Minggu, 31 Mei 2009

TAX LEARNING BEA MATERAI

TAX LEARNING BEA MATERAI

KETENTUAN UMUM
DASAR HUKUM PAJAK BEA MATERAI
Adapun dasar hukum dari diterapkannya pajak atas bea meterai adalah sebagai berikut :
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea meterai
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN 2000 tentang perubahan tarif bea meterai dan besarnya pengenaan harga nominal yang dikenakan bea materai. Peraturan ini sekaligus mencabut peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 .
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133/KMK.04/2000' target="new_window" href="../peraturan/view.php?id=289dff07669d7a23de0ef88d2f7129e7">133/KMK.04/2000 , tentang bentuk,ukuran, dan warna benda meterai desain tahun 2000.
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 560/KMK.04/2000, tentang perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133/KMK.04/2000' target="new_window" href="../peraturan/view.php?id=289dff07669d7a23de0ef88d2f7129e7">133/KMK.04/2000 tentang bentuk, ukuran, dan warna benda meterai desain tahun 2000.
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2000, tentang perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133/KMK.04/2000' target="new_window" href="../peraturan/view.php?id=289dff07669d7a23de0ef88d2f7129e7">133/KMK.04/2000 tentang bentuk, ukuran, dan warna benda meterai desain tahun 2000.
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133a/KMK.04/2000 , tentang pengadaan, pengelolaan dan penjualan benda meterai
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 , tentang pelunasan bea meterai dengan menggunakan cara lain
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133c/KMK.04/2000 , tentang pemusnahan benda meterai
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122a/PJ./2000 tentang tata cara pelunasan bea meterai dengan menggunakan benda meterai.
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122b/PJ./2000 tentang tata cara pelunasan bea meterai dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan mesin teraan meterai
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122c/PJ./2000 tentang tata cara pelunasan bea meteri dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan teknologi percetakan.
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122d/PJ./2000 tentang tata cara pelunasan bea meterai dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan sistem komputerisasi


Apa yang dimaksud dengan Bea Meterai...?
Bea Materai adalah Pajak atas dokumen yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN 2000 )

TERMINOLOGI BEA METERAI
Apa saja yang dikategorikan dalam Terminologi Bea Meterai....?
Dalam memahami hal-hal yang berkaitan dengan pajak atas bea materai, khususnya beberapa pengertian yang tercakup dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 , berikut ini diuraikan beberapa terminologi yang berkaitan dengan pajak bea meterai tersebut.
- Dokumen. Yang dimaksud dengan dokumen dalam undang-undang ini adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan.
- Benda meterai. Yang dimaksud dengan benda meterai dalam undang-undang ini adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh pemerintah RI.
- Tanda tangan. Yang dimaksud dengan tanda tangan dalam undang-undang ini adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan
- Pemeteraian kemudian. Yang dimaksud pemeteraian kemudian dalam undang-undang ini adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya
- Pejabat pos. Yang dimaksud pejabat pos dalam undang-undang ini adalah pejabat PT. Pos dan giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.


KETENTUAN KHUSUS
Siapa saja yang mendapat Ketentuan Khusus ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 )dalam penggunaan bea materai...?
Pejabat pemerintah, hakim , panitera, juru sita, notaris dan pejabat umum lainnya yang masing-masing tengah berada dalam tugas dan jabatannya tidak dibenarkan:
1. Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar,
2. Melekatkan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan
3. Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar
4. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif bea meterainya.
5. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan ini , dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan .

DALUARSA
Kapan Bea Materi terhitung mulai Daluwarsa ( Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 )..?
Kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang menurut Undang undang Bea Materai menjadi daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun sejak tanggal dokumen dibuat.

KETENTUAN PIDANA
Bagaimana Ketentuan Pidana yang di tetapkan berkaitan dengan beamaterai ?
( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 )
Sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) , maka barangsiapa :
1. Meniru atau memalsukan meterai tempel, kertas meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
2. Dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;
3. Yang sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tandatangannya, atau tanda sahnya atau tanda waktunya telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak;
4. Menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.
Ketentuan dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 mengenai ketentuan pidana menyebutkan bahwa akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 tahun ( tindak pidana kejahatan ) bagi barangsiapa yang dengan sengaja menggunakan cara lain pelunasan bea meterai atas dokumen tanpa izin menteri keuangan.


OBJEK DAN TARIF BEA MATERAI

Apa saja yang menjadi Objek dan Tarif Bea Meterai....?
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN 2000 mengatur tentang objek dan tarif bea meterai. Pada hakekatnya objek untuk bea meterai adalah dokumen. Dalam hal ini bentuk dokumen yang menjadi objek dari bea meterai adalah sebagai berikut:
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Tarif bea meterai untuk dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
2. Akta-akta notaris termasuk salinannya. Tarif bea meterai untuk dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
3. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya. Tarif bea meterai untuk dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)
4. a. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 atau harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing :
- Yang menyebutkan penerimaan uang
- Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank
- Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
- Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan
b. Apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 maka tarif bea meterainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah )
c. Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea meterai.
5. Surat berharga seperti wesel , promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00. Tarif bea meterai untuk dokumen ini Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ). Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 tarif bea meterainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah ). Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 tidak terutang bea meterai.
6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00 maka tarif bea meterainya adalah Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ). Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 maka tarif bea meterainya Rp 3000,00 ( tiga ribu rupiah ). Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea meterai.
7. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan serta surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula , yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Tarif bea meterai yang dikenakan sebesar Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ).
8. Berdasarkan bunyi pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN 2000 , maka tarif bea meterai untuk cek dan bilyet giro ditetapkan sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal. Tarif ini berlaku efektif per 1 Mei 2000


OBJEK YANG DIKECUALIKAN

Apa saja yang mendapat pengecualikan Sebagai Objek Bea Meterai....?
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 mengatur tentang dokumen-dokumen yang bukan termasuk objek bea meterai. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dokumen yang berupa surat penyimpanan barang , konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, keterangan pemindahan yang dituliskan pada ketiga surat tersebut, bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim dan surat-surat sejenis lainnya.
2. Segala bentuk ijazah.
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pesiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara dan kas pemerintah daerah.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern oganisasi
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan pembayaran uang, uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

SAAT DAN PIHAK YANG BERUTANG

Kapan Saat dan Bagaimana Pihak Yang Terutang dikenakan Bea Meterai...?
Saat terutang bea meterai adalah sebagai berikut :
1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak.
Saat terutangnya bea meterai atas dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, misalnya cek.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak.
Saat terutangnya bea meterai adalah pada saat dokumen tersebut selesai dibuat, yang ditutup dengan tandatangan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri.
Saat terutangnya bea meterai adalah pada saat dokumen tersebut digunakan di Indonesia.
Pihak yang terutang bea meterai.
Bea meterai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

CARA PELUNASAN
Bagaimana Cara Pelunasan Bea Meterai....?
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 mengatur tata cara pelunasan bea meterai. Pada dasarnya pelunasan bea meterai dapat ditempuh dengan dua cara yaitu :
1. Dengan menggunakan benda meterai yaitu meterai tempel dan kertas meterai.
Pelunasan dengan benda meterai ini bisa dilakukan dengan cara biasa yaitu oleh Wajib Pajak sendiri, dan dapat pula dilakukan melalui pemeteraian kemudian oleh pejabat pos. Dalam menempelkan meterai tempel dan menggunakan kertas meterai harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut ( pasal 7 ayat (3), (4), (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 ) :
a. Meterai tempel harus direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan bea meterai.
b. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan
c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel
d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
Bila pelunasan bea meterai dilakukan dengan menggunakan kertas meterai maka harus memperhatikan hal-hal sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 sebagai berikut :
a. Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi ( ayat (7) )
b. Jika isi dokumen yang dikenakan bea meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai ( ayat (8) )
c. Bila ketentuan penggunaan dan cara pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai ( ayat (9) )
2. Cara pelunasan bea meterai dengan cara lain yang ditetapkan menteri keuangan, yaitu :
a. Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai
b. Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan
c. Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi
d. Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan alat lain dan teknologi tertentu (Lihat KMK No. 133b/KMK.04/2000).



TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MENGGUNAKAN MESIN TERAAN METERAI

BAGAIMANA DASAR HUKUM DAN TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI...?
Dasar Hukum :
- 133b/KMK.04/2000

- KEP - 122b/PJ./2000 Jo SE - 07/PJ.5/2001 Jo SE - 28/PJ.5/2001

A. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Mesin Teraan Meterai
• Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Mesin Teraan Meterai diperbolehkan bagi penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal 50 dokumen.
• Penerbit dokumen yang akan menggunakan Mesin Teraan Meterai harus memenuhi beberapa syarat berikut :
1. Mengajukan permohonan ijin tertulis kepada Kepala KPP setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
2. Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
• Dalam hal wajib pajak telah memperoleh ijin untuk menggunakan mesin teraan meterai, maka wajib pajak harus menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala KPP setempat, paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
• Ijin menggunakan mesin teraan meterai berlaku untuk 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.
• Dalam hal mesin teraan meterai rusak atau tidak digunakan lagi, maka Bea Meterai yang belum digunakan dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai lain atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan ataupun dengan sistem komputerisasi.
• Penerbit dokumen yang akan mengalihkan Bea Meterai harus mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala KPP setempat disertai dengan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.


TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI DENGAN TEKNOLOGI PERCETAKAN
Dasar Hukum :
- 133b/KMK.04/2000

- KEP - 122c/PJ./2000 Jo SE - 04/PJ.5/2001 Jo SE - 28/PJ.5/2001

Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan
• Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi percetakan hanya digunakan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.
• Perusahaan yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk melaksanakan pembubuhan tanda Bea Meterai lunas adalah Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI) dan/atau perusahaan sekuriti yang memperoleh ijin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) yang ditunjuk oleh Bank Indonesia,yaitu : PT Wahyu Abadi, PT Graficindo Megah Utama, PT Swadharma Eragrafindo Sarana, PT Jasuindo Tiga Perkasa, PT Sandipala Arthaputra, PT Karsa Wira Utama.
• Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi percetakan harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan SSP ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
• Penerbit dokumen yang melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi percetakan harus mengajukan permohonan ijin tertulis kepada Dirjen Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
• Perum PERURI dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek, harus menyampaikan laporan bulanan kepada Dirjen Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
• Surat ijin dikeluarkan oleh Dirjen pajak dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
• Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak pada cek, bilyet giro, dan efek yang belum digunakan dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai atau untuk pembubuhan tanda Bea Meterai dengan cara lainnya.
• Penerbit dokumen yang akan mengalihkan Bea Meterai harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Dirjen Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.
• Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai atau meterai tempel.
• Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek yang tanda lunasnya dibubuhkan sejak tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai atau dengan meterai tempel ditambah denda administrasi sebesar 200% dari Bea Meterai kurang bayar (Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985)



TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM KOMPUTERISASI
Dasar Hukum :
- 133b/KMK.04/2000

- KEP - 122d/PJ./2000 Jo SE - 05/PJ.05/2001

C. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Sistem Komputerisasi
• Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi digunakan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal 100 dokumen.
• Penerbit dokumen yang menggunakan sistem komputerisasi harus mengajukan ijin tertulis kepada Dirjen Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
• Penerbit dokumen yang menggunakan sistem komputerisasi harus membayar Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan SSP ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
• Penerbit dokumen yang memperoleh ijin pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi harus menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Dirjen Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
• Ijin pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
• Penerbit dokumen yang saldo Bea Meterainya kurang dari estimasi kebutuhan satu bulan, harus mengajukan permohonan ijin baru, dengan terlebih dahulu membayar uang muka minimal sebesar kekurangan yang harus dipenuhi untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
• Bea Meterai yang belum digunakan karena sesuatu hal, dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, atau pencetakan Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan.
• Penerbit dokumen yang melakukan pengalihan Bea Meterai harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Dirjen Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang dialihkan


PELUNASAN BEA METERAI DENGAN PEMETERAIAN KEMUDIAN
Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan pelunasan bea meterai dengan pemeteraian kemudian (476/KMK.03/2002)
Apa saja yang termasuk kedalam objek pematereian kemudian ..?
Objek Pemeteraian Kemudian
a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan
b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebaimana mestinya
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia
Bagaimana Mekanisme Pemeteraian kemudian ?

Mekanisme Pemeteraian Kemudian
a. Pemeteraian kemudian dilakukan oleh pemegang dokumen dengan menggunakan meterai tempel atau SSP yang telah disahkan oleh Pejabat Pos
b. Lembar ke-1 (satu) dan ke-3 (ketiga) SSP dilampiri dengan daftar dokumen yang dimeteraikan kemudian yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
c. Pengesahan atas pemeteraian kemudian dilakukan setelah pemegang dokumen membayar denda

Berapa besar Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian kemudian ?

Besarnya Pelunasan Bea Meterai Dengan Cara Pemeteraian Kemudian
a. Atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian
b. Atas dokumen yang tidak atau kurang dilunasi adalah sebesar Bea Meterai yang terutang
c. Atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian
Apa saja Sanksi yang diberikan atas Pemeteraian Kemudian ?

a. Denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi untuk point 1d
b. Denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai terutang untuk point 1c apabila pemeteraian kemudian dilakukan setelah dokumen digunakan


TATA CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN DENGAN METERAI TEMPEL
Dasar Hukum :
- Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002

- Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 02/PJ./2003
- Surat Edaran Nomor SE - 01/PJ.53/2003

1. Tata Cara Pemeteraian Kemudian Dengan Meterai Tempel
a. Pemegang dokumen membawa dokumen ke Kantor Pos terdekat.
b. Pemegang dokumen melunasi Bea Meterai yang terutang atas dokumen yang dimeteraikan kemudian sesuai dengan SKMK Nomor 476/KMK.03/2002.

c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan menggunakan SSP kode MAP 0174.
d. Dokumen yang telah dimeteraikan kemudian dan SSP dicap TELAH DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1985 Jo 476/KMK.03/2002 oleh Pejabat Pos disertai dengan tanda tangan, nama dan nomor pegawai Pejabat Pos bersangkutan.


TATA CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN DENGAN SURAT SETORAN PAJAK
Apa yang menjadi dasar hukum pelunasan bea materai dan tata cara pemateraian kemudian ...?
Dasar Hukum :
- Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002

- Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 02/PJ./2003
- Surat Edaran Nomor SE - 01/PJ.53/2003

2. Tata Cara Pemeteraian Kemudian Dengan Surat Setoran Pajak (SSP)
a. Membuat daftar dokumen yang akan dimeteraikan kemudian.
b. Membayar Bea Meterai terutang berdasarkan Pasal 4 SKMK Nomor 476/KMK.03/2002.

c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan menggunakan SSP terpisah dengan SSP yang digunakan untuk memeteraikan kemudian.
d. Cara Pengisian SSP sbb :
- SSP yang digunakan untuk melunasi pemeteraian kemudian diisi dengan Kode Jenis Pajak (MAP) 0171
- SSP yang digunakan untuk membayar denda administrasi diisi dengan Kode Jenis Pajak (MAP) 0174
e. Daftar Dokumen yang telah dimeteraikan kemudian dan SSP yang digunakan untuk membayar pemeteraian kemudian dicap TELAH DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1985 Jo 476/KMK.03/2002 oleh Pejabat Pos disertai dengan tanda tangan, nama dan nomor pegawai Pejabat Pos bersangkutan


DENDA ADMINISTRASI

Berapa Denda Administrasi yang dikenakan dan Kewajiban Pemenuhan Bea Meterai ?
( Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
1. Dokumen yang terutang bea meterai tetapi bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang di bayar
2. Pelunasan bea meterai yang terutang berikut dendanya dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian


BEA METERAI ATAS DOKUMEN YANG DIBUAT DI LUAR NEGERI
Bagaimana mekanisme Bea Meterai Atas Dokumen Yang Dibuat Di Luar Negeri ?
(Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985)
Dokumen yang dibuat di Luar Negeri pada saat akan digunakan di Indonesia harus telah dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian. Selain itu, sesuai dengan bunyi pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 , pemeteraian kemudian dilakukan pula terhadap :
1. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan
2. Dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi ditambah denda.

Hambatan Pelaksanaan Eksekusi Kepailitan


Semaraknya konflik hutang piutang ini tidak lepas dari krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 lalu yang mana krisis tersebut telah mengacaukan seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia dan akibatnya sampai sekarang ini masih terasa, dampak krisis tersebut sangat dirasakan oleh pelaku bisnis yang mana dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS mengakibatkan nilai bayar melambung tinggi, sehingga biaya produksi dan biaya operasional menjadi meningkat.

Terlebih bagi pengusaha yang memiliki kewajiban untuk mengembalikan hutang-hutangnya dalam bentuk valuta asing, dengan meningkatnya nilai dollar tersebut secara otomatis hutang-hutang terhadap kreditur asing menjadi membengkak luar biasa sehingga debitur menjadi tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan berhentinya operasional perusahaan dampak lain adalah dunia perbankan, dengan lesunya usaha maka kredit terhadap lembaga perbankan sebagai pendukung dana ikut tersendat, bahkan banyak pula yang macet. Sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau Non-Performing Loans yang memprihatinkan, yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan yang akan timbul akibat krisis moneter tersebut, terutama dalam penyelesaian masalah utang antara debitur dan kreditur, pemerintah pada tanggal 22 April 1998 menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kapailitan (Lembaran Negara RI tahun 1998 No.87 Undang-Undang Kepailitan). Perpu tersebut setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan menjadi Undang-Undang No.4 tahun 1998 tanggal 9 September 1998. Undang-Undang No.4 tahun 1998 tersebut memuat tiga bab, yaitu bab I tentang kepailitan, bab II tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dan bab III tentang Pengadilan Niaga.

Pasal 280 Undang-Undang No.4 tahun 1998 disebutkan bahwa Pengadilan Niaga merupakan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, serta perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dengan kata lain dalam proses kepailitan maka setelah jatuhnya putusan kepailitan ada dua organ yang sangat berperan aktif dalam pelaksanaannya, yaitu Hakim Pengawas yang bertugas mengawasi pengurusan dan pemberesan, kemudian Kurator yang bertugas melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Pengertian mengenai kurator tidak disebutkan dalam Undang-Undang No.4 tahun 1998 maupun dalam penjelasannya, namun menurut Sudargo Gautama, Kurator adalah orang yang akan melakukan segala sesuatu yang berkenaan dengan faillissements ini, yang mengambil tempat dari pihak debitur yang telah dinyatakan pailit untuk melakukan tindakan-tindakan hukum berkenaan dengan preservasi (pemeliharaan) asetnya yang sedapat mungkin dibagi kepada semua para kreditur secara adil.

Dalam proses kepailitan sering ditemui hambatan-hambatan yang menghalangi jalannya proses kepailitan sampai dengan pelaksanaan putusan kepailitannya. Hambatan ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena dengan lambatnya pelaksanaan putusan kepailitan maka dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kepailitan tersebut, padahal Undang-undang No.4 tahun 1998 ini menganut asas adil (memperhatikan kepentingan secara seimbang antara kreditur dan debitur), cepat (dibatasi jangka waktu penyelesaian perkara baik ditingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali), dan efektif (tanpa putusan mempunyai kekuatan pasti, putusan sudah dapat dilaksanakan).

Hambatan biasanya datang dari pihak debitur yang beritikad buruk atau yang tidak mempunyai keinginan untuk melunasi utang-utangnya bisa berupa, penggelapan investasi pada saat kurator akan mencatat harta debitur, dengan serta merta debitur memindahkan harta kekayaannya ke tempat lain sehingga pada saat diadakan pencatatan oleh kurator ternyata debitur telah tidak mempunyai harta apa-apa lagi.

Ketidak-profesionalnya Kurator dalam mengurus harta-harta debitur yang telah dinyatakan pailit merupakan faktor hambatan lainnya. Hal ini mungkin saja terjadi karena para kurator yang rata-rata merupakan lulusan sarjana hukum yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola perusahaan. Karena di samping penguasaan bidang hukum sudah seharusnya para kurator juga memiliki kemampuan dalam pengelolaan suatu usaha khususnya yang berkaitan dengan audit pembukuan.

Harapan untuk memperoleh profit sesuai dengan yang diharapkan merupakan tujuan akhir dari kegiatan bisnis, namun tidak semua pelaku usaha dapat mencapai keberhasilan seperti yang diharapkan, berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan dalam menjalankan usaha. Kegagalan dalam menjalankan usaha dalam skala apapun selalu meninggalkan konflik terutama yang berkaitan dengan utang piutang (undisputable dept) konflik tersebut timbul akibat kebangkrutan sehingga perusahaan tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman kepada kreditor.

Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo menyatakan bahwa pokok-pokok penyempurnaan Undang-Undang tentang Kepailitan tersebut meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan: Pertama, penyempuranaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya kreditor atas kekayaan debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan. Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut disamping institusi yang selama ini telah dikenal yaitu Balai Harta Peninggalan. Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung. Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya menaknisme penangguhan pelaksana hak di antara para kreditor yang memegang hak tanggungan, gadai atau agunan lainnya. Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana diatur dalam bab kedua Undang-Undang Kepailitan. Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan kepailitan secara umum.

Dalam hukum acara perdata disebutkan terdapat dua macam tuntutan hak yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa, dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa. Hak yang mengandung sengketa atau yang disebut gugatan, yaitu tuntutan hak yang sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, lazimnya disebut peradilan contentieuse yurisdictie atau peradilan “sesungguhnya”. Sedangkan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, yaitu tuntutan dimana hanya terdapat satu pihak saja, lazimnya disebut peradilan volunter (voluntaire jurisdictie) atau peradilan suka rela atau peradilan yang “tidak sesungguhnya”.

Khusus tuntutan yang berkait dengan kebangkrutan suatu usaha, dalam menuntut haknya kreditor pelaksanaan gugatan dapat dilakukan dengan menggunakan hukum acara perdata (HIR atau R.Bg) yaitu melalui gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri atau dapat juga dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yaitu melalui Pengadilan Niaga, yang ternyata pula Undang undang nomor 4 tahun 1998 ini telah mengalami perubahan dan penyempurnaan dengan ditelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang secara prinsip terdapat beberapa perubahan-perubahan yang sangat penting bagi pelaksanaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perkara yang diajukan di muka Pengadilan Niaga yang menyangkut khususnya tentang perkara kepailitan.

Pengertian kepailitan sendiri dalam Undang-Undang Kepailitan dan penjelasannya tidak ditemui adanya pengertian atau definisi tentang kepailitan atau pailit secara pasti. Namun dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 1998 yang telah disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditemui ketentuan yang menjelaskan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak dapat membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.

Menurut Fred B.G.Tumbuan, kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya. Djohansah menjelaskan kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Sementara itu Munir Fuady menjelaskan pengertian yang umum dari pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditor. Hal ini juga ditegaskan dalam Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan bahwa dalam Undang undang ini yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 1131 dan 1132 KUHP Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan. Pasal 1131 KUHP Perdata menyebutkan bahwa segala kebendaan si Debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan debitor itu. Pasal 1132 KUHP Perdata menyebutkan bahwa kebendaan debitor tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditor, pendapatan dari penjualan harta debitor itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur.

Dalam hal pailit kreditor mana yang harus diselesaikan pembayaran hutang-hutangnya diatur dalam Pasal 1133, 1134, 1135, dan 1136 KUHPerdata dalam Pasal 1133 KUHPerdata disebutkan: Hal untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik, sedangkan Pasal 1134 KUHPerdata menyebutkan: Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Sementara itu Pasal 1135 KUHPerdata menyebutkan di antara orang-orang berpiutang yang diistimewakan, tingkatannya diatur menurut berbagai bagai sifat hak-hak istimewanya.

Berdasarkan Pasal 280 Undang-Undang No.4 tahun 1998, dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara permohonan pernyataan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Istilah Pengadilan Niaga untuk pertama kali di kenal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 1998 tentang Perubahan atas ketentuan ketentuan dalam Faillisement Verordening yang termuat dalam Staatsblad tahun 1905 No. 217 jo Staatsblad tahun 1906 No.348 dan Perpu tersebut telah ditingkatkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No.4 tahun 1998, dan kemudian telah disempurnakan lagi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004.

Di dalam Perpu No.1 tahun 1998 pada Bab III diatur tentang Pengadilan Niaga yang dikenal dalam Faillisement Verordening. Menurut Pasal 280 ayat 1 Perpu No.1 tahun 1998 tersebut dinyatakan Pengadilan Niaga berada dalam lingkungan Pengadilan Umum.

Prosedur permohonan pailit diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki ijin praktek. Di samping itu pihak yang berkaitan dengan perusahaan yang pailit itu pun dapat pula mengajukan permohonan seperti debitor sendiri, seorang atau lebih kreditornya, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia menyangkut debitor yang merupakan bank, dan Badan Pengawas Pasar Modal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek.

Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, yaitu Pasal 1 ayat 5 dinyatakan: “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan“.

Ketentuan dalam pasal ini sangat menarik untuk dikaji sebab masalah ini dan juga dikaitkan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004, yang mendapat mandat untuk mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga ternyata bukan setiap orang yang mempunyai tagihan secara murni atau kreditor asli, tetapi yang diberi hak untuk mengajukan permohonan pailit adalah Bank Indonesia jika debitornya adalah bank dan Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara.

Hal ini akan menimbulkan pertanyaan dan sekaligus kesulitan, sebab jika yang mempunyai utang sebagai misal adalah perusahaan asuransi, padahal semua orang tahu bahwa perusahaan asuransi tersebut mempunyai ratusan bahkan ribuan nasabah yang ternyata para nasabah dari perusahaan asuransi tersebut oleh Undang-Undang tidak diberi ruang untuk mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Bahwa dengan demikian sangat penting untuk diadakan telah teoritis terhadap para pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit.

Tuntutan hak melalui Pengadilan Niaga dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga. Pasal 4 UUK menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan melalui Panitera. Jadi bentuk tuntutan hak melalui Pengadilan Niaga di tentukan oleh undang-undang tersebut dilakukan dengan mengajukan permohonan dan tidak dengan mengajukan gugatan. Kalau mengajukan gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengajukan gugatan di atur dalam Pasal 118 HIR, tetapi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 2 UUK yaitu Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor (Pasal 2 ayat (1) UUK).

Oleh karena sekarang sudah ada lima wilayah hukum Pengadilan Niaga, maka menjadi persoalan hukum ke Pengadilan Niaga mana permohonan pernyataan pailit harus dialamatkan. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (2) UUK menentukan bahwa Pengadilan Niaga yang berwenang menetapkan putusan permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor.

Dalam Pasal 2 ayat (3) UUK menyebutkan dalam hal debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut yang berwenang memutuskan. Sedangkan apabila debitor tidak bertempat kedudukan hukum dalam wilayah Indonesia maka menurut Pasal 2 ayat (4) UUK, jika ia menjalani profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan Niaga yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor yang menjalankan profesi atau usahanya.

Apabila debitor badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan maka kedudukan hukumnya adalah sesuai dengan Anggaran Dasarnya, jadi Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum dari badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku sebagai hukum positif di Pengadilan Negeri, Pengadilian Tinggi, dan Mahkamah Agung kecuali ditentukan lain dengan undang-undang. Hukum acara yang dimaksud adalah HIR untuk Jawa dan Madura, sedangkan RBG berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 284 ayat (1) Undang-Undang nomor 4 tahun 1998, yang menyatakan bahwa kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Niaga.

Berbeda dengan pengajuan gugatan di Pengadilan Negeri, yang tidak harus diwakilkan, maka permohonan pernyataan pailit harus diajukan dengan perwakilan yaitu harus diajukan oleh seorang Penasehat Hukum yang memiliki izin praktek (Pasal 5 UUK). Asas keharusan untuk mewakilkan kepada orang lain atau procureur pernah diatur dalam Pasal 106 ayat (1) RV (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yaitu dipakai semasa Raad Justitie dan Hooggerechtshoop, akan tetapi dengan dihapuskan Raad Justitie dan Hooggerechtshoop maka RV sudah tidak berlaku lagi. Pada masa RV itu setiap orang yang akan beracara dimuka pengadilan harus diwakilkan kepada orang lain atau procereur, dengan akibat batalnya tuntutan hak yang diajukan jika tidak diwakilkan.

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan dapat langsung dengan pihak yang melakukan tuntutan hak dan yang dituntut. Akan tetapi jika dikehendaki oleh para pihak, mereka dapat meminta bantuan atau diwakili oleh kuasanya (Pasal 123 HIR). Mengenai kuasa ini tidak ada keharusan seorang yang ahli hukum atau sarjana hukum.

Dalam undang-undang Kepailitan seperti yang diatur dalam Pasal 5 UUK, asas keharusan mewakilkan seperti yang diatur dalam RV diterapkan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit, akan tetapi dalam pasal tersebut tidak diatur sanksi jika tidak menggunakan perwakilan.

Terhadap permasalahan tentang perbedaan status antara Pengacara Praktek dan Advokat sebagaimana dicontohkan dalam kasus tersebut, sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka perbedaan tersebut sudah tidak ada lagi, sebab dalam ketentuan undang-undang tentang Advokat menjelaskan bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003.

Dalam praktek bentuk tuntutan hak dengan permohonan tersebut dapat dilihat hampir dalam setiap permohonan yang diajukan oleh kreditor dan dalam putusan Pengadilan Niaga yang menyebutkan pihak yang dimohonkan pailit itu kebanyakan dengan kata-kata “terhadap” dan tidak dengan kata-kata “melawan”.

Panitera mendaftarkan permohonan tersebut dan dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan, Panitera harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dalam jangka waktu 2x24 jam terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang yang diselenggarakan dalam jangkan waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak tanggal permohonan didaftarkan.

Dalam praktek ketentuan yang demikian tidak pernah dilakukan karena kalau ketentuan ini diikuti dikhawatirkan tenggang waktu yang ditentukan undang-undang untuk memutus perkara tersebut tidak akan tercapai.

Kesulitan berikutnya akan timbul yaitu apabila terjadi keadaan bahwa utang Debitur sangat besar dan ia dalam keadaan tidak mampu membayar dan tidak lagi bersedia melunasi utangnya yang dalam hal demikian ini bisa saja berakibat Kreditor sulit menjalankan usahanya, maka dalam keadaan ini akan sangat sulit bagi Kreditur untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan Niaga guna mengajukan permohonan pailit, hingga sangat terpaksa dalam situasi seperti ini Kreditur hanya dapat melakukan gugatan dalam perkara perdata pada umumnya ke Pengadilan Negeri.

Sengketa dalam dunia usaha secara umum dapat dikatakan bahwa permasalahan yang melingkupinya adalah berada pada persoalan bisnis dimana filosofinya waktu adalah uang. Oleh karena dalam peraturan Kepailitan tidak dibarengi dengan ketentuan bahwa dalam mengajukan permohonan pailit harus mendapat persetujuan dari sebagian besar Kreditur, maka sangat mungkin para Kreditur saling dahulu mendahului untuk mengajukan permohonan pailit sehingga dapat berakibat bahwa Kreditur yang mempunyai tagihan utang sangat besar belum menghendaki untuk mengajukan permohonan pailit tetapi justru Kreditur kecil yang lebih dahulu mengajukan permohonan pailit padahal Kreditur dengan tagihan besar tersebut bukan Kreditur preferen.

Untuk mengatasi hal ini dan juga untuk mewujudkan perlindungan hukum yang seimbang, maka dapat dibuka kemungkinan Kreditur tunggal dapat mengajukan permohonan pailit dengan syarat Hakim Pengadilan Niaga secara aktif memanggil Para Kreditur sesuai dengan amanat Undang-Undang Kepailitan bahwa Hakim adalah aktif dan sejak dimohonkan permohonan pailit, seyogyanya segera diberlakukan azas pembekuan pada semua kekayaan Debitur (Standstill).

Bahwa pada saat dan pada suatu ketika arus kas menunjukkan penurunan dalam bidang laba dan terdapat kemungkinan terjadi keadaan keuangan yang tidak lagi dalam keadaan sehat dan diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam membayar utang utangnya, hal ini merupakan tanda tanda awal adanya kepailitan.

Ketika keadaan yang demikian ini terjadi, maka harus segera diputuskan bahwa perusahaan akan dimohonkan pailit atau bertahan dengan jalan restrukturisasi atau penjadwalan pembayaran utang .Permohonan pailit yang diajukan oleh seorang Debitur sangat dimungkinkan karena hal ini telah diatur oleh Undang-Undang (ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan) yang dalam hal ini menunjukkan adanya sikap suka rela bagi Debitur untuk mengadakan pengakuan bahwa dirinya dalam keadaan kesulitan dalam membayar utang-utangnya. Hal ini sering kali ditafsirkan bahwa Debitur mempunyai niat untuk menghindari adanya tuntutan Pidana dengan cara mengajukan permohonan pailit sebab ketika proses pailit dimulai, Debitur akan terbebas dari tuntutan pidana, karena persoalan yang timbul adalah persoalan perdata yang timbul dari adanya utang piutang karena Debitur dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya.

Lembaga keuangan yang dikenal dengan nama Bank sudah barang tentu bukan merupakan lembaga yang asing lagi bagi masyarakat di Indonesia sebab lembaga ini mempunyai spesifikasi tersendiri yaitu oleh undang-undang yang mengaturnya dan oleh Pemerintah diberi kewenangan untuk mengumpulkan dana masyarakat dengan jumlah nasabah mencapai ribuan orang, sehingga bank disebut pula sebagai lembaga perantara (financial intermediary) yang mengerahkan dana masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit.

Dengana demikian, oleh ketentuan Undang-undang tentang kepailitan, bank dilarang mengajukan permohonan pailit, dimasuksudkan untuk melindungi nasabah dari tindakan curang yang dilakukan oleh pemilik bank.

Apabila bank selaku Debitur terjadi atau berada dalam ketidakmampuan untuk membayar utang, pihak yang bisa merasakan langsung akibat dari keadaan ini adalah para Kreditur. Bank Indonesia sama sekali tidak pernah terlibat dalam perjanjian utang piutang yang dibuat antara Debitur dan Kreditur, kecuali apabila terjadi Rush barulah Bank Indonesia memberi Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank yang mengalami kesulitan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 ini dapat dikatakan mempunyai standar ganda karena mengatur bank sebagai kreditur dalam menghadapi debitur non bank, dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila bank selaku kreditur berhadapan dengan Debitur yang merupakan bank berarti harus kehilangan hak untuk mengajukan permohonan pailit bagi bank bank lain yang notabene sebagai kreditur yang memberikan fasilitas kepada bank bank melalui pasar uang antar bank (inter bank money market) selain nasabah penyimpan dana dari masyarakat.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan tidak ada perubahan apapun dibanding dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Undang undang nomor 4 tahun 1998 tentang kepailitan, Hal hal yang dapat menimbulkan permasalahan adalah bahwa apa yang dimaksud dengan “kepentingan hukum“ ini tidak ada satu aturanpun yang mengatur secara tegas. Masalah pertama yang timbul apabila sebuah perusahaan yang akan dimohonkan pailit oleh Kejaksaan ternyata hanya mempunyai satu orang kreditur, apakah permohonan dengan bukti hanya satu Kreditur ini tetap dapat dilakukan mengingat syarat utama untuk dapat mengajukan permohonan pailit harus memenuhi ketentuan sedikitnya dua atau lebih Kreditur.

Kesulitan berikutnya adalah bahwa dengan cara dan tolok ukur yang bagaimana sebuah perusahaan yang akan dipailitkan melalui Kejaksaan ini dinyatakan melanggar kepentingan umum yang apabila masalah ini akan dijadikan alasan, maka mau tidak mau Kejaksaan harus melakukan kegiatan pengawasan pada perusahaan yang diduga melanggar kepentingan umum tersebut sehingga tugas Kejaksaan akan bertambah yaitu tugas mengawasi dalam dunia usaha yang selalu berubah rubah dan sangat dinamis. Oleh karrena itu sangat perlu adanya definisi yang tegas tentang masalah “kepentingan umum“.

Sebagai contoh misalnya Debitur menggelapkan dari bagian harta kekayaan, mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara, melarikan diri, mempunyai utang yang dihimpun dari dana masyarakat dan hal hal lain yang menurut pihak Kejaksaan Debitur telah melangar kepentingan umum.

Dalam ketentuan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan yang dapat ditafsirkan bahwa peran bagi Pengawas Pasar Modal adalah sangat besar dalam hal Debitur adalah merupakan perusahaan efek namun Badan Pengawas Pasar Modal hanyalah badan yang menerima laporan saja sebab menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, tugas utama Badan Pengawas Pasar Modal adalah memberikan perlindungan kepada investor publik, bukan mengambil alih hak-hak investor publik yang harus dilindungi.

Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 merupakan dasar hukum bagi Menteri Keuangan untuk mengajukan pernyataan permohonan pailit bagi Debitur perusahaan Asuransi ke Pengadilan Niaga, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa satu satunya kewenangan yang dapat mengajukan permohonan pailit bagi perusahaan asuransi adalah Menteri Keuangan Berdasarkan ketentuan dari pasal 20 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang asuransi, maka pernyataan permohonan pailit diajukan setelah adanya pencabutan ijin usaha oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya pada pasal 20 ayat 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian menyatakan : ..... Menteri berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.

Ketentuan tentang masalah yang menyatakan “kepentingan Umum” ini bertabrakan dengan soal Kepentingan Umum yang wewenang untuk mengajukan pernyataan permohonan pailit juga diberikan kepada Kejaksaan.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa kewenangan Menteri Keuangan untuk mengajukan pernyataan permohonan pailit dimaksudkan untuk mencegah berlangsungnya kegiatan yang izin usahanya telah dicabut sehingga hal ini dimasudkan untuk dapat mencegah kerugian yang lebih banyak dari masyarakat.

Ketentuan ini merupakan pembatasan kewenangan Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan sehinga dalam masalah ini timbul pertanyaan apakah Kejaksaan dalam pengetian kepentingan umum yang dimaksud dalam hal ini apakah juga bisa mengajukan pernyataan permohonan pailit.

Putusan atas permohonan harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.

Undang-Undang Kepailitan menganut azas cepat seperti yang dikehendaki oleh Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 tahun 1970 yang pasal 4 ayat (2) menyatakan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Cepat dalam perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga adalah proses penerimaan perkara hingga putusan yaitu diputus dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan sedangkan tahap penyelesaian yaitu pengurusan dan pemberesan tidak mengenal jangka waktu, sedangkan dalam Pasal 8 ayat 5 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 sebagai pembaharuan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, maka putusan harus sudah diucapkan dalam waktu 60 (enam puluh) hari.

Undang-Undang No.4 tahun 1998 tentang Kepailitan menganut asas pembuktian sederhana yang pada umumnya dalam HIR tidak dikenal. Pasal 6 UUK menyebutkan permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa syarat untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK. Menurut penjelasan Pasal tersebut yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana adalah yang lazim disebut pembuktian secara sumir. Dari bunyi pasal 6 UUK di atas, maka, yang harus dibuktikan oleh pemohon pailit dipersidangkan sebelum putusan pernyataan pailit dijatuhkan adalah fakta atau peristiwanya, sedangkan mengenai hukumnya tidak perlu dibuktikan karena Hakim dianggap tahu akan hukumnya (Ius Curia Novit). Selain dari pada itu permohonan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan tidak merupakan sengketa (Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.016 K/N/2000 tanggal 8 Juni 2000). Dalam perkara gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri menurut surat edaran Mahkamah Agung RI No.6 tahun 1992 menyatakan bahwa perkara harus diputus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah perkara diterima.

Putusan pernyataan pailit adalah bersifat serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), yang berarti walaupun putusan pernyataan pailit belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (kracht van gewijsde) Kurator telah dapat melakukan tindakan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit, seperti yang dimuat dalam Pasal 6 ayat 5 dan Pasal 12 UUK yang berbunyi:

Pasal 6 ayat 5: “Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 4 harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”.

Pasal 12 ayat 1: “Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali”.

Terhadap tindakan kurator yang melaksanakan tindakan pengurusan dan atau pemberesan sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tetap sah dan mengikat bagi debitur walaupun kemudian putusan tersebut dibatalkan ditingkat kasasi atau peninjauan kembali.

Menurut kebiasaan selama ini tindakan pengurusan harta pailit selalu dilakukan kurator, akan tetapi tindakan pemberesan dilakukan kurator setelah putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pelaksanaan putusan serta merta dalam perkara kepailitan tidak memerlukan izin Ketua Pengadilian Tinggi tetapi dalam pelaksanaan putusan serta merta dalam perkara gugatan perdata biasa, Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat melaksanakan putusan tersebut tanpa izin dari Ketua Pengadilian Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung RI (SEMA No.16 tahun 1969, SEMA No.3 tahun 1971 dan SEMA No.3 tahun 1978).

Putusan permohonan pernyataan pailit adalah merupakan putusan akhir yang bersifat constitutif yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum. Oleh karena itu dalam Undang-Undang kepailitan ditentukan time frame yang terperinci baik tentang penyampaian permohonan yang telah didaftar kepada Ketua Pengadilan Niaga, kepada Majelis Hakim maupun penyampaian salinan putusan kepada pihak-pihak tertentu.

Dalam pasal 6 ayat (6) UUK menyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 yang terhitung sejak permohonan pernyataan pailit ditetapkan, Pengadilan wajib menyampaikan dengan surat dinas tercatat atau malalui kurir kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan kurator serta Hakim Pengawas, salinan putusan Pengadilan yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.

Dalam Undang-Undang kepailitan banyak akibat-akibat hukum (yuridis) yang sedang diberlakukan oleh Undang-Undang kepada debitur pailit. Akibat-akibat hukum (yuridis) tersebut berlaku kepada debitur pailit dengan dua mode pemberlakuan yaitu sebagai berikut: 1) Berlaku demi hukum. Akibat hukum yang berlaku demi hukum (by the operation of law) ini terjadi segera setelah putusan pernyataan pailit dinyatakan atau setelah putusan pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Seperti larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal) seperti disebut dalam Pasal 88 UUK, sungguhpun dalam hal ini pihak Hakim Pengawas masih memungkinkan memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Demikian pula dengan ketentuan yang dimuat dalam pasal 22 UUK, sejak dinyatakan pailit harta pailit dibawah sitaan umum. Bagi kreditur separatis juga berlaku akibat hukum demikian yaitu harta yang dijaminkan tidak boleh dijual selam 90 hari (stay) sejak putusan pernyataan pailit. 2) Berlaku secara rule of reason. Untuk akibat-akibat umum tertentu dari kepailitan berlaku rule of reason, artinya akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru saja jiaka diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.

Pihak-pihak tertentu yang mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tersebut seperti Kurator, Pengadilan Niaga ataupun Hakim Pengawas. Akibat kepailitan yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Penyegelan memerlukan persetujuan Hakim Pengawas, jadi tidak terjadi secara otomatis. Reason untuk penyegelan ini adalah untuk pengamanan harta pailit itu sendiri. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 90 ayat (1) UUK yang menyatakan bahwa atas persetujuan Hakim Pengawas, berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit dapat dilakukan penyegelan atas harta pailit.

Di dalam melaksanakan putusan pengadilan di bidang hukum perdata, ternyata tidak semua putusan hakim dapat dijalankan karena setiap putusan tersebut harus terlebih dahulu dilihat dari asal usul perkaranya, yaitu perkara yang duajukan dimuka pengadilan tersebut berupa perkara permohonan atau perkara gugatan dikarenakan dalam perkara perdata, akibat hukum dalam perkara permohonan dan akibat hukum dalam perkara gugatan masing-masing mempunyai sifat yang berbeda sehingga dikenal beberapa sifat putusan yaitu Putusan Condemnatoir yang berasal dari perkara gugatan maka putusanya dapat dijalankan dan dilaksanakan, sedangkan putusan yang bersifat Declaratoir dan putusan Constitutif yang berasal dari perkara permohonan maka dalam menjalankan putusannya tidak diperlukan sarana atau upaya paksa, sebab dalam amar putusannya tidak di muat hal hal yang mengandung hukuman atau adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan sarana sarana pemaksa untuk menjalankannya.

Berbeda dengan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata dimana putusan belum dapat dijalankan apabila dalam putusan perkara tersebut para pihak masih menempuh upaya hukum sehingga terdapat tenggang waktu untuk menyelesaikan secara hukum, sebab dalam melaksanakan putusan perkara perdata disamping harus bersifat eksekutorial yaitu dalam kepala putusan harus ada kalimat “Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa“, maka dalam putusan perkara perdata harus pula dinyatakan bahwa putusan tersebut “telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap“ dalam arti bahwa segala dan seluruh hak untuk mengajukan upaya hukum bagi para pihak telah dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undangan yang berlaku dan dinyatakan selesai.

Hal yang demikian ini berbeda dengan sifat putusan dalam perkara kepailitan. Dalam perkara kepailitan bentuknya adalah permohonan, namun demikian meskipun bentuk dari perkara kepailitan adalah permohonan, tetapi Undang-undang menetapkan bahwa terhadapnya, Pengadilan memberikan keadilannya dalam bentuk suatu putusan. Putusan atas permohonan pernyataan pailit, dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadapnya diajukan upaya hukum.

Bambang Riyanto, 2002, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi 7, BPFE, Yogyakarta.

Dharta Karo Karo, 2001, Peta Keuangan Perbankan Indonesia Dalam Era Krisis Multi Dimensi, Vol.1, PT. Ekofin Konsulindo, Jakarta.

Deyuzar Syamsi, 2000, Prospek Bisnis Tanpa Uang Tunai, Bank & Manajemen, No.53 Maret/April 2000, PT. Bank Negara Indonesia Tbk.

Fred. B.G, Tumbuan, 1999, Pokok-pokok Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1/1998, Jakarta.

Imran Nating, Kepailitan Di Indonesia (Pengantar), www.solusihukum.com, 5 November 2004, (Diakses pada tanggal 1 Juni 2007).

Jerry Hoff, 2000, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, PT. Tatanusa, Jakarta.

Lawrence D. Schall and Charles W. Haley., Introduction to Financial Management, McGraw Hill, Inc., edisi ke-6, Singapore.

Munir Fuady, 1998, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Purwosutjipto, H.M.N, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djmabatan, Bandung.

Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

Sudargo Gautama, 1998, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 2002.

Sutan Renny Sjahdeini, 2001, Sejarah Hukum Kepailitan di Indonesia, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta.

www.lapen.co.cc / www.laporanpenelitian.co.cc / www.kesimpulan.co.cc

Selasa, 26 Mei 2009

HUKUM PERSEROAN TERBATAS Berdasar UU Nomor 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas)


DASAR HUKUM

Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yang secara efektif berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2007. Sebelum UUPT 2007, berlaku UUPT No. 1 Th 1995 yg diberlakukan sejak 7 Maret 1996 (satu tahun setelah diundangkan) s.d. 15 Agt 2007, UUPT th 1995 tsb sebagai pengganti ketentuan ttg perseroan terbatas yang diatur dalam KUHD Pasal 36 sampai dengan Pasal 56, dan segala perubahannya (terakhir dengan UU No. 4 Tahun 1971 yang mengubah sistem hak suara para pemegang saham yang diatur dalam Pasal 54 KUHD dan Ordonansi Perseroan Indonesia atas saham -Ordonantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen (IMA)- diundangkan dalam Staatsblad 1939 No. 569 jo 717. Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait Peraturan Pelaksanaan (PP dst.)

PENGERTIAN

Istilah Perseroan Terbatas (PT) dulunya dikenal dengan istilah Naamloze Vennootschap (NV). Istilah lainnya Corporate Limited (Co. Ltd.), Serikat Dagang Benhard (SDN BHD).

Pengertian Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni “perseroan” dan “terbatas”. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Adapun kata terbatas merujuk kepada pemegang yang luasnya hanya sebatas pada nilai nominal semua saham yang dimilikinya.

Berdasar Pasal 1 UUPT No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

PT = SUBYEK HUKUM

PT merupakan perusahaan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan status yang demikian itu, PT menjadi subyek hukum yang menjadi pendukung hak dan kewajiban, sebagai badan hukum, PT memiliki kedudukan mandiri (persona standi in judicio) yang tidak tergantung pada pemegang sahamnya. Dalam PT hanya organ yang dapat mewakili PT atau perseroan yang menjalankan perusahaan (Ery Arifudin, 1999: 24). Hal ini berarti PT dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau utang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya).

Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari persero pengurus dianggap sebagai kehendak PT. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas nama PT, pertanggungjawabannya terletak pada PT dengan semua harta bendanya (Normin S. Pakpahan, 1997: 75).

Berdasar Pasal 1 UUPT No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Unsur-unsur PT

Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk dpt disebut sbg perusahaan PT menurut UUPT harus memenuhi unsur-unsur:

1. Berbentuk badan hukum, yang merupakan persekutuan modal;

2. Didirikan atas dasar perjanjian;

3. Melakukan kegiatan usaha;

4. Modalnya terbagi saham-saham;

5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dlm UUPT serta peraturan Pelaksanaannya.

Persyaratan Material Pendirian PT

Untuk mendirikan suatu perseroan harus memenuhi persyaratan material antara lain:

1. perjanjian antara dua orang atau lebih;

2. dibuat dengan akta autentik

3. modal dasar perseroan

4. pengambilan saham saat perseroan didirikan

Prosedur Pendirian PT

1. Persiapan, antara lain: kesepakatan-kesepakatan/perjanjian antara para pendiri (minimal 2 org atau lebih) utk dituangkan dalam akta notaris dibawah title akta pendirian.

2. Pembuatan Akta Pendirian, yg memuat AD dan Keterangan lain berkaitan dg pendirian Perseroan, dilakukan di muka Notaris.

3. Pengajuan permohonan (melalui Jasa TI & didahului dg pengajuan nama perseroan) Pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM (jika dikuasakan pengajuan hanya dpt dilakukan oleh Notaris) diajukan paling lambat 60 hari sejak tgl akta pendirian ditanda-tangani, dilengkapi ket dg dokumen pendukung. Jika lengkap Menteri langsung menyatakan tdk keberatan atas permohonan ybs secara elektronik. Paling lambat 30 hari sejak pernyataan tdk keberatan, ybs wajib menyampaikan scr fisik srt permohonan yg dilampiri dokumen pendukung, 14 hari kmd Menteri menerbitkan keputusan pengesahan BH Perseroan yg ditanda-tangani secara elektronik.

4. Daftar Perseroan (diselenggarakan oleh Menteri, dilakukan bersamaan dg tgl Kepmen mengenahi Pengesahan BH Perseroan, persetujuan atas perubahan AD yg memerlukan Persetujuan; penerimaan pemberitahuan perub AD yg tdk memerlukan persetujuan; atau penerimaan pepberitahuan perub data perseroan yg bukan mrpk perub AD). Daftar perseroan terbuka utk umum.

5. Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara RI (pengumuman dalam TBNRI diselenggarakan oleh Menteri, antara lain: akta pendirian perseroan beserta Kepmen ttg Pengesahan BH Perseroan; akta perubahan AD beserta Kepmen sbgmana dimaksud Psl 21 ayat (1); Akta perubahan AD yg telah diterima pemberitahuanya oleh menteri).

Perbedaan Persyaratan PT pada Umumnya dg PT Bank

PT pada Umumnya:

Prosedur pengesahan badan hukum: tidak perlu adanya persetujuan prinsip dari intansi terkait

Kegiatan Usaha: boleh melakukan kegiatan usaha rangkap/lebih dari satu kegiatan usaha

PT Bank :

Prosedur pengesahan badan hukum: PT bank persetujuan prinsip dari Dewan Gubernur BI mrpkan kausa diberikannya pengesahan

Kegiatan usaha: perbankan merupakan satu-satunya kegiatan usaha

3. Permodalan: Modal dasar minimal Rp 50 juta.

4. Kepemilikan: tidak ada pembatasan.

5. Direksi dan Komisaris: dapat dilakukan oleh siapa saja yang memenuhi ketentuan UUPT.

3. Permodalan: Modal disetor minimal Rp 3 Trilyun utk pendirian Bank Umum; sedang BPR di DKI Jakarta raya: Rp 5 M, di Ibukota Ibukota Propinsi di P. Jawa & bali dan di wil. Kab/Kota Botabek: Rp 2 M, di Ibukota Prop. Di luar P. Jawa & bali: Rp 1 M, dan wilayah lain di luar wil. di atas: Rp. 500 juta. (PBI No. 2/27/PB/2000 jo PBI No. 6/22/PBI/2004).

Lanjutan PT Bank …….

4. Kepemilikan: ada pembatasan sebagaimana diatur dalam UU & perat. Pelaksanaannya (PBI No. 2/27/PB/2000 jo PBI No. 6/22/PBI/2004).

5. Direksi dan Komisaris: untuk PT bank perlu ditambah adanya fit and proper test dari BI dan persyaratan lain yang diatur dalam PBI No. 2/27/PB/2000 jo PBI No.6/22/PBI/2004 jo PBI No. 6/23/PBI/2004 jo SEBI No. 6/35/DPBPR tgl 16 Agustus 2004).

STRUKTUR PERMODALAN PT

MODAL DASAR

MODAL DITEMPATKAN

MODAL DISETOR

Lanjutan…

Modal Dasar : paling sedikit Rp 50 juta (Ps 32 ayat (1) dan (2) UUPT No. 40/2007).

Paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh (Ps 33 ayat (1) UUPT.

Modal ditempatkan dan disetor penuh dibuktikan dg bukti penyetoran yg sah & pengeluaran saham lebih lanjut utk menambah modal yg ditempatkan hrs disetor penuh.

Bentuk setoran modal saham dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya (Ps. 34 ayat (1) UUPT 40/2007).

Penilaian Setoran Modal

Apabila saham dilakukan dalam bentuk lain selain uang, penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yg ditetapkan sesuai harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dg perseroan, dan jika mrpk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam satu surat kabar atau lebih, dlm jangka waktu 14 hr setelah akta pendirian dittd atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tsb. (Ps. 34 ayat (2) dan ayat (3) UUPT)

Dalam praktik di Pasar Modal penyetoran saham dilakukan dengan cara: dengan uang tunai, konversi hutang PS, kapitalisasi saham ditahan, surplus hasil aktiva tetap, inbreng saham perusahaan lain dan harta tetap.

Larangan Kompensasi

Pemegang Saham (PS) dan Kreditor lainnya yang mempunyai tagihan terhadap perseroan tidak dapat menggunakan hak tagihnya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas harga saham yg telah diambilnya, kecuali disetujui oleh RUPS (Ps 35 ayat (1).

Hak tagih thd Perseroan yang dapat dikompensasi sbg setoran saham adalah hak tagih thd Perseroan yg timbul krn (Psl 35 ayat (2):

Perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau tdk berwujud yg dpt dinilai dg uang;

Pihak yg menjadi penanggung/penjamin utang telah membayar lunas utang perseroan sebesar yg ditanggung/dijamin; atau

Perseroan mjd penanggung atau penjamin utang dr pihak ketiga & Perseroan telah menerima manfaat brp uang atau barang yg dapt dinilai dg uang yg langsung atau tdk langsung scr nyata telah diterima perseroan.

Larangan Saham utk Dimiliki Sendiri

Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan (cross holding).

Larangan tsb tidak berlaku thd kepemilikan saham yg diperoleh berdasarkan peralihan krn hukum, hibah, atau hibah wasiat. Namun dlm jangka waktu 1 th stlh tgl perolehan harus dialihkan kpd pihak lain yg tdk dilarang memiliki saham dlm perseroan.

(Ps. 36 UUPT 40/2007).

PERLINDUNGAN MODAL & KEKAYAAN (Pembatasan Pembelian Saham Kembali)

Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan:

Pembelian kembali saham tersebut tdk menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yg telah disisihkan; dan

Jumlah nilai nominal seluruh saham yd dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yg dipegang perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yg sahamnya secara langsung atau tdk langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak melebihi 10% dr jumlah modal yang ditempatkan dlm perseroan. (Ps 37 ayat (1) UUPT 40/2007).

Konsekuensi Hukum Pelanggaran Pembelian Saham Kembali

Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tdk langsung yang beretentangan dengan Psl 37 ayat (1) batal karena hukum dan pembayaran yang telah diterima oleh pemegang saham harus dikembalikan kpd perseroan, dan perseroan wajib mengembalikan saham yg telah dibeli tersebut kpd PS.

Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas semua kerugian yang diderita PS yg beritikad baik akibat batal krn hukum tsb (Ps. 37 ayat (3) UUPT 40/2007).

Saham yg dibeli kembali Perseroan hanya boleh dikuasai Perseroan paling lama 3 tahun (Ps 37 ayat (4).

Lanjutan …

Pembelian kembali saham atau pengalihannya lebih lanjut hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS, kecuali ditentukan lain dalam Per-UU dibidang Pasar Modal (Ps 38 ayat (1) UUPT).

Saham yg dikuasai Perseroan krn pembelian kembali, peralihan krn hukum, hibah atau hibah wasiat tdk dapat digunakan utk mengeluarkan suara RUPS dan tdk diperhitungkan dlm menentukan jmlh kuorum yg harus dicapai sesuai dg ketentuan UUPT dan/atau AD (Ps 40 ayat (1) UUPT).

Saham yg dikuasai Perseroan tidak berhak mendapat deviden.

Penambahan Modal (Ps 41 – 43 UUPT)

Penambahan Modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS.

Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar .

Penambahan modal wajib diberitahukan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan.

Lanjutan ….

Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama.

Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya.

Penawaran saham tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham: a. ditujukan kepada karyawan Perseroan; b. ditujukan kepada pemegang obligasi atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; atau c. dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh RUPS.

Dalam hal pemegang saham tidak menggunakan hak untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran, Perseroan dapat menawarkan sisa saham yang tidak diambil bagian tersebut kepada pihak ketiga.

Pengurangan Modal (Ps 44-47 UUPT)

Keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan ketentuan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

Direksi wajib memberitahukan keputusan RUPS kepada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih Surat Kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.

Lanjutan …

Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman, kreditor dapat mengajukan keberatan secara tertulis disertai alasannya kepada Perseroan atas keputusan pengurangan modal dengan tembusan kepada Menteri.

Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak keberatan diterima, Perseroan wajib memberikan jawaban secara tertulis atas keberatan yang diajukan.

Dalam hal Perseroan:

menolak keberatan atau tidak memberikan penyelesaian yang disepakati kreditor dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban Perseroan diterima; atau

tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal keberatan diajukan kepada Perseroan,

kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.

Lanjutan …

Pengurangan modal Perseroan merupakan perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri.

Persetujuan Menteri diberikan apabila:

tidak terdapat keberatan tertulis dari kreditor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UUPT;

telah dicapai penyelesaian atas keberatan yang diajukan kreditor; atau

gugatan kreditor ditolak oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Lanjutan ….

Keputusan RUPS tentang pengurangan modal ditempatkan dan disetor dilakukan dengan cara penarikan kembali saham atau penurunan nilai nominal saham.

Penarikan kembali saham dilakukan terhadap saham yang telah dibeli kembali oleh Perseroan atau terhadap saham dengan klasifikasi yang dapat ditarik kembali.

Penurunan nilai nominal saham tanpa pembayaran kembali harus dilakukan secara seimbang terhadap seluruh saham dari setiap klasifikasi saham.

Keseimbangan dapat dikecualikan dengan persetujuan semua pemegang saham yang nilai nominal sahamnya dikurangi.

Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, keputusan RUPS tentang pengurangan modal hanya boleh diambil setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari semua pemegang saham dari setiap klasifikasi saham yang haknya dirugikan oleh keputusan RUPS tentang pengurangan modal tersebut.

Pertanggungjawaban pribadi Pemegang Saham (Ps 3 UUPT 40/2007)

Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.

Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku apabila:

persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;

pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau

pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

SAHAM

Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya.

Persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal persyaratan kepemilikan saham sebagaimana telah ditetapkan dan tidak dipenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

Hak Pemegang Saham

menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;

menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;

menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang PT

Satu Saham dimiliki lebih dari 1 orang?

Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi.

Dalam hal 1 (satu) saham dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) orang, hak yang timbul dari saham tersebut digunakan dengan cara menunjuk 1 (satu) orang sebagai wakil bersama.

Klasisifikasi Saham

Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih.

Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama.

Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa.

Lanjutan …

Klasifikasi saham yang dimaksud tersebut, antara lain:

saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;

saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;

saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain;

saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;

saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.

Pecahan Nominal Saham

Anggaran dasar dapat menentukan pecahan nilai nominal saham.

Pemegang pecahan nilai nominal saham tidak diberikan hak suara perseorangan, kecuali pemegang pecahan nilai nominal saham, baik sendiri atau bersama pemegang pecahan nilai nominal saham lainnya yang klasifikasi sahamnya sama memiliki nilai nominal sebesar 1 (satu) nominal saham dari klasifikasi tersebut.

Pemindahan Hak atas Saham

Pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak.

Akta pemindahan hak atas saham atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan.

Direksi wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus dan memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak.

Dalam hal pemberitahuan belum dilakukan, Menteri menolak permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang dilaksanakan berdasarkan susunan dan nama pemegang saham yang belum diberitahukan tersebut.

Ketentuan mengenai tata cara pemindahan hak atas saham yang diperdagangkan di pasar modal diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Lanjutan ….

Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu:

keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;

keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau

keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persyaratan tersebut di atas tidak berlaku dalam hal pemindahan hak atas saham disebabkan peralihan hak karena hukum, kecuali keharusan mendapatkan instansi berwenang berkenaan dengan kewarisan.

Lanjutan …

Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga.

Setiap pemegang saham penjual yang diharuskan menawarkan sahamnya berhak menarik kembali penawaran tersebut, setelah lewatnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari

Kewajiban menawarkan kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain hanya berlaku 1 (satu) kali.

Gadai & Fidusia Saham

Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak kepada pemiliknya.

Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar.

Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus.

Hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada pemegang saham.

Perlindungan Pemegang Saham

Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.

Gugatan pemegang saham diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.

Lanjutan …

Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:

perubahan anggaran dasar;

pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau

Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.

Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b UUPT, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.

Penggunaan Laba Perseroan

Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan.

Kewajiban penyisihan untuk cadangan berlaku apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

Penyisihan laba bersih dilakukan sampai cadangan mencapai paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor.

Jika Cadangan belum mencapai jumlah paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor, laba hanya boleh dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.

Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan diputuskan oleh RUPS.

DEVIDEN

Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.

Dividen hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan.

Pembagian dividen interim dapat dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib.

Pembagian dividen interim tidak boleh mengganggu atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan Perseroan.

Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan Komisaris.

Lanjutan …

Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan.

Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim.

Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus.

RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus

Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan menjadi hak Perseroan.

Corporate Social Responsibility

(CSR)

Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

ORGAN-ORGAN PT

RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS)

DIREKSI

DEWAN KOMISARIS

RUPS

RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang PT dan/atau anggaran dasar.

Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.

RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat.

Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat.

Jenis RUPS

RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.

RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.

Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan

RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan.

Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya dengan didahului pemanggilan RUPS.

Penyelenggaraan RUPS

Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan atas permintaan:

1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau

Dewan Komisaris.

Permintaan RUPS oleh Dewan Komisari diajukan kepada Direksi dengan Surat Tercatat disertai alasannya.

Surat Tercatat yang disampaikan oleh pemegang saham tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris.

Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.

Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS : a. permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS,.

Lanjutan …

Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu 15 hari sejak tanggal permintaan, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.

Penetapan ketua pengadilan negeri memuat juga ketentuan mengenai: a. bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan Undang-Undang ini atau anggaran dasar; dan/atau b. perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS.

Lanjutan …

Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.

RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh membicarakan mata acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.

Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan, upaya hukum yang dapat diajukan hanya kasasi.

Ketentuan berlaku juga bagi Perseroan Terbuka dengan memperhatikan persyaratan pengumuman akan diadakannya RUPS dan persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Hak Suara PS dalam RUPS

Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain.

Hak suara tersebut tidak berlaku untuk:

a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;

b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; atau

c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.

Lanjutan …

Pemegang saham, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya.

Ketentuan di atas tersebut tidak berlaku bagi pemegang saham dari saham tanpa hak suara.

Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda.

Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham.

Dalam hal pemegang saham hadir sendiri dalam RUPS, surat kuasa yang telah diberikan tidak berlaku untuk rapat tersebut.

Ketua rapat berhak menentukan siapa yang berhak hadir dalam RUPS dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang PT dan anggaran dasar Perseroan.

Keabsahan RUPS

RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.

Dalam hal kuorum tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua.

Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.

RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.

Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.

Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.

Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan.

RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.

Kuorum RUPS

Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.

Lanjutan …

RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Dalam hal kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua.

RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Lanjutan …

RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Dalam hal kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua.

RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

DIREKSI

Direksi merupakan organ yang membela kepentingan perseroan --- Prinsip Fiduciary Duties.

Tugas ganda Direksi; melaksanakan kepengurusan dan perwakilan

Tugas kepengurusan secara kolegial oleh msg-msg anggota direksi.

Direksi perseroan yang mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan srt pengakuan hutang, PT terbuka: minimal 2 org anggota Direksi.

Pengangkatan & Kewajiban Direksi

Direksi diangkat oleh RUPS

Yang dpt diangkat mjd anggota direksi adl org perseorangan yg mampu melaksanakan perbuatan hk & tdk pernah dinyatakan pailit/dihukum krn merugikan keuangan neg dl waktu 5 th sblm pengangkatan.

Kewajiban Direksi :

Kewajiban yang berkaitan dg perseroan

Kewajiban yg berkaitan dg RUPS

Kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan kreditur/masyarakat

Hak Direksi

Hak utk mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan

Hak utk memberikan kuasa tertulis kepada pihak lain.

Hak utk mengajukan usul kpd Pengadilan Negeri agar perseroan dinyatakan pailit setelah didahului dg persetujuan RUPS.

Hak utk membela diri dlm forum RUPS jika Direksi telah diberhentikan utk sementara waktu oleh RUPS/Komisaris

Hak utk mendapatkan gaji dan tunjangan lainnya sesuai AD/Akte Pendirian.

Berakhirnya Masa Tugas Direksi

Jangka waktu masa tugas direksi diatur dalam AD/Akte Pendirian.

Jika diberhentikan sementara waktu sbl berakhir masa tugasnya oleh RUPS/Komisaris maka dlm jangka waktu 30 hrs diadakan RUPS utk memberi kesempatan Direksi tsb membela diri. Apabila dlm jangka waktu 30 hr tdk ada RUPS maka pemberhentian sementara demi hukum batal.

Dlm kondisi tertentu Komisaris dpt bertindak sbg pengurus perseoan.

PERTANGGUNGJAWABAN PRIBADI DIREKSI

Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.

Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan:

kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

DEWAN KOMISARIS

Tugas utamanya: mengawasi kebijakan direksi dlm menjalankan perseroan serta memberi nasihat direksi

Pengangkatan Komisaris oleh RUPS.

Keanggotaan Komisaris: jika pemegang saham maka hrs melaporkan kepemilikan sahamnya baik di perseroan yang diawasi maupun saham yg dimiliki di perseroan lain.

Kriteria yg dpt mjd Komisaris spt halnya direksi.

Kewajiban & Kewenangan Dewan Komisaris

Kewajiban Komisaris:

Mengawasi Direksi

Memberi nasehat kpd Direksi

Melapor pd perseroan ttg kepemilikan sahamnya beserta keluarganya

Kewenangan Komisaris:

Alasan ttt dpt memberhentikan direksi utk sementara waktu

Jika direksi berhalangan dpt bertindak sbg pengurus

Meminta keterangan pd Direksi

Berwenang memasuki ruangan/tempat penyimpanan brg milik perseroan.

Berakhirnya Masa Tugas Dewan Komisaris

Masa tugas Komisaris ditetapkan dlm AD/Akte Pendirian

Komisaris dapat diberhentikan sementara waktu oleh RUPS

Pertanggungjawaban Pribadi DK

Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.

Tanggung jawab berlaku juga bagi anggota Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Lanjutan …

Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan:

kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan

telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Pertanggungjawaban pribadi Pemegang Saham (Ps 3 UUPT 40/2007)

Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.

Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku apabila:

persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;

pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau

pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Doktrin-doktrin Hk Korporasi

Sifat Kontraktual dari AD

Lifting the Corporate Veil

Ultra Vires

Fiduciare Duty

Duty of Skill and Care

Doctrine of Separate Corporate Personality

Doktrin-doktrin Hk Korporasi

Sifat Kontraktual dari AD

Lifting the Corporatye Veil

Ultra Vires

Fiduciare Duty

Duty of Skill and Care

Doctrine of Separate Corporate Personality

Terima kasih – matur nuwun

Wassalam

73

Dasar Hukum

Sumber dari : Munawar Kholil (Dosen Fakultas Hukum UNS)