1 - 3 tahun); c. Kredit Jangka Panjang (jangka waktu pengembalian diatas 3 - 5 tahun).

4. Dari segi Agunan: a. Kredit dengan agunan; b. Kredit tanpa agunan.

5. Dari segi Sektor Usaha: a. Kredit Peternakan; b. Kredit Pertanian; c. Kredit Industri; d. Kredit Pertambangan; e. Kredit Profesi; f. Kredit Perumahan; g. dan kredit-kredit sektor usaha lainnya.

 

Perjanjian Kredit.

Perjanjian Kredit sama halnya dengan perjanjian secara umum yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Namun, tidak ada satupun pertauran perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Perjanjian Kredit, bahkan dalam Undang-Undang Perbankan sekalipun.

 

Istilah perjanjian Kredit terdapat dalam Surat Keputusan Direksi Bank Nagari (PT. BPD Sumbar) Nomor SK/208/Dir/07-2000 tentang Perjanjian Kredit dan Ketentuan Umum Pemberian Kredit oleh Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat.

 

Menurut Soebekti, Perjanjian Kredit pada hakikatnya sama dengan Perjanjian Pinjam Meminjam yang diatur dalam pasal 1754 sampai 1769 KUHPerdata.

 

Dalam prakteknya, Perjanjian Kredit memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu:

1. Dalam Bentuk Akta Bawah Tangan (Pasal 1874 BW)

merupakan akta perjanjian yang baru memiliki kekuatan hukum pembuktian 

apabila diakui oleh pihak-pihak yang menanda-tangani dalam akta perjanjian

tersebut. agar akta ini tidak mudah dibantah, maka diperlukan pelegalisasian

oleh Notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti

akta otentik.

2. Dalam bentuk Akta Otentik.

merupakan akta perjanjian yang memiliki kekuatan hukum pembuktian yang 

sempurna, karena ditanda tangani langsung oleh pejabat pembuat akta, yaitu

Notaris, dan akta ini dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan 

keabsahannya dari tanda tangan pihak lain.

 

Sifat-sifat umum perjanjian kredit:

1. Merupakan perjanjian pendahuluan.

sebelum uang/objek dari perjanjian diserahkan, terlebih dahulu harus ada 

persesuaian kehendak antara pemberi dan penerima kredit yang disepakati

dalam suatu perjanjian kredit. Jadi perjanjian kredit merupakan perjanjian 

pendahuluan sebelum diberikannya objek/uang.

2. Merupakan perjanjian bernama.

hal ini sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. kalau 

dia diatur dalam perundang-undangan disebut dengan perjanjian bernama,

maka sebaliknya.

3. Merupakan perjanjian standar.

dimana bentuk dan isi dari perjanjian tersebut telah ditetapkan terlebih dahulu, 

sehingga pihak lawan dalam perjanjian hanya diminta untuk menyetujui apa-

apa saja yang tercantum dalam perjanjian kredit tersebut.

 

Fungsi perjanjian kredit:

1. sebagai perjanjian pokok.

2. sebagai alat bukti mengenai batasan hak antara kreditur dan debitur.

3. sebagai alat monitoring kredit.

 

Hal-hal yang diperjanjikan dalam Perjanjian Kredit:

1. jangka waktu.

2. suku bunga.

3. cara pembayaran.

4. agunan/jaminan kredit.

5. biaya administrasi.

6. asuransi jiwa dan tagihan.

 

Dalam prakteknya, perjanjian kredit dapat hapus/berakhir karena:

1. ditentukan oleh pihak-pihak terlebih dahulu dalam perjanjian kredit tersebut.

2. adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjian tersebut.



Sifat dan Karakteristik Hak Tanggungan, Jaminan Fidusia dan Jaminan Gadai



Sifat-sifat dari Hak Tanggungan:

1. Hak Tanggungan memberikan hak preferent (droit de preferent), atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.

2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.

3. Hak Tanggungan mempunyai sifat doit de suite (selalu mengikuti bendanya, ditangan siapapun benda tersebut berada).

4. Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.

5. Hak Tanggungan dibebankan kepada hak atas tanah saja.

6. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.

7. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.

8. Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA/UU No. 5 Tahun 1960, yang meliputi: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha.

 

Sifat-sifat dari Jaminan Fidusia:

1. Jaminan Fidusia memiliki sifat accessoir.

2. Jaminan Fidusia memberikan Hak Preferent (hak untuk didahulukan).

3. Jaminan Fidusia memiliki sifat droit de suite.

4. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.

5. Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial.

6. Jaminan Fidusia mempunya sifat spesialitas dan publisitas.

7. Objek jaminan fidusia berupa benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dibebankan dengan Hak Tanggungan, serta benda yang diperoleh dikemudian hari.

 

Sifat Jaminan Gadai:

1. Jaminan Gadai memiliki sifat accessoir (perjanjian tambahan), artinya jaminan gadai bukan merupakan hak yang berdiri sendiri, keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok.

2. Jaminan gadai memberikan hak preferent.

3. Jaminan gadai memiliki kekuatan eksekutorial.

4. Hak Gadai tidak dapat dibagi-bagi.

5. Benda gadai berada dalam kekuasaan debitur.

6. Hak gadai berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan benda gadai.



Rabu, 26 Agustus 2009

TATA GUNA TANAH

TATA GUNA TANAH

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENATAGUNAAN TANAH

1. Catur Tertib Pertanahan

Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.

Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:

a. Tertib Hukum Pertanahan

Diarahkan pada program:

1. Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.

2. Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.

3. Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.

4. Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan hukum agraria.

b. Tertib Administrasi Pertanahan

Diarahkan pada program:

1. Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan.

2. Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi kegiatan-kegiatan pembangunan.

3. Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.

4. Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di kantor PPAT.

5. Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.

c. Tertib Penggunaan Tanah

Diarahkan pada usaha untuk:

1. Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.

2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.

3. Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah.

4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.

d. Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup

Diarahkan pada usaha:

a. Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah.

b. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.

c. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah dan perubahan penggunaan tanah.

Pertimbangan dari segi tata guna tanah, antara lain menjawab:

· Apakah pemberian hak atas tanah kepada pemohon itu sesuai dengan rencana tata guna tanah yang sudah ada ?

· Apakah penggunaan tanah sebagai yang dimaksud pemohon sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?

· Apakah tidak perlu diadakan syarat-syarat khusus mengenai pemeliharaan kesuburan dan pengawetan tanah yang bersangkutan?

· Melakukan analisa dampak lingkungan (ANDAL) sebelum suatu usaha industri/pabrik didirikan.

· Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah. Yang erat kaitannya dengan bidang tata guna tanah adalah tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah & lingkungan hidup.

2. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan

Berdasarkan Kep. Menteri Agraria/KBPN Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah suatu gerakan nasional dengan nama Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan kesadaran masyarakat untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan.

Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang berdampingan secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan (POKMASDARTIBNAH)

Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan:

a. Tujuan

Sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka mempercepat Catur Tertib Pertanahan serta menigkatkan pelayanan kepada masyarakat.

b. Prinsip Dasar

1. Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara bersama-sama pemilik tanah yang berdampingan

2. Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat untuk mensukseskan kegiatan ini.

3. Sasaran

Masyarakat pemilik tanah di perkotaan dan pedesaan, melalui kelompok POKMASDARTIBNAH, dimana Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya bertindak selaku motivator maupun sebagai fasilitator dalam kegiatan tersebut.

3. Penatagunaan Tanah Pertanian

Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat dicapai keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi rakyat dan negara.

Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan pangan maupun tanaman perdagangan.

Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah dilakukan tetapi belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan seperti:

UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu yang harus ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain.

UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam (tebu).

Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang pembangunan sektor pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:

a. Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan

b. Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme impor dan makin menurunya tarif bea masuk

c. Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan pertanian yang semakin meningkat.

4. Penertiban Pemakaian tanah secara liar.

Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:

· Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden

· UU Darurat No. 8 Tahun 1954

· UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti dengan

· UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari yang berhak atau kuasanya.

Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan, yang digunakan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah yang ada di daerahnya antara lain dengan perintah pengosongan, dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.

Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah di dalam maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin. Juga pemekaian tanah secara tidak teratur di perkotaan, lebih-lebih yang melanggar norma hukum dan tata tertib yang menghambat pembangunan yang direncanakan.

5. Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan

Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan tanah bagi perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan.

Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan (diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974):

a. Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan.

b. Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.

Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan tidak hanya didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga harus diperhatikan segi-segi yang lain, yaitu:

segi yuridis

pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan nasional didasarkan pada asas-asas pembangunan nasional.

Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:

a. Penetapan lokasi perusahaan:

1) Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.

2) Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.

3) Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.

4) Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran lingkungan.

Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya didasarkan pada pertimbangan:

· Kepentingan nasional memang menghendaki perubahan tanah pertanian menjadi lokasi perusahaan.

· Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi

· Perusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin.

· Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang produktif.

· Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam lokasi proyek.

Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran lingkungan.

b. Penetapan luas tanah yang diperlukan:

Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan kebutuhan yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.

Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik:

1) Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan Ini mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.

2) Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif.

Untuk mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan:

· Surat Keputusan MDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa perusahaan yang memperoleh tanah dari negara harus memanfaatkan/menggunakan tanah tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.

· Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur untuk melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesungguhnya.

c. Macam Hak atas tanah yang dapat diberikan:

1) Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya WNI hak atas tanah yang diberikan ialah: hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai.

2) Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang diberikan ialah: Hak Pengelolaan, HGU, HGB, dan hak pakai.

Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak mempunyai wewenang:

merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya.

1) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.

2) Menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ketiga yang memerlukan.

Misalnya PERUMNAS (Perusahaan Perumahan Nasional) dalam kegiatannya berupa:

3) Merencanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan perumahan.

Pelaksanaan pembangunan perumahan

4) Menyerahkan rumah beserta tanahnya kepada yang berhak

6. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.

Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus dipelihara dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap penggunan tanahnya. Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan melalui pedoman teknis penetagunaan tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah.

Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan sungai harus memperhatikan:

a.Kepentingan umum;

b.Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.

Apabila terjadi perubahan RTRW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah mengikuti RTRW yang terakhir.

Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak atas tanahnya serta kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung dapat ditingkatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, dan ekowisata apabila menganggu fungsi kawasan.

Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.

Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.

7. Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu

Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk tanaman-tanaman tertentu ialah:

a. UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-tanaman tertentu.

b. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)

Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:

a)Mengenai letak tanah

Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja perusahaan yang memerlukan tanah

b)Mengenai luas tanah

Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan masyarakat serta kelangsungan kesuburan tanah

c)Pola tanam

Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara bergiliran.

Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan:

Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan perusahaan yang memerlukan tanah.

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan uang sewa. Jumlah uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian hasil antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

LANDASAN HUKUM TATA GUNA TANAH

1.Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut:

Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.

Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan hubungan menguasai.

2.Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPA

Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan keagamaan.

Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:

Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.

Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:

Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah baik Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.

Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang pembuatan rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14 UUPA ialah peraturan pemerintah

3.No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

4.UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

5.UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.

Mengenai penertiban/pemanfaatan:

6.UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.

7.Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982

8.Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982

Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No. 3 Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.

9.PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang, penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan tanah. Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:

1. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;

2. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;

3. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;

4. perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan tanah;

5. penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;

6. penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga merupakan subsistem dari system pembangunan;

7. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan secara koordinatif;

8. penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis dan sibernetik;

9. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.

Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan pedesaan ialah Konsolidasi Tanah.

MODEL PERENCANAAN TATA GUNA TANAH

Sebelum dikeluarkannya PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, masalah model perencanaan penggunaan tanah masih merupakan masalah yang belum tuntas artinya masalahnya masih menjadi pembicaraan diantara para perencana pembangunan di Indonesia. Hal ini disebabkan belum ditemukan model perencanaan penggunaan tanah yang dapat dijadikan pedoman oleh para perencana pembangunan.

Adapun faktor-faktornya adalah:

1.UUPA sendiri hanya mengatur secara garis besarnya saja.

Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.

2.Adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan dari rencana penggunaan tanah.

3.Selama ini pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan penataan wilayah termasuk penggunaan tanah yang diwarisi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Tetapi setelah keluar PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah maka sudah ada aturan yang bisa dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan penatagunaan tanah di Indonesia.

Ada beberapa Model Perencanaan Penggunaan Tanah yaitu:

1.Model Zoning

Menurut model ini, tanah di suatu wilayah/daerah tertentu dibagi dalam beberapa zone penggunaan atau kepentingan-kepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha yang dilakukan.

Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago, dimana wilayah dibagi menjadi:

a.Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.

b.“The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.

c.“The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.

d.“The residential zone” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya

e.“The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.

Kebaikan dari model zoning adalah:

Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana.

Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.

Kelemahan-kelemahannya adalah:

Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zone-zone tertentu.

Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata.

Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi.

2.Model Terbuka

Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Untuk memperoleh lokasi yang sesuai, faktor-faktor tertentu harus diperhatikan antara lain:

a.Data kemampuan fisik tanah

Atas data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS. Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha.

Wilayah tanah usaha dibedakan menjadi:

Wilayah tanah usaha terbatas.

Ketinggian <> 1000 m

Perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan tanah

b.Keadaan sosial ekonomi masyarakat

Meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan.

Keadaan lingkungan hidup.

Untuk mengetahui pengaruh pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan ANDAL (analisa dampak lingkungan)

c.Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.

Prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam model terbuka:

a.Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan.

b.Tersedianya peta penggunaan tanah bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mecapai tujuan pembangunan.

c.Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran.

Kebaikan dari model terbuka:

a.Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah.

b.Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah.

Kelemahan model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan hukum. Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3.Land Consolidation

Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land consolidation) yaitu teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.

Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya.

Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.

Konsolidasi tanah ialah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Bertitik tolak dari definisi tersebut di atas maka ada beberapa elemen dari konsolidasi tanah, yaitu:

a. Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;

b. Konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah;

c. Konsolidasi tanah bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam;

d. Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan melibatkan pastisipasi aktif masyarakat.

Tujuan Konsolidasi tanah ialah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sedangkan sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.

Sedangkan pelaksanaan konsolidasi tanah diatur lebih lanjut dalam SE KBPN No. 410-4245/1991 tentang Petunjuk Pelaksnaan Konsolidasi Tanah. Dalam pont 2 SE ini dinyatakan bahwa Peningkatan yang demikian itu mengarah kepada tercapainya suatu tatanan penatagunaan dan penguasaan tanah yang tertib dan teratur. Sasaran konsolidasi tanah terutama ditujukan pada wilayah sebagai berikut:

a. Wilayah perkotaan;

1) Wilayah pemukiman kumuh;

2) Wilayah yang tumbuh pesat secara alami;

3) Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh;

4) Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman yang baru;

5) Wilayah yang relative kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan berkembang sebagai daerah pemukiman

b. Wilayah pedesaan

1) Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi belum tersedia jaringan irigasi;

2) Wilayah yang jaringan irigasinya telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum merata;

3) Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih perlu ditunjang oleh pangadaan jaringan jalan yang memadai.

Pada point 3 SE KBPN No. 410-4245/1991 dinyatakan bahwa konsolidasi tanah meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Konsolidasi tanah perkotaan

1) Pemilihan lokasi;

2) Penyuluhan;

3) Penjajakan kesepakatan;

4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;

5) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;

6) Identifikasi subjek dan objek;

7) Pemetaan dan pengukuran keliling;

8) Pengukuran dan pemetaan rincian;

9) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;

10) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;

11) Pembuatan desain tata ruang;

12) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;

13) Pelepasan hak atas tanah oleh para peserta;

14) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;

15) Staking out/relokasi;

16) Konstruksi/pembentukan badab jalan dll;

17) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;

18) Sertifikat;

b. Konsolidasi tanah pedesaan

1) Pemilihan lokasi;

2) Penyuluhan;

3) Penjajakan kesepakatan;

4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;

5) Identifikasi subjek dan objek;

6) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;

7) Seleksi calon penerima hak

8) Pemetaan dan pengukuran kapling;

9) Pengukuran dan pemetaan rincian;

10) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;

11) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;

12) Pembuatan desain tata ruang;

13) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;

14) Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;

15) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;

16) Staking out/relokasi;

17) Konstruksi/pembentukan prasarana umum dll;

18) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;

19) Sertifikat;

Kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsolidasi tanah diarahkan pada tertib penggunaan tanah tetapi juga diarahkan untuk melakukan penataan kembali bidang-bidang tanah tertentu.

ASAS-ASAS TATA GUNA TANAH

Perencanaan tata agraria harus didasarkan pada tiga prinsip:

1. Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use)

Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agraria dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.

2. Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production)

Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak.

3. Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use)

Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agraria dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.

Dalam literatur Hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok asas tata guna tanah yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah diantara keduanya dimana penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian. Sedangkan penggunaan tanah di daerah perkotaan dititikberatkan pada kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) diwilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan yang menjadi persyaratan penyelesaian administrasi pertanahan. Secara rinci asas tata guna tanah itu dijelaskan sebagai berikut:

Asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning).

Biasanya disingkat dengan LOSS.

1.Lestari

Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan berdampak pada:

a) Akan terjadi penghematan dalam penggunaan tanah.

b) Agar supaya generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya

c) untuk mewarislan sumber daya alam kepada generasi yang akan datang.

Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to agreat family of which many member are dead, some are living and the large number still to the born. (jadi tanah bukan milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang).

2.Optimal

Pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomis yang setinggi-tingginya.

3.Serasi dan seimbang

Suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihak-pihak, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah.

Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning)

1.Aman

Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir, bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.

2.Tertib

Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam lalu lintas, dan dalam hukum.

3.Lancar

Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam komunikasi.

4.Sehat

Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.

Sedangkan asas penatagunaan tanah menurut PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah ialah keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (Pasal 2).

PENGERTIAN TATA GUNA TANAH

Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang meliputi:

1.Tata Guna Tanah (land use planning)

2.Tata Guna Air (water use palnning)

3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)

Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:

1.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.

2.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.

Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:

a. Adanya serangkaian kegiatan.

Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.

b. Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.

Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.

c. Adanya tujuan yang hendak dicapai.

Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.

3.Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 ialah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.

TUJUAN TATA GUNA TANAH

Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut:

1.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat.

Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.

2.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.

Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akirnya akan timbul kerusakan tanah.

3.Mengusahakan adanya penggendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan tanah.

Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah.

Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga masyarakat.

4.Jaminan kepatian hukum penting untuk melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan proyek pembangunan.

Berdasarkan ketentuan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah tujuan dari penatagunaan tanah ialah pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Secara rinci penatagunaan tanah bertujuan untuk:

a. mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW;

b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW;

c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;

d. menjamin kepastian hukum untuk memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.